Friday, August 6, 2010

Drs. Soetanto Pranoto, MM : EKSISTENSI KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA



EKSISTENSI KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Oleh Drs. Soetanto Pranoto, MM
( Dibuat dalam rangka sarasehan nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan temaPEMBERDAYAAN PENGANUT KEPERCAYAAN MENUJU PEMBANGUNAN BANGSA YANG ADIL DAN DEMOKRATISdi Solo tanggal 14-16 Juli 2009 ).
L A T A R B E L A K A N G
Sebelumnya saya sampaikan terima kasih dan hormat setinggi-tingginya atas kesempatan ini, sehingga saya dapat menyampaikan makalah dalam sarasehan nasional dengan sub tema diatas. Sebetulnya, saya sudah lama menunggu dan menunggu, kapan dalam era reformasi-demokratisasi ini, negara dan pemerintah pada semua tingkatan dapat berlaku adil, mencabut segala macam aturan yang bersifat diskriminasi, hambatan karena bagi warga penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa asli “NUSANTARA” khususnya kepercayaan Jawa, mengalami kematian secara politik, sosial, dan perdata.
Sejak pemerintah ordebaru menerbitkan larangan pencantuman “KEPERCAYAAN” di KTP dan pelarangan pencatatan perkawinan warga kepercayaan di kantor catatan sipil, kalau kita hitung sampai sekarang, telah lebih dari seperempat abad. Dampak multipliernya sangat dahsyat dan luas hingga sekarang. Pada umumnya warga penganut kepercayaan “NGERI” bila mengingat pengalaman dan derita tak terperikan atau dapat dikatakan mengalami “sindrom traumatis”. Banyak sekali warga penganut kepercayaan saat itu, terpaksa berubah haluan berbondong-bondong menjadi pemeluk “agama resmi”, demi karier, keselamatan dan kelangsungan hidup pribadinya, tetapi lebih banyak pula “penganut kepercayaan murni” yang tak terorganisir tetap tidak menjadi pemeluk “agama resmi”, mereka berani menghadapi resiko-resiko yang tak terbayangkan sebelumnya demi budaya dan kepercayaan yang dianutnya. Warga penganut kepercayaan yang berani menghadapi segala resiko itu, pada akhirnya terpinggirkan benar-benar mengalami kematian politik, sosial, ekonomi dan perdata, bahkan keturunannyapun terpaksa menyandang predikat “anak haram” karena orang tuanya tidak mempunyai surat “KAWIN”.
Saya menyambut baik prakarsa pemerintah “Pusat” dan perkenankanlah dengan ini sekali lagi saya menyatakan salut dan hormat yang setinggi-tingginya. Dalam lubuk hati terdalam muncul rasa lega, gembira sekaligus prihatin serta miris bila mengingat penderitaan warga penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang terlanjur berlarut sampai pada kondisi yang tak terperikan. Dalam makalah ini selanjutnya penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa saya singkat menjadi Penganut Kepercayaan atau Warga penganut Kepercayaan. Keprihatinan, kekhawatiran serta mirisnya saya karena sadar akan hambatan dan tantangan yang bakal timbul baik dari pihak internal warga penganut Kepercayaan maupun dari pihak eksternal yaitu tokoh penganut “agama resmi.”
Dengan disahkannya UU. No. 23 tahun 2006 dan adanya PP. No. 37 tahun 2007 membawa konsekwensi akan alokasi anggaran tingkat pusat dalam DIPA, tingkat I maupun tingkat II. Walaupun alokasi anggaran untuk Direktorat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat minim tetapi masih dimungkinkan melalui kerjasama dengan instansi “DIKNAS” ruang gerak anggaran bisa diupayakan untuk bertambah terlebih kini alokasi anggaran “DIKNAS” besarnya sampai 20%. Kalau sedikit berkemampuan canggih tentunya organisasi penganut kepercayaan dapat memanfaatkan atau mendapatkan alokasi CSR dari BUMN dan perusahaan swasta nasional.
Keprihatinan saya disebabkan keadaan menggunungnya hutang negara, minimnya anggaran dan banyaknya masalah implementasi anggaran baik pada tingkat Pusat, tingkat I maupun tingkat II. Saya sangat prihatin dan khawatir akan laju derap langkah pemerintah pusat terlebih pada era demokratisasi dan otomoni daerah. Kementerian BUDPAR menghadapi kendala perencanaan, organisasi, rentang kendali dan koordinasi. Secara sederhana bisa dikatakan DEPBUDPAR tidak mempunyai aparat langsung didaerah. Kendala dan keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dalam menyelesaikan problem warisan ordebaru dengan segala carut-marutnya bagi “ warga penganut kepercayaan” hendaknya kita sadari bersama.
Kemirisan saya ketika mulai terlihat indikasi munculnya pribadi dan organisasi dengan label penghayat kepercayaan yang bernafsu memburu rente berupa proyek ataupun bantuan anggaran pemerintah baik dari tingkat pusat, tingkat I maupun tingkat II. Sedangkan warga penganut kepercayaan “murni” saat ini dalam keadaan terpuruk, tak berdaya sampai pada tataran titik nadir akibat perlakuan pemerintah masa lalu dan atau setidaknya “Kebijakan Kolektip” berupa “restriksi dan diskriminasi”, kalau boleh saya istilahkan mohon maaf sebelumnya, warga penganut kepercayaan “murni” bisa diberi predikat golongan kasta “PARIA” di era modern ini.
Yang menggembirakan adalah hingga saat ini warga penganut kepercayaan pada akar rumput belum terkena syndrom euforia yang seharusnya timbul karena disahkannya UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan khususnya yang mengatur pengisian kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga bagi warga Penghayat Kepercayaan dan terbitnya PP No. 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan BAB X Persyaratan Dan Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan. Warga penganut Kepercayaan terkesan skeptis bahkan mungkin apatis, hanya para elit organisasi kepercayaan dan para petualang politik-ekonomi yang tampak mulai menggeliat menyongsong datangnya perubahan itu.
Banyak fakta yang harus kita cermati bersama dengan sikap “LEGAWA karena “Durung Wancine”. Fakta belum adanya kesetaraan dengan “agama resmi”, penempatan “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dibawah Kementerian BUDPAR, yang mengangani langsung hanya setingkat Direktorat yang dalam era otonomi daerah, kewenangannya sangat terbatas. Kehadiran UU no 23 tahun 2006 dan PP no 37 tahun 2007 bukan dimaksudkan menuntaskan semua masalah warga penganut kepercayaan yang sudah berlarut bagai benang kusut. Percayakanlah penuntasan masalah itu secara bertahap pada Pemerintah Pusat dan Irama Alam. Hendaknya warga penganut kepercayaan jangan berkeil hati, hilangkan rasa SUMELANG, tetap bersabar serta “ELING, ELING dan ELING terus mendekatkan diri pada “Sang Guru Sejati” agar mendapatkan petunjuknya dan diberi kekuatan sehingga mampu meneruskan perjuangan, menghadapi segala rintangan, tantangan serta hambatan yang datangnya dari pihak eksternal maupun internal.
Terdapat hal yang menggelitik saya tentang selentingan program pemerintah yang berencana membuat “buku pelajaran” Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang akan diajarkan di sekolah-sekolah bagi siswa Penganut Kepercayaan. Menurut saya hal ini tidak mudah dan bisa menimbulkan perdebatan yang bertele-tele tak berkesudahan. Keputusan apapun tidak akan memuaskan semua pihak, ujung-ujungnya sudah dapat diprediksikan adalah “PERPECAHAN” warga penganut kepercayaan. Dalam kesempatan ini saya hanya mencoba mengingatkan. Bukankah leluhur Jawa telah mengatakan bahwa inti kepercayaan Ketuhanan Jawa merupakan “Sastra Cetha, Sastra Tanpa Tulis, Tulis Tanpa Papan” sebagian orang mengatakan ”Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” bahkan ada aliran kepercayaan yang sampai saat ini masih eksis dinamakan Sastrajendra.



Kepada para sesepuh-pinisepuh penganut kepercayaan saya mohon maaf sebelumnya apabila terdapat kekeliruan. Terdapat unen-unen Jawa “Sastra Cetha, Sastra Tanpa Tulis, Tulis Tanpa Papanà Dari pengalaman hidup 53 tahun ini saya berkesimpulan sastra cetha bagi orang Jawa penganut kepercayaan sudah jelas nyata “Laku-Lelaku-Lakon” bukan Tulisan atau Buku-Kitab semua “telah gumelar ning alam donya”. Berketuhanan menurut cara Jawa sangat-sangat sederhana, cukup dengan “M E N E N G” sifatnya sangat pribadi atau “Seni Laku Pribadi (Kadhiri) agar Jagad Cilik=Jagad Gedhe Sama Sinigar Jambe Cetha Wela-Wela yaitu Neng Langgeng” “Ora Obah Ora Mosik”. Sedangkan untuk Sastra Tanpa Tulis, Tulis Tanpa Papan dimaksudkan bahwa berketuhanan Jawa tidak mengenal tulisan, mantra, doa, rapal atau yang sejenisnya. Papannya adalah orang “M E N E N G” sastra tanpa tulis adalah “Dawuh Dari Guru Sejati. prosesnya “Meneng-Hening-Heneng-HenungàNeng-Ning-Neng-Nung. alm. Ki Hajar dewantara mewariskan Neng-Ning-Nung-Nang kalau kita menelisik falsafah gamelan Ning-Nung-Ning-Gung semoga bisa dijadikan bahan renungan.
Menurut saya cara yang paling efektip pada tahap awal ini adalah FOKUS membuat, menerbitkan serta mendistribusikan buku yang mempunyai “KEKUATAN ATAU PENGARUH” sebagai “pedoman sarana” atau dasar sosialisasi dan penyadaran serta pemahaman semua pihak yang belum mengetahui ataupun belum sepaham, “teristimewa pihak eksternal” yang selama ini mempunyai peran atau potensial berperan mengucilkan, mencurigai, menghambat atau bahkan mematikan “kepercayaan nusantara”. Judul buku itu terserah substansinya tentang Eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara di Indonesia. Alangkah indahnya bila semua pihak dapat menerima, memahami dan menyadari sehingga potensi kesalahan-pahaman dapat dieliminasi bahkan dimungkinkan timbul saling pengertian dan kesepahaman. Selanjutnya semua pihak dapat mengendalikan perilaku dan ucapan nya sebagai cermin berketuhanan yang berkeadaban, bertoleransi dan saling hormat-menghormati karena kita sebenarnya bersaudara sesama warga Indonesia.
Kepada warga penganut kepercayaan marilah bersatu-padu !, singsingkan lengan-baju !, bangkit-bangkit !, songsong masa depan !, lupakanlah derita traumatis peristiwa lalu !. Hanya melalui persatuan dan kesatuanlah perjuangan dapat sukses terlaksana. Buang egoisme diri ataupun kelompok, jangan menonjolkan atau mengutamakan kepentingan pribadi serta kelompok. Siapapun jangan mendominasi atau menguasai bayi yang sedang digagas oleh pemerintah Pusat. Hendaknya sesepuh-pinisepuh dan tokoh penganut kepercayaan tetap “Sadar” dan tetap “Eling” jangan melupakan petuah luhur “Aja Dumeh” “Aja Rumangsa Bisa, Bisanana Rumangsa. Hilangkan keinginan dan upaya-upaya mendominasi atau menguasai bayi yang sedang digagas oleh pemerintah Pusat. Warga penganut kepercayaan harus mampu menunjukkan “Teladan” sikap luhur dalam mengatasi masalah pada seluruh rakyat Indonesia.
Kalau semua pihak sadar akan arti pentingnya “Kedaulatan Spiritual” dan “Kearifan Lokal, kalau semua pihak sadar bahwa warga penganut kepercayaan adalah “korban” yang tak terperikan yang diakibatkan perlakuan pemerintahan masa lalu atau setidaknya korban “Kebijakan Kolektip”, sudah sepantasnya pemerintah pada semua tingkatan beserta aparatnya tidak berstandar ganda “Tan Hana Dharma Mangrwa. Walaupun terlambat Pemerintah perlu segera dan secepatnya melakukan aksi tindakan konkrit melalui jalur kewenangan yang ada menetapkan kebijakkan memulihkan kehormatan harga diri, harkat martabat warga penganut kepercayaan. Dalam bahasa lugas diperlukan “keberpihakan pemerintah terhadap warga penganut kepercayaan nusantara”. Diharapkan untuk selanjutnya Negara dan Pemerintah pada semua tingkatan menjalankan praktek-praktek kehidupan berbangsa dan bernegara secara “membela yang lemah bukan sebaliknya justru selama ini berpihak pada yang kuat” karena pertimbangan kalkulasi politik sesaat.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila sesepuh-pinisepuh, para pengurus, para tokoh ataupun anggota HPK hadir dalam sarasehan nasional ini. Dari pengamatan saya warga akar rumput penganut kepercayaan bila mendengar kata “HPK” akan “merinding-ngeri”, “skeptis bahkan apatis”. Warga penganut Kepercayaan tidak percaya, curiga akan dedikasi, integritas dan eksistensi organisasi HPK. Mereka tahu dan mengerti akan riwayat HPK yang dibentuk pada era ordebaru, merupakan organisasi “sayap politik golkar” sekaligus kepanjangan tangan penguasa ketika itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa proses pembentukan organisasi maupun tokoh-tokoh pengurusnya berkarakter atau berwatak politik kekuasan ketika itu. Misinya adalah “mengembalikan Warga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa kemasing-masing agama yang dipeluknya”.
Seting pemerintah ordebaru ketika itu menempatkan HPK sebagai satu-satunya wadah organisasi kepercayaan, tempat memperjuangkan aspirasi warga penghayat kepercayaan. Disamping itu HPK diposisikan oleh pemerintah seolah-olah organisasi ini dibentuk untuk mengakomodasi aspirasi perjuangan tak henti-hentinya warga penganut kepercayaan yang dipimpin oleh alm. Mr. Wongsonegara hingga akhir hayatnya (1978). Kata seolah-olah menurut saya sangat tepat karena berdirinya organisasi ini setelah Mr. Wongsonegara Wafat dan misi perjuangannya jelas tidak sama atau bahkan sangat jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh alm. Mr. Wongsonegara. Dalam kesempatan ini saya mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan apreasiasi kepada beliau alm. Mr. Wongsonegara.
Dalam masa pemerintahan ordebaru apabila saya tidak keliru, “HPK” mendapatkan alokasi jatah paling tidak seorang atau bahkan mungkin lebih anggota MPR melalui jalur utusan golongan. Patut disayangkan utusan golongan anggota MPR RI dari unsur “HPK” adalah orang yang ber KTP “agama resmi” artinya bukan warga penganut Kepercayaan murni atau bukan warga yang “Jaba-Jero” penghayat kepercayaan. Disebabkan karena itu HPK hingga detik ini tidak mempunyai bukti tertulis BERITA ACARA PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI” keanggotaan MPR RI dari unsur Penghayat Kepercayaan. Saya sempat melacak pada kesekjenan MPR RI, jejak yang saya lihat hanyalah data rekapitulasi keanggotaan MPR RI dari unsur penghayat Kepercayaan pada papan tulis kesekjenan MPR. Dalam kiprahnya anggota MPR RI yang mewakili warga penghayat kepercayaan bisa dikatakan “NIHIL”bahkan pribadi yang mewakili itu adalah orang yang ber KTP “agama resmi.
Peran politik organisasi dan tokoh-tokoh HPK secara umum adalah pemanfaatan jatah Utusan Golongan MPR RI dari unsur Penghayat Kepercayaan dan pemanfaatan rejeki anggaran yang besarnya hanya cukup untuk sarasehan sederhana dan terbatas. Pengurus HPK pada tingkat pusat disinyalir dikuasai “hanya satu paguron saja”, sedangkan pengurus didaerah diisi oleh orang-orang hasil tunjukan “birokrasi daerah”. Yang mengherankan dan bahkan bagi saya sangat aneh adalah para personil pengurus HPK ternyata ber KTP “agama resmi. bahkan banyak pengurus terasnya yang bergelar “Haji”. Melihat organisasinya, kondisi dan keadaan pengurusnya serta misi organisasinya yang seperti itu adalah lumrah dan sewajarnya bila sewaktu rezim ordebaru berkuasa UUD 1945 ps. 29 ayat (2) khususnya kata “Kepercayaan” dijadikan bulan-bulanan polemik yang tiada henti-hentinya dan organisasi HPK tidak berdaya bahkan secara latah hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh arus mainstream ketika itu.
Ketika itu secara operasional HPK bekerja dibawah koordinasi kementerian Depdikbud, pada mulanya HPK dan Depdikbud melakukan pendataan semua organisasi “kepercayaan berikut anggotanya dan ajarannya”. Organisasi “Kepercayaan” yang tidak menyadari akan misi HPK berbondong-bondong mendaftarkan diri, tetapi banyak juga yang menolak contohnya Pangestu, Subud, Sapta Darma dan penganut kepercayaan secara pribadi. Mereka yang telah mendaftar merasa bangga dan lega terutama dengan diakomodasinya Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam GBHN-TAP MPR RI IV/1973 tanggal 22 Maret 1973 yang kemudian dikukuhkan kembali dengan GBHN-TAP IV/MPR/1978 tanggal 11 Maret 1978. Saya masih ingat ketika itu warga penghayat Kepercayaan dari Kelompok, Paguyuban atau Paguron yang berafiliasi pada HPK sering membicarakan bahwa tahun 1978 merupakan tahun digenapinya mitos Janji-Nubuat Sabdopalon. Mereka melupakan akan petuah luhur berupa unen-unen “AJA DUMEH”. Turunnya vonis mematikan sebagaimana telah saya sebutkan diatas telah menyadarkan dan membuatnya kecewa.
Karakter atau watak politik dan misi orgasnisasi HPK seperti tersebut diatas benar-benar telah dijalankan secara tuntas. Keluarnya vonis mematikan sebagaimana paparan saya diatas justru terjadi pada masa kejayaan organisasi HPK. Secara nalar HPK dan anggota MPR RI utusan golongan dari unsur penghayat kepercayaan patut diduga sebelumnya mengetahui skenario-skenario penguasa ketika itu. Situasi senyap tidak terdengar suara pembelaan dari pengurus maupun tokoh-tokoh HPK terhadap nasib warga penghayat kepercayaan khususnya pada forum resmi, itulah sebuah keanehan dan nyata terjadi. Jeritan dan gerundelan warga penghayat kepercayaan sayup-sayup terdengar seperti, ketika jaman penjajah Belanda maupun Jepang tidak pernah ada larangan “berkepercayaan”, sedang dalam era kemerdekaan khususnya pada saat ordebaru berkuasa dan yang memerintah bangsa sendiri, kepercayaan asli justru dilarang dan dikondisikan mati sejalan dengan perkembangan jaman. Sangat ironis karena yang berhak hidup di bumi Nusantara hanya “agama resmi yang berasal dari impor itu.
Ketika reformasi mulai bergulir saya adalah aktivis partai politik bahkan salah satu Pimpinan DPD partai PDI perjuangan Jawa-Tengah sekaligus anggota DPR-MPR RI 1999-2004. Sepanjang penglihatan saya ketika itu, organisasi HPK, pengurus maupun tokoh-tokoh terasnya tidak tampak eksis tampil kepermukaan memperjuangkan eksistensi warga penghayat kepercayaan. Yang mengherankan dan tampak aneh justru di Jakarta muncul organisasi tandingan HPK yaitu BKOK dan FKOK. Dalam hati kecil saya bertanya-tanya
- Bagaimana proses pergantian pengurus HPK sekarang ?,
- Mengapa dan bagaimana sampai muncul organisasi semacam BKOK dan FKOK ?.
- Apakah Pemerintah akan mendaur ulang organisasi ini ?,
- Apakah mayoritas organisasi kepercayaan Nusantara ataupun warga penganut kepercayaan secara pribadi bersedia dipimpin oleh organisasi semacam itu ?
- Apakah nasib warga penganut kepercayaan Nusantara akan diserahkan atau dipertaruhkan pada organisasi dan tokoh-tokoh itu ?
Organisani kepercayaan dengan bentuk atau nama apapun yang telah ada selama ini, jelas bukan merupakan reperesentasi organisasi, paguyuban kelompok maupun pribadi penganut kepercayaan yang ada di Nusantara, sifarnya kedaerahan bahkan cenderung kesukuan dan yang diperjuangkan selalu sebatas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Contoh sederhana, ada sebuah organisasi setiap muncul dalam sebuah acara uluk salamnya selalu “Rahayu” jelas “Jawa Sentris. Bila kita lebih cermat lagi sampailah kita pada kesimpulan bahwa setiap organisasi kepercayaan dengan para tokohnya terutama tokoh sentralnya sebenarnya sangat-sangat egois, merasa paling hebat, paling mampu, paling benar pendapat spiritualitasnya, paling mengerti (winasis), paling pinunjul dsb. Itulah jawaban mengapa banyak sekali organisasi atau paguyuban berlabel “Kepercayaan Jawa”, “Kejawen” dan atau “Kebatinan“ khususnya di Jawa, mungkin di daerah lainnya juga sama.
Saya sadar akan arti pentingnya “Persatuan dan Kesatuan” seluruh elemen penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bersumber dari nenek moyang di seluruh Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Wujud konkrit persatuan dan kesatuan itu adalah sebuah organisasi yang independen non politik, pengurusnya merupakan representasi elemen penganut kepercayaan Nusantara, fungsi organisasi ini antara lain :
- Meneruskan perjuangan melalui segenap saluran resmi yang ada agar Kepercayaan Nusantara mendapat perlakuan negara dan pemerintah setara dengan “agama resmi
- Bersama pemerintah memperjuangkan agar “Kepercayaan Nusantara” mendapatkan perlindungan dari hegemoni dan dominasi “agama resmi
- Sebagai mitra pemerintah dalam rangka memberi masukan rumusan kebijakan, pelaksana sosialisasi dan pemahaman kepada para pihak khususnya pihak eksternal,
- Untuk ke dalam organisasi berfungsi membina, memberdayakan, memajukan dan memberikan advokasi para anggota organisasi.
Mengingat berat dan saratnya beban tugas organisasi yang mewadahi warga penganut kepercayaan Nusantara tersebut diatas, organisasi ini harus kredibel tidak diragukan integritas dan dedikasinya, karena itu pengurus organisasi benar-benar orang yang mampu mendukung tujuan organisasi. Dalam kesempatan yang sangat langka ini melalui “fasilitasi pemerintah” saya mengusulkan sebagai langkah awal pembentukan wadah organisasi penganut kepercayaan Nusantara, bila kondisi dimungkinkan dibentuk sebuah “TIM KAJIAN atau TIM PERUMUS” yang anggotanya terdiri dari orang-orang kredibel, bebas dari kepentingan pribadi maupun kelompok dan hasil kajian itu harus diserahkan pada pemerintah.
Berbicara tentang eksistensi atau keberadaan mau tidak mau, suka tidak suka kita mesti meninjau secara Yuridis formal, Faktual serta Rekomendasi-rekomendasi terbatas agar Eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara semakin kokoh dan dapat hidup berdampingan dengan agama resmi. Pengakuan Negara dan pemerintah terhadap eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara, cepat atau lambat akan mengubah konstelasi dan dinamika warga penganut kepercayaan. Bila benar-benar diberdayakan dapat dipastikan warga penganut Kepercayaan bukan merupakan beban atau masalah bangsa, tetapi justru merupakan bagian dari solusi masalah bangsa dan siap menjadi benteng Panca Sila dan pengawal tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya berharap semoga Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara dapat menjadi Mercu Suar Dunia.
Pemerintah dan semua pihak dalam menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya produk Indonesia melalui semua saluran media masa tak henti-hentinya mendengung-dengungkan himbauan “CINTAILAH PRODUK INDONESIA”. Bukankah “BAHASA INDONESIA” merupakan produk bangsa Indonesia ?, dan sifatnya Given Cuma-cuma atau Gratis. Salah satu tolok ukur kehormatan sebuah bangsa adalah pengaruh bahasa bangsa itu terhadap bangsa lainnya ?, Bukankah salam “MERDEKA” adalah salam Kebangsaan sekaligus salam Nasional bangsa Indonesia yang dimaklumatkan dan hingga detik ini belum dicabut oleh alm. Presiden Ir. Soekarno pada tanggal 01 September 1945? Mengapa para pemimpin bangsa dan tokoh masyarakat enggan mempergunakannya ? Bagaimana mungkin rakyat mencintai produk Indonesia kalau pemimpinnya belum memberi contoh “Teladanbahkan diberi gratis tidak bersedia menggunakannya ?‼.
Akhirnya pohon yang ditanam lebih dari seperempat abad, sekarang mulai berbuah jelas dan gamblang. Bangsa Indonesia tidak punya “Kedaulatan Spiritual”, munculnya gejala “Tidak samanya kata dan perbuatan”, dipertanyakannya Jatidiri Bangsa, dilupakannya “Kearifan Lokal”, Beragama sama dengan Bertuhan , terpinggirkannya “PANCA SILA” akhirnya beginilah jadinya. Semua warganegara indonesia ikut merasakan dan prihatin. kini semua telah terjadi, sesal kemudian tiada berguna. Dikalangan masyarakat dan generasi muda bangsa Indonesia telah terlanjur ditanamkan persepsi kuat “Tidak Beragama” sama dengan “Atheis”, yang terbenar dan terbaik adalah agamanya, tidak seiman atau berbeda agama tidak bisa menikah, posisi jabatan tertentu dalam pemerintahan tidak bisa dijabat selain beragama “agama mayoritas”. Bangsa Indonesia kalau boleh saya katakan adalah “bangsa yang tercerabut dari akar budayanya” hidupnya tidak membumi melainkan menggantung diawang-awang tanpa mempunyai akar. Untuk mengubahnya mutlak diperlukan kesadaran pemerintah dan peran serta semua pihak. Ini adalah kerja besar dan membutuhkan keseriusan serta waktu yang sangat lama. Hasilnya baru bisa dinikmati oleh generasi mendatang.
EKSISTENSI YURIDIS FORMAL
Secara yuridis formal eksistensi atau keberadaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sungguh sangat menyedihkan karena negara dan pemerintahan hanya mengakui 5 agama ditambah satu agama di era reformasi ( - Islam, - Katholik, - Kristen Protestan, - Buddha Dan - Hindu Ditambah Di Era Reformasi - Khong Hu Cu ) bukankah keenam agama yang diakui “agama resmi” oleh negara dan pemerintah kesemuanya agama impor ?, yang pemeliharaan serta penyebarannya mendapatkan fasilitas terutama bantuan anggaran pemerintah pusat, tingkat I dan tingkat II. apakah kita saat ini masih mempunyai Kedaulatan Spiritual ?. Kita semua hendaknya menyadari bahwa “Kedaulatan Spiritual” merupakan faktor kunci sukses pembentukan rasa percaya diri, harga diri, kebanggaan diri terutama “JATI DIRI” dan budaya sebuah bangsa, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Bukankah Bung Karno telah mengingatkan sebagaimana kita kenal “Tri Sakti Bung Karno” yaitu - Berdaulat Di Bidang Politik, - Berdikari Di Bidang Ekonomi serta - Berkepribadian di Bidang Kebudayaan !
Pengalaman saya sebagai warga penganut kepercayaan Jawa telah membentuk Jatidiri saya, dilahirkan di Kota Rembang Jawa-Tengah tanggal 03 Juli 1956, sejak kelas VI SR saya telah menjalani laku Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara Jawa sifatnya “Pribadi” tanpa kelompok atau paguron, kisahnya dapat saya bicarakan tersendiri dalam kesempatan lain. Setelah terjun dimasyarakat, saya dalam pergaulan hidup sehari-hari sering melihat, mendengar dan tahu akan masalah dan derita warga penganut kepercayaan bahkan diri pribadi merasakan sendiri. Saya menjadi paham sekaligus salut akan perjuangan alm. Mr. Wongsonegoro sampai akhir hayatnya. Saya cukup mengerti tentang dasar-dasar peminggiran warga penganut kepercayaan, polemik kata “Kepercayaan”, pelarangan pencatatan perkawinan warga penganut Kepercayaan di Kantor catatan sipil, kesulitan warga menguburkan jenazah dll. Timbul pertanyaan mengapa “Berketuhanan” harus dengan “Beragama” bahkan beragamapun diatur-atur dan ditentukan pilihannya oleh pemerintah hanya dengan 5 (lima) “agama Resmisekarang ditambah satu yaitu Khong Hu Cu ?. Menurut UUD 1945 negara Indonesiatidak berdasarkan agama, juga tidak berdasar satu, dua, tiga agama maupun enam agama” melainkan berdasarkan Panca Sila. Sejarah terbentuknya Negara Indonesia bukan karena “agama” melainkan karena “kesadaran suku-suku bangsa” di Indonesia.
Apakah bangsa Nusantara yang telah berhasil mengonsolidasikan diri menjadi salah satu negara superpower dunia abad 13-14an tidak meninggalkan warisan “SPIRITUALITAS” ?, Mengapa predikat tokoh spiritual khas Nusantara khususnya Jawa dijadikan predikat tokoh agama resmi” ? contohnya Haji, Kiai, Romo, Pendeta, Pandita ?, Mengapa predikat “Mpu atau Empu” yang khas Jawa, dipersepsikan tokoh agama “HINDU” atau tokoh sinkretisme “SIWA-BUDDHA”, sedangkan di India tidak dikenal predikat Mpu atau Empu ?. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Setelah saya pelajari dan merenung akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa sumber permasalahan dasarnya adalah :
1. Penafsiran UUD 1945 tentang BAB XI AGAMA Ps. 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Secara khusus kata “KEPERCAYAAN”.
2. Polemik atau mungkin klaim yang tak berkesudahan tentang dasar Negara Panca Sila yang bersumber dari “PIAGAM JAKARTA kalau diringkas hanya 7 (tujuh) kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
3. Arus politik ketika itu, dimana penguasa sedang giat-giatnya menumpas permberontakan G30S/PKI seakar-akarnya. Dalam pandangan penguasa PKI adalah sama dengan “ATHEIS” dan harus ditumpas. Mungkin ada pihak-pihak tertentu yang melihat penguasa sedang memerlukan dukungan golongan “agama”, terbukalah celah untuk melakukan posisi tawar permainan politik kotor dengan ”Mengagamakan” seluruh rakyat Indonesia. Harus diakui entah karena pemerintah alpa atau karena terobsesi Raja Sultan Agung, pemerintah justru menetapkan 5 (lima) “agama resmi” yang bersumber semuanya dari impor dan seluruh rakyat Indonesia diharuskan “Beragama” dengan memilih salah satu “agama resmi”. Apabila pemerintah ingat akan “KEDAULATAN SPRIRITUAL, seharusnya pemerintah melindungi warga penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bersumber dari bumi Nusantara.
4. Karena kebijakan dan program pemerintah ketika itu “Mengagamakan Seluruh Rakyat Indonesia” dapat dikatakan para tokoh “agama resmi” dengan segala dalih dan cara mulai menanamkan pengaruh dan berlomba berebut simpati warga penganut kepercayaan agar menjadi pengikutnya. Mulailah diintrodusir persepsi “Tidak Beragama” sama dengan “Atheis” akan masuk neraka. Dihapuskannya mata pelajaran “Budi Pekerti” sebagai gantinya pelajaran Agama mulai diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Padahal PKI sama dengan ATHEIS musuh pemerintah yah semua jadi takut banyak yang terpaksa ber KTP agama resmi, dari pada pusing apalagi kalau sampai di PKI kan nasiblah taruhannya.
Keempat masalah dasar ini saling kait-mengkait, saya meyakini perdebatan yang tak berkesudahan terutama tentang penafsiran UUD 1945 tentang BAB XI AGAMA Ps. 29 ayat (1) dan (2). khususnya kata “Kepercayaan”. Keadaan yang menyedihkan ini terutama disebabkan oleh sikap politik, oportunis, kebodohan dan tidak percaya diri, baik hati, dsb. dari tokoh-tokoh penghayat kepercayaan sendiri. Masalah utama yang bersumber dari penafsiran UUD 1945 itu sangat mungkin dapat dituntaskan. Cara menuntaskan masalah ini bukan dengan “Debat Kusir” tetapi harus dengan “Tindakan atau Laku Nyata” dan “Bukti Konkrit” dari lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara dalam hal ini lembaga DPR RI dan MPR RI. Tindakan atau Laku Nyata adalah dalam lembaga DPR RI dan MPR RI harus ada anggotanya yang benar-benar “Jaba Jero” penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, “Bukti Konkrit” adalah bukti tertulis “BERITA ACARA PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI KEANGGOTAAN DPR RI dan Keanggotaan MPR RI. (catatan : Pada Pemilu 1955 Alm.Bpk.Sudjono Prawirosoedarso pemimpin pergurauanNgelmu Sejati” Madiun terpilih menjadi anggota DPR RI otomatis juga sebagai anggota MPR RI, tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau saya menyakini bahwa beliau tidak memiliki bukti sebagaimana yang saya maksud tersebut diatas. Sebab yang melantik jelas lembaga “MA” selain itu pemilu 1955 bukan berdasar UUD 1945 melainkan didasarkan UUDS 1950)
Pada tahun 1998, saat yang saya nantikan telah tiba, perpolitikan nasional secara cepat mengalami perubahan, ordebaru tumbang , sebagai gantinya muncul era reformasi dan pemilu akan digelar 1999. Kesempatan telah terbuka saya tengok kiri-kanan dari partai PDI Perjuangan Jawa Tengah yang dianggap sementara pihak sebagai partai sekuler saja tidak ada Caleg DPR yang tidak “Beragama” semua beragama “agama resmi”, bayangkan bagaimana dengan partai lainnya ? Ketika itu hanya saya yang dicalegkan DPR RI periode 1999-2004 dengan KTA partai PDI Perjuangan pada kolom agama diisi “PENGHAYAT KEPERCAYAAN” dan ditempatkan di daerah pemilihan Kudus. Pada daerah pemilihan Kudus PDI Perjuangan ketika itu mendapat suara lk. 160.000 hampir 40% dari suara sah. Walaupun mendapatkan suara hampir 40% saya tidak terpilih sebagai anggota DPR RI 1999-2004. Baru pada tahun 2002 saya dilantik lewat proses pergantian antar waktu menjadi anggota DPR RI dan anggota MPR RI 1999-2004 dan sejak saat itu salah satu tujuan saya terjun dalam dunia politik tercapai. Pada tahun 2004 saya kembali menekuni dunia spiritual dan wiraswasta, karena saya menyadari bahwa dunia politik bukan habitat saya. Sejak pemilu tahun 2004 dan pemilu 2009, saya bukan lagi aktivitis partai apapun.
Sambil menulis ini terbersit dalam sanubari saya akan unen-unen “Mrojol Saka Sela-Selaning Garu, dan ini telah menjadi “Pepesthen” “Ijen Tanpa Rewang, Nglurug Tanpa Bala, Sugih Tanpa Bandha, Digdaya Tanpa Aji, Kalah Tanpa Ngasorake. Sebenarnya saya tidak sendiri tetapi beserta “Sang Guru Sejati” Sedang kata menang lebih tepat “Kalah” artinya tanpa bernafsu untuk menang sehingga dapat berserah secara total pada “Kang Murbeng Dumadi” dan siapapun harus kalah atau tunduk terhadap “Pepesten”. Saya hanya berlomba “Apik-Apikan”, berlomba tidak sama dengan kompetisi. Bukti konkritnya adalah Berita Acara Pelantikan Anggota DPR RI Dan MPR RI antar waktu periode 1999-2004.
Perlu saya sampaikan dalam kesempatan ini secara singkat hal-hal pokok yang berimplikasi sangat mendasar bagi kehidupan “Warga penganut kepercayaan nusantara” sbb :
- Pada saat dicalonkan sebagai anggota DPR RI dan MPR RI tahun 1999, UUD 1945 belum diamandemen dan hampir semua perangkat peraturan masih menggunakan aturan lama semasa orde baru, lembaga DPR RI adalah lembaga tinggi negara sedangkan MPR RI masih lembaga tertinggi Negara atau diistilahkan lembaga superbody. Saya dicalegkan oleh partai PDI Perjuangan dengan KTA “Penghayat Kepercayaan” dan semua isian formulir pencalegan secara jelas dan tegas saya cantumkan “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Oleh partai PDI Perjuangan saya ditempatkan sebagai caleg di daerah pemilihan “KUDUS, meskipun pada daerah pemilihan Kudus PDI Perjuangan memenangkan pemilu dengan mendapat suara lk 160.000 atau hampir 40% suara yang sah, saya tidak terpilih menjadi anggota DPR RI 1999-2004.
- Setelah Sdr. Widjanarko Poespoyo menjadi Kabulog, lewat proses yang cukup berliku barulah saya diupayakan mengisi lowongan anggota DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan
- Sesuai tata tertib DPR-MPR RI pergantian antar waktu anggota dilantik oleh Ketua masing-masing lembaga bukan oleh ketua “MA
- Pada tanggal 27 Maret 2002 saya dilantik “Tanpa Rohaniwan” oleh Wakil Ketua DPR RI Bpk. Soetardjo Soerjogoeritno B.sc sebagai anggota DPR RI dengan terlebih dulu mengucapkan janji yang dipandu oleh yang melantik setelah selesai, saya menandatangani Berita Acara Pengucapan Janji Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999. Setelah itu yang melantik membubuhkan tanda tangan. Pada saat saya menanda tangani ‘Berita Acara” Mbah Tardjo (Panggilan akrab saya pada beliau) sempat terucap lirih dan terdengar ditelinga saya “Mbah dukun gawe ngelu
- Sebelum dilantik sebagai anggota MPR RI sering saya ditelepon masalah “Siapa Rohaniwannya” saya cukup dengan jawaban “Permasalahan Rohaniwan datangnya dari orang beragama, sedangkan setiap agama percaya bahwa Tuhan ada dimana-mana, kalau tidak percaya akan hal itu berarti mereka mengingkari agamanya sendiri” Pertanyaan ini sempat muncul lagi menjelang pelantikan saya sebagai anggota MPR RI.
- Pada tanggal 23 Mei 2002 saya baru dilantik “Tanpa Rohaniwan oleh Ketua MPR RI Bpk. Prof. Dr. H.M Amien Rais sebagai anggota MPR RI dengan terlebih dulu mengucapkan janji yang dipandu oleh yang melantik setelah selesai, saya menandatangani “Berita Acara Pengucapan Sumpah Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia” setelah itu yang melantik membubuhkan tanda tangan.
- Banyak warga penganut Kepercayaaan yang meminta fotocopy “Berita Acara Pelantikan” sehingga saya sering meminta foto copy ke kantor sekjen DPR RI maupun MPR RI, mungkin disebabkan untuk alasan praktis, akhirnya bukti aslinya diberikan melalui sekretaris saya dan telah saya simpan dengan aman.
Sejak Indonesia merdeka “BARU SAYALAH” penganut Kepercayaan yang benar-benar dilantik menurut “KEPERCAYAAN” dan yang melantik lembaga tinggi dan tertinggi Negara yaitu DPR RI dan MPR RI dengan bukti otentik. Keputusan “Tanpa Rohaniwan” dari kedua lembaga ini merupakan “Yurisprudensi” norma hukum yang harus dijadikan acuan lembaga-lembaga negara dan pemerintah dalam memperlakukan “Warga Penganut Kepercayaan.
Sekarang warga penganut kepercayaan tidak perlu “SUMELANG” atau meragukan akan eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara di bumi Indonesia. Guna menyongsong era Indonesia Baru yang demokratis, adil dan makmur berdasarkan Panca Sila. Perdebatan konyol sepihak dan tak berujung pangkal tentang penafsiran UUD 1945 BAB XI AGAMA Ps. 29 ayat (1) dan ayat (2), secara khusus kata “KEPERCAYAAN” mestinya segera diakhiri dan berakhir sebab.:
1. Warga penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah mempunyai bukti yang tak terbantahkan, berupa bukti yang saya peroleh dari lembaga tinggi dan tertinggi negara berupa:
a. Bukti pelantikan anggota DPR RI dari warga penganut kepercayaan “Tanpa Rohaniwan” berupa “Berita Acara Pengucapan Janji Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999”. Tertanggal 27 Maret 2002 yang ditanda-tangani Wakil Ketua DPR RI Bpk. Soetardjo Soerjogoeritno B.sc.
b. Bukti pelantikan anggota MPR RI dari warga penganut kepercayaan “tanpa rohaniwan” berupa “Berita Acara Pengucapan Sumpah Keanggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”. Tertanggal 23 Mei 2002 yang ditanda-tangani oleh Ketua MPR RI Bpk. Prof. Dr. H.M Amien Rais.
Terbukti sudah sejak semula yang dimaksud dalam “UUD 1945 BAB XI AGAMA Ps. 29 ayat (2) khususnya kata “KEPERCAYAAN” adalah kepercayaan asli Nusantara dan “bukan agama resmi”. Jadi sejak semula UUD 1945 secara tersurat maupun tersirat telah mengamanatkan bahwa “KEPERCAYAAN NUSANTARA” keberadaannya dijamin UUD 1945 dan kedudukannya sama dengan agama resmi, dan hal itu tidak perlu diragukan.
2. Sebenarnya pada Lembaga DPR RI dan MPR RI, tidak saya temui atau tidak ada permasalahan Kepercayaan”, hanya oknum anggota atau sebagian “Intelektual Salonsering mengungkit-ungkit untuk tujuan mencari popularitas.
3. Kedua bukti pelantikan saya ini merupakan bagian dan bukti yang tak terpisahkan dari UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun UUD 1945 setelah amandemen.
4. Secara jelas dan tegas sampai dengan amandemen ke empat UUD 1945 telah ada kesepakatan bahwa BAB XI AGAMA Ps. 29 ayat (1) dan ayat (2) tidak dikutak-kutik artinya tidak perlu diubah, ditambah, ataupun dikurangi.
5. Jaminan hak asasi bagi warga penganut kepercayaan dan eksistensi Kepercayaan asli Nusantara semakin kuat-mantap. Hal ini dibuktikan “secara khusus” dalam UUD 1945 hasil amandemen dicantumkan “BAB XA HAK ASASI MANUSIA Ps. 28E ayat (1), (2), dan (3)”.
Dalam kesempatan kali ini kita warga penganut kepercayaan sudah selayaknya memberikan hormat dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada beliau, yang telah berperan baik langsung maupun tidak langsung membantu menyelesaikan polemik kata “KEPERCAYAAN” dalam UUD 1945. Saya secara khusus, dengan ini melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengusulkan agar diberikan penghargaan kepada :
- Mantan Presiden Ibu Megawati Soekarnopoetri,
Sebagai ketua umum partai PDI Perjuangan tanpa “Berhitung Kalkulasi Politik” telah bersedia mencalonkan saya sebagai anggota DPR-MPR RI yang tidak beragama agama resmi” tetapi beridentitas Penghayat Kepercayaan”. Sebagai Presiden, ketika itu beliau telah membuat keputusan menetapkan saya sebagai anggota DPR RI dan anggota MPR RI.
- Mantan Wakil ketua DPR RI Bpk. H. Soetardjo Soerjogoeritno, B.sc.
Yang telah bersedia membukakan pintu dengan membuat terobosan melantik saya yang tidak beragama agama resmi” tetapi beridentitas Penghayat Kepercayaan sebagai anggota DPR RI dengan Tanpa Rohaniwan”.
- Mantan Ketua MPR RI Bpk. Prof Dr.H.M Amien Rais,
Yang telah bersedia membuat terobosan melantik saya yang tidak beragama agama resmi” tetapi beridentitas Penghayat Kepercayaan” sebagai anggota MPR RI dengan Tanpa Rohaniwan”.
Bendera sudah ditangan dan telah berkibar, pintu yang tertutup dan tergembok rapat-rapat selama lebih dari seperempat abad telah terbuka walau belum terbuka selebar-lebarnya, secara perlahan dan pasti. Pemerintah dan DPR RI periode pemilu 2004-2009 telah menindaklanjuti dengan mengesahkan UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan khususnya yang mengatur pengisian kolom agama pada kartu tanda penduduk dan kartu keluarga bagi warga penghayat kepercayaan dan terbitnya PP NO.37 Tahun 2007 yang menyertainya. Sedikit kekecewaan muncul dalam diri saya karena sepeninggal saya dari gelanggang politik praktis, sejak itu hingga sekarang belum muncul lagi anggota legislatif dari warga penganut kepercayaan baik pada tingkat pusat, tingkat I, maupun tingkat II. Hanya dengan mempunyai wakil langsung pada lembaga legislatiplah, “aspirasi warga penganut kepercayaan dapat secara efektip diperjuangkan”, saat ini sedikit-banyak mengalami hambatan.
Warga penganut kepercayaan hendaknya sadar bahwa implementasi UU No 23 tahun 2006 dan PP No 37 tahun 2007 memerlukan waktu yang relatif lama hal ini disebabkan :
- Pemerintah dalam semua tingkatan belum secara konsisten memulihkan kehormatan dan hak-hak dasar warga penganut kepercayaan. UU dan peraturan belum banyak manfaatnya bagi warga penganut kepercayaan, terlebih yang hidup di desa sehingga masih diperlukan serangkaian Undang-Undang dan peraturan serta infrastruktur untuk terjaminnya kehidupan yang setara dengan Warga negara pemelukagama resmi
- Karena Pemerintah pada semua tingkatan belum menempatkan petugas-birokrasi yang benar-benar (Jaba-Jero) dari warga penganut kepercayaan untuk mengurusi “KEPERCAYAAN”, saat ini pengurus masih ditangani oleh orang yang “beragama resmi”.
- Karena Dalam era otonomi daerah sering bahkan hal biasa bila kebijakan Pemerintah Pusat tidak sama dengan daerah, sehingga terkesan implementasi UU dan PP itu terasa sangat lambat, sedangkan Kementrian BUDPAR tidak mempunyai aparat langsung di daerah.
- Karena UU NO. 23 tahun 2006 dan PP No. 37 tahun 2007 agak berbelit-kurang praktis serta cenderung memperlakukan kepercayaan seperti “agama resmi”, padahal Kepercayaan tidak memiliki infrastruktur sebagaimana “agama resmi”. Contohnya soal “Rohaniwan”. memperlakukan semua warga penganut kepercayaan seragam bagaikan mempunyai paguron atau kelompok yang ada pemimpinnya. contohnya menikah harus dinikahkan sesepuh yang bersertifikasi dari pemerintah, pelantikan kerja pada instansi birokrasi harus dengan rohaniawan atau sesepuh-pinisepuhnya padahal DPR/MPR RI sebagai lembaga tinggi/tertinggi-superbody tidak menentukan seperti itu.
- Karena belum ada kepastian aturan pelaksanaan dari pemerintah soal penulisan KTP, seharusnya ditulis (-) atau (lainnya), kalau ditulis (-) jelas menyusahkan warga kepercayaan dalam segala macam aspek kehidupan misalnya sekolah, mencari pekerjaan, membuat SIM dsb. Kalau ditulis (lainnya) tidak sesuai dengan yang diyakininya, mungkin pilihan terbaiknya adalah berbohong saja.
- Karena jajaran birokrasi daerah sering menghambat ataupun tidak peduli, sering menakut-takuti warga penganut kepercayaan akar rumput dengan dengan kolom agama diberi tanda (-) atau (lainnya) riskan. Bahkan tidak jarang permohonan KTP dari warga penganut kepercayaan ditolak.
- Karena masih banyak pihak-pihak eksternal yang karena kebiasaan, ketidak-tahuan ataupun merasa ketakutan akan berkurangnya pemeluk “agama resmi”, serta fanatisme sempit, timbul upaya mencurigai, menghambat dengan segala macam dalih atau alasan apapun.
- Karena belum dicabutnya SK ataupun SKB menteri dan mungkin peraturan turunannya pada tingkat daerah seperti SK Gubernur dan SK Bupati/Walikota.
- Karena egoisme masing-masing organisasi atau paguyuban kepercayaan yang merasa dirinya paling pinunjul.
- Karena belum adanya organisasi atau badan yang mewadahi warga penganut kepercayaan Nusantara dan organisasi HPK sendiri jelas bukanlah organisasi seperti itu.
- Karena kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bermacam-macam ada unen-unen “Mawa Desa Mawa Cara”, hampir tidak mungkin dibuatkan buku pedoman yang seragam.
- Karena masyarakat serta media masa belum bisa memahami dan membedakan bahwa Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat-sangat berbeda dan bukan gugon-tuhon, ilmu Klenik-petung, ngelmu Jaya-Kawijayan, susuk-tumbal, dan perdukunan, prewangan ataupun mendatangkan roh-roh sehingga warga penganut kepercayaan sangat jarang bersikap “Sapa Sira, Sapa Ingsun” ataupun hampir mustahil bertindak Adigang-Adigung-Adiguna hidupnya bersahaja sakmadya “Pasrah Sumarah Dumateng Ngarsanipun Gusti”.
- Karena belum adanya aturan atau semacam kebijakan kolektip untuk melindungi “kebudayaan dan kepercayaan nusantara” sehingga dengan bebasnya film dibuat dan disiarkan dengan latar bahkan alur cerita utama yang menggambarkan atribut-simbol budaya Nusantara seperti orang yang berblankon, berkeris, berpakaian adat hampir selalu digambarkan bodoh, jahat, penipu, dukun dan selalu kalah atau dimatikan.
- Karena struktur masyarakat penganut Kepercayaan terdiri bersap-sap tingkat kebudayaan-kepercayaannya, bahkan ada yang kehidupannya sangat terbelakang “kebudayaan primitif-pramodern” dimana ber KTP belum merupakan kebutuhan, sedangkan warga penganut kepercayaan yang terdidik hidupnya sangat praktis-pragmatis selalu berkalkulasi tentang untung-ruginya ber KTP “(-) atau (lainnya)
  • Bukankah dengan KTP “(-) atau (lainnya)“justru mendatangkan resiko dikucilkan, didiskriminasi, dicurigai bahkan mungkin diintimidasi sangat rentan dianggap “ATHEIS” atau bahkan di PKI kan ?.
  • Bagi yang hidup di desa bukankah ber KTP “(-) atau (lainnya)“ akan dikucilkan, menghadapi kesulitan saat menikah atau menikahkan anaknya, sulit mengubur jenazah saat kematian dlsb. Bukahkan “PASAREAN” sudah hampir musnah karena dikonversi menjadi “MAKAM MUSLIM”. Sedikit cerita disebuah Kabupaten di Jawa tengah terdiri dari 213 desa dimana hanya 3 kuburan desa yang bisa menerima penguburan jenasah bukan warga muslim. Belum lagi sulitnya menganti KTP menjadi “(-) atau (lainnya)“.
  • Bukankah dengan KTP “(-) atau (lainnya)“ akan menghambat kariernya di birokrasi pemerintahan ?, sulit mencari pekerjaan sebagai aparat pemerintah (TNI, POLRI, Kejaksaan, pertanian, Diknas, Dosen dsb) misalkan dapat pekerjaan masih menghadapi kesulitan lagi bila akan mendapatkan promosi posisi jabatan dsb.
Setelah melalui proses perenungan saya berpendapat untuk mengeleminasi semua masalah itu, sebagai langkah awal pemerintah perlu membuat, menerbitkan serta mendistribusikan buku yang mempunyai “KEKUATAN ATAU PENGARUH” sebagai “Pedoman Sarana” atau dasar sosialisasi dan penyadaran serta pemahaman semua pihak yang belum mengetahui ataupun belum sepaham, “teristimewa pihak eksternal” yang selama ini mempunyai peran atau potensial berperan mengucilkan, mencurigai, menghambat atau bahkan mematikan “Kepercayaan Nusantara”. Judul buku itu terserah substansinya tentang Eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara di Indonesia.
Saya mencoba mendaftar beberapa aturan yang menjadi sumber diskriminasi dan keterpurukan warga penganut kepercayaan. :
NO
REGULASI
PERIHAL
1.
UU no. 1/1974
Undang-undang Perkawinan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak masuk.
2.
PP. No. 9/1975
Perceraian
3.
SE. Menteri Dalam Negeri RI No. 774/74054/1978
Pengakuan 5 (lima) agama.
4.
Instruksi Menteri Agama RI. No. 4/1978
Depag tak mengakui Aliran Kepercayaan
5.
Keputusan Jaksa agung RI
No. Kep 089/JA/78.
Larangan pengedaran SURAT KAWIN yang perlu dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Dharma Yogyakarta.
6.
SE. Menteri Agama RI No.B.VI/11215/78 kepada para Gurbernur KDH Tk I seluruh Indonesia .
Masalah penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi umat yang beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan.
7.
SE. Menteri Agama RI No.B/5943/79 tanggal 03 Juni 1979 kepada para Gurbernur KDH Tk I Jatim.
Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan.
8.
SE. Menteri Agama RI No.MA/650/1979 tanggal 28 Desember 1979.
Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
9.
SE. Menteri Dalam Negeri RI No.477/286/SJ tanggal 13 Januari 1980.
Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
10.
SE. Menteri Dalam Negeri RI No.477/74054
Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221a tahun 1975
11.
SE. Menteri Dalam Negeri RI No.477/286/1980 kepada mGubernur dan Bupati di Seluruh Indonesia
Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
12.
Surat Kejaksaan Agung No.B.397/DI.1980 kepada Menteri Agama RI, Up. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji.
Perkawinan antara penganut Sapto Darmo di daerah kantor Kabupaten Bojonegoro.
13.
Surat Menteri Agama RI No. B.VI/5996/1980 kepada Menteri Dalam Negeri.
Perkawinan, Kartu Penduduk dan Kematian Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
14.
Radiogram/Telegram Menteri Agama RI No. MA/610/1980 kepada Kakanwil Departemen Agama Seluruh Indonesia.
Pengisian Kolom Agama/Kepercayaan terkait dengan pelaksanaan sensus penduduk 1980
15.
Surat Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI No. 470.071/6380/SJ.MA/610/1980.
Pengisian Kolom Agama/Kepercayaan terkait dengan pelaksanaan sensus penduduk 1980
16.
Surat Menteri Agama RI No.MA/203/1980 Kepada Kakanwil Depag Kalimantan Tengah.
Penggabungan/ Integrasi Penganut Kaharingan kedalam Agama Hindu.
17.
Surat Menteri Dalam Negeri RI No. 477/2535/PUOD/1990
Pencatatan Aliran Kepercayaan.
Sejarah telah mencatat dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai setelah tiga hari berturut-turut para pendekar bangsa berpidato mengeluarkan pendapat tentang dasar negera. Ketika tiba giliran Bung Karno pada tanggal 01 Juni 1945 berpidato tanpa teks tentang dasar negara. Didalam sidang itu dasar negara Panca Sila secara aklamasi telah di disetujui oleh semua peserta sidang. Adapun tata urutan sila demi sila adalah:
- Kebangsaan Indonesia,
- Internasionalisme atau Perikemanusiaan,
- Mufakat atau Demokrasi,
- Kesejahteraan Sosial dan yang terakhir
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Yang dipidatokan pada kelahiran dasar negara Panca Sila jelas-gamblang tidak dikenal adanya 7 (tujuh) kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” demikian juga dalam sidang PPKI dengan agenda mengesahkan pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 dimana sebelum disahkan telah dibacakan oleh Ir. Soekarno sebagi ketua sidang tidak terdapat 7 kata sebagaimana sering diributkan dalam kancah perpolitikan bangsa Indonesia.
Perdebatan dan permasalahan Piagam Jakarta, perubahan alinea ketiga pembukaan UUD 1945, polemik ps. 29 ayat (2) khususnya kata “KEPERCAYAAN” dengan akibat dilarangnya pencantuman “Kepercayaan dalam KTP” dan pelarangan pencatatan perkawinan warga penganut kepercayaan di catatan sipil serta anggapan-anggapan bahwa berketuhanan sama dengan beragama resmi atau harus dengan beragama resmi, apabila tidak beragama resmi itu atheis, munculnya perda-perda yang bernuasa syariah, terpinggirkannya Panca Sila. Menurut saya ada indikasi kuat sebuah skenario agenda besar untuk mengubah dasar Negara Panca Sila dan fakta yang sudah jelas-gamblang terpampang, tidak bisa dipungkiri akan kondisi adanya Hegemoni dan Dominasi agama resmi” pada wilayah negara dan pemerintahan serta memudarnya rasa “TOLERANSI.
Marilah kita tengok sejenak pembukaan UUD 1945 yang disahkan dalam sidang PPKI maupun BPUPKI tanggal 18 Agustus 1945 alinea ketiga berbunyi “Atas berkat rahmat TUHAN Yang Maha kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur, dst… dst…“ tetapi dimuat dalam “Berita Repoeblik Indonesia” tahun ke II no 7 tanggal 15 Pebruari 1946 berubah menjadi “Atas berkat rachmat ALLAH Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan loehoer, dst… dst. …. “. Mengapa kata TUHAN berubah menjadi ALLAH belum kami temukan alasannya dan anehnya DPR RI dalam setiap membuat undang-undang selalu diawali dengan “ATAS BERKAT RAHMAT TUHAN YANG MAHA KUASA. Melihat fakta ini perlu kepekaan hati kita semua, tidak ada sama sekali dalam benak saya membedakan pengertian TUHAN dan ALLAH tetapi esensinya terdapat pada mengapa ada perubahan dan tentu saja membawa implikasi.
Tentang agama pada BAB XI hanya terdiri dari satu pasal yaitu ps. 29 dengan dua ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari bab serta bunyi pasalnya jelas bahwa negara Indonesia bukan berdasarkan agama ! baik itu satu agama, lima agama atau enam agama, melainkan berdasar Ketuhanan yang Maha Esa. Secara nyata, jelas-gamblang dan tegas dalam UUD 1945 negara dan pemerintah tidak diamanatkan atau diwajibkan mengakui agama resmi, dan untuk bertuhanpun orang Indonesia tidak ada keharusan melalui jalur “Beragama”, dengan berketuhanan Yang Maha Esa atau dengan kepercayaan nenek moyang Nusantara ataupun dengan kepercayaan dengan berpredikat apa saja asalkan “BERKETUHANAN YANG MAHA ESAdiakui oleh Negara dan Pemerintah serta mempunyai kedudukan yang sama dengan “Beragama.
Sekali lagi secara gamblang UUD 1945 tidak mengamanatkan Negara dan pemerintah harus mengakui “AGAMA RESMI”, tetapi KENYATAANNYA ?. Sedangkan pada era ordebaru polemik yang selalu menimbulkan kontroversi perdebatan tidak berkesudahan yaitu Ps. 29 ayat (2) khusus kata “KEPERCAYAAN”. Ditengah-tengah kancah polemik itu, sebagai mantan anggota BPUPKI sekaligus penggagas kata “KEPERCAYAAN” Mr. Wongsonegoro berupaya secara konsisten tak henti-hentinya dan tak jemu-jemunya secara terus menerus sampai beliau wafat tahun 1978 menjelaskan pada pemerintah maupun masyarakat bahwa yang dimaksudkan kata kepercayaan dalam UUD 1945 Ps. 29 UUD ayat (2) adalah Kebatinan, Kejiwaan, dan Kerohanian. Dapat dikatakan perjuangan beliau telah maksimal dengan berhasilnya kepercayaan dimasukan dalam GBHN-TAP IV/MPR/1978 tanggal 11 Maret 1978, selanjutnya pemerintah membentuk organisasi HPK yang dipimpin oleh Mayjen (purn) H. Zahid Husein. Kita Warga Penganut Kepercayaan sudah sewajarnya apabila memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada beliau almarhum.
Secara umum kalau kita amati dapat kita kelompokan negara-negara didunia ini kedalam beberapa kelompok sbb.:
1. Negara sekuler dipelopori oleh Amerika, Inggris dan hampir dapat dikatakan seluruh negara-negara di Eropa. dengan kesekuleran ini hasilnya adalah tempat Income per kapita yang tertinggi di Dunia, sebagai tempat hegemoni kekuasaan dunia, kiblat teknologi, trend mode budaya (musik, pakaian, gaya hidup), pusat keuangan dunia, kiblat ilmu pengetahuan. Yah bisa dianggap sebagai leader.
2. Negara Tradisonal yang di permodern dipelopori oleh Jepang, China (walalupun didominasi oleh partai Komunis), India. Bisa diistilahkan Challanger.
3. Negara yang agamanya mendominasi segenap perilaku berbangsa dan bernegara yang Kriten-Katholik semua negara Amerika latin, yang dekat Pilipina, Muangthai, yang Islam Afganistan, Pakistan, Bangladesh dan semua negara jasirah Arab, yang Budha-Hindhu Srilanka dan Muangthai) dimana kita telah tahu semua keadaan dan situasi negara tersebut.
4. Negara Panca Sila yaitu negara kita dimana sebenarnya adalah negara tradisonal yang dipermodern tetapi selalu saja terombang-ambing dan diperdebatkan antara dasar negara Panca Sila atau agama dan saat ini dalam prakteknya Panca Sila jelas dan nyata terpinggirkan.
Bung Karno sendiri mengatakan: saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya, sebaliknya saya berkata penggalian saya itu sampai jaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai jaman Hindu dan Pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan sap-sap. Sap ini diatas sap itu, diatas sap itu sap lagi. Saya melihat macam-macam sap. Sap pra Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. dst.
Dari fakta dan paparan diatas sudah sewajarnya apabila dalam kesempatan ini saya sampaikan marilah para sesepuh-pinisepuh dan warga penganut Kepercayaan Nusantara untuk selalu “ELING LAN WASPADA, mewaspadai terus jangan sampai lengah akan adanya pihak-pihak yang ingin mengubah dasar negara Panca Sila.
EKSISTENSI FAKTUAL
Kita semua tentunya sadar dan tahu bahwa sebelum agama-agama asing masuk ke Nusantara, nenek moyang bangsa Nusantara telah mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan terbukti sangat adiluhung. Bukti nyata dapat kita rasakan maupun kita pelajari diantaranya adalah, kesetaraanhak yang sama antara lelaki dan perempuan seperti RATU SIMA” 672 M, Dewi Kilisuci tetapi tidak bersedia menggantikan Prabu Airlangga, Tribuwana Tungga Dewi, Ratu Suhita, Ratu Kusumawardhani dsb, bukti lainnya semua bangsa yang datang ke Nusantara ketika itu dapat dipastikan hanya laki-laki saja, karena untuk datang ke Nusantara ketika itu tidaklah mudah, terlebih alat transportasi sangat-sangat sederhana. Perjalanan sangat berat dan resikonya besar karena itu perempuan tidak di ikut sertakan, nah dari laki-laki berbagai macam bangsa dan berbagai kepercayaan-agama ini setelah sampai di Nusantara ternyata dapat beranak-pinak karena menikah dengan penduduk asli Nusantara. Bukankah ini merupakan aplikasi “Urip Kuwi Sapada-Pada Amerga Kabeh Kuwi Sapadha-Padha Titahing Gusti”. Bahkan mereka juga diberi kebebasan untuk menyebarkan agamanya.
Saya mencoba melakukan retrospeksi dengan menggunakan parameter ”Sepuh” dan “Donya Kuwi Dudu Apa-Apa”. Seorang yang menjalani laku Ketuhanan Jawa apabila benar-benar telah mencapai tataran “WINISUDHA GURU SEJATI” baru benar-benar bisa menjadi seorang “GURU” spiritual jawa. Bagi penganut kepercayaan Jawa usia sepuh tidak otomatis merefleksikan tataran spiritual yang sudah tinggi, seorang sepuh yang berkemampuan Jaya-Kawijayan, Guna-Kasantikan tataran tinggi adalah seorang ahli “ KANUGARAN JAWA” dan bukanlah seorang spiritualis Jawa. Raja-raja Jawa sebelum kerajaan Islam Jawa telah banyak memberikan teladan pada kawulanya tentang lelaku atau perilaku orang Jawa yang telah mencapai usia sepuh yaitu “Lengser Keprabon”, “Wis Ora Kadonyan”,”Donya Kuwi Dudu Apa-Apa” sisa hidupnya dipergunakan untuk upaya “Pasrah Sumarah Dumateng Ngrasanipun Gusti guna mempersiapkan diri agar mampu “Bali Menyang Sangkan Paraning Dumadi”.
Sekarang ini pada umumnya yang mempunyai predikat “Guru dan tokoh spiritualis Jawa” atau bahkan “Dukun, Mbah, Wong Tua, Sebeh” hanyalah seorang WINASIS” yang telah berusia cukup sepuh berperilaku seolah-olah spiritualis “Kejawen, oleh kelompoknya diberi predikat sebagai “TOKOH” ataupun “GURU” spiritual Jawa, bahkan yang lebih memprihatinkan ada pula predikat yang datangnya dari dirinya sendiri dan diiklankan secara rutin melalui berbagai media massa. Secara umum penyandang berbagai predikat itu sangat bervariasi dasar kemampuan “winasis”nya, ada winasis tentang adat-istiadat yang diwariskan secara turun-temurun, ada yang winasis akan ajaran “warisan wejangan paguron,serat-serat dan unen-unen” ada yang karena laku olah “Kanugaran”, “Jaya-Kawijayan” dan “Guna-Kasantikan”, ada yang mampu mendatangkan katanya roh-rohleluhur” dan atau “pedanyangan”, ada yang mencampur adukkan antara kejawen “dalam batas pengertiannya” dengan aliran semacam kebatinan, Theosofi atau Tasawuf yang bersumber dari “agama resmi“ bahkan ada yang winasis tentang kosmologi, astrologi, primbon, petung, japa-mantra, jimat, rajah, susuk, klenik, dll. Masyarakat awam sulit membedakan kewinasisan itu, hampir semuanya dipahami sebagai “KEJAWEN” dan tokoh itu ber KTPagama resmi. Keadaan itu dapat dikatakan “akeh para pinisepuh sing durung makna bala uripe.
Dengan bekal kewinasis yang dikuasai mereka masing-masing berusaha eksis mempengaruhi, merekrut, menanamkan, mengendalikan dan meyakinkan pengikutnya. Bila mereka mau berkaca pada pengalaman sejarah serta kondisi saat ini “mereka seharusnya sadar dan malu diri”, karena sikap itu pada akhirnya telah merugikan seluruh warga penganut kepercayaan dan dirinya sendiri. Menurut pengetahuan saya sebenarnya tokoh spiritualis Jawa sangat-sangat langka terlebih yang benar-benar sudah mencapai tataran “GURU” yang telah “WINISUDHA GURU SEJATI
Saya sangat menghormati dan mengakui eksistensi organisasi dan tokoh-tokoh winasis dalam bidangnya masing-masing, tetapi sekaligus saya ragu akan tataran “spiritualitasnya” sehingga sering bertanya pada diri saya sendiri:
- Apakah mereka benar-benar sudah menemukan dan mampu berkomunikasi dengan sang “GURU SEJATI ?,
- Mengapa banyak tokoh-tokoh penghayat kepercayaan bermain politik, usreg saling berebut rejeki. Bukankah semua itu adalah rebutan “urusan donya. Apabila mereka merasa tokoh penganut kepercayaan seharusnya mampu memberikan “teladan perilaku utama. Melalui keteladanan mereka segenap warga bangsa akan merasakan manfaat keberadaan warga penganut kepercayaan dan cepat atau lambat pasti akan mendatangkan apresiasi yang tinggi dari segenap anak bangsa.
Secara Faktual sering kita mendengar unen-unen “WONG JOWO KARI SEPARO”, “WONG JOWO LALI JAWANE”, “WONG JOWO ILANG JAWANE” dsb. Itulah faktanya karena saat ini memang tinggal wujud fisik-luar (JOBO) nya saja Jawa. Spiritual dan budaya Jawa dikhawatirkan akan musnah apalagi budaya suku-suku kecil di Nusantara. Bagaimana tidak hilang atau bahkan musnah apabila “ROH” dari budaya itu tidak dikembalikan atau dihidupkan kembali. ROH BUDAYA adalah kepercayaan atau SPIRITUALITAS itu sendiri. Kadang saya sedih bila mendengar retorika politik sesaat saja !. Apa sebenarnya yang dimaksud akan “Jati Diri Bangsa”, “Kearifan Lokal” patut kita pertanyakan karena yang mengucapkan istilah itu tidak pernah menjelaskan secara gamblang.
Yang dialami warga penganut kepercayaan sangat-sangat paradoksal, satwa langka harimau, gajah, dll. dilindungi dengan dibuatkan undang-undang perlindungan satwa langka. Apakah tidak ironis budaya dan penganutnya yang penuh pengabdian, dedikasi, dan pengorbankan diri pada budaya nenek moyangnya, hidup di negerinya sendiri justru dimarjinalkan oleh Undang-Undang dan Peraturan yang dibuat oleh bangsanya sendiri? Apakah kita hanya bia meratapi kepercayaan Nusantara dimarjinalkan terus atau bahkan mungkin terpaksa musnah karena digantikan yang berasal dari impor ?, Telah lama saya sadari akan keadaan dan situasi ini, karena itu memasuki era reformasi saya melangkah melalui diri saya pribadi untuk mencoba membuka pintu besi yang telah ditutup dan tergembok rapat-rapat lebih dari seperempat abad. Walaupun sulit, ternyata UUD 1945 Ps. 29 ayat (2) kata kepercayaan adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kepercayaan asli Nusantara. Saya yakin sejak saat itulah bola salju akan terus bergulir kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan terus hidup di bumi Nusantara walau dengan berbagai hambatan.
Kini telah terjadi secara kolektip warga bangsa banyak yang hampir melupakan atau paling tidak terkena sindrom melunturnya rasa kepekaan akan nilai “Pengakuan (Sumpah ?) Pemuda” dan nilai kebangsaan Indonesia yang NASIONALIS PANCA SILAIS. Bahkan akhir-akhir ini ada sebuah gejala berupa sering digembor-gemborkannya istilah Nasionalis Religius, Nasionalis Agamis”. Gejala serupa sudah diawali jauh sebelumnya dan sekarang sudah menjadi kebiasaan yaitu hampir semua pihak yang mendapat kesempatan berbicara atau berpidato pada setiap forum dalam setiap pembukaan di depan audien yang nyata-nyata beragam suku, agama, dan adat istiadat “Bhinneka”, bahkan mungkin dalam sarasehan kaum “Jawa” dengan tanpa “ Ewuh Pakewuh” disampaikan oleh pembicara uluk salam “agama resmi” tertentu dan melupakan salam penutup agama resmi lainnya. Bukankah ini tanpa disadari terjadi hegemoni dan dominasi agama, serta memudarnya “TOLERANSI”, mohon maaf apakah ini bukan merupakan gejala meminggirkan Panca Sila?
Lebih memprihatinkan lagi dalam praktek budaya berkomunikasi melalui telepon, begitu mengangkat telepon, salam “agama resmi” tertentu, langsung diucapkan tanpa mengetahui yang bertelepon memiliki agama sama atau tidak. Bahkan ada , sementara bel rumahnya kalau dipencet berbunyi salam “agama resmi tertentu, meskipun begitu bila pemilik rumah keluar, sang pemilik rumah tidak meberi salam balasan sebagaimana mestinya. Apakah mereka masih ingat ajaran “Empan-papan, Tepa Salira ?” salahkah bila hal ini dikatakan dominasi ? Apakah ini merupakan Jatidiri bangsa kita? Di manakah keadiluhungan budaya kita? Negara Indonesia bukan negara agama, tetapi mengapa selalu didominasi oleh uluk salam agama?
Sejarah yang diajarkan semasa kita sekolah bahwa kebangkitan nasional dimulai dari gerakan BOEDI OETOMO dimana tokoh-tokohnya adalah kaum priyayi-intelektual Jawa, secara umum bisa disimpulkan bahwa mereka umumnya adalah orang-orang yang berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (tokohnya dr. Soetomo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangunkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, dr. Radjiman Wediodiningrat dll). Saat itu sebenarnya merupakan kebangkitan Jawa karena itu organisasinya dinamakan BOEDI OETOMO bukan menggunakan istilah asing dan bukan gerakan agama.
Selanjutnya dari gerakan Boedi Oetomo tersebut dapat membangkitkan kesadaran pemuda diseluruh Nusantara, dengan membentuk organisasi Jong Java, Jong Sunda, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Borneo, Jong Sumatraen Bond, Jong Bali dsb. dan dua unsur organisasi pemuda yang berlandaskan agama yaitu Jong Islameten Bond dan Jong Kristianten Bond. Organisasi ini mengadakan Kongres Pemuda !!! (bukan Muktamar) dimana pada tanggal 28 Oktober 1928 telah berhasil memutuskan cita-cita bersama berupa “PENGAKUAN PEMUDA - Kami Poetra-Poetri Indonesia MENGAKOE” bertanah air satoe tanah air Indonesia, - Kami Poetra-Poetri Indonesia MENGAKOE berbangsa satoe bangsa Indonesia dan - Kami Poetra-Poetri Indonesia MENJUNJUNG TINGGI bahasa kesatoean bahasa Indonesia.
Saat kongres pemuda ini diselenggarakan kira-kira penduduk suku Jawa lebih dari 60 prosen jumlah seluruh penduduk Indonesia bisa dibayangkan pengorbanan yang luar biasa sekaligus menunjukan Keluhuran Budi Pekerti Pemuda Jawa yang “Lelakunya Masih Jawa dengan landasan unen-unen Surodiro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Pemuda Jawa secara sukarela melepas klaim bahasa Jawa menjadi bahasa nasional agar golongan pemuda suku-suku yang lain tidak merasa dijajah oleh Jawa. karena itulah akhirnya semua elemen pemuda Nusantara “luruh terketuk hatinya serta bangkit dan sadar akan pentingnya kesatuan dan persatuan dalam wadah negara kesatuan Indonesia. (catatan rasanya tidak tepat apabila peristiwa ini dikatakan SUMPAHPemuda karena tidak ada kata sumpah dalam ketiga butir hasil kongres pemuda dan bagaimana mungkin yang bukan muslim bersedia bersumpah).
Pada saat kemerdekaan 17 Agustus 1945 negara Indonesia diproklamasikan dengan dasar negara PANCA SILA dan bunyi teks proklamasi jelas “ Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia dst. dst....... , dapat disimpulkan bangsa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 dan mengapa sekarang bangsa kita terkotak-kotak (muslim-non muslim, Jawa-luar Jawa, pribumi-non pribumi, bias gender dll.) ?.
Sebenarnya bagi kalangan penganut Kepercayaan merasakan dan tahu secara faktual ketika tahun 1300 M-1450 benua Amerika belum ditemukan oleh Columbus, Eropah masih dalam era “THE DARK AGE”, Kerajaan besar di jasirah Arab adalah kerajaan Otoman Turki. Ketika itu superpower dunia bisa dikatakan hanya terdiri dari 3 negara yaitu dibarat India, Diutara Tiongkok, ditimur Nusantara-Majapahit. Sejak jaman Demak Bintoro menggantikan Majapahit dan sampai sekarang bangsa Nusantara tidak mempunyai lagi “KEDAULATAN SPIRITUAL”. peradaban Nusantara mengalami kemerosotan terus menerus dan terhegemoni dan terdominasi oleh spiritualitas dan kebudayaan asing. Puncak hegemoni dan dominasi spiritualitas dan kebudayaan asing terjadi pada era ordebaru dimana semua rakyat Indonesia harus beragama lima agama resmi yang kesemuanya adalah agama impor. Penganut Kepercayaan Nusantara secara nyata didiskriminasi, dielimininasi sedemikian rupa sehingga mengalami situasi “HIDUP SEGAN MATI TAK HENDAK”.
Telah terjadi kerancuan pemikiran atau mungkin keblingeran” kolektip, karena diintrodusirnya dan diajarkannya pada masyarakat utamanya disekolah-sekolah bahwa “TIDAK BERAGAMA” sama dengan “ATHEIS” berbarengan pada waktu itu sedang terjadi pemberantasan Komunis di persada “NUSANTARA”. Hampir semua kebijakan pemerintah baik berupa produk peraturan dan pendidikan beralur pikir seperti itu. Padahal bila dicermati dalam kenyataannya “BERAGAMA” tidak sama dengan “BERTUHAN”. Bukankah para terroris, penghuni lembaga pemasyarakatan, pelaku peristiwa Ambon, Poso, Sanggau-ledau, sampit dlsb. adalah orang beragama tetapi tidak ber Tuhan ?. Timbunan warisan kebobrokan dalam segala aspek kehidupan IPOLEKSOSBUD-HANKAM-HULING telah kita rasakan dan ketahui bersama. Dapat disimpulkan pengambil kebijakan dan pelaksananya ketika itu secara kolektip melupakan bahwa berketuhanan tidak harus melalui jalur “BERAGAMA” terlebih “AGAMA RESMI” yang ditetapkan pemerintah.
Amerika dan Eropah telah menjadi negara adidaya, India dan Tiongkok dalam abad ke 21 ini sudah mulai menunjukkan gejala tinggal landas dalam segala aspek kehidupannya, adalah wajar apabila sementara kalangan berharap akan realisasi janji-nubuat “SABDOPALON”. Agar lebih jelasnya saya kutipkan sedikit serat Sabdopalon ( dikutip dari buku Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita & Sabdopalon oleh Anjar Any penerbit Aneka Ilmu Semarang, 1989 ) sbb.:
KUTIPAN SERAT SABDOPALON
3. Sabdopalon matur sugal,
Yen kula mboten arsi,
Ngrasuka agama Islam,
Wit kula puniki yekti,
Ratuning dang Hyang Jawi,
Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata,
Kang Jumeneng Tanah Jawi,
Wus pinasthi sayekti kula pisahan,
TERJEMAHAN BEBAS BAHASA INDONESIA
Sabdopalon menjawab kasar, saya tidak mau masuk agama Islam sang Prabu, sebab saya ini Rajanya Dah Hyang (penguasa gaib) se tanah Jawa, saya ini mengasuh anak cucu serta para raja (pemimpin) di tanah Jawa, sudah digariskan kita harus berpisah.







4. Klawan Paduka sang Nata,
Wangsul maring sunya ruri,
Mung kula matur petungna,
Ing benjang sak pungkur mami,
Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun,
Wit ing dinten punika,
Kula gantos kang agami,
Gama Buda kula sebar tanah Jawa,
Berpisah dengan sang Prabu kembali keasal mula saya, namum sang Prabu kami mohon mencatatnya, kelak setelah 500 tahun terhitung saat ini, saya akan mengganti agama menjadi agama Buda lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa
Menurut penulis:
Agama = Hukum-aturan-undang-undang agar tidak kacau
Buda = suci = laku = kawitan bukan berarti agama buddha
Agama Buda = aturan yang suci = kedaulatan spiritualitas.







5. Sinten tan purun nganggeya,
Yekti kula rusak sami,
Sun sajekken putu kula,,
Berkasakan rupi-rupi,
Dereng lega kang ati,
Yen durung lebur atempur,
Kula damel prantandha,
Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar,
Barang siapa tidak bersedia mempergunakan, akan saya hancurkan semuanya, saya berikan untuk dihidangkan anak cucu saya berupa segala memedi lelembut, demit-setan dll., belum puas hati saya bila belum saya hancur leburkan, saya akan memberi tanda akan datangnya kata-kata saya ini, bila kelak gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
Penantian demi penantian dimulai sejak jaman Demak Bintoro sampai sekarang, kalau kita ulas sejak saat itu sudah tidak ada lagi “KEDAULATAN SPIRITUAL” dan kejayaan Nusantara, kemerosotan demi kemerosotan dalam segala aspek perikehidupan terjadi hal ini bisa kita lihat dari teks serat-serat Ronggowarsito, dan secara faktual Nusantara malahan dijajah VOC (Belanda), Inggris dan Jepang, masyarakat menjadi bodoh dan terbelakang, tidak ada kesetaraan lelaki dan perempuan bahkan perempuan harus dipingit, penantian ini oleh sementara penganut kepercayaan dianggap telah terpenuhi tahun 1978 dengan diakomodasinya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam GBHN-TAP MPR RI IV/1973 tanggal 22 Maret 1973 yang kemudian dikukuhkan kembali dengan GBHN-TAP IV/MPR/1978 tanggal 11 Maret 1978.
Musnahnya kerajaan Majapahit yang ditandai dengan candra sengkala “SIRNA ILANG KERTANING BUMI” tahun 1400 S atau 1478 M bila ditambah dengan 500 tahun berarti 1978. Entah karena kebetulan atau mungkin seting pemerintah ketika itu MPR RI memutuskan Kepercayaan dimasukkan dalam GBHN, sejak itu dianggap awal dimulainya secara resmi dan sah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat hidup dibumi Nusantara, berbarengan pada saat itu dibentuk sebuah organisasi HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan) dengan dipimpin oleh Mayjen (purn) H. Zahid Husein. Perjuangan Mr. Wongsonegara selanjutnya seolah-olah diteruskan oleh HPK yang mempunyai misi “mengembalikan penganut kepercayaan kembali ke agamanya masing-masing”. Oleh sebagian kelompok warga penghayat kepercayaan tahun itu dianggap tepat 500 tahun terpenuhinya Janji-nubuat Sabdopalon.
Padahal kalau kita sedikit kritis menurut saya 500 tahun itu adalah terhitung sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945 dengan dasar negara Panca Sila, jadi bilamana kita menghitung 1945 dikurangi 500 berarti tahun 1445 ya itulah tahun kira-kira kerajaan Demak Bintoro berdiri ( dalam sejarah tertulis berdirinya keraton Demak Bintoro sekitar tahun 1450). Sejak Kerajaan demak Bintoro, Raja Jawa semuanya laki-laki dengan sebutan “SULTAN” ataupun “SUNAN” bergelar “Kalifatullah Sayidin Panatagama ditambah Senopati Ing Alogo” jelas dasar kerajaan-kerajaan Jawa adalah agama Islam. Baru terhitung sejak Indonesia merdeka “dasar negara adalah Panca Sila” bukan agama Islam lagi. Jadi janji-nubuat sabdopalon telah terpenuhi, sedangkan arti agama juga berarti aturan, undang-undang bahkan hukum itu sendiri. Di dalam alam kemerdekaan setiap Warga negara sama dihadapan hukum, peraturan UU dibuat berdasarkan Panca Sila dan UUD 1945, setiap warganegara dihukum karena perilakunya melanggar hukum, sedang hukum bukan didasarkan pada syariat maupun kitab Agama !.
Adalah jamak bangsa yang tertindas yang tidak mempunyai kedaulatan spiritual, secara diam-diam dan tidak terorganisir berjuang melalui jalur laku spiritual yang diyakininya baik secara pribadi maupun berkelompok, baru menjelang kemerdekaan mulai disadari perlunya organisasi modern sehingga sejak itu seolah-olah baru muncul aliran-aliran yang disebut kebatinan. Selanjutnya saya berharap kepada para sesepuh-pinisepuh dan para warga Penganut Kepercayaan yang mempercayai akan mitos Janji-Nubuat Sabdopalon untuk memahaminya.
Di dalam alam kemerdekaan dimana negara Indonesia berdasarkan Panca Sila terlebih dalam era reformasi-demokratisasi, marilah kita renungkan bersama mulai sejak jaman “Demak Bintoro sampai keadaan sekarang apa yang terjadi !. Kita tidak pernah lagi mempunyai “KEDAULATAN SPIRITUAL”, rasanya “TIDAK ADA LAGI RAJA PUTRI” paling tidak di “Jawa”, kalau kita ingat “KARTINI” mengapa sampai terjadi wanita harus dipingit ?, padahal hanya orang Jawa yang punya anak perempuan yang berkewajiban menikahkan putrinya (mantu). Dalam era reformasi Ibu Megawati menjadi Presiden bukan karena dipilih melainkan dikukuhkan sebab keadaan “DARURAT”, sesama suku bangsa sendiri kalau berbeda agama rasanya tidak mungkin menikah ‼, Kepercayaan asli justru menghadapi barrier dan restriksi-restriksi ‼ Apakah ini tidak ironis aneh tapi nyata !?
Sebuah fenomena yang menurut saya cukup memprihatinkan yaitu penggunaan Salam pembuka seperti “Assalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera, Oom Swasti astu, Namo budhaya” dan yang lebih janggal lagi salam penutupnya hanya satu golongan agama. Pada audien yang majemuk rasanya kurang tepat karena salam tersebut merupakan simbol golongan agama dan negara kita bukan negara yang berdasarkan agama melainkan berdasarkan Panca Sila. Pernah ada pejabat tinggi Indonesia yang kalau berpidato di depan masyarakat banyak, selalu memakai salam pembuka dari lima agama resmi, tetapi anehnya jika sudah selesai berpidato beliau hanya menutup dengan salam penutup dari salah satu golongan agama saja. Apakah Warga Penganut Kepercayaan juga merasakan keprihatinan sebagaimana yang saya rasakan ?. Bayangkan saudara-saudara !, Bagaimana perasaan warga bangsa golongan agama dan kepercayaan lain yang salamnya tidak disebut atau disebut tidak lengkap ? Apakah mereka bukan bagian dari rakyat Indonesia karena beragama beda atau hanya berketuhanan menurut adat nenek moyangnya ?.
Overdosis uluk salam secara nyata mengesampingkan pentingnya nilai-nilai modern seperti nilai produktivitas, efektivitas, efisiensi dalam berbicara bahkan terkesan atau secara kasat mata negara Indonesia yang berdasarkan Panca Sila ini telah secara perlahan dan pasti bergeser menjadi seolah-olah negara agama atau multi agama. Bila keadaan ini berlanjut, bagaimana mungkin persatuan dan kesatuan serta dasar negara Panca Sila dapat secara konsisiten di pertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?. Pemerintah dalam hal ini mantan presiden Almarhum Ir. Soekarno, telah mengantisipasi secara dini, oleh karena itu pada tanggal 01 September 1945 telah mengeluarkan maklumat presiden tentang salam “MERDEKA” sebagai salam nasional. Agar jelasnya saya akan paparkan betapa INDAHNYA salam ini.
Pada Cindy Adams, seorang wartawati Amerika, penulis buku “ Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ”, Bung Karno menerangkan nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam salam itu dengan berkata:
Sebagaimana Nabi Besar Muhammad Sallallahu’alaihi Wasallam telah MENEMUKAN ucapan Salam untuk mempersatukan umatnya, maka turun pulalah suatu ILHAM dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memekikkan suatu Salam kebangsaan bagi bangsa Indonesia”.
Pada tanggal satu September 1945 aku menetapkan supaya setiap warga negara Republik Indonesia memberi salam kepada yang lain dengan mengangkat tangan, kelima jari terbuka lebar – yang maksudnya lima sila – dan meneriakkan “ MERDEKA”.
Tak henti-hentinya Bung Karno mensosialisaikan dan menggembleng serta menyadarkan bangsanya seperti dalam pidato di Surabaya, tanggal 24 September 1955 Bung Karno berkata dengan berapi-api untuk mengingatkan rakyat Indonesia agar selalu menggelorakan pekik pengikat bangsa :
Sebagai warganegara Republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “MERDEKA”. Dan sebagai warganegara merdeka, saya tadi memekikkan pekik “Merdeka” bersama-sama dengan kamu. Kamu yang beragama Syiwa-Buddha, Hindhu-Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “Sekali merdeka tetap merdeka”.
“Pekik Merdeka, Saudara-saudara, adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme – dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional yang belum selesai, jangan lupa pada pekik merdeka ! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “MERDEKA” !!”
“Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, Warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan pekik “MERDEKA”! Jangankan di Sorga, didalam nerakapun!” (kumpulan pidato Bung Karno menggali Panca Sila, Wawan Tunggul Alam, SH, Gramedia 2001 hal 35-38).
Hebatnya salam nasional warisan Bung Karno ternyata mampu menembus sekat-batas wilayah dan adat istiadat serta kebangsaan. Di era 1950 dan 1960-an tatkala perang dingin sedang memuncak antara blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dengan Blok Timur yang dimotori oleh Uni Soviet, Banyak aktifis politik dan seniman dunia ketiga di Asia , Afrika, dan Amerika Latin terinspirasi luar biasa oleh salam tersebut. Adalah Khair Ahmad Khair, seorang penyair top dari Sudan yang selalu membuka dan menutup pidatonya dari mimbar pengarang Asia Afrika, dengan pekik “Merdeka” sambil mengacungkan tinju kanannya ke udara. Ia yakin salam itu maknanya luar biasa sehingga dengan penuh keyakinan ia pergunakan di ajang pertemuan pengarang Asia Afrika. (100 Tahun Bung Karno, Hasta Mitra 2001 hal 207). Orang asing saja dengan penuh kerelaan, kesadaran dan percaya diri mau menggunakan salam ini, pastilah salam ini bukan sembarang salam, sehingga pantaslah kalau kita pergunakan untuk merajut persatuan dan kesatuan.
Mengapa salam “MERDEKA” dapat menjadi begitu bernilai dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini ?. Apa arti dan filosofinya ?. Sangat disesalkan Kata “MERDEKA” selama ini selalu dikatakan oleh para pakar berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘MAHARDIKA’, dengan pendapat ini secara tidak langsung berakibat mendelegitimasi salam ini, bahkan ada seorang pemimpin bangsa mengatakan “BENGAK-BENGOK KAYA DURUNG MERDEKA” yang akibat selanjutnya muncul keengganan mempergunakannya. Akan tetapi beberapa orang bijak sesepuh pini-sepuh JAWA membisiki saya bahwa kata “MERDEKA” berasal dari bahasa jawa “MARDIKA” sedangkan maknanya mesti dicari dengan cara keratabasa atau jarwadosok yaitu :



MARDI
EKA
IKA
berarti tempat, sarana atau “Jalan” (yang bersifat abstrak tidak bisa diraba), sedangkan Margi adalah Jalan tetapi konkrit berwujud bisa diraba.
Berarti Satu, Tunggal, esa dimaknai sebagai Hyang Tunggal atau Yang Esa”
berarti Kae (itu) atau mbenjang (Kelak) atau Paran dalam konteks falsafah Jawa dimaknai “Sangkan Paraning Dumadi”.
MARDI + EKA à MARDIKA artinya jalan atau sarana menuju Tuhan Yang Maha Esa,
MARDI + IKA à MARDIKA artinya jalan untuk mbenjang bali jalan menuju paraning dumadi ya itulah jalan menuju “SANGKAN PARANANING DUMADI
Indah sekali bukan ? bahwa MERDEKA=MATI menuju “BALI MENYANG SANGKAN PARANING DUMADI”. Jadi kata “MARDIKA” artinya sangat dalam yaitu “Jalan menuju kepada Sang Hyang Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa” atau “jalan menuju bali menyang sangkan paraning dumadi”.
Setiap kali memekikkan salam ‘Merdeka’ diharapkan manusia ingat atau “Eling” pada “Gusti” atau Tuhan Yang Maha Esa dan ‘Eling” pada akhirnya pasti akan meninggal dunia atau “merdeka abadi” atau “Bali Menyang Sangkan Paraning Dumadi”, Lima jari yang terbentang juga melambangkan Panca Sila sekaligus filosofi ‘ELING’ telah sampai dimana tahapan proses kehidupan manusia yang memekikan “MERDEKA” karena sepanjang hidup manusia, dari lahir sampai mati secara normal melalui lima tahapan perjuangan “MERDEKA”. Masing-masing tahap “MERDEKA” itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
- MERDEKA Tahap I bayi keluar dari Goa Garba atau kandungan-perut ibu. Bayi yang dikandung seorang ibu tidak selamanya ingin tinggal dalam perut, selama sembilan bulan sepuluh hari ia telah tumbuh dan berkembang sehingga ketika tiba saatnya untuk lahir, bayi tersebut meronta dan berusaha memapankan posisinya agar dapat keluar dengan lancar. Ketika bayi itu dapat keluar dengan selamat dan menghirup napas menangislah keras-keras, lahirlah seorang manusia baru. Ia telah “MERDEKA”, dari kehidupan yang sangat terbatas di dalam perut, berubah menjadi hidup bebas di dunia arcapada yang luas.
- MERDEKA Tahap II adalah merdeka lepas dari beban orang tua. Si bayi mulai tumbuh menjadi anak-anak lalu masuk sekolah dari TK, SD, SMP, SMU mungkin sampai Universitas, masih menjadi tanggung-jawab orang tua. Bahkan ketika sudah bekerjapun sebenarnya belumlah dapat dikatakan “MERDEKA” apabila masih mendapatkan subsidi dari orang tua. Barulah ketika mampu mandiri 100% dapat dikatakan merdeka tahap II bisanya diikuti dengan menikah untuk membentuk keluarga baru.
- MERDEKA Tahap III adalah Keluarga baru mempunyai keturunan atau anak, ia akan mengentaskan satu-demi satu anaknya. Orang tua yang belum mampu menuntaskan anaknya dalam arti menikahkan semua putra-putrinya belumlah dapat dikatakan dapat dikatakan merdeka tahap III. Para Warga penganut kepercayaan bayangkan saja bila ada orang tua yang suka kawin-mawin apakah bisa merdeka tahap ini.
- MERDEKA Tahap IV adalah Setelah melihat anak-anaknya mentas semua, sebagai manusia pasti mengalami proses alamiah yaitu tua meninggalkan tugas rutin duniawi artinya berhenti dari apapun profesi yang dilakoninya atau istilahnya purna tugas duniawi “LENGSER” dan pensiun. Dalam masa ini kita membebaskan diri dari pekerjaan rutin duniawi yang membelenggu hidup selama ini. Sebagai gantinya kita mempersiapkan diri untuk kembali ke “SANGKAN PARANING DUMADI
- MERDEKA Tahap V adalah mampu kembali dengan tenang ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa atau istilah jawanya “BALI MULA-MULANIRA ATAU BALI MENYANG SANGKAN PARANING DUMADI”.
Apakah warga penganut kercayaan Nusantara masih ragu mempergunakannya ? Bagi warga penganut kepercayaan “KEJAWEN” apakah masih ngotot-berkukuh dengan salam “RAHAYU” yang khas Jawa itu ? saya pribadi dengan ini secara khusus menghimbau warga penganut kepercayaan untuk tidak perlu kita ragu mempergunakannya sebab salam ini bukan merupakan salam golongan atau partai, dan jangan khawatir kalau dianggap meniru atau berafiliasi pada partai PDI Perjuangan terlebih Partai PDI Perjuangan tidak mempunyai organisasi sayap “KEPERCAYAAN” dan yang terpenting buktinya bahwa organisasi kita bukan organisasi politik praktis, bahkan kitapun tidak menjalankan politik praktis.
Setiap ada upacara seremonial hari-hari besar nasional non agamis atau acara-acara resmi yang bukan acara ritual agamis timbul keheranan dalam sanubari saya. Keheranan saya adalah pertama melihat susunan tata acara dimana ketika kecil saya terdidik disekolah SR dalam setiap acara seremonial itu mesti ada “MENGHENINGKAN CIPTA” yang dipimpin oleh Inspektur Upacara. Seingat saya susunan acara mulai ada perubahan ketika saya SMP dimana mulai diintrodusir acara “BERDOA” dan sekarang ini dalam era reformasi menjadi berubah tidak jelas karena ada yang menyelenggarakan upacara dengan acara “MENGHENINGKAN CIPTA” dan “BERDOA”, dan ada yang hanya “BERDOA SAJA”.
Yang mengherankan bagi saya adalah sesama Instansi pemerintahan koq bisa berbeda susunan tata acara upacara seremonial. Sepanjang pengamatan saya hanya TNI saja apabila menyelenggarakan upacara seremonial yang tetap konsisten dengan “tata acaranya” terutama “MENGHENINGKAN CIPTA”.
Sebagai konsekwensi kebijakan pemerintah ketika itu yang mengharuskan Rakyat Indonesia harus memeluk salah saru “agama resmi” yang diakui pemerintah otomatis acara berdoa pasti diintrodusir dalam setiap acara seremonial tetapi kalau kita rasakan juga ada keanehan yaitu pada petugas yang memimpin doa, kalau petugasnya ber “toleransi” terhadap peserta upacara yang menganut agama lain pasti sebelum berdoa akan diawali dengan “marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing, saya akan membawakan doa dalam agama Islam” sedangkan kalau petugasnya mungkin lupa atau sudah fanatis terhadap agama yang dipeluknya langsung saja berdoa menurut agama Islam. Yang lebih aneh tapi nyata bila penyelenggaraan upacara seremonial bertata acara Mengheningkan Cipta dan acara Berdoa”, hampir selalu yang memimpin acara “Mengheningkan Cipta” dengan lantang berkata (kira-kira) “marilah kita mengheningkan cipta dengan memanjatkan doa menurut kepercayaan kita masing-masing”, pada hal sudah tahu bahwa susunan acara dibawahnya “Berdoa” aneh bukan ?. Bukankah proses mengheningkan cipta dimulai dari menunduk diam terus “Cipta Kita Diheningkan” atau istilah jawanya “MENENG,HENING” kalau berdoa kan cipta tidak akan hening.
Saya hendak menyampaikan sebuah kejadian lucu yang monumental dan diulas dalam pidato Bung Karno pada kuliah umum tentang Panca Sila didepan para peserta seminar Panca Sila dan para mahasiswa tanggal 21 pebruari 1959 di Yogyakarta. Saya kutipkan pidato Bung Karno :
Belum pernah saya begitu gembira, gembira karena setuju seratus persen. Setuju seratus persen apa ?. Dengan apa yang dikemukakan oleh ananda mahasiswa itu tadi. Ya saudara-saudara tadi tertawa terbahak-bahak dan sekarangpun juga. Tetapi ananda mahasiswi yang namanya saya tidak tahu. Kepada mahasiswa-mahasiswi pemuda-pemuda mahasiswa saya beritahukan bahwa namanya mahasiswi itu “LINA”. Ananda Lina berkata : “MARILAH KITA MENGENANG ARWAH-ARWAH KITA”.
Nah itu tepat betul !. Ananda Lina tidak berkata, marilah kita mengenang arwah-arwah pahlawan-pahlawan kita yang telah mendahului kita kealam baka. Tidak ! ananda Lina berkata : “MARILAH KITA MENGENANG ARWAH-ARWAH KITA”, dan sebagai tadi saya katakan itu tepat sekali. Artinya saudara harus mengenangkan arwahmu, Pak Karno harus mengenang arwahnya. … dst. Oleh karena itu maka ucapan saudara LINA itu tepat sekali dan koq kebenaran Gajah Mada yang punya mahasiswa begitu itu.
MENGHENINGKAN CIPTA” adalah bukti konkrit (situs ?) atau warisan kepercayaan nenek moyang bangsa Nusantara khususnya “JAWA”. Rasanya “mengheningkan cipta” bukan berasal dari agama-agama impor, kata itu merupakan kunci pembuka lelaku spiritual Jawa yang dikenal umum sebagai “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha EsaNING-NENG. NINGà heningkan, beningkan di cipta, Neng àHeneng manunggalnya cipta dan rasa. Untuk itu saya rasa tidak ada diantara saudara-saudara warga penganut kepercayaan yang berkeberatan menggunakan “mengheningkan Cipta” saja sebagai salah satu mata acara upacara seremonial golongan warga pengangut Kepercayaan.
Jepang adalah bangsa yang telah sedemikian maju dan mampu bersaing dengan negara-negara sekuler super power. Dalam hal-hal spiritualitas dan budaya tetap saja Jepang adalah Jepang misalnya pakaian nasionalnya “BERUPA KIMONO” tetap dipertahankan. Bangsa Jepang menyadari sepenuhnya busana merupakan salah satu identitas bangsanya, rasanya bagi warga penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak ada yang keberatan untuk mempergunakan pakaian nasional sebagai pakaian resmi. Bukankah ada unen-unen jawa “Ajining Diri Saka Lati, Ajining Raga Saka Busana” ?. Hendaknya jangan sampai salah kaprah menggunakan busana yang tidak praktis, kalau mempergunakan pakaian adat silahkan saja asal tidak memaksakan pada yang lainnya.
Dalam rangka ambisi politik menjadi raja “GUNG BINATARA” pengganti kerajaan Majapahit sekaligus tidak mau kalah pamor dari Raja Banten Pangeran Ratu 1596-1651 yang telah berhaji dengan diberi gelar oleh Raja Mekah “ABULMAFAKHIR MAHMUD ABDULKADIR” maka Sultan Agung Hanyakrakusuma raja mataram Islam Jawa terbesar mengambil serangkaian kebijakan dan langkah-langkah yaitu :
- Melakukan perubahan besar-besaran terhadap penanggalan Jawa yang semula kalender Jawa-Saka mempergunakan sistim SONAR diganti menjadi sistim “LUNAR dimulai terhitung sejak 1 Sura tahun Alip 1555 hari Jum’at Legi atau 8 Juli 1633 Masehi disatukan dengan penganggalan Hijriah Arab-Jawa 1 Muharam 1043 H. Selanjutnya 1 Suro disamakan dengan 1 muharam itulah inti penganggalan Sultan Agungan yang oleh sementara pihak dianggap kalender “JAWA. Sejak saat itu hanya tahun sakanya yang dipergunakan, sedang sistem kalender menggunakan sistim kalender Hijriah. Implikasi dari perubahan itu sangat-sangat luas, mengubah konstelasi perilaku masyarakat petani dan nelayan Jawa serta “LELAKU” kejawen. Tahun baru Jawa 01 Suro menjadi hilang maknanya bahkan sekarang yang diperingati oleh kaum Kejawen adalah 01 Muharam bukan 01 Suro sebagaimana aslinya.
- Sultan Agung Hanyakrakusuma mengirim utusan ke Mekah pada tahun 1639-1640 yang ditugaskan untuk menghajikan dirinya dan meminta pengukuhan dari Raja Mekah dan diberilah gelar “SULTAN ABDULLAH MUHAMMAD MAULANA MATARANI”.
Tampaknya keturunan Raja Mataram Islam menyadari bahwa mayoritas rakyat Jawa khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah kaum Tani serta Nelayan. Indikator saat menanam bagi petani, dan saat tidak melaut karena ombak besar bagi nelayan sangat diperlukan agar mereka dapat mengeliminasi masalah. karena itu Sunan Pakubuwana VII tepatnya tanggal 22 Juni 1856 menetapkan melalui semacam dekrit terhitung saat itu ditetapkan kalender pranata mangsa diawali tanggal 01 mangsa kasa.
Dengan kalender pranata mangsa kaum petani dapat merencanakan kapan mulai tanam dan menuai hasil dan kaum nelayan dapat memprediksi kapan musim panen ikan dan kapan musim paceklik. Sebenarnya tiap-tiap suku bangsa Nusantara mempunyai “KEARIFAN LOKAL” salah satunya adalah perhitungan sistim kalender dengan sistim yang cocok dengan karakter perilaku alam serta pola kehidupan “FLORA maupun FAUNA” didaerah masing-masing dengan didasarkan sistim “SONAR”. Contohnya kalau di Jawa Barat dan Banten kalender “Kala Sunda”, di Jawa tengah dan Jawa Timur kalender “pranata Mangsa”, di Bali kalender “Kerta Mangsa” atau mungkin “WARIGA”, di Sulawesi kalender “Polantara” di Batak kalender “Porhalaan” dan diperkirakan pada setiap daerah mempunyai kalender yang sangat mirip bahkan mungkin sama tetapi beristilah beda.
Masyarakat Nusantara adalah bangsa besar, setiap bangsa yang besar pasti mempunyai sistem kalender dan tahun baru sendiri. Dengan penuh keraguan karena saya sadar hari kerja tenaga kerja Indonesia sangat minim, banyak libur nasional keagamaan maupun libur nasional lainnya. Saya tidak menyarankan libur nasional bagi Tahun baru Nusantara !‼, Saya hanya menginginkan “Penanda Integritas dan Kehormatan Bangsa Nusantara secara Khusus bagi warga penganut kepercayaan Nusantara”. Alangkah indahnya bila mulai tanggal 22 Juni dapat dijadikan hari raya tahun baru Penganut Kepercayaan Nusantara, atau setidaknya Penganut Kepercayaan Jawa. Bukankah sampurnaning lelaku Jawa adalah “JANGKEP” bukan “GANJIL” contohnya siang-malam, laki-perempuan karena itu sehari 24 jam, pergantian hari tepat jam 24.00. Dengan sistim kalender “SONAR” tahun baru Jawa kalau mungkin Nusantara akan tetap 01 Suro=22 Juni=awal pranata mangsa.
REKOMENDASI-REKOMENDASI TERBATAS
Peran Pemerintah pada semua tingkatan sangat sentral, dalam kesempatan ini saya merekomendasikan serangkaian tindakan dan langkah strategis bersifat terbatas yang diperlukan untuk mendukung percepatan pemahaman para pihak akan “eksistensi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan hal-hal yang diperlukan warga penganut Kepercayaan sbb.:
1. Diperlukan semacam Peraturan Pemerintah untuk mencabut SK. menteri dan peraturan turunannya yang bertentangan dengan dasar negara Panca Sila, UUD 1945, UU. No. 23 tahun 2006 dan PP. No. 37 tahun 2007, Selanjutnya Pemerintah bersama DPR RI segera merevisi UU. Perkawinan dan UU. Lainnya serta peraturan-peraturan yang mendiskriminasi warga penganut kepercayaan Nusantara di Indonesia,
2. Diperlukan Instruksi Pemerintah berikut sanksi-sanksi yang mengatur aparat dan birokrasi pemerintah pada semua tingkatan agar segera menghentikan diskriminasi dan hambatan dalam bentuk apapun terhadap eksistensi dan hak hidup warga penganut kepercayaan Nusantara di Indonesia. Bukankah pemerintah harus melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. “BUKAN MELINDUNGI DAN MEMAJUKAN AGAMA RESMI”.
Negara dan pemerintah tidak cukup memberikan status kesetaraan Kepercayaan Nusantara dengan “agama resmi”. Yang diperlukan warga kepercayaan Nusantara adalah “Perlindungan dan Keberpihakan” dari Negara dan Pemerintah pada semua tingkatan. Disebabkab karena itu adalah wajar bila Pemerintah bersama DPR RI segera membuat UU. Perlindungan Budaya dan Kepercayaan Nusantara.
3. Untuk melindungi warga penganut kepercayaan, pemerintah pada semua tingkatan wajib menetapkan dan mengatur membina dan memberikan layanan pada “organisasi kepercayaan” antara lain sbb :
- Menentukan Kriteria dan tolok ukur yang jelas, transparan dan mengumumkan syarat sebuah “organisasi” dikategorikan sebagai “organisasi kepercayaan”. Kriteria dan tolok ukur “organisasi Kepercayaan” harus tampak pada AD/ART organisasi kepercayaan, perkumpulan ataupun paguyuban yang jelas-jelas mencerminkan sebuah “organisasi Kepercayaan” dan pembina, pengurus, sesepuh-pinisepuh, para tokoh serta anggotanya bukan warga penganut “agama resmi” yang dibuktikan dari bukti diri atau KTP nya.
- Aparat birokrasi pemerintah pada semua tingkatan yang memberi layanan pada “organisasi penganut kepercayaan” agar segera diisi oleh orang yang benar-benar berlatar-belakang Penganut Kepercayaan (Jaba-Jero), bukan warga penganut “agama resmi” yang dibuktikan dari bukti diri atau KTP nya. Saat ini aparat birokrasi pemerintah pada semua tingkatan yang menanganiwarga penganut kepercayaanmasih dari warga penganut “agama resmi.
4. Diharapkan Pemerintah segera membuat buku yang judulnya terserah, substansinya adalah Eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara Di Indonesia” dengan materi utama diambil dari Pidato Lahirnya Panca Sila 01 Juni 1945 dan Buku Filsafat Panca Sila menurut Bung Karno, dan didalam buku itu dilampirkan pula UU. NO 23 tahun 2006 dan PP. NO 37 tahun 2007.
Buku itu dibuat dengan tujuan utama :
- Untuk dasar sarana sosialisasi dan penyadaran serta pemahaman semua pihak yang belum mengetahui ataupun belum sepaham, “teristimewa pihak eksternal” yang selama ini mempunyai peran atau potensial berperan menakuti-takuti, menista, mengucilkan, mencurigai, menghambat atau bahkan mematikan “Kepercayaan Nusantara”.
- Agar buku ini mempunyai “Kekuatan Atau Pengaruh, harus diterbitkan oleh pemerintah, dan mesti diberi “Kata Sambutan” dari semua pihak yang terkait yaitu : - dari Lembaga tinggi negara (MPR, DPR, MK, MA), - Pemerintah adalah sekurang-kurangnya kementerian atau setingkat menteri (BUDPAR, DIKNAS, DEPDAGRI, DEPAG, KEJAGUNG, PANGLIMA TNI, KAPOLRI), - Lembaga agama (MUI, PGI, KWI, WALUBI, PARISADA HINDU DHARMA, MATAKIN), - Para intelektual ( Forum Rektor atau Rektor ataupun mantan Rektor perguruan tinggi, tokoh intelektual), - tokoh masyarakat, - Ketua umum atau mantan ketua umum partai yang bersedia berpartisipasi.
- Pendistribusian secara cuma-cuma kepada para pihak teristimewa ditujukan “pihak esternal yang terkait baru setelah itu untuk organisasi penganut kepercayaan, sesepuh-pinisepuh dan “Padepokan atau sanggar” perpustakaan warga penganut kepercayaan.
- Apabila Keadaan anggaran pemerintah memungkinkan, pemerintah bekerjasama dengan Perguruan Tinggi menyelenggarakan sosialisasi, sarasehan, seminar atau sejenisnya dengan peserta dari para pihak diluar warga penganut kepercayaan di daerah-daerah sehingga dapat mempercepat terciptanya suasana kesepahaman.
5. Membuat atau membentuk “TIM KAJIAN atau TIM PERUMUS” sebagai langkah awal pembentukan sebuah “Organisasi atau Badan baru” yang menjadi “wadah berbagai macam organisasi kepercayaan di Indonesia” dari Sabang sampai Merauke sekaligus sebagai wadah warga penganut kepercayaan Nusantara se Indonesia seperti telah saya paparkan dalam makalah ini. “TIM KAJIAN atau TIM PERUMUS” ini personilnya benar-benar warga penganut kepercayaan (Jaba-Jero) bukan warga pemeluk agama resmi” yang dibuktikan dari bukti diri atau KTP nya. Pribadi anggota TIM harus mempunyai kompetensi, dedikasi serta integritas, independen, non politik, obyektip serta bebas dari kepentingan pribadi maupun kelompok-paguron dan sedapat-dapatnya merupakan representasi Elemen Penganut kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara. Marilah kita bekerja dan mulai dengan babak baru, hilangkan trauma lama, songsong era baru dan lupakanlah organisasi lama. demi eksistensi Kepercayaan Tterhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara
6. Untuk menghindari kesalah-pahaman, dinilai pemurtadan, penyesatan yang berpotensi mengundang konflik dengan pemeluk “agama resmi”, siapapun warga penganut kepercayaan dalam berbicara sehari-hari, sarasehan, pidato, membuat buku pedoman, melakukan upacara seremonial ataupun ritual jangan sekali-kali mempergunakan atribut, simbol-simbol dan istilah “agama resmi”. Hal itu mengundang resiko dan kecurigaan dari pemeluk “agama resmi”.
7. Sebagai sesama warga bangsa, hendaknya seluruh warga penganut Kepercayaan mulai berbenah diri dan menjadi pelopor hal yang paling sederhana yaitu mengedepankan penggunaan idiom-idiom komunikasi kebangsaan yang bersifat lintas suku, agama, ras maupun golongan.
Aplikasikan, gunakanlah ‼, dalam setiap pertemuan antar pribadi maupun pada forum publik salam nasional : MERDEKA !. Salam yang efisien dan efektip bermakna filosofi sangat dalam sebagaimana telah saya paparkan dalam makalah ini.
8. Walaupun masih banyak hambatan dan kendala terutama belum ada kesetaraan dan jaminan perlindungan dari pemerintah, hendaknya warga penganut kepercayaan jangan berstandar ganda “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, berani mendobrak kebekuan, mengubah tradisi kebiasaan, berprinsip, berkepribadian dan berintegritras. Sangat riskan mempertahankan “Standar Ganda”, karena bisa dianggap “Menyebarkan Ajaran Sesat”, pemurtadan dsb. Warga penganut kepercayaan perlu segera mengubah KTP nya sesuai dengan peraturan yang berlaku secara bertahap sbb:
- penganut kepercayaan yang sudah mendapatkan fasilitas KTP seumur hidup dan terpaksa mencantumkan “agama resmi” , segeralah memberi “TELADAN” dengan mengganti KTPnya sesuai Jatidirinya.
- Sesepuh-pinisepuh, Pengurus dan Tokoh pengurus “organisasi kepercayaan” pada semua tingkatan harus warga penganut kepercayaan “Jaba-Jero” bukan warga penganut “agama resmi” yang dibuktikan dari bukti diri atau KTP nya.
- Bagi “warga penganut kepercayaan yang akan purna tugas” apapun profesinya, apabila selama ini terpaksa mencantumkan “agama resmi” di KTP yang sekarang dimiliki, apabila tidak keberatan segeralah mengganti KTPnya sesuai Jatidirinya.
- Bagi warga penganut kepercayaan yang bekerja di sektor swasta jangan ragu untuk segera mengganti bukti dirinya KTP sama dengan Jatidirinya.
- Bagi yang akan menikah secara aturan warga kepercayaan harus menunjukan KTP “berkepercayaan” sekurang-kurangnya telah bermasa laku 6 bulan. Perlu saya informasikan saya menemukan pernikahan pasangan yang beda agama dinikahkan dengan cara warga penganut kepercayaan.
9. Warga penganut Kepercayaan tidak perlu lagi ragu untuk mengaplikasikan dan menggunakan secara luas “Mengheningkan Cipta” sebagai “sarana seremonial maupun ritual asli” Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara, bilamana perlu lakukanlah aksi klaim bahwa “Mengheningkan Cipta” adalah asli sarana ritual mendekatkan diri warga Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara. Sepanjang pengetahuan saya “agama resmi” tidak mengajarkan tata laku ritual dengan cara “Mengheningkan Cipta”.
10. Sebagai salah satu warisan “kearifan lokal”, sistim kalender “pranata mangsa” dan sistim kalender sejenis yang ada di Nusantara perlu dilestarikan terlebih sistim kalender itu cocok dengan karakter perilaku alam serta pola kehidupan “Flora maupun Fauna” di daerah masing-masing. Mayoritas rakyat Indonesia adalah kaum Tani dan Nelayan yang memerlukan indikator kalender yang sesuai dengan bidangnya. Penganut kepercayaan Nusantara atau setidaknya Jawa memerlukan “Penanda Integritas dan Kehormatan”, maka dalam kesempatan ini saya mengusulkan pada seluruh sesepuh-pinisepuh dan Pemerintah untuk dapat menetapkan tahun baru warga penganut kepercayaan Nusantara atau setidaknya Jawa. Saya mengusulkan awal Pranata Mangsa tanggal 22 Juni sebagaimana telah ditetapkan oleh Sunan Pakuboewana VII disamakan dengan 01 Suro, sedangkan tahunnya menggunakan tahun Saka setelah dilakukan perhitungan penyesuaian. Detail pelaksanaannya diperlukan proses perhitungan yang mendalam.
11. Membuat semacam “Padepokan atau sanggar” pada setidak-tidaknya di setiap daerah tingkat II potensi dan apabila memungkinkan sampai tingkat kecamatan. Padepokan dibiayai dan dikelola oleh pemerintah. Aparat birokrasi pemerintah yang diserahi mengelola harus “benar-benar berkompetensi” dan “benar-benar dari warga Penganut Kepercayaan Jaba-Jero” bukan personil yang ber KTP “agama resmi”.
Fungsi “Padepokan atau sanggar” adalah untuk memberi fasilitas sarana dan tempat menampung kegiatan “bersama” warga penganut kepercayaan dan masyarakat pecinta budaya. Ditempat inilah secara rutin bergiliran diselengarakan, Sarasehan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rapat pengurus organisasi kepercayaan, kegiatan seni-budaya, olah-raga, perpustakaan, pendidikan ketrampilan kerajinan etnik pada masyarakat, “ekstra kulikuler pelajar warga penganut kepercayaan untuk membentuk Jatidiri”, acara pernikahan, peringatan hari besar nasional dsb.
Harapan saya pada pemerintah jangan memberi harapan semu, seolah-olah memberi atau membebaskan ruang gerak warga penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara tetapi “membuat aturan dengan ukuran dan pola-prosedure seperti agama resmi”. Bila membandingkan perlakukan Negara dan Pemerintah pada semua tingkatan antara agama yang diakui oleh pemerintah sebagai “agama resmi dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara jelas sangat jauh dari kesetaraan, dan keadaan nyata Warga penganut kepercayaan tidak memiliki infrastruktur sama sekali sedangkan warga penganut “agama resmi” telah memiliki segala-galanya.
Saya kurang sependapat apabila pemerintah membuat aturan yang bersifat memaksa peserta didik dengan cara memasukkan “Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kurikulum pelajaran sekolah. Biarlah peserta didik dari Keluarga penganut kepercayaan mempelajari “agama resmi” mereka akan mengenal dan berinteraksi agar belajar bertoleransi. Warga penganut kepercayaan tidak merasa takut atau khawatir kehilangan, bila terjadi keluarganya menjadi pemeluk “agama resmi”. Nenek moyang bangsa Nusantara khususnya Jawa telah memberi teladan dan mengajarkan keluhuran dimana semua agama-agama datang ke Nusantara secara bebas dan warga Nusantara bebas pula untuk memilih. Yang diperlukan warga penganut kepercayaan adalah perlindungan dan kesetaraan perlakuan dari negara dan pemerintah pada semua tingkatan. Sebagai salah satu wujud konkrit perubahan sikap pemerintah pada semua tingkatan. diharapkan Negara dan pemerintah menyediakan “Padepokan atau sanggar” sebagai mana rekomendasi tersebut diatas. Pengalaman pemerintah memasukkan “Kurikulum pelajaran bahasa daerah Jawa” tentunya bisa dijadikan pelajaran bagi semua pihak.
Apabila pemerintah telah mempunyai program membuat buku, sebaiknya membuat buku ilmu pengetahuan “BUDI PEKERTI LUHUR BANGSA NUSANTARA” yang didasarkan pada Pidato kelahiran Panca Sila 01 Juni 1945, UUD 1945 dan tata laku warisan leluhur nenek moyang bangsa Nusantara seperti tata-laku berketuhanan nusantara yang universal dalam arti bukan dari paguron ataupun bukan bersumber dari “agama resmi”, tata-laku terhadap alam, tata adat kelahiran, perkawinan dan kematian dsb. Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Nusantara belum mendapatkan status legal setara denganagama resmi, proses dan perjuangan masih sangat panjang.
Sebelum saya mengakhiri makalah ini saya tuliskan “DAWUH” sejati khusus untuk kegiatan sarasehan ini :
Kinayangapa dadine amung sira,
Mapan kebeneran raimu ana,
Kijang, menjangan, terwelu padha mlaku,
Saya suwe saya ndadi,
Pangestune para sesepuh padha waluya,
Angesti sak jerone urip tan kenyana-nyana,
Wis mesthi dadine.
Demikianlah Rekomendasi terbatas ini dan saya masih berharap semoga Pemerintah dan DPR RI pada masa mendatang melakukan koreksi total terhadap semua Undang-undang yang mendiskriminasi Warga Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
S e k i a n.
B A H A N B A C A A N :
1. --------, 100 Tahun Bung Karno : 6 Juni 1901 – 2001, Sebuah Liber Amicorum, Hasta Mitra, Jakarta Juni 2001.
2. --------, Dialog dengan Sejarah; Soekarno seratus tahun, Kompas, Jakarta Juni 2001.
3. --------, Panitia Peringatan 100 Th Bung Karno, Bung Karno : Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku, Grasindo ,Jakarta 2001.
4. Adams, Cindy, Bung Karno : Penyambung Lidah rakyat Indonesia, Ketut Masagung Corporation, Jakarta 2000.
5. Alrasid, Harun, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Universitas Indonesia edisi revisi cetakan I 2004.
6. Any, Andjar, Rahasia Ramalan : Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon, Aneka Ilmu, Semarang 1989.
7. Djanudji, Penanggalan Jawa 120 Tahun : Kurup ASOPON 24 Maret 1936-25 Agustus 2052, Dahara Prize, Semarang, Cetakan I 2006.
8. D. Legge, John, Soekarno : Sebuah Biografi Politik, Pustaka Sinar harapan, Jakarta 1996.
9. Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala, Tangerang, Cetakan I Desember 2003.
10. Endraswara, Suwardi, Tradisi Lisan Jawa: Warisan Abadi Budaya Leluhur, Narasi Yogyakarta, Cetakan I April 2005.
11. Giebels, Lambert, Soekarno : Biografi 1901 –1950, Grasindo, Jakarta 2001.
12. Greertz, Clifford, Pengetahuan Lokal : Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif, Rumah penerbitan, Yogyakarta 2003.
13. Hamini, Jazim, Abadi, M. Husnu, Intervensi Negara Terhadap Agama: Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, Cetakan I Oktober 2001.
14. Hidayat, Komaruddin, Agama Masa Depan : Prespektif Filsafat Perennial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003.
15. Imam S, Suwarno, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik : Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.
16. Kartapradja, Kamil, Prof, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan, CV. Haji Masagung, Jakarta 1990.
17. Kholiludin, Tedi, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, Rasail Media Group, Semarang, Cetakan I Mei 2009.
18. Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1-3 , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1996.
19. Maliki, Zainuddin, Agama Priyayi: Makna Agama Ditangan Elite Penguasa, Pustaka Marwa Yogyakarta, Cetakan I Januari 2004.
20. Moerdiono, Menteri/Sekretaris Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995.
21. Nitihardjo, Soeprapto, Analisa dan Tafsir Filsafat Hanacaraka : Analoginya Relevan Dengan Aspek-Aspek Lima Butir-Butir Sila dalam Pancasila, PT. Tiara Wacana Yogyakarta, Cetakan Pertama Juni 2001.
22. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Oxford University press 1973.
23. Nugroho, Yusro Edy, Serat Wedhatama, Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca, Mimbar & Yayasan Adikarya Ikapi serta The Ford Foundation, Cetakan I 2001.
24. Raffles, Stamford, Thomas, The History of Java, Narasi, Yogyakarta Cetakan I 2008,
25. Rahardjo, Supratikno, Peradaban Jawa: dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, Komunitas Bambu, Cetakan I Nopember 2002.
26. Rahardjo, Pamoe & Gusmian, Islah, Bung Karno dan Panca Sila Menuju Revolusi Nasional, Galang press, Yogyakarta Cetakan I Juni 2002
27. Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, PT. Mandiriabadi, Jakarta Cetakan I April 2005.
28. Russell, Bertrand, Bertuhan Tanpa Agama, Resist book, Jakarta Cetakan I Mei 2008.
29. Saranam, Sankara, God Without Religion: Mempertanyakan Kebenaran Yang Telah Diterima Selama Berabad-Abad, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009.
30. Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2006.
31. Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999.
32. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi jilid II, Panitya Penerbit, Jakarta Cetakan II 1965.
33. Soekarno, Filsafat Panca Sila Menurut Bung Karno, Media pressindo, Yogyakarta Cetakan I 2006.
34. Soekarno, Indonesia Menggugat : Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial Bandung, Toko Gunung Agung, Jakarta Cetakan ke II 2001.
35. Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Toko Gunung Agung, Jakarta Cetakan II 2001.
36. Sofwan, Ridin, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan : Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, CV Anela Ilmu Semarang cetakan II 2002.
37. Sudarsono, Nasrudin Anshori Ch.SH. Kearifan Lingkungan : dalam prespektif budaya Jawa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta cetakan I Mei 2008.
38. Sumardjono, Jakob, Arkeologi Budaya Indonesia : Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia, CV. Triarga Utama, Jakarta Cetakan II Mei 2007.
39. Vlekke, Bernard HM, Nusantara : Sejarah Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan I 2008.
40. Zoetmulder Pj, Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta Cetakan ke IV 2000.

No comments:

Post a Comment