Resensi buku
Sandi Sutasoma
Judul : Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis : Anand Krishna
Tebal : 312 + vi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1, 2007
”Kelak para penguasa dari Seluruh Kepulauan Nusantara akan mendatangimu. Dalam dirimu, Sutasoma, masa lalu, masa depan, dan masa mendatang menyatu. Engkaulah tujuan setiap pejalan” ( Purushada Shaanta, LIII : 3 & 4 )
Telah 62 tahun NKRI berdiri dan telah begitu panjang lika-liku perjalanan ditempuh sebagai bangsa hingga saat ini. Terutama sejak reformasi, kebhinekaan atau sering disebut Bhinneka Tunggal Ika enggan dibicarakan. Seolah sebagai bangsa kita mengalami amnesia panjang yang tak dapat kita obati. Hal ini sangat ironis karena membicarakannya saja sudah enggan apalagi mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga menjadi semboyan negara kita. Bukan mustahil tidak banyak dari kita yang mengetahui darimana sumber semboyan negara kita. Bisa dibayangkan semboyan negara yang merupakan alat pemersatu bangsa wujud bukunyapun kita tidak tahu
Buku latin pertama yang dicetak oleh PT Bali Mas
Di tengah sibuknya setiap insan negeri ini dengan urusan perut, urusan sosial yang menyita waktu hingga musibah yang datang silih berganti sehingga membuat orang jarang bertatap muka dan berinteraksi dari hati ke hati. Menganggap apa yang diyakini sendiri sebagai yang benar dan menganggap keyakinan orang atau kelompok lain salah, merupakan refleksi alam bawah sadar dari evolusi kehewanian manusia yang terangkat kembali ke permukaan. Menurut Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, inilah pentingnya pendidikan yang mendidik manusia untuk mencapai budhi dan hridaya dengan jalan setiap saat memperhalus dengan budaya yang memiliki lokal wisdom.
Ini bukan sekedar Buku, bahkan boleh dikata bukan buku. Ini adalah sebuah alat atau dalam bahasa kuno Yantra untuk membangkitkan kembali roh Mpu Tantular, dan untuk membangunkan kembali jiwanya yang ada di dalam diri kita yang sudah lama tertidur. Demikian yang telah dikatakan oleh Anand Krishna dalam kata pembuka pada buku ini. Lebih lanjut Beliau juga mengatakan bahwa buku ini adalah Mantra, spell. Yaitu mantra yang akan mengubah diri kita semua untuk selamanya. Sebagai anak bangsa siapkah kita menerima tantangan ini?
Dalam buku ini dikatakan oleh penulis bahwa Sutasoma adalah ”Surat” yang tidak terbaca oleh Gajah Mada pada saat semestinya ia membaca, ketika membacanya ia sudah tidak mampu menindaklanjuti isinya. Fisik sang Maha Patih sudah terlalu lemah untuk itu. Saat sesaat lagi beliau akan meninggalkan dunia fana, teringat olehnya dimasa jayanya. Semua orang menyanjungnya dan yang terdengar olehnya hanyalah suara Empu Prapanca. Suara Empu Tantular tidak terdengar olehnya.
Buku ini sangat menggelitik, tegas, dan cerdas mengulas kembali kitab Sutasoma dan menguraikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam kisah legendaris Sutasoma. Tidak banyak yang paham akan pesan yang tersirat dalam kisah ini bila dibaca secara langsung. Di samping menggunakan bahasa Sastra Jawa kuno, kisah Sutasoma merupakan kegelisahan Empu Tantular dalam melihat sepak terjang pemimpin di jaman itu. Dari buku ini penulis ingin menyampaikan kepada setiap anak bangsa di manapun berada bahwa pesan yang disampaikan oleh Empu Tantular sangat relevan bukan saja pada masa itu bahkan saat ini dan sepanjang masa. Di tengah pergolakan-pergolakan gerakan separatisme yang marak di Indonesia seperti RMS di Maluku, Bintang Kejora di Papua, Gerakan Aceh Merdeka dan lain-lain. Apabila hal ini tidak segera diambil langkah antisipasi maka kanker ganas akan menggerogoti tubuh kita. Karena saat ini kekuatan-kekuatan asing sudah menyusup masuk dan sedang bekerja untuk memperbudak bangsa ini lewat penjajahan di bidang budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi. Karena tentu saja dengan dikuasainya budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi maka kita kehilangan jati diri. Setelah itu mengubah peta politik menjadi sangat mudah.
Sebagai bangsa saat ini kita sedang mengalami Amnesia. Kita lupa bahwa Sriwijaya adalah dinasty pertama di dunia yang berkuasa lebih dari 8 abad. Keberhasilan Sriwijaya kita remehkan, karena merupakan kerajaan Hindu, Budha. Mereka dianggap mewakili jahiliyah. Keberhasilan Sriwijaya dan Majapahit adalah keberhasilan manusia Indonesia bukan keberhasilan Hindu atau Budha. Pemikiran para wali telah mewarnai seluruh kehidupan di kepulauan kita. Inilah pentingnya pengalaman sejarah, karena tanpa sejarah masa lalu yang panjang itu Indonesia tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Keberhasilan kita di masa kini belum menyamai keberhasilan kita di masa lalu. Dan satu-satunya jalan adalah kerja keras untuk memastikan bahwa masa kini dan masa depan kita lebih cemerlang dan gemilang.
Sistem negara kesatuan bagi kepulauan kita tidak dapat ditawar lagi kita tidak dapat ditawar lagi. Satu kesalahan kecil saja sudah cukup untuk memecah-belah bangsa ini. Kebhinnekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika adalah “Hal truth” untuk itu penggalan berikutnya mesti diperhatikan “Tan Hana Dharma Mangrwa” tidak ada dualitas dalam dharma, dalam kebajikan yang melandasi setiap karya bagi negara dan bhakti bagi ibu pertiwi. Selain itu kebijakan itu mesti menjunjung kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi manusia Indonesia bukan fotocopyan Arab, China, India atau Eropa.
Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman, atau pluralitas. Namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tidak terpikir dan tidak dilakoni. Mpu Tantular mengingatkan kita bahwa apa yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini bukanlah cerita baru. Kita sedang mengulangi cerita masa lalu., karena saat itu kita tidak cukup belajar dari pengalaman kita.
Inilah Pesan-pesan penting dari Mpu Tantular dan Mahapatih Gajah Mada yang hendak berbicara dengan setiap putra-putri Ibu Pertiwi yang disajikan oleh penulis. Bahwa pertama sebagai anak bangsa kita harus berhati-hati dengan partai-partai politik yang berkiblat pada ideologi-ideologi asing. Secara proaktif hentikan mereka untuk meracuni otak setiap anak bangsa harus segera berhenti atau dihentikan. Kedua kita harus kembali pada kearifan lokal, pada nilai-nilai budaya asal Nusantara yang bersifat universal dan masih relevan, ketiga kita semua harus menyadarkan para petinggi negara akan peran mereka sebagai pemimpin bangsa, supaya mereka tidak mengorbankan kepentingan politik jangka pendek. Kita membutuhkan negarawan, bukan sekedar pejabat. Keempat menyadarkan rakyat akan tugas serta kewajibannya terhadap negara dan bangsa, bukan terhadap ideologi asing yang sering dikaitkan dengan agama untuk mengeksploitasi mereka. Kelima Identitas negara dan bangsa harus jelas-jelas ditempatkan diatas segala macam identitas diri yang lain. Untuk mengunjungi negara dimana penduduknya beragama sama dengan kita pun kita masih membutuhkan paspor yang dikeluarkan oleh negara kita. Keenam Keseragaman tidak sesuai dengan watak manusia Indonesia, tidak sesuai dengan alam kita dan keadaan geografis kepulauan kita. Ketujuh Diatas segalanya kita harus belajar dari ”pengalaman sejarah” masa lalu.. kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kita di masa lalu. Selalu memperbaiki diri dan jangan mengulangi sesuatu yang salah, sesuatu yang keliru.
Untuk itu bangkitlah manusia Indonesia, bangkitlah untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran. Berkaryalah untuk menjamin keutuhan bangsa ini. Pesan-pesan dalam buku ini membakar jiwa setiap anak bangsa. Bacalah buku ini bila andapun ingin terbakar dan merasakan panasnya kepingan jiwa Mpu Tantular. Saat ini tak ada cara lain untuk ikut terbakar atau hidup sia-sia tanpa makna melihat kehancuran tanpa berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara.
Sandi Sutasoma
Judul : Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis : Anand Krishna
Tebal : 312 + vi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1, 2007
”Kelak para penguasa dari Seluruh Kepulauan Nusantara akan mendatangimu. Dalam dirimu, Sutasoma, masa lalu, masa depan, dan masa mendatang menyatu. Engkaulah tujuan setiap pejalan” ( Purushada Shaanta, LIII : 3 & 4 )
Telah 62 tahun NKRI berdiri dan telah begitu panjang lika-liku perjalanan ditempuh sebagai bangsa hingga saat ini. Terutama sejak reformasi, kebhinekaan atau sering disebut Bhinneka Tunggal Ika enggan dibicarakan. Seolah sebagai bangsa kita mengalami amnesia panjang yang tak dapat kita obati. Hal ini sangat ironis karena membicarakannya saja sudah enggan apalagi mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga menjadi semboyan negara kita. Bukan mustahil tidak banyak dari kita yang mengetahui darimana sumber semboyan negara kita. Bisa dibayangkan semboyan negara yang merupakan alat pemersatu bangsa wujud bukunyapun kita tidak tahu
Buku latin pertama yang dicetak oleh PT Bali Mas
Di tengah sibuknya setiap insan negeri ini dengan urusan perut, urusan sosial yang menyita waktu hingga musibah yang datang silih berganti sehingga membuat orang jarang bertatap muka dan berinteraksi dari hati ke hati. Menganggap apa yang diyakini sendiri sebagai yang benar dan menganggap keyakinan orang atau kelompok lain salah, merupakan refleksi alam bawah sadar dari evolusi kehewanian manusia yang terangkat kembali ke permukaan. Menurut Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, inilah pentingnya pendidikan yang mendidik manusia untuk mencapai budhi dan hridaya dengan jalan setiap saat memperhalus dengan budaya yang memiliki lokal wisdom.
Ini bukan sekedar Buku, bahkan boleh dikata bukan buku. Ini adalah sebuah alat atau dalam bahasa kuno Yantra untuk membangkitkan kembali roh Mpu Tantular, dan untuk membangunkan kembali jiwanya yang ada di dalam diri kita yang sudah lama tertidur. Demikian yang telah dikatakan oleh Anand Krishna dalam kata pembuka pada buku ini. Lebih lanjut Beliau juga mengatakan bahwa buku ini adalah Mantra, spell. Yaitu mantra yang akan mengubah diri kita semua untuk selamanya. Sebagai anak bangsa siapkah kita menerima tantangan ini?
Dalam buku ini dikatakan oleh penulis bahwa Sutasoma adalah ”Surat” yang tidak terbaca oleh Gajah Mada pada saat semestinya ia membaca, ketika membacanya ia sudah tidak mampu menindaklanjuti isinya. Fisik sang Maha Patih sudah terlalu lemah untuk itu. Saat sesaat lagi beliau akan meninggalkan dunia fana, teringat olehnya dimasa jayanya. Semua orang menyanjungnya dan yang terdengar olehnya hanyalah suara Empu Prapanca. Suara Empu Tantular tidak terdengar olehnya.
Buku ini sangat menggelitik, tegas, dan cerdas mengulas kembali kitab Sutasoma dan menguraikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam kisah legendaris Sutasoma. Tidak banyak yang paham akan pesan yang tersirat dalam kisah ini bila dibaca secara langsung. Di samping menggunakan bahasa Sastra Jawa kuno, kisah Sutasoma merupakan kegelisahan Empu Tantular dalam melihat sepak terjang pemimpin di jaman itu. Dari buku ini penulis ingin menyampaikan kepada setiap anak bangsa di manapun berada bahwa pesan yang disampaikan oleh Empu Tantular sangat relevan bukan saja pada masa itu bahkan saat ini dan sepanjang masa. Di tengah pergolakan-pergolakan gerakan separatisme yang marak di Indonesia seperti RMS di Maluku, Bintang Kejora di Papua, Gerakan Aceh Merdeka dan lain-lain. Apabila hal ini tidak segera diambil langkah antisipasi maka kanker ganas akan menggerogoti tubuh kita. Karena saat ini kekuatan-kekuatan asing sudah menyusup masuk dan sedang bekerja untuk memperbudak bangsa ini lewat penjajahan di bidang budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi. Karena tentu saja dengan dikuasainya budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi maka kita kehilangan jati diri. Setelah itu mengubah peta politik menjadi sangat mudah.
Sebagai bangsa saat ini kita sedang mengalami Amnesia. Kita lupa bahwa Sriwijaya adalah dinasty pertama di dunia yang berkuasa lebih dari 8 abad. Keberhasilan Sriwijaya kita remehkan, karena merupakan kerajaan Hindu, Budha. Mereka dianggap mewakili jahiliyah. Keberhasilan Sriwijaya dan Majapahit adalah keberhasilan manusia Indonesia bukan keberhasilan Hindu atau Budha. Pemikiran para wali telah mewarnai seluruh kehidupan di kepulauan kita. Inilah pentingnya pengalaman sejarah, karena tanpa sejarah masa lalu yang panjang itu Indonesia tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Keberhasilan kita di masa kini belum menyamai keberhasilan kita di masa lalu. Dan satu-satunya jalan adalah kerja keras untuk memastikan bahwa masa kini dan masa depan kita lebih cemerlang dan gemilang.
Sistem negara kesatuan bagi kepulauan kita tidak dapat ditawar lagi kita tidak dapat ditawar lagi. Satu kesalahan kecil saja sudah cukup untuk memecah-belah bangsa ini. Kebhinnekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika adalah “Hal truth” untuk itu penggalan berikutnya mesti diperhatikan “Tan Hana Dharma Mangrwa” tidak ada dualitas dalam dharma, dalam kebajikan yang melandasi setiap karya bagi negara dan bhakti bagi ibu pertiwi. Selain itu kebijakan itu mesti menjunjung kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi manusia Indonesia bukan fotocopyan Arab, China, India atau Eropa.
Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman, atau pluralitas. Namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tidak terpikir dan tidak dilakoni. Mpu Tantular mengingatkan kita bahwa apa yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini bukanlah cerita baru. Kita sedang mengulangi cerita masa lalu., karena saat itu kita tidak cukup belajar dari pengalaman kita.
Inilah Pesan-pesan penting dari Mpu Tantular dan Mahapatih Gajah Mada yang hendak berbicara dengan setiap putra-putri Ibu Pertiwi yang disajikan oleh penulis. Bahwa pertama sebagai anak bangsa kita harus berhati-hati dengan partai-partai politik yang berkiblat pada ideologi-ideologi asing. Secara proaktif hentikan mereka untuk meracuni otak setiap anak bangsa harus segera berhenti atau dihentikan. Kedua kita harus kembali pada kearifan lokal, pada nilai-nilai budaya asal Nusantara yang bersifat universal dan masih relevan, ketiga kita semua harus menyadarkan para petinggi negara akan peran mereka sebagai pemimpin bangsa, supaya mereka tidak mengorbankan kepentingan politik jangka pendek. Kita membutuhkan negarawan, bukan sekedar pejabat. Keempat menyadarkan rakyat akan tugas serta kewajibannya terhadap negara dan bangsa, bukan terhadap ideologi asing yang sering dikaitkan dengan agama untuk mengeksploitasi mereka. Kelima Identitas negara dan bangsa harus jelas-jelas ditempatkan diatas segala macam identitas diri yang lain. Untuk mengunjungi negara dimana penduduknya beragama sama dengan kita pun kita masih membutuhkan paspor yang dikeluarkan oleh negara kita. Keenam Keseragaman tidak sesuai dengan watak manusia Indonesia, tidak sesuai dengan alam kita dan keadaan geografis kepulauan kita. Ketujuh Diatas segalanya kita harus belajar dari ”pengalaman sejarah” masa lalu.. kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kita di masa lalu. Selalu memperbaiki diri dan jangan mengulangi sesuatu yang salah, sesuatu yang keliru.
Untuk itu bangkitlah manusia Indonesia, bangkitlah untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran. Berkaryalah untuk menjamin keutuhan bangsa ini. Pesan-pesan dalam buku ini membakar jiwa setiap anak bangsa. Bacalah buku ini bila andapun ingin terbakar dan merasakan panasnya kepingan jiwa Mpu Tantular. Saat ini tak ada cara lain untuk ikut terbakar atau hidup sia-sia tanpa makna melihat kehancuran tanpa berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara.
0 Komentar untuk "Resensi buku Sandi Sutasoma"