Untuk pertama kalinya sejak 500 tahun Keruntuhan Majapahit Pura Majapahit Pimpinan Hyang Suryo mengadakan Waisak di Candi Gayatri Bayalangu: Berita PAMOR JG Edisi 12 , 4 juli 2000. Liputan Khusus:
Meski hujan gerimis meliputi desa/kecamatan Boyolangu, Tulung Agung, tapi tidak membuat peserta do’a peringatan hari Waisak, Kamis 18/5, lalu mengurungkan niatnya. Bahkan pesertanya bertambah semangat dan acara ini bukan diikuti oleh penganut agama Hindu/Budha yang berada di Tulung Agung saja namun juga beberapa kota di jatim dan pulau Bali, Ketika mencapai puncak acara yang disebut dengan Ritual, Roh Dewi Gayatri dan Roh Gajah Mada datang ditempat itu. Para pengnut agama tersebut mengaku merasa puas, sebab meski berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa diundang ternyata semua datang di Candi Gayatri. Dengan demikian Do’a bersama Waisak itu untuk mwmulai acaranya do’anya bukan hanya disampaikan oleh agama Budha saja tetaoi berbagai agama lain juga menyampaikan. Mereka kelihatan menyatu dalam tujuan Pancasila. Hujan menurut mereka merupakan berkah. sehingga meski ditengah-tengah lokasi acaranya diguyur hujan namun mereka tetap saja duduk bersila ditempatnya masing-masing.
“Hujan bukan merupakan hambatan, tapi merupakan Berkah, adanya hujan pertanda do’a bersama peringatan Waisak terkabul niatnya.” ujar Eyang Suryo, Ketua Pura Majapahit Pusat Trowulan kepada Pamor JG. Upacara Waisak di Candi Gayatri yang dinamai oleh penganut Budha sebagai Pura Majapahit Jenggala di Tulung Agung berlangsung cukup sakral. Sambutan acara dibacakan Fransiska Tanuwijaya selaku ketua Panitia merangkap sebagai Ketua Parisada Hindu Kabupaten Tulungagung dan dipandu oleh Eyang Suryo yang dikenal juga sebagai Pendita Majapahit Hyang Wilwatikta Pusat Trowulan. selanjutnya diisi dengan acara diantaranya, Do’a masing-masing agama, Pemotongan Tumpeng, acara Ritual dan acara hiburan Jaranan Majapahit Jaya dari Trowulan Mojokerto.
Dalam acara yang cukup sakral dan mengadung mistis ini, diantaranya dihadiri oleh M. Djoko Soemono Soemodisastro [Ketua Dewan Daerah Badan Koordinasi Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa / BKOK , Jawa Timur], Eyang Soeryo [Ketua Pura Majapahit Pusat Trowulan], Wasito [Ketua PDIP Tulungagung], Lukman djuhara (Ketu YPS Poerbojagat Tulungagung), Sudiro Utomo [ Ketua Kep. Perjalanan Tulungagung], Soegito [Ketua Jawa Dwipa Trenggalek], Ki Moebadi [Ketua Hardo Poesoro], Soemali BBA [Ketua Sumarah], Ema Koesmdi [ Pangestu], Hong Tjie [Pengurus Klenteng Boen Bio], Giyatno [LDII Boyolangu] Bukan hanya peserta dari wilayah Jawa Timur saja namun acara sakral Waisak juga dihadiri dari Bali Rombongan dari Pulau Dewata dipimpin Anak Agung Ngurah Darmaputra [Kepala rumah tangga dan Kepala bidang Hukum Pura Majapahit Bali], AA Putra dan juga PHDI pusat Jakarta.
ROH DEWI GAYATRI DAN GAJAHMADA datang: Diiringi do’a-do’a dan bau dupamenyengat hidung acara Ritual yang bertepatan hari Kamis, Malam jum’at Kliwon di bulan Purnama acara berlangsung cukup sakral. Ritual dimulai pukul 20.00 WIB, peserta duduk bersila ditikar mengelilingi Candi Gayatri. Peserta diam dengan suasana hening, dan yang terdengar hanya doa-doa mantra. Dalam suasana malam yang dingin acara selanjutnya pemanggilan Arwah para Leluhur. Bertepatan dengan acara tersebut sekitar pukul 21.00 WIB, secara tiba-tiba ada dua peserta kesurupan/keraohan. Mereka kemasukan Roh Dewi Gayari dan Roh Gajahmada, yakni Dewi Gayatri datang dengan meminjam raga dari Dyah Swastika Wisnuwardani, putri Ketua PDIP Tulungagung Wasito. dan Mahapatih Majapahit Gajah Mada datang dengan meminjam raga Mananda dari Bali. Dengan kedatangan Roh Leluhur itu tempat tersebut bukan hening lagi namun menjadi sebaliknya Para peserta beramai ramai menuju kedua orng yang mengalami Keraohan [Darmaputra menanyai Gajah Mada yang menyatakan gembira atas upacara ini dan teruslah galang persatuan] sedang Leluhur Gayatri menangis berkata Hauuus, hauuus [memang selama 500 tahun baru pertama kali diupacarai jadi tidak perna disuguh air, canang dll] Adanya pemandangan yang ganjil yang keraohan/kesurupan dan dibarengi gerakan yang meronta ronta dan berkata haus ini, para peserta sempat kawatir, Namun dengan cekatan Eyang Suryo tangannya menggandeng keduanya menuju depan arca Dewi Gayatri sambil mulutnya komat kamit membacakan doa doa dan tangannya mengambil air suci dan di percik-percikan ketubuh kedua orang yang keraohan tersebut, tidak seberapa lama keduanya sadar, Dengan kedatangan Roh Leluhur itu menandakan bahwa doa-doa Waisak dapat diterima Leluhur.
Kami cukup gembira ternyata berlangsungnya acara tidak sia-sia ujar Fransiska Tanuwijaya, Ketua Parisada Hindu Tulungagung yang juga Ketua Panitia didampingi suaminya Gauw Kay Fat, Penyungsung Pura Majapahit Trowulan. Sementara itu peserta dan masyarakat sekitar yang ikut menghadiri itu menuturkan bahwa sebelum kedua orang itu keraohan ada tanda-tandanya , Berupa ada sinar warna Putih bercampur Biru dari langit yang turun kebawah menuju kearah kedua orng yang keraohan/kapeselang. “Ternyata , sinar itu setelah menghilang keduanya berlaku aneh layaknya orang kesurupan,” ujar Winardi warga setempat yang diakui juga oleh peserta yang hadir ditempat itu. Setelah acara ritual berakhir, acara selanjutnya berupa hiburan, yaitu, para peserta dan masyarakat setempat dihibur dengan kesenian tradisional berupa Jaranan campursari”Majapahit Jaya” Seperangkat gamelan yang sudah disiapkan ditabuh dengan rancak dan para penari jaranan keluar menuju arena sambil meliuk-liukan badannya seirama gamelan yang mengiringinya. Acara ini mendapat sambutan meriah penonton, sebab penari dan penabuh gamelan melakukan tugasnya dengan cukup serasi Dengan Dupa yang selalu dibakarnya keluarlah asap yang berbau menyengat menambah hidup kesenian itu. Lebih lebih ketika penari kuda lumping itu kesurupan/keraohan, maka penonton bersorak-sorak gembira, anehnya, yang kesurupan ini tidak sadarkan diri meski kupingnya dibisiki dengan doa-doa.
Namun setelah oleh Eyang Suryo yang kesurupan dibawa kedepan patung Dewi Gayatri[kepalanya hilang dan candinya hancur] dan diperciki dengan air suci dan doa-doa maka mereka langsung sadarka diri. Ketua panitia acara Waisak Fransiska Tanuwijaya mengatakan acara Waisak berlangsung hingga pukul 21.30 WIB. meski lokasi diguyur hujan, namun para peserta tidak ada yang meninggalkan tempat duduknya, selain itu meski mereka kehujanan, ternyata dari para peserta tidak ada yang jatuh sakit, ini merupakan kejadian yang aneh tapi nyata, tambahnya. [Bondan]. ditambahkan bahwa memang acara ini baru pertamakalinya, kebetulan reformasi. Eyang Suryo untuk bisa upacara harus ngurus ijin ke Jakarta dengan lisensi Dinas Purbakala Trowulan. Karena sangat sulit bisa upacara di Candi milik Purbakala. Jadi suatu keajaiban acara ini bisa sukses karena keadaan Negara sibuk reformasi’. belakangan awal 2009 Puri Surya Majapahit Jimbaran dapat copy Sloka Negarakertagama, ternyata Candi Boyolangu ini tercantum sebagai Paramithapuri. jadi sangat beruntung yang bisa hadir acara ini, sekarang keadaan tenang jangan mimpi bisa upacara di Candi Asli Majapahit. ijinnya sangat sulit.
Pada Kirap Suro 2008 bisa minjam Batu Surya Majapahit itu sudah untung, meminjam Candi sulit, biarpun Kepala Purbakala Trowulan orang Bali dan Mentri Budpar Jero Wacik. Waktu itu memang Eyang Suryo dapat Surat Keterangan dari Dinas Purbakala Trowulan sudah ngurus ijin ke Jakarta, padahal tidak keburu karena Waisak kurang 5 hari dan untungnya PDIP, DPRD Tulungagung dukung, jadi Bondo Nekat acara Waisak malah didatangi semua umat Agama, Kepercayaan yang lagi mimpi bisa upacara di Leluhur Majapahit, Akibat perjuangan bikin Upacara Leluhur harus dibayar mahal, yaitu Pura Majapahit Trowulan ditutup Muspika[kena SKB] tapi semua ini perjuangan hingga bisanya Leluhur Gayatri di Candikan di Puri Surya Majapahit yang akan di Plaspas, Ngenteg linggih, berbarengan Odalan Pura Ibu Majapahit Jimbaran 9-9-’09 nanti. Sesuai Negarakertagama yang baru dapat copy nya awal 2009, disana tercantum Raja Hayam Wuruk pun menghormat Ibu dengan membuat upacara Srada dan membuat Candi Boyolangu yang secara tak sengaja Eyang Suryo berhasil meng Upacarai pada Waisak 2000. dan nanti 9-9-2009 di Puri Gading Jimbaran. Semoga Leluhur Paramithapuri berkenan Memberikan Kejayaan kepada Narendra utama dan pengikutnya selama Surya dan Bulan bersinar [Negarakertagama].
http://iyeng.dagdigdug.com/index.php/2009/09/04/waisak-pura-majapahit-trowulan/
“Hujan bukan merupakan hambatan, tapi merupakan Berkah, adanya hujan pertanda do’a bersama peringatan Waisak terkabul niatnya.” ujar Eyang Suryo, Ketua Pura Majapahit Pusat Trowulan kepada Pamor JG. Upacara Waisak di Candi Gayatri yang dinamai oleh penganut Budha sebagai Pura Majapahit Jenggala di Tulung Agung berlangsung cukup sakral. Sambutan acara dibacakan Fransiska Tanuwijaya selaku ketua Panitia merangkap sebagai Ketua Parisada Hindu Kabupaten Tulungagung dan dipandu oleh Eyang Suryo yang dikenal juga sebagai Pendita Majapahit Hyang Wilwatikta Pusat Trowulan. selanjutnya diisi dengan acara diantaranya, Do’a masing-masing agama, Pemotongan Tumpeng, acara Ritual dan acara hiburan Jaranan Majapahit Jaya dari Trowulan Mojokerto.
Dalam acara yang cukup sakral dan mengadung mistis ini, diantaranya dihadiri oleh M. Djoko Soemono Soemodisastro [Ketua Dewan Daerah Badan Koordinasi Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa / BKOK , Jawa Timur], Eyang Soeryo [Ketua Pura Majapahit Pusat Trowulan], Wasito [Ketua PDIP Tulungagung], Lukman djuhara (Ketu YPS Poerbojagat Tulungagung), Sudiro Utomo [ Ketua Kep. Perjalanan Tulungagung], Soegito [Ketua Jawa Dwipa Trenggalek], Ki Moebadi [Ketua Hardo Poesoro], Soemali BBA [Ketua Sumarah], Ema Koesmdi [ Pangestu], Hong Tjie [Pengurus Klenteng Boen Bio], Giyatno [LDII Boyolangu] Bukan hanya peserta dari wilayah Jawa Timur saja namun acara sakral Waisak juga dihadiri dari Bali Rombongan dari Pulau Dewata dipimpin Anak Agung Ngurah Darmaputra [Kepala rumah tangga dan Kepala bidang Hukum Pura Majapahit Bali], AA Putra dan juga PHDI pusat Jakarta.
ROH DEWI GAYATRI DAN GAJAHMADA datang: Diiringi do’a-do’a dan bau dupamenyengat hidung acara Ritual yang bertepatan hari Kamis, Malam jum’at Kliwon di bulan Purnama acara berlangsung cukup sakral. Ritual dimulai pukul 20.00 WIB, peserta duduk bersila ditikar mengelilingi Candi Gayatri. Peserta diam dengan suasana hening, dan yang terdengar hanya doa-doa mantra. Dalam suasana malam yang dingin acara selanjutnya pemanggilan Arwah para Leluhur. Bertepatan dengan acara tersebut sekitar pukul 21.00 WIB, secara tiba-tiba ada dua peserta kesurupan/keraohan. Mereka kemasukan Roh Dewi Gayari dan Roh Gajahmada, yakni Dewi Gayatri datang dengan meminjam raga dari Dyah Swastika Wisnuwardani, putri Ketua PDIP Tulungagung Wasito. dan Mahapatih Majapahit Gajah Mada datang dengan meminjam raga Mananda dari Bali. Dengan kedatangan Roh Leluhur itu tempat tersebut bukan hening lagi namun menjadi sebaliknya Para peserta beramai ramai menuju kedua orng yang mengalami Keraohan [Darmaputra menanyai Gajah Mada yang menyatakan gembira atas upacara ini dan teruslah galang persatuan] sedang Leluhur Gayatri menangis berkata Hauuus, hauuus [memang selama 500 tahun baru pertama kali diupacarai jadi tidak perna disuguh air, canang dll] Adanya pemandangan yang ganjil yang keraohan/kesurupan dan dibarengi gerakan yang meronta ronta dan berkata haus ini, para peserta sempat kawatir, Namun dengan cekatan Eyang Suryo tangannya menggandeng keduanya menuju depan arca Dewi Gayatri sambil mulutnya komat kamit membacakan doa doa dan tangannya mengambil air suci dan di percik-percikan ketubuh kedua orang yang keraohan tersebut, tidak seberapa lama keduanya sadar, Dengan kedatangan Roh Leluhur itu menandakan bahwa doa-doa Waisak dapat diterima Leluhur.
Kami cukup gembira ternyata berlangsungnya acara tidak sia-sia ujar Fransiska Tanuwijaya, Ketua Parisada Hindu Tulungagung yang juga Ketua Panitia didampingi suaminya Gauw Kay Fat, Penyungsung Pura Majapahit Trowulan. Sementara itu peserta dan masyarakat sekitar yang ikut menghadiri itu menuturkan bahwa sebelum kedua orang itu keraohan ada tanda-tandanya , Berupa ada sinar warna Putih bercampur Biru dari langit yang turun kebawah menuju kearah kedua orng yang keraohan/kapeselang. “Ternyata , sinar itu setelah menghilang keduanya berlaku aneh layaknya orang kesurupan,” ujar Winardi warga setempat yang diakui juga oleh peserta yang hadir ditempat itu. Setelah acara ritual berakhir, acara selanjutnya berupa hiburan, yaitu, para peserta dan masyarakat setempat dihibur dengan kesenian tradisional berupa Jaranan campursari”Majapahit Jaya” Seperangkat gamelan yang sudah disiapkan ditabuh dengan rancak dan para penari jaranan keluar menuju arena sambil meliuk-liukan badannya seirama gamelan yang mengiringinya. Acara ini mendapat sambutan meriah penonton, sebab penari dan penabuh gamelan melakukan tugasnya dengan cukup serasi Dengan Dupa yang selalu dibakarnya keluarlah asap yang berbau menyengat menambah hidup kesenian itu. Lebih lebih ketika penari kuda lumping itu kesurupan/keraohan, maka penonton bersorak-sorak gembira, anehnya, yang kesurupan ini tidak sadarkan diri meski kupingnya dibisiki dengan doa-doa.
Namun setelah oleh Eyang Suryo yang kesurupan dibawa kedepan patung Dewi Gayatri[kepalanya hilang dan candinya hancur] dan diperciki dengan air suci dan doa-doa maka mereka langsung sadarka diri. Ketua panitia acara Waisak Fransiska Tanuwijaya mengatakan acara Waisak berlangsung hingga pukul 21.30 WIB. meski lokasi diguyur hujan, namun para peserta tidak ada yang meninggalkan tempat duduknya, selain itu meski mereka kehujanan, ternyata dari para peserta tidak ada yang jatuh sakit, ini merupakan kejadian yang aneh tapi nyata, tambahnya. [Bondan]. ditambahkan bahwa memang acara ini baru pertamakalinya, kebetulan reformasi. Eyang Suryo untuk bisa upacara harus ngurus ijin ke Jakarta dengan lisensi Dinas Purbakala Trowulan. Karena sangat sulit bisa upacara di Candi milik Purbakala. Jadi suatu keajaiban acara ini bisa sukses karena keadaan Negara sibuk reformasi’. belakangan awal 2009 Puri Surya Majapahit Jimbaran dapat copy Sloka Negarakertagama, ternyata Candi Boyolangu ini tercantum sebagai Paramithapuri. jadi sangat beruntung yang bisa hadir acara ini, sekarang keadaan tenang jangan mimpi bisa upacara di Candi Asli Majapahit. ijinnya sangat sulit.
Pada Kirap Suro 2008 bisa minjam Batu Surya Majapahit itu sudah untung, meminjam Candi sulit, biarpun Kepala Purbakala Trowulan orang Bali dan Mentri Budpar Jero Wacik. Waktu itu memang Eyang Suryo dapat Surat Keterangan dari Dinas Purbakala Trowulan sudah ngurus ijin ke Jakarta, padahal tidak keburu karena Waisak kurang 5 hari dan untungnya PDIP, DPRD Tulungagung dukung, jadi Bondo Nekat acara Waisak malah didatangi semua umat Agama, Kepercayaan yang lagi mimpi bisa upacara di Leluhur Majapahit, Akibat perjuangan bikin Upacara Leluhur harus dibayar mahal, yaitu Pura Majapahit Trowulan ditutup Muspika[kena SKB] tapi semua ini perjuangan hingga bisanya Leluhur Gayatri di Candikan di Puri Surya Majapahit yang akan di Plaspas, Ngenteg linggih, berbarengan Odalan Pura Ibu Majapahit Jimbaran 9-9-’09 nanti. Sesuai Negarakertagama yang baru dapat copy nya awal 2009, disana tercantum Raja Hayam Wuruk pun menghormat Ibu dengan membuat upacara Srada dan membuat Candi Boyolangu yang secara tak sengaja Eyang Suryo berhasil meng Upacarai pada Waisak 2000. dan nanti 9-9-2009 di Puri Gading Jimbaran. Semoga Leluhur Paramithapuri berkenan Memberikan Kejayaan kepada Narendra utama dan pengikutnya selama Surya dan Bulan bersinar [Negarakertagama].
http://iyeng.dagdigdug.com/index.php/2009/09/04/waisak-pura-majapahit-trowulan/
0 Komentar untuk "WAISAK PURA MAJAPAHIT TROWULAN"