Javanese beliefs (Kebatinan or Kejawen) have principles embodying a "search for inner self" but at the core is the concept of Peace Of Mind. Although Kejawen is a religious category(Agama), it addresses ethical and spiritual values as inspired by Javanese tradition. That can as religion in usual sense of the world, like Christianity, Judaism, Budha or Islam. Kejawen adalah Agama Jawa yang di Ajarkan dalam Budaya Jawa yang di sebut Kejawen. Kawruh kejawen. Ilmu Kejawen, Agama Kejawen

Bencana Merupakan Protes Alam pada Manusia

ALAM adalah sahabat manusia. Bumi dan air merupakan sumber kehidupan. Persahabatan manusia dengan alam memungkinkan renggang ketika kapitalisme dominan. Perilaku mencari untung sebanyak mungkin membuat orang mengeksploitasi kekayaan alam tanpa diimbangi upaya pelestarian.
“Penghuni alam semesta ini bukan hanya manusia dan binatang. Ketika kekayaan bumi dieksploitasi, bakal ada makhluk lain yang terganggu. Wajar bila mereka protes, bahkan marah”, papar Lia Hermin Putri.

Pimpinan Sanggar Spiritual Songgo Buwono ini menambahkan, bencana alam merupakan bentuk protes alam atas keserakahan manusia. Sehingga, “Upacara labuhan, sedekah bumi dan sejenisnya, merupakan ungkapan persahabatan manusia dengan alam dan penghuninya”, jelasnya.

Logikanya, ketika ada pihak yang marah dan akan mengamuk, lantas mereka yang akan jadi sasaran amukan mencoba membujuk dengan ubarampe tertentu, harapannya kemarahannya mereda. Batal mengamuk atau minimal berkurang emosinya.

Sementara, Pimpinan paguyuban Tri Tunggal Sapto Raharjo mengatakan, “Selain ajakan agar manusia lebih bersahabat dengan alam, ritual caos dhahar, sedekah bumi dan sejenisnya, merupakan tuntutan agar manusia yang diberi kelebihan rezeki, mau menyisihkan untuk didermakan kepada sesama”.

Meski istilahnya sedekah bumi, toh akhirnya ubarampe yang dibawa, dibagi-bagi ke masyarakat yang hadir mengikuti ritual.

“Tentang penghormatan kepada alam, kita harus belajar kepada masyarakat Bali. Ajaran menghormati alam dengan berbagai upacara adat, menjadi budaya tak terpisahkan bagi masyarakat Bali. Buktinya, di Bali jarang terjadi bencana alam. Kehidupan warga Bali juga relatif makmur”, tambahnya.

KRHT Kresno Handayaningrat berkali mengingatkan agar tidak ‘mencederai’ alam. Jika alam murka, akan mendatangkan bencana yang merugikan manusia itu sendiri. Banyak kejadian empiris yang seharusnya menjadi peringatan untuk tak melakukan itu. Tapi masyarakat, tak menggubrisnya. Wajar jika bumi yang sebenarnya loh jinawi ini bergolak. Bangsa Indonesia panen bencana alam. Atas kehendak Tuhan tentunya.

“Manusia melupakan alam, terlalu percaya teknologi. Padahal teknologi tak semuanya dapat mengatasi problem alam”, tandas paranormal Surakarta itu.

Kresno menyayangkan, banyak orang berpendapat, dekat dengan alam dianggap klenik. Dipandang tidak maju. Kasus paling mencolok, aktifnya Gunung Merapi. Persiapan penanganan bencana digelar. Ilmuwan yakin, gunung di utara Kaliurang itu bakal meletus. Karena teknologi menunjukkan itu. Tapi Mbah Maridjan, penunggu gunung tersebut bilang : tidak!.

“Nyatanya alam bisa ditanggulangi dengan ritual. Dengan sedekah”, kata Kresno.

Sri Supodo (61), spiritualis Desa Girikerto turi Sleman, membenarkan hal tersebut. “Ketika Merapi aktif, saya mendapat dawuh dari pepundhen saya agar ngirim ‘ransum’ ke sana. Perintah tersebut saya laporkan Mbah Maridjan dan kemudian dilaksanakan. Nyatanya juga tidak terjadi apa-apa. Aman-aman saja”, paparnya.

Dipaparkan Sri, dalam hidup manusia tak lepas dari sang pamomong. Dalam kancah spiritual kejawen, hal itu sangat diyakini. Hubungan timbal balik tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk sedekahan atau selamatan.

“Manusia yang menjaga Kakang Kawah Adhi Ari-ari atau dikenal dengan sebutan Mong Kaki Among. Kalau desa, yang menjaga Sing Mbaureksa. Sedang rumah, Kaki Nini. Jika terjadi apa-apa berkait orang, desa atau rumah, bisa ditanyakan pada yang menjaga itu”, ungkapnya.

Kemajuan teknologi memang tak bisa dibendung. Namun Sri menyarankan agar tidak melupakan tradisi. Bikin sedekah.

Di tempat lain, Ustadz Muhammad Salim mengamati, tradisi kejawen memang penuh dengan simbol-simbol. Tumpeng, urapan, buah, ingkung serta pernik-pernik lain yang acap digunakan dalam ritual-ritual budaya, punya makna khusus yang sebenarnya merupakan ajaran hidup. “Asalkan itu hanya sekadar menjadi simbol dan tujuan permohonan hanya kepada Allah”, jelasnya.

Ustadz muda lulusan Ponpes Nurul Dholam Pasuruan yang kini tinggal di Kalasan ini menambahkan, memang benar bahwa penghuni bumi ini bukan hanya manusia dan binatang yang terlihat mata. Ada makhluk-makhluk lain ciptaan Tuhan yang dimensi alamnya berbeda.

“Sifat acara-acara ritual budaya itu penuh dengan simbol. Yang paling penting adalah niat dari kita sendiri untuk selalu mengendalikan diri dalam segala hal. Tidak serakah mengelola alam, mengakui keberadaan makhluk lain serta mau menyisihkan sebagian yang diperoleh dari mengelola alam untuk sesama yang kekurangan. Konsep ini yang harus kita pegang teguh”, tambah Salim.

Pendek kata, “Dalam mensyukuri nikmat Allah, ada tiga perkara yang senantiasa dilakukan manusia. Spiritual, Kultural dan Sosial”, papar Lia Hermin. Sehingga, ketika mengadakan upacara menyapa alam, “Sanggar Songgo Buwono senantiasa melaksanakan dengan doa-doa yang dipimpin mubaligh, mantra dan ritual lain”, tandasnya. Sehingga tidak ada alasan bagi siapa saja untuk mengklaim bahwa, upacara ritual dengan ubarampe bersifat musyrik.

“Kalau mereka tidak tahu tentang makhluk Allah yang tidak tampak dan termaktub konsepnya dalam kitab suci, janganlah berkomentar tanpa dasar yang kuat”, pesannya menutup perbincangan.

Sumber : minggu pagi online

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Bencana Merupakan Protes Alam pada Manusia"

 
Template By AgamaKejawen
Back To Top