Judul : Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan; Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek
Penulis : Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib Lie, Eds., Refael Edy Bosko, dkk (pen)
Tebal : xvii + 829
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta 2010. Diterbitkan atas kerjasama BYU International Central for Law and Religion Studies, Provo, Utah, USA; The Norwegian Centre for Human Rights University of Oslo Norway; dan The Royal Norwegian Ministry of Foreign Affairs.
----
Uji materi PNPS 1965 tentang Penodaan Agama yang dilakukan sejumlah NGO dan perorangan sejak Nopember tahun lalu silam menyedot perhatian publik. Pemohon menilai undang-undang ini melanggar hak mendasar yang dilindungi konstitusi. Gelombang penolakan atas pencabutan beleid yang diteken di era Soekarno ini muncul di sejumlah daerah. Setiapkali sidang, beberapa ormas keagamaan seperti FPI, FUI, dan HTI selalu rajin menggelar aksi penolakan.
Sebagian kelompok yang menolak pencabutan juga memunculkan wacana "kebebasan beragama tanpa batas" sesuatu yang sepertinya juga ditolak para pemohon. Pertanyaannya, benarkah ada kebebasan beragama tanpa batas itu? buku yang diterjemahkan dari versi Inggris Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desbook (Lindholm Durham & Tahzib-Lie, eds., Martinus Nijhoff Publisher, Leiden)pada 2004 ini sangat gamblang menjawab pertanyaan penting ini.
Isu itu misalnya menjadi satu bahasan khusus yang disorot Manfred Nowak dan Tanja Vospernik di bab 4 bertajuk "Pembatasan-pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan". Manfred adalah Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan dan Bentuk Perlakukan yang Kejam sejak 2004, ahli pada Jaringan Ahli Independen Uni Eropa dalam bidang Hak-Hak Fundamental. Sedang Tanja seorang peniliti hukum pada Institute Hak Asasi Manusia Ludwig Boltzmann di Wina, Austria.
Dalam nomenklatur hak asasi manusia di kenal dua ranah kebebasan beragama dan berkeyakinan: forum internumdan forum eksternum.Yang pertama menyangkut dimensi internal berpikir, nurani, beragama atau berkeyakinan, yang kedua terkait manifestasi agama dan keyakinan itu. Wilayah forum eksternumitu meliputi hak bersembahyang, berkumpul, mendirikan, melestarikan, dan mengembangkan agama; mendapatkan dan menggunakan material untuk menjalankan ritual dan tradisi, menulis dan menyebarkan ajaran agama, mengajarkan pada tempat yang benar, mendirikan perkumpulan dan organisasi keagamaan, pembangunan sarana ibadah, hari libur agama, dan hak orang tua terhadap pendidikan agama anak-anaknya.
Adanya pembatasan itu hanya boleh dilakukan di ranah kedua, tidak untuk yang pertama. Dalam keadaan perang sekalipun, ranah pertama (forum internum) tak bisa dilanggar maupun dikurangi (non-derogable rights) oleh negara. Di sinilah letak kebebasan absolut itu!
Pembatasan itu diatur dalam berbagai instrumen internasional seperti pada pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICPPR), pasal 9 ayat (2) dari Konvensi HAM Eropa (European Convention on Human Rights/ECHR),dan pasal 12 ayat (3) dari Konvensi HAM Amerika (America Convention on Human Rights (ACHR) (hal 203).
Setidaknya ada dua syarat utama pembatasan dapat dilakukan negara. Pertama, pembatasan itu harus ditentukan oleh hukum. Misalnya ditentukan oleh suatu undang-undang parlementer dan ditetapkan secara demokratis. Kedua, ditujukan untuk memenuhi salah satu alasan antara lain keselamatan publik (public safety),ketertiban publik (public order),moral publik (public morals),kesehatan publik (public health)dan hak-hak dan kewajiban fundamental orang lain. (hal 206)
Terkait pembatasan atas alasan keamaan publik, Manfred dan Tanja memberi contoh kasus M.A. v Italia di mana Komite Hak Asasi Manusia menanganggap bahwa suatu penuntutan pidana terhadap upaya menyusun kembali partai fasis yang sudah dibubarkan di Italia merupakan suatu intervensi yang diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan sesuai Pasal 18 ayat (3) ICCPR. Contoh-contoh lain penerapan pembatasan untuk keempat alasan lain juga bisa dijumpai dalam bab ini. Harus diakui, praktik pembatasan di banyak negara itu hingga kini masih terus diperdebatkan, khususnya kecenderungan berpihak negara kepada kelompok mayoritas.
Sejauh ini buku yang dilengkapi dengan satu bab tentang konteks Indonesia bisa dianggap buku yang relatif lengkap membicarakan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sejumlah isu yang menjadi perdebatan dalam sidang uji Materi PNPS 1965 seperti "penodaan" dan "menyebar kebencian" juga tersedia. Buku ini terdiri dari 13 bab, dilengkapi dengan sejumlah lampiran instrumen internasional, termasuk peraturan-peraturan terkait untuk konteks Indonesia. Pada bab-bab awal, buku yang dihasilkan dari Konferensi Oslo tentang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Agustus 1998, atas sponsor pemerintah Norwegia ini banyak menyuguhkan tulisan dari sisi teoritis dan historis. Di sana pembaca diajak memahami jalinan norma, instititusi dan prosedur yang komplek yang dibuat untuk melindungi kebebasan beragama beryakinan. Di bagian akhir sejumlah isu terkait dibicarakan seperti perempuan, pendidikan, dan problem gerakan-gerakan keagamaan baru.
Selain pegiat Hak Asasi Manusia seperti juga di endorse Azyumardi Azra yang ikut memberi pengantar buku ini layak dijadikan referensi pokok bagi para pengajar dan mahasiswa pada Fakultas Hukum di universitas-univeritas umum dan Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam Negeri, mereka yang terlibat dalam kepemimpina agama, dialog-dialog intra dan antaragama, dan kajian-kajian lembaga akademis.
* Aktivis The WAHID Institute
0 Komentar untuk "Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan; Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek"