Selasa, 11 Mei 2010 | 08:41 WIB
TEMPO Interaktif, Setelah ditunggu beberapa waktu, akhirnya Mahkamah Konstitusi memberi putusan tentang uji materi Undang-Undang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mahkamah Konstitusi memutuskan tetap mempertahankan undang-undang tersebut dan menolak mencabutnya, karena undang-undang itu diperlukan untuk menjaga kerukunan umat beragama dan dibutuhkan untuk pengendali ketertiban umum (Koran Tempo, 20 April 2010). Mahkamah Konstitusi juga menegaskan, jika pembatasan tentang penyimpangan dan penafsiran ajaran agama tidak diatur, dikhawatirkan bisa menimbulkan konflik horizontal.
Putusan yang sudah lama dinantikan oleh para pendukung dan penolak undang-undang tersebut menimbulkan pro-kontra yang tidak sederhana. Bagi para pendukung undang-undang tersebut, putusan itu dianggap sebagai berkah bahwa Mahkamah Konstitusi sudah mendengarkan suara mayoritas umat. Namun pihak yang mengajukan uji materi terhadap undang-undang itu menilai putusan tersebut adalah bentuk nyata dari otoritarianisme negara yang hanya mendengarkan kelompok mayoritas tanpa mempertimbangkan eksistensi kelompok minoritas.
Sehubungan dengan itu, yang juga penting untuk dikaji adalah bagaimana sesungguhnya masa depan kebebasan beragama dan berkeyakinan pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut? Tampaknya pemerintah Indonesia saat ini mengalami sindrom politik paranoid berupa ketakutan terhadap kekuatan kelompok massa. Terbukti kekuatan massa tampak lebih dipertimbangkan dibanding logika perlindungan terhadap minoritas. Eksistensi kelompok penghayat kepercayaan, masyarakat lokal, kelompok keagamaan minoritas, serta gerakan keagamaan baru (the new religious movement) yang selama ini menjadi korban dari UU Penodaan Agama itu kurang diacuhkan hak-haknya. Sebelum ini, kelompok minoritas dan pejuang hak-hak minoritas juga menerima kenyataan pahit dengan ditolaknya uji materi tentang UU Pornografi/Pornoaksi.
Kondisi faktual
Jika kita baca dengan sungguh-sungguh dan penuh penghayatan, dengan jelas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Dari ketentuan konstitusi tersebut, jelas bahwa setiap warga negara diberi hak untuk memilih dan menentukan agamanya, tanpa harus mengikuti kelompok mayoritas atau agama yang dipeluk oleh orang tua, saudara, pemimpin, atau atasannya. Hal ini karena kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dijamin eksistensinya oleh negara. Secara lebih terperinci, ayat-ayat dalam Pasal 28 UUD 1945 menegaskan dengan jelas tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia itu.
Tapi realitas di lapangan sering menunjukkan fakta-fakta yang berkebalikan dengan ketentuan konstitusi di atas. Terbukti individu dan masyarakat tertentu sering kali harus atau secara terpaksa mengikuti ketentuan pemerintah yang diatur di bawah UUD 1945. Misalnya orang yang menganut aliran Sunda Wiwitan, masyarakat Samin, atau agama-agama lokal yang lain, ketika membuat kartu tanda penduduk atau mengajukan surat nikah diharuskan mencantumkan dan mengisi kolom agama dengan memilih satu di antara enam agama yang diakui sah oleh pemerintah. Dengan begitu, tampak jelas bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan masyarakat yang merupakan hak asasi manusia itu harus berjalan beriringan dengan logika formal negara. Pemerintah sering kali menggunakan UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai dalil konstitusi untuk menekan warga yang mencoba membangkang.
Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Undang-Undang Tahun 1965 ini sering dipakai oleh kelompok mayoritas untuk mengekang serta membatasi kebebasan beragama dan berekspresi kaum minoritas. Kita tentu belum lupa penyerangan dan pengusiran para pengikut Ahmadiyah di berbagai penjuru daerah di Indonesia beberapa waktu lalu. Meski jelas-jelas bahwa perbuatan itu melanggar hak-hak asasi manusia, anehnya pemerintah malah melegitimasi pembatasan keberadaan Ahmadiyah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2008 yang dasar hukumnya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia dan UU tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dengan keluarnya SKB tersebut, yang terjadi bukannya sepinya konflik horizontal dan terciptanya kehidupan yang damai, namun malah perbuatan main hakim sendiri yang berdasarkan hukum alam (natural law) bahwa yang kuat yang akan menang (survival of the fittest).
Dari fakta di atas terlihat jelas bahwa kebebasan beragama di Indonesia sebelum pengajuan uji materi UU Tahun 1965 ini pun sudah mengalami kondisi yang memprihatinkan. Besar kemungkinan, setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, kelompok mayoritas yang merasa lebih punya materi, massa pendukung, dan dukungan legitimasi dari pemerintah akan semakin mengesampingkan hak-hak kaum minoritas. Apalagi hal ini ditambah dengan maraknya politisasi agama yang sering dilakukan dan digemari oleh para pemimpin di Indonesia, baik pemimpin politik maupun pemimpin organisasi agama. Bisa jadi jemaat Ahmadiyah, penganut agama lokal, new religious movement seperti Lia Aminuddin dan SUBUD, serta kelompok yang difatwa sebagai "aliran sesat" oleh MUI akan semakin susah bernapas hidup dan beribadah di Indonesia. Meskipun sejatinya, sebagai warga negara, mereka seharusnya berhak mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang sama sebagaimana warga negara yang lain.
Netralitas
Berkaitan dengan itu, Juergen Habermas menyatakan bahwa berbagai kasus tentang kebebasan beragama pada dasarnya adalah menguji sejauh mana netralitas negara. Meskipun negara seharusnya berdiri pada posisi yang netral dalam menjalankan dan mengupayakan penegakan kebebasan beragama, sering kali kelompok agama dan budaya mayoritas berusaha untuk mengintervensinya. Dalam kondisi yang demikian itu, sering kali dominasi dan kekuatan kelompok mayoritas bisa memaksa negara untuk mengabulkan kepentingan mereka dibanding memproteksi hak-hak kaum minoritas. Dalam hal ini, moral demokrasi sering tergantikan oleh prosedur formal yang memberikan legitimasi pada negara untuk memenangkan kelompok mayoritas (Religious Tolerance-The Peacemaker for Cultural Rights, 2003). Besar kemungkinan, ini karena negara lebih bisa melakukan bargaining position dan melakukan barter politik dengan kelompok-kelompok yang punya kekuatan massa itu.
Melihat kenyataan seperti itu, agar masa depan kebebasan beragama tidak semakin suram, negara, masyarakat, dan kelompok agama sudah seharusnya lebih mengedepankan moralitas dan prinsip perlindungan terhadap kelompok minoritas. Meskipun Mahkamah Konstitusi tidak bersedia mencabut dan merevisi UU tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Tahun 1965, bukan berarti masyarakat bisa seenaknya menghakimi dan mengadili kelompok minoritas yang dianggap sesat. Penyesatan dan pemberian stigma penyelewengan terhadap suatu kelompok sudah seharusnya tidak hanya berdasarkan pada nalar teologis dan yuridis, namun juga harus mempertimbangkan nalar sosiologis dan rasionalitas publik. Hal itu pun harus juga diuji secara obyektif berdasarkan prinsip-prinsip dalam UUD 1945 yang secara tegas melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan, dan memproteksi hak-hak asasi manusia warga negara Indonesia.
Akhirnya negara harus berdiri pada pihak yang netral dan tidak memihak salah satu kelompok. Masyarakat pun seharusnya menjadi nilai toleransi dan fakta pluralisme di sekitar mereka sebagai sarana untuk melakukan kerja sama hal-hal yang baik. Daripada sibuk melakukan penyesatan atau mengusut penodaan agama, lebih indah jika masyarakat memperkaya kerja sama antaragama dan antarkelompok untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, seperti mengentaskan angka kemiskinan, memajukan pendidikan, memberantas korupsi, serta memperbaiki moral bangsa yang saat ini sedang terkoyak. Jangan sampai Indonesia menjadi terkenal sebagai negara yang masyarakatnya yang gampang mengkafirkan dan menyesatkan saudara/tetangganya sendiri.
0 Komentar untuk "Kebebasan Beragama Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi"