Oleh : Ibn Ghifarie | 21-Jan-2010, 12:51:28 WIB
KabarIndonesia - Adakah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pasca wafatnya Gus Dur?
Ditengah-tengah semakin membaik sekaligus mewujudnya jaminan kebebesan beragama di Indonesia (1 Juli 2008-30 Juni 2009), bila melihat Laporan Kebebasan Beragama Dunia 2009 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 26 Oktober 2009.
Divonisnya pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Komandan Lasykar Islam, Munarman, dengan hukuman 18 bulan penjara karena aksi brutal mereka menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008 menjadi salah satu bukti nyata kondisi kebebasan beragama di Indonesia lebih baik dari periode sebelumnya.
Kendati, ranking kebebasan beragama Indonesia menurut Center for Religious Freedom, masih di tingkat partly free, belum sepenuhnya free. Ini berbeda dengan hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties) yang sudah di posisi free. Untuk mencapai tingkat benar-benar free sebagaimana dalam soal partisipasi politik dan kebebasan sipil, Indonesia masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah lagi.
Tantangan
Diakui tau tidak memasuki tahun 2010 tak ada jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan mewujud di Nusantara ini. Pasalnya, banyak rancangan undang-undang, peraturan daerah, uji materi atas undang-undang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang akan disahkan sekaligus diputuskan tahun depan. Ini terungkap dalam Laporan Tahunan The Wahid Institute (TWI), ”Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2009”, Selasa (29/12) di Jakarta.
Rumadi, menyebutkan, secara nasional, aturan legislasi yang mengatur kebebasan beragama nyaris tak berubah sejak 1990-an. Negara hanya mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Agama dan keyakinan lain di luar itu bebas hidup, tetapi tak mendapat tempat yang sama seperti keenam agama lain.
Kini berlangsung uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama serta UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hasil uji materi itu dipastikan akan mewarnai kehidupan keagamaan dan kebangsaan ke depan.
Parahnya, DPR hanya memprioritaskan RUU yang dinilai mengatur kehidupan agama yang bersifat privat menjadi urusan publik. Bahkan, akan ada sanksi hukum negara yang sudah disiapkan bagi masyarakat yang tidak menaati aturan agama yang diformalkan itu. RUU itu, antara lain; RUU Zakat, RUU Jaminan Produk Halal.
Di daerah, banyak rancangan perda terkait pengaturan zakat dan pengaturan busana tersebar di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi. Dibandingkan tahun 2008, jumlah perda bernuansa agama meningkat pada 2009, dari dua menjadi enam perda.
”Perda tentang zakat dan busana umumnya merupakan pintu masuk proses islamisasi regulasi di berbagai daerah,” ujarnya.
Selama 2009, TWI mencatat 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan pemerintah dan 93 kasus intoleransi beragama yang dilakukan antarumat beragama. Jawa Barat adalah daerah yang paling banyak terjadinya kedua kasus itu.
Direktur TWI Zannuba Arifah Chafsoh Rahman (Yenny Wahid) mengakui, kondisi kebebasan beragama selama tahun 2009 masih memprihatinkan. Pemerintah enggan mengakui adanya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan karena tidak punya visi jelas soal keagamaan, padahal persoalan itu riil. (Kompas, 30/12)
Jaminan?
Ingat, Jawa Barat merupakan provinsi paling tinggi langgar kebebasan beragama (versi the Wahid Institute dan SETARA Institute ) di Bumi Pertiwi ini.
Sejatinya, kematian Gus Dur, Rabu (30/12) pukul 18.45, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta harus menjadi modal awal dalam memperjuangkan sekaligus tumbuh berkembangnya kebebasan beragama di Nusantara ini?
Semasa hidupnya, Ia telah melatakan dasar-dasar kebebasan beragama (nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme). Salah satunya dengan dicabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 oleh Presiden Abdurrahman Wahid merupakan pilar menjamin kebebasan beragama bagi komunitas Tionghoa.
Betapa tidak, setelah hampir 32 tahun silam golongan non-pribumi ini tak bisa hidup bebas di Bumi Pertiwi. Kini, geliat kebangkitan masyarakat keturunan China pun mulai kelihatan lagi. Maraknya perayaan kalender China, mulai dari Imlek, pergelaran barongsay di halayak banyak, hingga Peringatan 600 Tahun Pelayaran Cheng Ho Ke Semarang, Mengenang Sang Raja Laut tahun 2005, penayangan film Cheng Ho.
Kecintaanya dalam memperjuangkan segala bentuk ketidakadilan, kaum minoritas, kekerasan atas nama agama sekaligus memperjuangkan demokrasi membuat Gus Dur diakui melampui batas Agama, Suku, Etis, Antargolongan dan meraih penghargaan; Simon Wiethemthal Center, giat memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme; Mebal Valor (Los Angeles) berani membela kaum minoritas (umat Konghucu), Universitas Temple diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study; pejuang kemanusiaan Vemont Amerika Serikat (Januari 2010) sebagai tokoh antidiskriminasi dan tokoh Islam yang moderat; First Freedom Award 2010 karena gigih dalam memperjuangkan kebebasan berpikir, HAM bagi seluruh keyakinan, tradisi dan agama.
Namun, Tuhan ternyata punya rencana lain. Sebelum diterima penghargaan kemanusiaan, Ia lebih dulu meninggalkan kita.
Inilah panji-panji kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah dikukuhkan Gus Dur. Kiranya, melestarikan sekaligus memperjuangkan kebebasan beragama merupakan penghargaan terbesar baginya, daripada hanya penganugerahan gelar pahlawan nasional semata. Haruskah kita menafikannya segala perjuanganya? (*)
IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Gus Dur dan Kebebasan Beragama"