Senin, 22 Maret 2010
Sebagian besar berupa pengakuan dalam bidang administrasi kependudukan.
Para
penganut aliran/penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di
mata hukum. Belum lama ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang
antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencacatkan dan
melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat
kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan
menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan.
Permendagri
itu bukan satu-satunya regulasi yang memberi legitimasi hukum
aliran/penghayat kepercayaan. Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) telah menandatangani
Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan
Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Peraturan
administrasi kependudukan yang lebih tinggi tingkatannya seperti
Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
dan Pencatatan Sipil, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 dan UU yang
menjadi payungnya, yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (UU Adminduk), juga memberikan legitimasi bagi penghayat
kepercayaan. Legitimasi hukum ini berbeda sekali dengan perlakuan yang
diterima para penghayat kepercayaan selama Orde Baru. Lembar sejarah
hukum Indonesia mencatat kasus sengketa pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan yang bermuara hingga ke Mahkamah Agung.
Direktur
Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Uli Parulian
Sihombing, memberikan apresiasi atas pengakuan hukum terhadap para
penghayat kepercayaan, khususnya dalam administrasi kependudukan. Namun
penulis buku “Menggugat Bakor Pakem, Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia”
(2009) ini menilai pengakuan hukum tersebut belum benar-benar
dilakukan. Dalam praktik, status agama para penghayar dalam KTP masih
belum diisi sebagai konsekuensi hanya enam agama yang diakui resmi oleh
negara.
Demikian
pula soal pencatatan perkawinan. Peraturan perundang-undangan memang
memberi ruang bagi penganut aliran/penghayat kepercayaan untuk
mencatatan perkawinan mereka di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.
Tetapi seringkali penghayat kesulitan karena perkawinan mereka harus
lebih dahulu dicatatkan pemimpin penghayat kepercayaan. Dan pemimpin
yang diakui adalah yang yang sudah tercatat di Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata. Menurut Uli Parulian, para penghayat kepercayaan banyak
ditemukan pada masyarakat adat yang belum terbiasa dengan dokumentasi
peristiwa kependudukan. Karena itu, legitimasi hukum penghayat
kepercayaan belum bisa diartikan sebagai pengakuan penuh terhadap
eksistensi mereka.
Penodaan Agama
Di
tempat terpisah, Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah mengakui
jaminan terhadap penghayat kepercayaan dalam UU Adminduk sudah lebih
maju dibanding sebelumnya. Namun, ia mencatat masih ada UU yang tidak
ramah terhadap penghayat kepercayaan, yakni UU
No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. “Banyak
perkawinan perempuan penganut penghayat kepercayaan yang tidak dicatat
gara-gara UU ini,” jelas Yunianti dalam pengujian UU Penodaan Agama di
Mahkamah Konstitusi, akhir pekan lalu.
Penjelasan
Pasal 1 UU tersebut memang hanya mengakui enam agama di Indonesia,
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sedangkan empat
agama lain -Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan Thaoism- tidak dilarang
beredar di Indonesia sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan
ini yang sering digunakan para birokrat di Indonesia untuk tidak
mencatat warga negara penganut penghayat kepercayaan. Para penghayat
kepercayaan pun tak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berakibat
sulitnya para penghayat kepercayaan itu mencatat perkawinannya. “Ini
jelas merugikan perempuan,” tegas Yunianti.
Munarman
dari Front Pembela Islam (FPI) mempertanyakan tidak dicatatnya
perkawinan para penghayat kepercayaan memang karena UU Penodaan Agama
atau karena birokrasi yang salah memahami. Ia menilai tak ada
hubungannya UU Penodaan Agama dengan tidak dicatatnya perkawinan
penghayat kepercayaan, karena keduanya berada di ranah hukum yang
berbeda.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba746a098f9c/aliran-kepercayaan-semakin-mendapat-legitimasi-hukum
0 Komentar untuk "Aliran Kepercayaan Semakin Mendapat Legitimasi Hukum"