Mohammad Iskandar
Abstract
Many polemics took
place because of the difference in
interpretation about
deviate religion, especially within the
religious or the new
beliefs. In this study, I select one case of
deviationism which
more or less represent two different era,
namely the Religion
of Java Sundanese Pasundan (Agama Jawa
Sunda Pasundan-AJSP).
According to colonial documents, the
AJSP actually had
appeared in Cigugur-Kuningan, West Java
since the beginning
of the 20th century. But the impact of its
presence, especially
that caused unrest among the society, only
rose since the decade
of the 1920s. Later, the unrest turned into
a tension between
support groups AJSP against Muslim Ummah
around it. Especially
after the AJSP leader, Kiai Madrais openly
said that in the year
of Alip, all religions will be disappeared but
the AJSP. The tension
eventually turned into some collective
actions that
accompanied by some violence. The AJSP side
attacked group of
Muslims and destroyed their properties. On
the other occasion,
the AJSP was the party that was attacked by
muslim community
around it.
Keyword: Agama Jawa Sunda
Pasundan (AJSP), Syncretism,Conflict, Tolerance.
Abstrak
Banyak polemik yang
muncul karena adanya perbedaan
interpretasi tentang
penyimpangan agama, khususnya di dalam
kepercayaan satu
agama tertentu. Dalam studi ini, penulis memilih
kasus penyimpangan
yang merepresentasikan dua era yang
berbeda, yaitu Agama
Jawa Sunda Pasundan (AJSP). Dalam
dokumen dijaman
kolonial, AJSP sebenarnya telah muncul di
1Sebagian bahan dari
artikel ini diambil dari makalah penulis yang
disampaikan pada
seminar internasional Sebumi 3 di Universiti Kebangsaan
Malaysia,
Kualalumpur, 12-13 Oktober 2010.
2Departemen Sejarah,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas
Indonesia. Alamat email:
abahsepuh@yahoo.com; abahsepuh2009@gmail.com
daerah
Cigugur-Kuningan, Jawa Barat sejak awal abad 20; namun
dikarenakan
kemunculannya telah menimbulkan keresahan dalam
masyarakat saat itu,
AJSP baru benar-benar terbentuk pada tahun
1920-an. Di kemudian
hari, keresahan masyarakat tersebut berubah menjadi
ketegangan antara pendukung kelompok AJSP dengan umat Muslim di
sekitarnya. Hal ini semakin nampak ketika pemimpin AJSP,
Kiai Madrais, menyatakan dengan terbuka
bahwa di Tahun Alip,
semua agama akan hilang, kecuali AJSP.
Ketegangan ini
akhirnya berubah menjadi aksi kolektif yang
disertai kekerasan.
Pihak AJSP menyerang kelompok Muslim dan menghancurkan harta
bendanya Dalam kesempatan lain, AJSP menjadi sasaran
kekerasan dari kelompok Muslim di sekitarnya. Kata kunci: Agama Jawa Sunda
Pasundan (AJSP), sinkretisme, konflik agama
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun
di awal abad ke-21, masyarakat
Indonesia disuguhi
berbagai berita tentang beberapa aliran kepercayaan
atau agama baru yang
dinilai “menyimpang” atau sesat oleh Majelis
Ulama Islam (MUI),
seperti “Ingkar Sunnah”, “Al Qiyadah Al-
Islamiyah, “Al Haq”,
“Brajat Agung Mojopahit”, “Hakekok”, “Satrio
Piningit” dan “Tahta
Suci Lia Eden”. Reaksi masyarakat terhadap
keberadaan agama yang
disebut sebagai “aliran sesat” itu, cukup
beragam. Ada kelompok
masyarakat yang menganggap kejadian itu
sebagai fenomena
biasa yang tidak perlu diperdebatkan karena Negara
telah menjamin
kebebasan beragama. Ada pula kelompok yang setuju
dengan pendapat MUI
dan mendesak pemerintah agar segera melarang
atau membubarkan
aliran agama-agama yang menyesatkan itu. Bahkan
beberapa di antaranya
kemudian berinisiatif melakukan aksi
pembubaran
aliran-aliran sesat itu, tanpa menunggu lampu hijau dari
pemerintah. Hal ini
mereka lakukan karena pemerintah dinilainya
terlalu banyak
mengeluarkan pernyataan dan keputusan, namun lamban
dalam melakukan
tindakan. Celakanya, tidak sedikit dari aksi-aksi
pembubaran itu
disertai pemaksaan, yang dinilai berbagai pihak sebagai
tindakan anarkhis dan
melanggar HAM. Oleh karena itu, pemerintah
pun akhirnya turun
tangan, bukan saja untuk meredakan kritikankritikan
yang dialamatkan
kepada pihak pemerintah, tetapi atau
terutama untuk
meredakan suasana yang telah memanas, agar tidak
menjurus ke arah
konflik terbuka yang lebih merugikan lagi, baik secara
finansial maupun
spiritual. Salah satu langkah yang diambil antara lain
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 255
dengan melarang agama
atau aliran yang dinilai sesat untuk melakukan
kegiatan atau
dibubarkan, dan para pendukung atau pengikutnya
diminta untuk
bertobat.
Selain para pemeluk
agama atau aliran terkait yang melakukan
protes, banyak pula
pakar, pengamat dan pendukung liberalisme,
multikulturalisme dan
pluralisme yang tidak setuju dengan keputusan
itu. Mereka
menganggap tindakan itu terlalu terburu-buru dan terlampau
menyederhanakan
permasalahan. Padahal masalah agama atau
kepercayaan merupakan
masalah prinsipiil dan personal sifatnya.
Pemerintah dinilai
hanya memihak kepada kepentingan agama-agama
“besar” serta tidak
menghargai hak serta kebebasan individu dalam
memilih dan
menjalankan agama atau kepercayaannya.
Kontroversi tentang
aliran sesat semacam di atas, sebenarnya
bukanlah suatu hal
yang baru dalam sejarah Indonesia. Jauh
sebelumnya, ketika
kolonialis Belanda masih menguasai kepulauan
Indonesia, isu-isu tentang
aliran atau agama sesat sudah pernah muncul
di beberpa daerah. Di
daerah Lombok, Nusatenggara Barat misalnya,
muncul aliran Islam Wetu
Telu atau Islam Sasak, yang dinilai oleh
sebagian ulama Islam
(wetu lima) di wilayah setempat, sebagai aliran
sesat (Erni
Budiwanti, 2000: 8-33). Demikian pula di Jawa Barat
muncul Agama Jawa
Sunda Pasundan atau Islam Madrais, yang juga
disebut sebagai
aliran sesat oleh ulama Islam di wilayah Priangan
Timur.
Jika kita amati
secara lebih seksama, sebagian dari agama atau
kepercayaan yang
disebut-sebut sebagai “aliran sesat”, pada dasarnya
merupakan salah satu
bentuk perlawanan dari sekelompok orang
terhadap budaya atau
agama besar yang telah mapan, yang dinilainya
telah gagal
memberikan rasa damai, tenteram dan kebahagiaan
kepadanya. Dalam
kasus Agama Jawa-Sunda Pasundan (AJSP)
misalnya, pendiri
agama ini sebelumnya dikenal sebagai seorang
muslim yang pernah
belajar agama Islam di beberapa pesantren di
wilayah Cirebon-Priangan
Timur. Demikian pula dalam kasus aliran
sesat yang lebih
mutakhir, yaitu agama “Tahta Suci Lia Eden”,
pendirinya juga
dikenal pula sebagai seorang muslimah. Tentu saja di
samping adanya
kesamaan, banyak pula perbedaannya. Lia Eden
mengaku sebagai
pembawa ajaran baru yang nota bene sebagai
“penerus” agama Islam
dan Kristen/Katholik. Artinya ada semacam
unsur messianisme atau
prophetisme dalam gerakan keagamaan ini.
Sementara dalam ajaran
AJSP terlihat adanya semacam gerakan
nativisme yang
tercermin dari ajaran-ajarannya. Dalam slogannya
menunjukkan bahwa
AJSP merupakan gerakan keagamaan yang
menentang
agama-agama, yang disebut oleh mereka sebagai agama
impor seperti agama
Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Katholik.
Sebagian pakar ilmu
sosial dan humaniora seperti Sartono
Kartodirdjo, lebih
senang mengatagorikan gerakan AJSP sebagai
gerakan sektarian
daripada aliran sesat. Ia menyebut agama itu sebagai
gerakan budiah, yaitu
gerakan yang muncul sebagai reaksi terhadap
Islam ortodoks yang
dinilainya sebagai agama impor dari luar negeri
(Sartono Kartodirdjo,
1978: 128-129). Pernyataan Sartono Kartodirdjo
ini sangat menarik
mengingat banyak pakar budaya yang menganggap
ajaran AJSP identik
dengan Agama Sunda Wiwitan yang dianut oleh
orang-orang desa
Kaněkěs, Banten.
Dari uraian di atas,
terlihat bahwa pada dasarnya belum ada satu
definisi tentang
“aliran sesat” yang dapat diterima dan memuaskan
semua pihak. Tulisan
ini pun tidak dimaksudkan untuk membuat satu
definisi yang
memuaskan semua pihak, melainkan lebih kepada upaya
penulis untuk ikut
mengungkap makna aliran sesat tersebut. Mengapa
suatu agama atau
aliran kepercayaan disebut sesat itu, apakah (1)
Karena ajarannya atau
doktrinnya terbukti mendorong para penganutnya
melakukan
tindakan-tindakan yang mengganggu tata-tenteram satu
masyarakat, (2)
Karena ajarannya mencatut ajaran agama lain dan
secara langsung
merugikan agama yang dicatutnya, (3) Karena agama
atau aliran kepercayaan
itu tidak diakui oleh negara, atau (4) Sekedar
agama sempalan atau
sektarian seperti yang dikatakan Sartono
Kartodirdjo? Hal ini
penting untuk dikaji mengingat kasus-kasus
semacam itu masih
sering terulang dan sedikit banyak sering
mengganggu tata-tenteram
atau stabilitas nasional. Untuk tujuan itu
penulis mengambil
kasus Agama Jawa Sunda Pasundan (AJSP) yang
dibawa oleh Kiai
Madrais.
Seperti telah
disinggung di atas, AJSP mulai menarik perhatian
komunitas Islam di
wilayah Priangan Timur mulai dasawarsa kedua dari
abad ke-20. Mereka
tersentak oleh pernyataan yang disampaikan oleh
Kiai Madrais, yang
menyetakan bahwa pada “Tahun Alip”, semua
agama yang ada di
Hindia Belanda akan lenyap, kecuali AJSP. Berbagai
reaksi pun mulai, di
antaranya berujung dengan aksi-aksi perusakan
rumah-rumah dsb, baik
yang dilakukan oleh penentang ajaran AJSP
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 257
maupun yang dilakukan
oleh para pengikut AJSP. Meskipun nama
AJSP kini tidak
kedengaran lagi, namun ajarannya masih tetap
terpelihara dan
berkembang sampai kini dalam payung Paguyuban Adat
Cara Karuhun Urang, yang tersebar di
beberapa tempat di Jawa Barat
(Djatikusuma, 1995).
Kiai Madrais dan
Agama Jawa-Sunda Pasundan
Dalam Ensiklopedi
Sunda (2000) disebutkan bahwa Madrais
adalah pendiri aliran
kebatinan yang berpusat di Cigugur, Kuningan.
Disebutkan pula bahwa
asal-usul pendiri aliran kebatinan masih kabur
alias masih simpang
siur. Ada yang mengatakan dia berasal dari Gebang
(Cirebon Timur yang
berbatasan dengan Jawa Tengah) dan ada pula
yang mengatakan dari
desa Susukan, Ciawigebang, Kuningan dari
seorang ibu yang
pernah bekerja pada keluarga bangsawan Gebangan
dibesarkan dan
memperoleh pendidikan agama Islam di Cigugur (Ayip
Rosidi, dkk., 2000:
388.). Satu-satunya sumber data Kiai Madrais yang
paling banyak dikutip
oleh para peneliti adalah keturunan Kiai Madrais
yang menetap di
Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur-Kuningan, Jawa
Barat. Oleh karena
ketidakjelasan itulah maka pemerintah Hindia
Belanda telah menolak
permohonan Kiai Madrais untuk diakui sebagai
keturunan raja-raja
Cirebon dan diizinkan menggunakan nama ayahnya,
yaitu Pangeran
Alibasa Wijaya Kusumaningrat (atau Alibasa Kusuma
Widjajaningrat) yang
merupakan generasi kelima dari Sultan Muhamad
Chaerudin. Ayahnya,
yang menyingkir ke Gebang, meninggal dunia
sewaktu Madrais belum
lahir. Namun karena urutan geneologi yang
diajukan Kiai Madrais
ternyata tidak cocok dengan geneologi para
sultan Cirebon, maka
pemerintah Hindia Belanda menolak dan
melarang Kiai Madrais
menggunakan nama atau gelar tersebut (Van der
Plas, 1929).
Demikian pula dengan
aktivitas keagamaanya (atau politik?)
sampai dengan
beberapa tahun pertama di awal abad ke-20, sama
berkabutnya seperti
asal-usul dirinya. Dari laporan-laporan kolonial
yang terbit pada
dekade 1920-an an 1930-an terungkap bahwa Madrais
pernah belajar agama
Islam di beberapa pesantren di wilayah Priangan
Timur dan Cirebon.
Dengan bekal ilmunya itu ia membuka
perguruannya sendiri.
Aktivitas keagamaannya itu akhirnya menarik
perhatian masyarakat
Priangan, setelah beberapa ajarannya dinilai oleh
para ulama Islam,
melecehkan Islam.
258 Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
Sedangkan berdasarkan
keterangan keluarga keturunan Kiai
Madrais alias
Pangeran Alibasa Wijaya Kusumaningrat (Alibasa
Kusuma Widjaya
Ningrat – Wiwin Djuwita) yang dikutip oleh
Muhamad Hisyam serta
Wiwin Djuwita Ramelan dkk, Madrais alias
Muhammad Rais
dilahirkan di desa Susukan, Ciawigebang pada tahun
1822, dari pasangan
Pangeran Alibasa dan R. Kastewi yang kemudian
diberi nama Sadewa
atau Pangeran Sadewa. Pada usia 3 tahun, ia
dititipkan kepada Ki
Sastrawadana di desa Cigugur-Kuningan dengan
tujuan menyelamatkan
anak itu dari kemungkinan “penangkapan” oleh
pemerintah Belanda,
mengingat kakeknya pernah memberontak kepada
VOC. Oleh ayah
angkatnya diberi nama Muhammad Rais yang
kemudian lebih
dikenal dengan nama Madrais (Hisyam, 2004: 141).
Pada usia sepuluh
tahun Madrais sempat bekerja pada Kuwu
Sagarahiyang sebagai
pengembala kerbau. Tidak jelas berapa lama ia
bekerja pada kuwu
itu. Yang pasti setelah itu ia berguru pada beberapa
pesantren untuk
mempelajari dan memperdalam agama Islam.
Kemudian pada
tahun1840 ia kembali ke Cigugur dan mendirikan
pesantren. Nama Kiai
Madrais pun menjadi terkenal sebagai kiai
“muda” (18 tahun?)
yang alim atau berilmu tinggi (Hisyam, 2004: 141).
Pada awalnya,
komunitas Islam di wilayah Priangan dan Cirebon tidak
melihat sesuatu yang
aneh dari ajarannya. Mereka melihat atau
mendengar cara Kiai
Madrais mengajarkan pelajaran agama Islam, tidak
jauh beda dari
cara-cara yang umum dilakukan oleh para kiai atau
ulama Islam lainnya.
Namun lama kelamaan mereka mendengar berita
bahwa Kiai Madrais
telah menemukan ajaran baru yang diajarkan
kepada para
santrinya. Ajaran itu dengan cepat menarik perhatian para
kiai dan ulama Islam
lainnya di Priangan, karena dalam ajaran dan
praktik keagamaannya
dinilai banyak yang tidak Islami, atau bahkan
bertentangan dengan
ajaran Islam. Celakanya, justru sudah banyak
penduduk desa di
sekitar Cigugur yang tadinya muslim, bahkan
beberapa di antaranya
telah bertitel haji, ikut pula menjadi pengikut Kiai
Madrais. Faktor
inilah yang menyebabkan munculnya keresahan dan
saling curiga di
antara para pengikut Kiai Madrais dengan tetangga
muslimnya, yang
menilai ajaran Kiai Madrais yang kemudian disebut
Agama Jawa Sunda
Pasundan (AJSP) sebagai aliran sesat. Konflik
terbuka pun akhirnya
tidak dapat dihindari, sekaligus telah mengundang
perhatian pemerintah
Hindia Belanda untuk ikut campur ke dalamnya.
Karena dalam kacamata
pemerintah, konflik itu dapat mendorong
instabilitas yang
dapat merusat stabilitas keamanan dan citra Pax
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 259
Neerlandica. Oleh karena itu,
permasalahannya harus secapatnya
diselesaikan.
Namun perlu juga
disampaikan di sini, bahwa ada pula yang
berpendapat bahwa
perhatian pemerintah Hindia Belanda kepada Kiai
Madrais bukan karena
ajarannya yang sesat, melainkan karena aktivitas
politik
kebangsaannya. Menurut Wiwin Djuwita dan Muhamad Hisjam,
Kiai Madrais telah
menjadikan pesantrennya yang diberi nama Paseban
Tri Panca Tunggal, sebagai tempat
menanamkan ide-ide kebangsaan
untuk melawan
Belanda. Kegiatan itu sudah dilakukan jauh sebelum
Boedi Oetomo berdiri. Karena
aktivitasnya itulah menurut Elang
Gumirat Barna Alam,
sejak tahun 1901 pesantren itu ditutup oleh
Belanda. Kiai Madrais
sebagai pemimpin dan pengasuh pesantren itu
ditangkap dan dibuang
ke Papua Barat (Wiwin Djuwita Ramelan
menyebutkan ke
Merauke, sedangkan Hisyam mengatakan ke Digul).
Menurut Wiwin dkk,
setelah kembali dari Merauke tahun 1908, Madrais
tidak lagi melakukan
kegiatan di pesantrennya karena Belanda
senantiasa menerapkan
pengawasan terhadap aktivitasnya, antara lain
dengan melarang untuk
menemui para pengikutnya (Ramelan dkk,
2008: 47). Dari
sumber kolonial, penulis tidak menemukan data yang
memperkuat atau
menentang pendapat Ramelan dkk maupun Hisyam,
yang pasti, seperti
akan diungkapkan di bawah, justru pada dekade
1920-an munculnya
reaksi dari para ulama Islam terhadap ajaran Kiai
Madrais. Andaikata
pendapat yang bersumber dari Elang Gumirat itu
benar, maka penulisan
Sejarah Nasional Indonesia perlu dikoreksi,
terutama menyangkut
gerakan kebangkitan nasional (Ramelan dkk,
2008: 38; Hisyam,
2004: 143).
Terlepas dari benar
atau tidaknya bahwa Kiai Madrais telah
menyemaikan ide-ide
nasionalisme menentang Belanda, perlu pula di
sampaikan di sini,
bahwa menurut data-data kolonial, disebutkan bahwa
munculnya gerakan
AJSP, banyak terkait dengan kondisi ekonomi
petani di Priangan
Timur dan Cirebon waktu itu. Data ini sejalan dengan
beberapa pendapat
yang disampaikan para pakar sejarah ekonomi-sosial
dan ekonomi moral.
Mereka menyebutkan bahwa eksploitasi ekonomi
oleh pemerintah atau
pihak swasta di suatu wilayah, yang tidak
diimbangi oleh
peningkatan kesejahteraan masyarakat terkait akan
mendorong munculnya
keresahan, yang pada gilirannya nanti
mendorong munculnya
aksi-aksi kolektif atau pemberontakan
(Kartodirdjo, 1978
& 1984). Kemiskinan memang dapat memancing
munculnya keresahan,
namun tidak semua keresahan berujung pada aksi
260 Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
pemberontakan yang
berdarah-darah. Ada pula pemberontakan yang
dipertunjukkan kaum
petani tanpa unsur kekerasan atau secara diamdiam
dalam bentuk mogok
kerja atau boikot (Scott, 1985: 241-300) atau
dalam tradisi Jawa
disebut aksi “pepe”. Oleh karena itu, Scott menyebut
pemberontakan sebagai
suatu misteri (Scott, 1981: 307-314).
Jika AJSP ini
dianggap sama atau salah satu varian dari agama
atau kepercayaan
Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Kaněkěs,
maka AJSP dapat saja
dianggap sebagai aliran sesat. Hal ini dapat
dilihat dari
ajarannya yang sangat berbeda dengan ajaran Sunda
Wiwitan versi
Kaněkěs. Nama-nama dewa seperti Sang Hiyang Keresa,
Batara Tunggal dan Jagat serta
para pohaci dalam ajaran Sunda
Wiwitan, nyaris tidak
ada dalam ajaran AJSP. Prinsif dasar ajaran dari
AJSP yang disampaikan
oleh Kiai Madrais adalah sebagai berikut:
• Ngaji kana badan
(menilai diri sendiri), artinya harus belajar
menilai diri sendiri
serta harus berlajar hidup harmonis, termasuk
dalam berhubungan
dengan Gusti nu Maha Suci. Ajaran ini
mengingatkan kita
pada ungkapan yang sering disuarakan oleh
kaum sufi Islam,
yaitu: siapa mengenal dirinya maka akan
mengenal Tuhannya,
sanga Maha Kuasa.
• Ngiman kana bumi,
artinya percaya dan setia kepada bumi, karena
kita dilahirkan di
atas bumi, di atasnya pula kita tidur, duduk,
bangun, berbaring,
kerja, dan hidup. Dari bumi pula kita
memperoleh semua yang
diperlukan, termasuk buang air besar dan
kecil, dan di atasnya
kita meninggal dan kemudian dikebumikan.
Selanjutnya dengan
bumi harus diartikan sebagai kiasan: “bumi
bukan bumi tapi roh,
roh bukan roh tapi angin (istilah mistik untuk
menyebut Yang Maha
Kuasa)”. Sebelum ada bumi, angin dan awan
roh sudah ada.
• Ngiblat kana
Ratu Raja. Yang dimaksud adalah di mana-mana yaitu
kekuasaan Belanda
merupakan manifestasi dari semua roh yang ada
di dunia ini.
Madrais sendiri
sebagai pemimpin agama ini menganggap
dirinya sebagai
keturunan raja Jawa yang telah menerima semacam
wahyu dan mengetahui
bagaimana berat dan sulit tanggungjawab
memerintah bagi Yang
Mulia Ratu. Oleh sebab itu, menurut Madrais,
Allah sendiri yang
telah memilihnya dan keturunannya untuk
mengemban tugas itu.
Menurut salah seorang pengikutnya yang
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 261
bernama H. Ali, Kiai
Madrais adalah orang yang harus disembah setelah
masing-masing ngaji
kana badan, karena dia adalah rosul rasa. Dengan
kata lain. Kiai
Madrais adalah reinkarnasi dari pencipta langit, laut,
udara yang disebut Kangjeng
Gusti Rosul Dingin (Van der Plas, 1929).
Kepercayaan tentang
reinkarnasi jelas menunjukkan adanya pegaruh
ajaran Buddha dalam
ajaran Kiai Madrais, sekaligus juga
“bertentangan” dengan
doktrinnya sendiri yang berkaitan dengan
kehidupan setelah
kematian.
Jika dalam agama
samawi seperti Islam dan Kristen yang
mempercayai adanya
kehidupan yang abadi setelah kematian, maka
menurut ajaran AJSP
tidak ada lagi kehidupan setelah kematian. Jiwa
atau nyawa manusia
akan kembali ke asalnya (roh segala roh) atau
kembali ke bumi (bumi
dianggap mistik). Oleh karena itu, dalam ajaran
AJSP tidak mengenal pahala
(ganjaran) dan hukuman (siksaan).
Meskipun tidak
mempercayayi adanya kehidupan yang abadi setelah
kematian, namun dalam
agama ini masih ada kepercayaan bahwa jasad
orang mati dapat
berubah menjadi jurig, kunti atau roh jahat di cerukceruk
yang dalam yang suka
mengganggu manusia. Oleh karena itu,
jasad orang mati
harus dimasukkan ke dalam peti agar tidak berubah
menjadi jurig (bandingkan
dengan Ramelan dkk, 2008: 45).
Meskipun ajaran AJSP
tidak mempercayai adanya kehidupan
setelah kematian,
namun ajarannya menyebutkan bahwa roh-roh orang
yang sudah meninggal
mencoba pula untuk menjadi manusia kembali.
Bahkan semua binatang
pun ingin menjadi manusia. Oleh karena itu,
semua binatang tanpa
kecuali boleh dimakan. Juga terhadap mereka
syarat berlaku tanpa
perbedaan (ulah ngabeda-beda). Terkait dengan
ajaran yang disebut
terakhir, pada dasarnya ajaran agama ini merupakan
ajaran moral untuk
tidak membedakan bangsa sendiri dengan bangsa
lainnya, hidup dalam
persahabatan, kesetaraan, termasuk hubungan
antara suami dan
istri. Akan tetapi dalam praktiknya, ajaran Ki Madrais
ini justru
menganjurkan agar para pengikutnya tidak mempelajari ajaran
yang bukan berasal
dari budaya sendiri, seperti Islam, Kristen, Buddha
dan Katholik (Van der
Plas dalam Mailrapport No.115x/1930). Ajaran
ini rupanya masih
terus dipertahankan oleh para pengikutnya di Cigugur
(lihat Ramelan dkk,
2008: 45)
Penafsiran atas semua
ajaran itu oleh kelompok pengikut AJSP
di setiap wilayah
ternyata tidak sama. Di wilayah Karawang, Bandung
dan Tasikmalaya, para
penganut ajaran AJSP menafsirkan begitu saja
262 Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
ajaran itu tanpa
kecuali. Karena itu di wilayah-wilayah itu praktis tidak
ada kasus perceraian
atau poligami di kalangan mereka. Sementara di
Cigugur, para
pengikut Kiai Madrais itu menafsirkan ajaran dengan
menggunakan semacam
“prakondisi”. Mengingat tidak boleh bercerai,
maka kepada pasangan
yang hendak menikah atau berumah tangga,
dianjurkan untuk
hidup bersama terlebih dahulu selama kira-kira tiga
bulan. Selama masa
“percobaan” itu mereka dapat belajar dan menilai,
apakah semua
kebutuhan dalam membina rumah tangga betul-betul
telah siap, misalnya
dalam masalah hubungan suami-istri (seks) dan
keturunan
(reproduksi). Setelah kedua belah pihak sudah paham, maka
pernikahan pun
diselenggarakan. Demikian pula dalam masalah
poligami, ada yang
menafsirkan tanpa kecuali, artinya setelah menjadi
pemeluk AJSP hanya
boleh mempunyai seorang istri. Sementara ada
juga yang menafsirkan
boleh berpoligami, kalau pernikahannya terjadi
sebelum menjadi
pengikut AJSP. Sebagai catatan Kiai Madrais sendiri
mempunyai empat orang
istri.
Demikian pula dalam
masalah perceraian, di Cigugur masalah
perceraian ternyata
diperbolehkan apabila kedua belah pihak
menyatakan tidak ada
lagi kecocokan dan tidak ada lagi kepuasan dalam
hubungan suami-istri
(suaminya yang impoten atau sitrinya yang frigid),
atau karena tidak
memperoleh keturunan. Pihak perempuan boleh
menikah lagi setelah
masa iddah-nya berakhir. Masa iddah jelas berasal
dari ajaran Islam,
karena dalam ajaran Sunda Wiwitan versi orang
Kaněkěs tidak
mengenal iddah. Demikian pula agama Hindu-Buddha
atau Katholik dan
Protestan tidak mengenal masa iddah.
Dalam masalah hak
waris bagi keturunan pasangan suami istri,
baik anak laki-laki
maupun perempuan mempunyai hak yang sama. Hal
ini berbeda dengan
ajaran Islam yang membedakan antara hak waris
anak laki-laki dan
anak perempuan, di mana anak laki-laki memperoleh
dua kali lebih banyak
dari hak waris anak perempuan. Dalam hak waris,
ajaran AJSP lebih
mirip dengan ajaran Katholik atau Protestan, yang
juga tidak membedakan
hak waris untuk anak perempuan dan hak waris
untuk anak laki-laki.
Menurut hasil
pengamatan pejabat Hindia Belanda, pada
dasarnya AJSP pada
dasarnya tidak mengajarkan tentang kebahagiaan
melainkan mengajarkan
tentang kesusilaan. Hal itu nampak jelas pada
beberapa ajarannya
yang disusun dalam bentuk syair dan prosa, yang
isinya berbicara
tentang mencuri, permainan mencari untung, perbuatan
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 263
a susila, iri dan
terutama kebencian dan kecemburuan dilarang.
Demikian pula fitnah
terhadap sesama harus dihindari, semua harus
hidup dengan damai
bersama-sama. Dalam masalah “kesusilaan” dapat
dikatakan tidak ada
sesuatu hal yang berbeda dengan ajaran Islam yang
nota bene pernah dipelajari
oleh Kiai Madrais dari pesantren-pesantren
yang ada di wilayah
Cirebon dan Priangan Timur.
Reaksi Kaum Muslimin
terhadap AJSP
Seperti telah
disinggung di atas, pada awalnya masyarakat
Islam di Priangan
tidak begitu mengambil pusing dengan gerakan yang
dilakukan oleh
kelompok Madrais. Sikap itu kemudian berubah setelah
para pengikut Kiai
Madrais mulai “menyebarkan” ajarannya ke luar
daerahnya. Mereka
yang sebelumnya sudah merasa resah oleh ajaran
yang dinilai
menyesatkan itu, merasa tidak bisa tinggal diam. Apalagi
setelah beberapa kiai
dan ulama Islam di Priangan menilai ajaran yang
disebarkan pengikut
Kiai Madrais itu bertentangan dengan ajaran Islam,
bahkan dianggap
melecehkan ajaran agama Islam. Oleh karena itu,
mereka mengingatkan
kepada masyarakat Islam setempat untuk
waspada terhadap
ajaran Agama Jawa-Sunda Pasundan yang dibawakan
Kiai Madrais. Apalagi
setelah beredah pula berita yang menybutkan
bahwa beberapa tokoh
dan ulama Islam yang menjadi pengikut AJSP
atau Kiai Madrais,
yang disebut-sebut telah dilaporkan oleh Asisten
Wedana setempat dalam
Bandoengsche, 20 September 1921
No.1311/32.
Dari sikap waspada
itu kemudian berubah menjadi sikap curiga
terhadap para
pengikut AJSP dan terus tumbuh menjadi sikap antagonis
antara pengikut AJSP
dan pihak-pihak yang mencurigainya. Sikap
bermusuhan itu tumbuh
subur terutama dipicu oleh pernyataan Kiai
Madrais yang
menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama impor
dari Timur Tengah
(Arab), bukan agama asli orang Sunda. Selain itu
Kiai Madrais juga
mengatakan bahwa pada Tahun Alip semua agama
kecuali AJSP, akan
bubar. Tahun Alip akan berlangsung dari 20 Juni
1928 hingga 9 Juni
1929 (Nota Van der Plas, loc.cit).
Sementara itu, dalam
laporan politik mingguannya, Residen
Priangan Timur
mengatakan bahwa berdasarkan laporan mata-mata
yang masuk ke Wedana
Singaparna, diungkapkan bahwa Kiai Madrais
telah mendatangi para
pengikutnya untuk meminta sumbangan uang
sebesar f.25 dan satu
pikul beras untuk keperluan slametan yang akan
264 Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
diadakan di rumahnya
di Cigugur. Slametan itu rencananya akan
diselenggarakan
antara bulan Rewah dan Sawal (Februari-Maret 1930)
dengan tujuan agar
semua cita-cita mereka tercapai. Setelah slametan
itu, semua orang
Eropa, Cina dan para penduduk Muslim akan diusir
dan harta milik yang
ditinggalkannya akan dibagi-bagikan kepada
semua pengikut Kiai
Madrais. Untuk pengukuran tanah telah disediakan
gulungan tali yang
disimpan di rumah Madkanta dari desa
Tawangbanteng,
Indihiang-Tasikmalaya (Laporan Residen Priangan
dalam Mailrapport N0.115x/1930).
Kecurigaan masyarakat
Islam di Priangan Timur semakin
meningkat setelah
mendengar adanya laporan seperti itu. Mereka
percaya begitu saja
terhadap isu itu tanpa perlu mengecek terlebih
dahulu bagaimana
sebenarnya isi laporan tersebut. Oleh karena itu,
konflik antara
masyarakat pemeluk agama Islam dengan pengikut
Agama Jawa-Sunda
Pasundan pun tidak dapat dielakkan.
Di daerah Cipari,
Garut sekelompok santri di bawah pimpinan
penghulu dilaporkan
telah melakukan semacam aksi penyisiran terhadap
orang-orang yang
dicurigai sebagai pengikut AJSP. Tujuannya adalah
untuk menyadarkan
mereka yang sudah terlanjur menjadi pengikut Kiai
Madrais agar kembali
ke ajaran Islam yang benar. Untuk itu, kepada
mereka yang telah
“tersesat” itu diberikan penerangan tentang kesesatan
ajaran itu sehingga
banyak di antaranya yang mau kembali ke agama
Islam.
Tentu saja tidak
semua berjalan damai seperti itu, misalnya di
kampung Susuruh di
Kecamatan Panawangan, Ciamis. Para pengikut
Kiai Madrais di
kampung ini dikejutkan oleh datangnya serangan dari
sekelompok orang yang
berasal dari kampungnya sendiri yang disertai
kelompok penduduk
dari kampung Kawali. Tanpa basa basi, para
penyerang langsung meluluh
lantakan rumah-rumah milik para pengikut
Kiai Madrais dan
memaksanya untuk segera bertaubat dan kembali ke
jalan benar (Islam).
Penyerangan itu tidak sampai menimbulkan korban
jiwa. Kepala desa
setempat membenarkan tentang adanya aksi
penyerangan itu
sewaktu dimintai keterangan oleh pejabat dari
kewedanaan Ciamis
(Surat Gubernur Jawa Barat dalam Agenda No.
436).
Selain itu,
dilaporkan pula bahwa aksi penyerangan tidak selalu
datangnya dari
kelompok yang anti AJSP, tetapi sebaliknya datang dari
para pengikut ajaran
AJSP itu sendiri. Menurut isu yang berkembang
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 265
waktu itu disebutkan
bahwa para pengikut AJSP telah melakukan
pelemparan bom
(molotov) ke rumah Asisten Residen dan rumah
Bupati di Bandung.
Namun tidak ada konfirmasi dari pejabat resmi,
apakah serangan itu
benar-benar terjadi. Hal itu memang menimbulkan
banyak pertanyaan.
Yang pasti Kiai Madrais tidak pernah dipanggil oleh
pejabat pemerintah
atau polisi berkaitan dengan isu pelemparan bom
tersebut
(Kartodirdjo, 1978: 128).
Benar atau tidaknya
isu itu memang masih samar-samar. Yang
jelas, desas-desus
itu secara tidak langsung telah memancing kemarahan
kelompok Muslim di
beberapa tempat, yang berunjung pada aksi yang
hampir sama seperti
sebelumnya, yaitu merusak balik rumah-rumah
milik orang-orang
yang diduga menjadi pengikut Kiai Madrais. Pada
bulan April 1928
misalnya, beberapa rumah pengikut Kiai Madrais di
Kecamatan Ciawi
dilaporkan telah dirusak oleh sekelompok Muslim.
Selain merusak rumah,
kelompok Muslim itu juga mengancam akan
membunuh para
pengikut Kiai Madrais, jika mereka tetap menjalankan
ajaran AJPS. Menurut
laporan yang dikutip oleh Van der Plas, akibat
ancaman itu, banyak
pengikut Kiai Madrais yang keluar dari AJSP
untuk kembali memeluk
agama Islam (Van der Plas).
Mungkin saja laporan
itu benar, dalam arti hanya menyangkut
pengikut yang ada di
daerah Ciawi, tapi tidak di daerah lainnya. Sebab
ajaran Kiai Madrais
terus berkembang, di beberapa tempat, terutama di
daerah Cigugur,
Kuningan. Sebab, jika ditelaah secara lebih arif, prinsip
dasar ajaran AJSP
yang disampaikan oleh Kiai Madrais, memang tidak
ada unsur-unsur yang
bersifat radikal. Seperti telah diuraikan di atas,
ajaran Kiai Madrais
bersifat halus dan lebih mirip ajaran susila. Dari
arsip-arsip kolonial
yang berhasil dibuka, tidak ditemukan ajaran atau
fatwa Kiai Madrais
yang menunjukkan semangat kebangsaan seperti
yang disampaikan
pihak keluarga Madrais. Ajarannya justru
berorientasi kepada
kesukuan dan orientasinya lokal, yang dinilai oleh
penguasa setempat,
tidak mempunyai pengaruh politis yang perlu
dikhawatirkan. Ajaran
Kiai Madrais lebih banyak berdampak pada
masalah sosial dan
budaya (agama), yang mulai nampak sejak keluar
pernyataannya pada
tahun 1916 tentang agama-agama lain di luar AJSP.
Menurut beberapa
pengikut Madrais, seperti Madhoeri, seorang mantan
tokoh Islam dari
Leuwigajah-Cimahi, dan Raimun dari Cimareme,
Padalarang, Kiai
Madrais telah mengatakan bahwa pada tanggal 1 Sura
Tahun Alip, semua
agama, kecuali AJSP, akan bubar. Tahun yang
266 Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
dimaksud akan
berlangsung dari 20 Juni 1928 hingga 9 Juni 1929 (Van
der Plas).
Pernyataan Kiai
Madrais yang menyebutkan Tahun Alip
sebagai hari
lenyapnya agama “impor” dari bumi Jawa, jelas membawa
muatan politis, yang
secara tidak langsung membuat penganut agama
“impor”, khususnya
Islam, menjadi curiga, bahkan di beberapa tempat
menjadi marah.
Tuduhan mereka kepada AJSP sebagai aliran sesat
semakin kuat, setelah
Tahun Alip lewat, ternyata agama-agama “impor”
seperti Islam,
Kristen dan Hindu masih tetap eksis. Peristiwa itu
semakin memperkuat
tuduhan, bahwa ajaran AJSP memang sesat dan
menyesatkan.
Meskipun ada unsur
yang bersifat politis-radikal, akan tetapi
secara umum diakui
oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah Hindia
Belanda, bahwa ajaran
Kiai Madrais sifatnya halus. Dan dengan
kehalusannya itu AJSP
dapat terus berkembang dan beradaptasi
mengikuti
perkembangan jaman, termasuk perubahan nama. Oleh
karena itu, para
pengikut Kiai Madrais masa kini tidak lagi mengenal
nama AJSP. Mereka
lebih mengenal Agama Djawa Sunda (ADS) yang
merupakan singkatan
dari: Andjawat Lan Andjawab Roh Susun-susun
Kang Den Tunda yang berarti “memilih
dan menyaring getaran yang
ada di alam semesta
yang senantiasa berinteraksi dan mempengaruhi
dalam hidup manusia”
(Wiwin Djuwita Ramelan dkk, 2008: 44.).
Reaksi Pemerintah Hindia
Belanda
Dalam menghadapi AJSP
yang kemudian sering disamarkan
dengan agama Sunda
Wiwitan, umumnya pemerintah kolonial bertindak
netral. Dalam
notanya, Van der Plas mengatakan bahwa sebaiknya
pemerintah Hindia
Belanda tetap menjaga netralitas sambil tetap
menjaga ketertiban.
Artinya pemerintah tidak boleh ikut terbawa arus,
menilai ajaran yang
dibawakan Kiai Madrais itu, apakah benar ataukah
sesat. Yang penting
bagi pemerintah adalah menjaga stabilitas
keamanan (rust en
orde), agar citra pemerintah sebagai pelindung rakyat
dan pembawa
kesejahteraan tetap terpelihara. Jika ajaran Kiai madrais
itu hanya sekedar
pesan moral, biarkanlah mereka berkembang, kalau
perlu didukung.
Sebaliknya, jika terbukti bahwa ajaran Kiai Madrais itu
mulai menjamah ranah
politik yang membahayakan eksistensi
pemerintah Hindia
Belanda, maka pemerintah wajib menindaknya
secara tegas.
Kemudian Van der Plas mengatakan bahwa untuk
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 267
sementara waktu, ia
belum menerima laporan tentang adanya upaya
gerakan politis yang
mengarah kepada pemberontakan dari para
pengikut Kiai
Madrais. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi
pemerintah untuk
membubarkan para pengikut agama tersebut.
Van der Plas juga
mengingatkan agar pemerintah bertindak
hati-hati dalam
menyelesaikan permasalahan yang muncul di wilayah
Priangan Timur.
Jangan sampai muncul kesan atau salah pengertian dari
kalangan kaum
Muslimin, bahwa pemerintah telah melindungi Kiai
Madrais dan
pengikutnya, atau lebih parah lagi, pemerintah dianggap
berdiri di balik
AJSP. Oleh karena itu, untuk mengurangi rasa curiga
kaum Muslimin itu,
sekaligus untuk menjaga citra pemerintah Hindia
Belanda yang netral
agama, maka pemerintah berkewajiban untuk
membayar semacam
“ganti rugi” kepada kaum Muslimin yang merasa
dirugikan atau
dilecehkan kepercayaannya oleh para pengikut AJSP.
Memasuki tahun
1930-an, dapat dikatakan tidak terdengar lagi
konflik antara
pendukung AJSP dengan kaum Muslimin yang menjadi
tetangganya, termasuk
di Cigugur, Kuningan, yang menjadi pusat
kegiatan AJSP. Hal
ini mungkin saja pemerintah Hindia Belanda telah
berhasil melakukan
langkah-langkah pengamanan sesuai saran dari Van
der Plas, atau karena
ada faktor lain, misalnya munculnya polemik
masalah khilafiah di
kalangan kaum Muslimin. Sejak pertengahan 1920-
an, masalah khilafiah
telah menyedot perhatian para kiai dan ulama
Islam di Jawa Barat,
dan menyeret ke dalam polemik yang
berkepanjangan. Salah
satu dampak negatif dari polemik itu adalah
“terpecahnya” umat
Islam di Indonesia (Hindia Belanda) ke dalam dua
kubu besar, yang pada
waktu itu disebut Islam reformis (kaum muda)
dan Islam
tradisionalis (kaum tua). Akan tetapi mungkin saja masalah
khilafiah tidak bergaung pada
masyarakat Islam di wilayah Cigugur dan
sekitarnya. Yang
pasti sampai Hindia Belanda diambil alih oleh
pemerintah pendudukan
Jepang, tidak terdengar lagi konflik terbuka
antara pengikut AJSP
dengan kaum Muslimin sekitarnya.
Toleransi Keagamaan
Sebagai Akar Permasalahan
Telah banyak diungkap
oleh pakar sejarah Indonesia, bahwa
salah satu faktor
yang mempermudah proses islamisasi di kepulauan
Indonesia adalah
sikap toleransi dari para da’i atau ulama-ulama Islam
terhadap budaya
masyarakat setempat, serta berjalan secara damai.
Walaupun harus diakui
bahwa faktor yang disebutkan terakhir, masih
268 Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
harus dikoreksi atau
dengan kata lain tidak semuanya benar, karena
dalam proses itu
kadangkala terjadi pula ekses-ekses kekerasan. Di
wilayah Banten dan
Jawa Barat misalnya, proses islamisasi tidak
sepenuhnya berjalan
secara damai. Bahkan proses islamisasi di wilayah
ini banyak diwarnai
oleh peperangan, terutama sewaktu penguasa Islam
berusaha mengambil
alih kontrol terhadap bandar Sunda Kalapa yang
kala itu berada di
bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Peperangan pun
berlanjut sewaktu
kekuatan Islam Banten berupaya menaklukan kota
Pakwan yang menjadi
pusat pemerintahan kerajaan Pajajaran yang nota
bene masih beragama Hindu.
Dalam Purwaka Caruban Nagari
diungkapkan bagaimana
kekuatan Kesultanan Banten berupaya
menaklukan Pajajaran.
Dalam upayanya itu beberapa kali pasukan
Banten mengalami
kekalahan sampai akhirnya berhasil menguasai
Pakwan Pajajaran.
Setelah itu, barulah islamisasi berproses secara
damai dan disertai
toleransi relatif tinggi terhadap budaya setempat.
Salah satu bukti
sikap toleransi dari ulama dan penguasa Islam antara
lain tercermin sikap
menghormat serta menghargai pendirian penduduk
wilayah Kaněkěs,
Banten Selatan yang tetap mempertahankan tradisi
dan agama karuhun-nya,
Sunda Wiwitan.
Di satu sisi, sikap
toleran terhadap budaya setempat berdampak
positif, yaitu
mempermudah dan mempercepat proses islamisasi di
daerah bekas kerajaan
Pajajaran. Akan tetapi di sisi lainnya, sikap itu
berdampak negatif
pada pemahaman masyarakat “eks Pajajaran”
terhadap ajaran
Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Zaini Muchtarom
(Muchtarom, 1988:
18), salah satu konsekuensi sikap toleran yang
ditempuh para ulama
terdahulu adalah munculnya sinkretisme Islam.
Makin kuat budaya
praislam di suatu daerah, maka tingkat
sinkretismenya,
semakin kuat. Sebagai contoh, di Ciomas, Dermaga
dan Ciampea
(sekarang, seluruhnya di wilayah kabupaten/kota Bogor)
yang sebelumnya
merupakan pusat pemerintahan Hindu Pajajaran,
pengaruh budaya
praislam, bahkan prahindu, masih nampak dipraktikan
oleh masyarakat
setempat yang nota bene telah menjadi Muslim sejak
lama. Beberapa
praktik budaya yang berasal dari praislam itu, misalnya
upacara slametan ke-1,
ke-2 atau ke-100 hari kematian dan upacara
sedekah bumi untuk menghormati
para penguasa bumi, yang biasanya
diakhiri dengan
menanam kepala kerbau atau sapi (Iskandar, 2007).
Bahkan di beberapa
tempat yang kuat pengaruh agama atau
kepercayaan
praislamnya, dapat dikatakan kepercayaan lama masih
tetap hidup dengan
sedikit polesan Islam. Beberapa kepercayaan
semacam agama Sunda
Wiwitan dianut oleh beberapa komunitas Sunda
di Jawa Barat
seperti: di Kanekes-Banten (Ajip Rosidi dkk, 2000: 626-
627), Ciawi,
Indihiang-Tasikmalaya, Kawali-Ciamis, dan Cigugur,
Kuningan (Van der
Plas, loc.cit).
Sebutan “Sunda
Wiwitan” sebenarnya bukan berasal dari
penduduk Kaněkěs yang
menjadi penganut kepercayaan itu, melainkan
berasal dari sebutan
pihak luar. Wiwitan berarti “mula pertama”, “asal”,
“pokok”, “jati”.
Dalam naskah Carita Parahiyangan agama itu disebut
Jati Sunda. Agama ini kemudian
disebut-sebut oleh beberapa penulis,
antara lain Edy S.
Ekajati, dianut pula oleh beberapa komunitas Sunda,
selain di Kaněkěs,
seperti di Kampung Susuruh, Kecamatan Kawali,
Tasikmalaya, dan
Kampung Cigugur, Kuningan. Menurut ajaran agama
Sunda Wiwitan (versi
Kaněkěs), kekuasaan tertinggi atas segala alam
berada pada Sang
Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang menghendaki)
yang biasa pula disebut Batara
Tunggal (Tuhan Yang Maha
Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan
Batara Sěda Niskala (Yang Gaib). Semua
dewa dalam konsep Hindu
seperti Brahma,
Wisnu, Syiwa, Indra, dan Yama, tunduk kepada Batara
Sěda Niskala (Rosidi, 1962:). Hal
ini sekaligus menunjukkan bahwa inti
ajaran agama ini
berasal dari kepercayaan lama yang kemudian
mendapat “pengayaan”
(sinkretisme) dari ajaran agama baru, yaitu
agama Hindu-Buddha.
Dengan kata lain, dalam kasus ini, sinkretisme
muncul dalam sistem
kepercayaan masyarakat Kaněkěs bukan karena
sikap pendeta atai da’i
yang toleran, melainkan karena mereka
memilihnya.
Menurut kosmologi
Hindu-Buddha yang berkembang di Asia
Tenggara, alam raya
terdiri dari jagat besar dan jagat kecil (macromicro
cosmos), sementara menurut
kosmologi orang Kaněkěs, terdapat
tiga macam alam,
yaitu: (1) Buana Nyungcung, tempat tinggalnya Sang
Hiyang Keresa, yang
letaknya paling atas; (2) Buana Panca Tengah,
tempat berdiam
manusia dan mahluk lainnya, dan (3) Buana Larang
yaitu neraka, yang
letaknya paling bawah. Di antara Buana Panca
Tengah dengan Buana
Larang terdapat 18 lapisan alam yang tersusun
dari atas ke bawah.
Lapisan teratas bernama Bumi Alam Suci Padang,
yang disebut dalam Keropak
630 dengan nama Alam Kahiyangan atau
Mandala Hiyang. Alam yang disebutkan
terakhir ini adalah tempat
tinggal Nyi Pohaci,
Sri, dan Sunan Ambu yang namanya melegenda
dalam cerita rakyat
Priangan, seperti dalam cerita Lutung Kasarung
(Rosidi, 1962).
Selain sinkretisme,
sikap toleran itu juga telah membuat
dongeng-dongeng dan
tahayul-tahayul praislam tetap lestari, bahkan
sampai beberapa abad
berikutnya. Pada masa sekarang (awal abad ke-
21), masih banyak
orang Sunda, terutama di daerah pedesaan yang
percaya terhadap
hantu yang dalam bahasa setempat disebut jurig.
Dalam kepercayaan ini
terdapat beberapa nama jurig dengan ciri dan
karakternya
masing-masing seperti: (1) Banaspati, (wanaspat-Sskrtnama
sarupa jurig),
yaitu hantu perempuan hutan, yang bermukim di
puncak-puncak pohon
dan menghabiskan waktunya dengan memintal
benang kanteh (nganteh).
Desis yang sering terdengar dari puncakpuncak
pohon sering
ditafsirkan oleh penduduk desa sebagai pertanda
adanya roh-roh alias banaspati
itu. (2) Bungaok (jurig goreng patut)
adalah sejenis jurig
yang menghuni hutan-hutan, namun dengan
penampilan yang lebih
menakutkan dibandingkan dengan banaspati.
Siapa pun yang
melihatnya akan berdiri ketakutan. (3) Ganderewo
(Gandharwa-Sskr-
jurig hutan) adalah roh jahat atau iblis penyihir
(sebutan iblis, jelas
menunjukkan adanya pengarus Islam) yang selalu
mencari seseorang
untuk menganggunya atau mempersulit kehidupan
orang tersebut. (4) Loklok
adalah sejenis jurig yang digambarkan
menyerupai burung
merak yang kemasukan setan (sebutan setan juga
berasal dari Islam).
Burung tersebut terbang di udara kesana-kemari
melewati pemukiman
penduduk, yang mengakibatkan orang-orang yang
wilayahnya dilewati
mendapat gangguan penyakit atau gangguan lain.
(5) Lulun Samak adalah
setan air yang menampakkan diri seperti tikar
terapung di atas air.
Ketika manusia mendekati, mereka akan
menggulungnya dan
lenyap dibawa masuk ke dalam air, dan siap yang
berupa menolongnya
akan ikut diserap ke dalam air., dan (6) Dedemit
(bangsa jurig yang
tidak pernah menampakan diri) asal dari kata demit
yang artinya diam
tanpa suara atau tidak kelihatan, bagi penulis agaknya
menunjuk pada roh-roh
yang tidak berbunyi, yang tinggal di wilayah
sepi, atau mereka
merupakan roh-roh tanpa bunyi desir menyerang
secara tiba-tiba
manusia malang (Coolsma,1881: 67-70).
Di Indonesia, gugatan
terhadap sinkretisme Islam terutama
menyangkut
praktik-praktik kegamaan, mulai muncul pada abad ke-19,
seperti terjadi di
wilayah Sumatera Barat yang terkenal dengan gerakan
kaum Padri. Sementara
di Jawa Barat gugatan kaum reformis Islam
terhadap praktik
senkretisme itu terlihat jelas pada dekade 1920-an dan
1930-an. Praktik
keagamaan yang dinilai sinkretis itu antara lain
slametan ke sekian hari untuk
orang yang sudah meninggal dan upacara
sedekah bumi. Praktik-praktik
semacam itu dikatakan sebagai bid’ah,
yang merusak
kemurnian ajaran Islam dan dapat menyeret orang-orang
yang mempraktikannya
ke dalam neraka. Namun tidak sedikit pula kiai
atau ulama Islam
tradisional yang menilai slametan, tidak serta merta
menjadi bid’ah. Hal
itu tergantung pada niat dan penafsiran si
penyelenggara, apakah
penyelenggaraan itu atas dasar waktu tertentu
yang telah ditentukan
oleh adat kepercayaan praislam atau merupakan
sidkah atau rasa syukur yang
dianjurkan ajaran Islam (Iskandar, 2001:
191-260).
Memang dalam
perdebatan antara kaum Islam reformis dengan
Islam tradisionalis
yang terjadi kala itu, yang nota bene merupakan
masalah intern Islam,
tidak terlontar kata-kata “aliran sesat”. Kata-kata
yang banyak dipakai
adalah “kafir”, “bukan pengikut Muhammad” atau
“bukan ahli sunnah
wal jamaa’ah”, yang pada dasarnya hampair sama
“sesat” atau
“menyesatkan”. Lain halnya sewaktu berhadapan dengan
AJSP, pernyataan
bahwa ajaran Kiai Madrais itu sesat atau
menyesatkan,
terlontar dari para kiai dan ulama Priangan.
Penutup
Kembali kepada
pertanyaan yang diajukan pada bagian awal
tulisan ini, apakah
benar ajaran Agama Jawa-Sunda Pasundan (AJSP)
merupakan ajaran
sesat dan menyesatkan? Untuk menjawab pertanyaan
secara tepat, memang
tidak mudah, karena masalah kepercayaan
merupakan masalah
yang prinsipil secara individual atau kelompok.
Dari segi ajaran atau
doktrin, sebenarnya AJSP berbeda dengan Sunda
Wiwitan versi Kaněkěs apalagi
dengan ajaran Islam. Namun jika
diperhatikan secara
lebih seksama, dalam ajaran itu, seperti dalam
masalah kehidupan
setelah kematian, ganjaran dan siksaan, serta
masalah perkawinan
dengan masa pranikah, secara tidak langsung,
nyata-nyata
‘mengamandemen’ hukum Islam. Justru ajaran semacam ini
yang banyak menarik
perhatian orang sehingga mengikutinya, termasuk
Muslim yang telah
bertitel haji. Kondsi inilah yang membuat
masyarakat Muslim di
desa-desa yang menjadi tetangga para pengikut
AJSP menjadi resah
sekaligus marah terhadap para pengikut Kiai
Madrais. Apalagi
setelah secara terbuka Kiai Madrais selaku sang Rosul
Rasa, mengatakan bahwa
agama yang paling benar dan cocok untuk
orang Sunda adalah
AJSP, sementara agama lain yang merupakan
agama ‘pendatang’,
akan lenyap pada tahun Alip. Dengan demikian cap
sesat yang
dilontarkan oleh para kiai dan ulama Priangan terhadap AJSP
pada dasarnya bukan
karena ajaran atau doktrinnya, melainkan lebih
kepada tindakannya,
berupa gerakan Madraisasi, serta menganggap
agama lain sebagai
agama impor yang tidak cocok bagi masyarakat
Sunda pada khususnya.
Jika dilihat dari
riwayat hidupnya, terlihat bahwa Kiai Madrais
alias Ki Sadewa
berasal dari kelurga Muslim, atau paling tidak pernah
mempelajari agama
Islam secara cukup mendalam di pesantrenpesantren
di wilayah Cirebon
dan Priangan Timur. Pertanyaannya,
mengapa tiba-tiba dia
berubah, tidak lagi mengajarkan ajaran Islam di
pesantrennya,
melainkan “agama baru”?
Sebelum menjawabnya
ada baiknya kita menyimak pendapat
sejarawan William H.
Sewell jr. Dalam salah satu artikelnya ia
menyebutkan bahwa
pada dasarnya budaya (termasuk agama) itu
bukanlah nilai-nilai
atau struktur yang dibakukan sebagai pedoman,
melainkan sesuatu
yang dijadikan pedoman atau landasan hidup seharihari.
Karena jelas
nilai-nilai atau aturan itulah yang memberikan
motivasi dan kenyaman
pada “penggunanya” (Sewell,jr. dalam Spiegel,
2005: 80-85).
Artinya, bagi Kiai Madrais, struktur Islam atau nilai-nilai
agama lain seperti
Katholik, Hindu-Buddha tidak dapat memberikan
kenyamanan pada
kehidupannya, sehingga muncul semacam perlawan
(counter culture)
pada dirinya. Oleh karena itu, dengan berbekal
kemampuannya serta
kharismanya sebagai keturunan raja Cirebon
(walaupun banyak
pihak yang menyangsikannya), ia berupaya
menciptakan
nilai-nilai dan norma-norma baru, serta mengajak serta
orang-orang di
sekitarnya untuk meniru atau mengikutinya. Ia berhasil
memanfaatkan struktur
masyarakat yang ada untuk mereproduksi dan
menciptakan
struktur-struktur baru dengan simbol lama, yaitu adat cara
karuhun urang sebagai pedoman hidup
yang kemudian disebutnya
AJSP. Dalam kasus ini
cukup jelas terbukti bahwa struktur tidak
menjadi faktor
pengekang atau membatasi ruang gerak Kiai Madrais,
tetapi sebaliknya
memberikan dorongan dan motivasi kepadanya dan
para pengikutnya.
Artinya dalam kasus ini terjadi proses yang disebut
Anthony Giddens
sebagai dualitas struktur.
Memang tidak semua
orang mampu melakukan perubahan,
namun dalam suatu
masyarakat pasti ada orang yang mampu melakukan
perubahan, dan mampu
mengajak yang lainnya untuk bersama-sama
melakukan perubahan
agar kehidupanya menjadi lebih baik dan lebih
nyaman. Orang yang
mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 273
melakukan perubahan
itu disebut oleh Antrony Giddens sebagai agensi,
sementara proses
perubahan itu sendiri disebutnya proses strukturasi
(Giddens, 2010:
22-40). Dalam kasus AJSP, jelas terlihat ciri-ciri agensi
atau agent of
change melekat pada sosok Kiai Madrais (Lihat juga
Lloyd, 1993: 93-96).
Dengan ciri-ciri yang telah disebutkan tadi,
agaknya tidak tepat
pula jika gerakan AJSP ini dikatakan sebagai
gerakan nativisme atau
revivalisme, karena ajaran agama karuhun
(dalam arti kasundaan
atau kejawaan) tidak jelas pula referensinya.
AJSP lebih tepat
disebut sebagai gerakan moral seperti yang dikatakan
oleh Van der Plas,
karena isi ajarannya didominasi oleh ajaran
kesusilaan.
Batasan “sesat” itu
memang sangat relatif sehingga tidak bisa
diputuskan begitu
saja, tanpa melihat dan mempelajari kasusnya terlebih
dahulu. Barangkali
kita perlu pula menyimak kebijakan pemerintah
Hndia Belanda dalam
mengatasi kasus AJSP. Meskipun pemerintah
waktu itu mempunyai
hak dan kekuasaan untuk memberikan penilaian
dan melakukan
tindakan, namun keputusan baru dilaksanakan setelah
melakukan penyidikan
yang seksama, dengan memperhatikan nasihatnasihat
para ahli di
bidangnya. Nasihat para ahli itu teutama membantu
pemerintah dalam
menilai gerakan AJSP itu berpotensi sebagai suatu
pemberontakan atau
hanya gerakan keagamaan atau gerakan moral
semata. Dengan
demikian pemerintah dapat menjaga citra serta
fungsinya sebagai
pengawal tata tenteram atau ketenteraman
masyarakat (rust
en orde). Pemerintah waktu itu mampu meredakan
kemarahan kaum
muslimin terhadap AJSP yang telah dicapnya sebagai
aliran sesat, tanpa
terkesan sebagai pembela AJSP. Sejak “perdamaian”
itu para pengikut
AJSP dapat hidup berdampingan dengan tetangga
Muslimnya secara
damai dan tidak ada lagi tuduhan sesat terhadap
ajarannya.
Demikian pula
pemerintahan Republik Indonesia sampai masa
Orde Baru, tidak
mencap agama yang didirikan Kiai Madrais sebagai
aliran sesat, namun
tidak pernah mengakuinya sebagai agama yang
mandiri. Mereka
dipaksa untuk memilih berafiliasi dengan salah satu
agama yang diakui
pemerintah, seperti Islam, Katholik, Protestan,
Hindu dan Buddha.
Semua tata caranya dianggap tidak saha atau liar
jika masih tetap
dengan payung AJSP, yang pada masa Orde Baru lebih
dikenal dengan nama Adat
Cara Karuhun Urang. Oleh karena itu,
ketika keturunan Kiai
Madrais hendak menyelenggarakan pernikahan
anaknya yang
diselenggarakan atas dasar ajaran Kiai Madrais, tidak
diperkenankan oleh
pemerintah Orde Baru. Para pengikut Kiai Madrais
baru dapat
menyelenggarakan pernikahan dan upacara lainya sesuai
dengan ajarannya,
sejak pemerintahan Abdurakhman Wahid mengakui
eksistensi Adat
Cara Karuhun Urang.
Daftar Acuan
Arsip/Dokumen
Arsip Nasional
Republik Indonesia
Arsip Departemen
Agama No. 134
National Archives
Netherland/Algemeen Rijksarschief
Mailrapport No.115x/1930
Buku dan Artikel
Abdullah, Irwan, Ibnu
Mujib, M. Iqbal Ahnaf. ed. 2008. Agama dan
Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global. Yogyakarta:
Sekolah
Pascasarjana
UGM-Pustaka Pelajar.
Budiwanti, Erni.
2000. Islam Sasak: Etu Telu versus Waktu Lima.
Yogyakarta: LKiS.
Coolsma, S. 1881. West
Java: Het Land, De Bewoner en De Arbeid der
Nederlandsche
Zendingsvereeniging. Rotterdam,
J.H. Dunk.
Giddens, Anthony.
2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan
Struktur Sosial
Masyarakat. Terjemahan
oleh: Maufur &
Daryatno. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hisyam, Muhamad.
2004. “Agama Jawa Sunda” dalam Ibnu Qoyim
(ed.), Religi
Lokal & Pandangan Hidup, Jakarta, LIPI Press
(hlm. 137-173).
Iskandar, Mohammad.
2001. Para Pengemban Amanah: Pergulatan
Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950.
Yogyakarta: Mata
Bangsa.
Kartodirdjo, Sartono.
1978. Protest Movements in Rural Java: A Study
of Agrarian Unrest in
the Nineteenth and Early Twentienth
Centuries. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012 275
---------------.
1984. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan.
Lloyd, Christopher.
1993. The Structures of History. Oxford UK &
Cambridge USA:
Blackwell.
Muchtarom, Zaini. Santri
dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
Ramelan dkk, Wiwin
Djuwita, 2008. “Upacara Seren Taun, Warisan
Budaya Orang Sunda:
Sebuah Penelitian Untuk Pelestarian.”
(Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Perguruan Tinggi Tahun
Anggaran 2008 (Tahun
Kedua), Universitas Indonesia
Rosidi, Ajip, dkk,
2000. Ensiklopedi Sunda: , Alam, Manusia, dan
Budaya Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta;
Pustaka Jaya
Scott, James C.,
1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan
Subsistnsi di Asia
Tenggara. Terjemehan
oleh: Hasan Basari.
Jakarta: LP3ES.
---------------,
1985. Weapon of The Weak: Everyday Forms of Peasant
Resistance. New Haven and London:
Yale University Press.
Sholikhin, K.H.
Muhammad. 2010. Ritual & Tradisi Islam Jawa:
Ritual-ritual dan
Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran,
Pernikahan, dan
Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari
Masyarakat Islam
Jawa. Jakarta:
Narasi.
Spiegel, Gabrielle M.
2005. Practicing History: New Directions in
Historical Writing
After The Linguistic Turn. New York and
London: Routledge.
Tilly, Charles. 2003.
The Politics of Collective Violence. Cambridge:
Cambrige University
Press.
Naskah tidak
diterbitkan
Anonim. 1995. Pemaparan
Budaya Spiritual Paguyuban Adat dan Cara
Karuhun Urang. Cigugur-Kuningan.
276 Jurnal
Masyarakat & Budaya, Volume 14 No. 2 Tahun 2012
0 Komentar untuk "MEMELIHARA RUST EN ORDE: KASUS AGAMA JAWA SUNDA PASUNDAN"