Tuhan
adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran,
karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa
kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari .
Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida
Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan
“kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya
“tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”. Sedang
wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata
tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata
hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA.
Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak dapat
disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan
perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti
Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat
Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , Gusti Kang
Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain. Sistem pemberian banyak nama
kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat
Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA
dengan banyak nama”. Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya. Tentang hubungan Tuhan dengan
ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA.
Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing
warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya,
seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau
“menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada
ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni
manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing
banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api,
namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama
dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu. Oleh karena
itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang
tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh. Ceritera tentang
Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam
usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan
pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga
dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti
katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya.
Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat
modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada
padaNYA”. Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun
menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa
wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak
bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat
Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian
Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan
kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan
yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira,
hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira
Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman
itu Brahman”. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya
salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk
menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan
kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak
seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul
anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis,
sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan
sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja
bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman
dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah
sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh
para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam
bahasa Jawa “kaya geni lan urube”. Upaya Mencari Tuhan Berdasar pengertian
bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk
mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha
pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman.
Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut:
Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi
nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul
nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari
itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung
(galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu
(pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu
yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa
Jawa “tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam
ajaran Hindu. Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan”
itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”,
atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua
yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin
itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan
“batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat
energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi
segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai
energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai
kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu
meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara
yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar
maupun di dalamnya. Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah
cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan
yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada
Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi
Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. Untuk itu
yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan”
antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah
“kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”,
Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.
Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan
“menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan
keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung
dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh
adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab
pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena
itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala
aktifitas kerja. Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah
Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap
sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk
lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya
di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa
berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu,
karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap
sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau
Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan
tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga
yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali.
Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental
Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali,
setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika
bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan
Tuhan dengan melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang
tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk
“mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang
dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di
hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika
memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk
menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap
dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa,
apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon,
ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng”
atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang
akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak
terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa
digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup,
pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas
kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa
sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa
terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng”
atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu
disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa
duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda. Kini masalahnya adalah siapa saja yang
terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan
tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman,
Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa
diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena
itulah ketika kita mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut
“OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh
Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan
kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia
adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis
digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun
ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila
dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya.
Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk
memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh. Lebih lanjut ajaran ini
menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu
menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak
disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah,
kuning dan hitam (catur sanak adalah saudara empat yang merupakan unsur
penyerta bayi ketika berkembang dalam kandungan hingga lahir yaitu: darah,
lamad, air ketuban dan ari-ari. Ketika manusia lahir ke dunia, dipercaya bahwa
keempat saudara inilah yang menjadi pengikut setia dan senantiasa melindungi.).
Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat
cahayanya membentuk warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma
wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka
harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak
terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan
pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi
mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu.
Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha
memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau
antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing
Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini
jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian
orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha
Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka,
yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek
banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku
lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air,
padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal
telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan,
tanpa rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan
Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada
dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa
warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman.
Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara
maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa
ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama
saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda
sederhana namun menyengat. Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran
Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak
mau berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama
Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham, yaitu faham
“kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.[] ”Spirituality is essentially
a journey within. You need no preparations, no luggage to carry - nothing
absolutely. What you need is just : LOVE ! And this Love, can only come as an
after effect of self-actualization, achieved through the practice of meditative
way of life.” - Anand Krishna -
Source: http://gubrakz.gustiasmara.com/
0 Komentar untuk "Tuhan dalam Pandangan Orang Jawa : Sebuah Tinjauan Hinduism dan Kejawen "