Serat darmo gandul
Sabdapalon Nayagenggong
dan Darmagandul tokoh fiktif dalam sastra Jawa. Paling terkenal dan paling fenomenal. Pertarungan Madzab di Tanah Jawa penyebab kehancuran Kerajaan
Islam.
Kerajaan Demak yang Bermadzab yang sama denga Wali Sanga; Kemudian di hancurkan Oleh Jaka Tingkir Pendiri Kerajaan Panjang yang bermadzab yang sama Denga Siti Jenar. Dalam setiap kisah penghancuran Kerajaan yang ber-begron Agama, karena beda keyakinan; sehingga Bangunan fisik dan Buku ajarannya pun dihancurkan tanpa bekas. Sehingga Bekas Kerajaan demak dan Kerajaan Panjang yang hancur pula, pun mengalami nasib yang sama. Hancur Lebur Tanpa Jejak. Pertarungannya pun tidak berhenti pada masalah Politik Negara. Dalam Karya Sastra pun, terjadi pergumulan sengit, seperti Karya Sastra di bawah ini. Saya Pribadi, tidak bermaksud untuk memihak yang sana atau pun yang sini. Karena saya, berkeyakinan Bahwa HANYA DIA. YANG MAHA BENAR. Soal Madzab, itu hanya Warna Dunia. Karya sastra semacam ini di Tanah Jawa; di isi mantra yang sangat kuat oleh Penggubahnya, walaupun Negara pernah mebredelnya. tidak bisa hilang 100 %.. Itulah ketinggian ilmu para Pujangga Jawa di masa lalu, yang bisa digunakan sebagai cermin bagi GENERASI SELANJUTNYA.
Kerajaan Demak yang Bermadzab yang sama denga Wali Sanga; Kemudian di hancurkan Oleh Jaka Tingkir Pendiri Kerajaan Panjang yang bermadzab yang sama Denga Siti Jenar. Dalam setiap kisah penghancuran Kerajaan yang ber-begron Agama, karena beda keyakinan; sehingga Bangunan fisik dan Buku ajarannya pun dihancurkan tanpa bekas. Sehingga Bekas Kerajaan demak dan Kerajaan Panjang yang hancur pula, pun mengalami nasib yang sama. Hancur Lebur Tanpa Jejak. Pertarungannya pun tidak berhenti pada masalah Politik Negara. Dalam Karya Sastra pun, terjadi pergumulan sengit, seperti Karya Sastra di bawah ini. Saya Pribadi, tidak bermaksud untuk memihak yang sana atau pun yang sini. Karena saya, berkeyakinan Bahwa HANYA DIA. YANG MAHA BENAR. Soal Madzab, itu hanya Warna Dunia. Karya sastra semacam ini di Tanah Jawa; di isi mantra yang sangat kuat oleh Penggubahnya, walaupun Negara pernah mebredelnya. tidak bisa hilang 100 %.. Itulah ketinggian ilmu para Pujangga Jawa di masa lalu, yang bisa digunakan sebagai cermin bagi GENERASI SELANJUTNYA.
Buku yang
sangat di benci oleh kalangan TERTENTU
Walau
pembuka cerita di Tembang No. 12..
Di awali
dengan kalimat Basmalah ...
Tapi bahasa
Sastra Jawa ..
Penuh makna
di balik kata ...
Jika bisa menjaring ILMU
dibalik Sastra..
Jika bisa mengurai cahaya
di balik kata
Masukilah
kandungan sastra ini..
Jika tidak
.. jangan coba-coba..!!!!
Akan
tersesat.. oleh bahasa Sastra JAWA.
Darmagandul;
bukan sastra sembarang sastra..
jika salah
cerna – sesat yang didapat.
HATI HATILAH!! MENELAAH KARYA SASTRA. “JAWA”
INGAT ..
INI karya Sastra --- bukan sejarah.. sebatas menambah wawasan..
“Aja mung
Ngaji Syariat bloko – jangan cuma Mengaji Syariat apa adanya”
“Pujo
Prayitno / Pen Sanjaya”
TERJEMAHAN BEBAS DAN NASKAH ASLI DARMAGANDUL
JILID I
JILID I
Penerbit :
“Keluarga Soebarno” – Solo
Tanpa – Tahun.
Penyadur
dan penterjemah: Pujo Prayitno
Edit Pujo Prayitno
KINANTI / XIV
: 5
Agama Jawa tumurun // agamane buda budi // iku AGAMA MA’RIFAT //
MAJAPAHIT ----
KERAJAAN BERAGAMA HINDU
Masyarakat Jawa.. sepanjang sejarah -- tidak pernah mempermasalahkan AGAMA
Yang bisa menjadi masalah -- Jika Sikap dan Cara yang dipergunakan
Berlawanan dengan adat dan Sopan santun budaya jawa...
Masyarakat Jawa.. sepanjang sejarah -- tidak pernah mempermasalahkan AGAMA
Yang bisa menjadi masalah -- Jika Sikap dan Cara yang dipergunakan
Berlawanan dengan adat dan Sopan santun budaya jawa...
DAFTAR ISI
1. Dhandhanggula (Raden
Patah diangkat Bupati Demak oleh Prabu Brawijaya dan Perjalanan Sunan Benang ke
Kediri)
2. Asmaradana (Debat
Ilmu antara Butalocaya dengan Sunan Benang)
3. Dhandhanggula (Permusyawatan
Para Wali menyusun rencana menyerang Majapait)
4. Pangkur (Kisah
Penghancuran Majapahit oleh pasukan Demak dan Sultan Demak mendapat amarah Nyi
Ageng Ngampelgading ).
5. Sinom (Nasihat dan
kemarahan Nyi Ageng Ngampel gading kepada Sultan Demak, dengan memberi contoh
cerita masa lalu akibat dari perbuatan anak melawan orang tuanya sendiri).
6. Dhandhanggula ( Dalam
hati Sunan Benang membenarkan Nasihat Nyi Ageng Ngampelgading // Namun dalam
Tata lahir Sunan benang memberi nasihat Kepada Sultan Demak tentang
kebenaran langkah yang diambil, sehingga Sultan demak kebingungan. Yang
akhirnya memilih saran dan nasihat Sunan Benang gurunya; untuk terus menjadi
Raja Di Tanah Jawa ).
7. Sinom (Raden Sahit
duta sultan demak berhasil menemukan Raja Brawijaya yang lolos saat
pengahancuran Majapahit di Blambangan (Banyuwangi). Prabu Brawijaya punya
rencana akan menyebrang ke Bali untuk menyusun kekuatan guna menyerang Demak
dengan cara akan mengumpulkan kekuatan dari Kerajaan kecil mulai Bali ke timur;
Kalimatan dan Sumatra. Rencana tersebut akhirnya bisa di gagalkan oleh Sunan
Kalijaga; bahkan Sunan Kalijaga berhasil meng-Islamkan Prabu Brawijaya.
8. Pangkur (Prabu
Prabiwijaya mengajak kedua abdinya Sabdopalon – Nayagenggong untuk bersama-sama
Masuk Islam. Akan tetapi kedua abdinya tidak mau dan terjadilah perdebatan ilmu
(masuk wilayah bahasa Sufi Jawa ) antara Prabu Brawijaya dan abdinya).
(Memasuki Ilmu Hakikat).
9. Durma (Nasihat Sabdo
Palon kepada Prabu Brawijaya).
10. Pangkur (Kisah perpisahan antara Sabda palon
dengan Prabu Brawijaya. Kisah asal mula Nama Banyu wangi. Kisah perjalanan
Prabu Brawijaya bersama Sunan Kali dan kisah berubahnya air yang
berbau wangi menjadi banger setelah empat hari ).
11. Hasmaradana (Kisah meninggalnya Prabu Brawijaya, serta
wasiatnya kepada Sunan Kali).
12. Dhandhanggula (Membuka Rahasia (Tafsir) di balik cerita
yang termuat di dalam Serat Babat tentang Hancurnya Majapahit)
13. Mijil (Sunan Kali menjaga agar cerita leluhur
Jawa tidak punah. Beliau mencipta wayang. Kisah perjalanan Sayid Anwar Cucu
nabi Adam ke Tanah Jawa dan diambil menantu raja Jin Tanah Jawa serta Menjadi
Raja.
14. Kinanthi (Yang dimaksud Agama Buda Budi adalah
agama di Tingkat Ma’rifat).
15. Megatruh (Perbedaan jenis huruf di dunia).
16. Pucung (Nasihat Kalamwadi kepada Isterinya,
tentang sikap seorang istri kepada suaminya)
17. Asmaradana (Nasihat Kalamwadi kepada Isterinya,
tentang, pedoman kebahagian dalam berumah tangga).
18. Kinanti (Kalam wadi menjelsakan lokasi
tempat peninggan Prabu Jayabaya Raja Kediri).
Yang bisa
saya simpulkan dari Karya Sastra ini, Walau berbegron Agama dalam menghancuran Kerajaan
di Tanah Jawa; jika menggunakan cara yang licik; Tuhan pun akan menghukumnya.
Kerajaan yang mengunakan Syariat Islam untuk mengatur pemerintahan dan ketika
Hukum Syariat ditegakkan hanya sebatas untuk urusan Politik Negara, saja
maka; umurnya pun gak akan lama. Demak; Pajang; Mataram, kemudian di
Jajah Belanda sehingga Mataram pecah jadi dua (Solo – Yogya). Itulah ujud
PERINGATAN TUHAN.
Soal Agama di
Tanah Jawa. Tidak pernah ada larangan dan tidak pernah terjadi perang hanya
karena Beda Agama.. TIDAK ADA seorang rajapun yang membatasi AGAMA.
Jika
Sabdapalon Nayagenggong dianggap menyalahkan suatu Agama... .. Sedangkan dalam
kisah.. mereka adalah yang Mengasuh Semua Raja di Tanah Jawa, dimana raja tidak
pernah melarang Agama apapun berkembang di Tanah Jawa; Dan Sabdapalon
mengatakan Agama Buda Budi – Sedang pada Jaman Majapahit rajanya beragama HINDU
–
DIMANAKAH
LETAK KESALAHANNYA.. Apakah Sabdapalon yang salah ataukah :
.......???????????/????? !!!!!!! (Hati-hati – kata di balik sastra Jawa).
i. DHANDHANGGULA
Orang jaman dahulu // jika membaca Serat ini // sambil
dilagukan seperti youtube : http://www.youtube.com/watch?v=DIldUahQd2k
Edit : Pujo Prayitno
1.
Kedandangan
wedaring mamanis // Labet saking wus manjing sarira // Suka-suka karemene //
Barubah temahipun // nawung wingit ing saben wanci // hing ngungkih panalangsa
// napak Darma Gandul // jumanane lumuntura // sahistane sinaroja hawit
dening // labaning Suksma nasa.
2.
Naham mangkya
bubukaning kawi // maha dibya ingkang halul tapa // Kalamwadi jejuluke // kang
dadya garwanipun // Arum – Marum Dyah Perjiwati // asrameng sonya pringga
// sajuga ri nudju // sang wiku neng pacrabakan // ingkang ngadep siswa sawiji
kang Mursit // putus sakeng guna.
Inilah sebagai
pembuka ilmu // ada seorang yang sangat sakti ahli bertapa // Yang bernama
Kalamwadi// mempunyai isteri yang bernama / Arum-Marum Dyah Perjiwati //
bertempat tinggal di Sonyapringga // pada suatu hari // Sang pertapa sedang
duduk di ruang pertemuan // yang menghadapnya adalah satu-satunya murid yang
sangat cerdas // dan menguasai berbagai keahlian.
3.
Darmagandul
pepabarabireki // nala wingit limpat grahitanya // lan sang dwija meh tan
pae // marma kasok sihipun // wus prasasat joga pribadi // rinten ratri datan
sah // neng ngarsa sang wiku // samana sang siswa tama // lagya ana kang dadya
ribenging galih // lon matur mring sang tapa.
Darmagandul
itu namanya // berotak cerdas ahli nalar // dengan Sang pertapa hampir tidak
pernah terpisah // hingga turtumpahlah kasih sayangnya kepadanya // dikisahkan
pada saat itu sang siswa // sedang memikirkan sesuatu // dan menyampaikan yang
dipikirnya dengan lembut kepada Sang Pertapa gurunya,
4.
Duh sang dwija
kang jwanjana murti // ingkang mugi linepatna duka // kawula nyuwun pitaken //
kang dadya purwanipun // tiyang Jawi santun Agami // nilar Agami Buda //
ngrasuk Sarak Rasul // punika sebab punapa // kados pundi bubukane nguni-uni//
sang wiku rum ngandika.
Wahai sang
tapa yang mumpuni // semoga hamba dijauhkan dari amarah sang Tapa // Hamba
mohon bertanya // apa yang menjdi penyebab // Bangsa Jawa berganti aturan
hukum // meninggalkan aturan hukum Budi (Agama Hakikat) // memilih hukum
Syariat // itu apa sebabnya // bagai manakah awal mula ceritanya // Sang Tapa
pelan berkata .
5.
Lamun sira
takon ing bab iki // ingsun datan wruh sawiji apa // amung yen manut tuture //
radyan budi guruku // embuh bener lan embuh sisip // nanging panduganingwang//
bener nora luput // krana cocog wujudira// tilasane isih kena den tingali //
nanging sun kira nyata.
Jika engkau
bertanya tentang hal itu // Aku tidak mengetahuinya // namun jika menurut
perkataan dari // Sang Budi guru dalam diriku // entah benar entah salah //
akan tetapi menurut perasaanku // benar dan tidak salah // karena cocok dengan
keadaan // peninggalan masa lalu yang masih bisa dilihat // dan menurutku
demikianlah adanya.
6.
Nanging ingsun
wedi macak tulis // luput-luput tumbal umuringwang // awit wong jawa lumrahe //
lamun ana kang purun // anarbuka wadining Hadji // wus pasti pinejahan // marma
sun tan ayun // tutur critane kang nyata // purwanira wong jawa salin agami //
miyak wadining Nata.
Namun Aku
takut merangkai tulisan untuk menjelaskannya // salah-salah menjadi tumbal
umurku // sebab orang jawa pada umumnya // jika ada yang berani // membuka
rahasia Raja // pasti dihukum mati // oleh karena itu aku tidak berani //
menyampaikan cerita yang sesungguhnya // tentang penyebab mengapa orang jawa
berganti Hukum yang dianutnya // sebab akan membuka rahasia raja.
7.
Darmagandul
aturira aris // inggih leres duk jamaning kuna // praja gung jawi lumrahe //
kang dados daharipun // woh wit budi kalawan kuldi // ing mangke karsa dahar //
woh wit kajeng kawruh // kagungan panggalih panjang // jekti ngowel mring
ngumurira wadya lit // kang lepat sawatara.
Darmagandul
berkata dengan sopan // memang benar bahwa pada jaman dahulu // Kerajaan besar
di Jawa pada umumnya // yang menjadi panutan dalam menjalankan roda
pemerintahan adalah // buah dari budi dan kuldi // Sedangkan jaman sekarang
yang menjadi pedoman adalah // buah dari ilmu // dan mempunyai panjang angan //
sehingga pendeklah umurnya sehingga rakyat kecil // yang sementara salah.
8.
Malah dadya
penget kang prayogi // ngawikani kang leres lan lepat // wikan misil kupiyane
// sang dwija alon wuwus // yen mengkana yogya sun Hanggit // nanging amung
sadarma // nganggit tulis wuwus // Dyan Budi kang darbe karsa // bener
luput yektine amung sadarmi // yen ora sun tulisa.
Itu justru
dijadikan nasehat yang baik // sehingga bisa digunakan untuk
mengetahui yang benar dan salah // dan mengetahui ibarat itu semua // Sang Tapa
pelan berkata // jika demikian segera saya buat cerita // namun hanya
sekedarnya saja // dengan membuat tulisan kata // dan Budi-lah yang
menginginkannya // benar dan salahnya sesungguhnya hanya sekedarnya saja// jika
tidak saya tulis.
9.
Nora wurug
ingsun den dukani // wit kang prentah iku kaelingan // lan iya akeh asile //
supaya wong kang cubluk // wong jawa salin agama // pada ninggal agamane buda
budi // ganti Agama Islam.
Akhirnya saya
akan dimarahi // karena yang memerintah saya adalah kesadaran // dan juga akan
banyak hasilnya // agar orang yang bodoh // mengetahui mengapa orang Jawa
sekarang berganti Aturan hukumnya // meninggalkan aturan hukum buda budi
(hakikat ) // berganti aturan hukum menjadi syari’at Islam.
10.
Caritane Nagri
Majapahit // angitane pujangga ing kunna // pralambang pasemon kabeh // yen
tinulis lugu // babatira ing Majapahit // buka kekeran Raja // pujanggane takut
// mila anyemoni kewala // supayane wong bodho aja mangerti // carita kang
sanyata.
Cerita tentang
kehancuran Majapahit // yang dibuat oleh para Pujangga jaman dahulu // hanya
dibuat sebagai ibarat saja // Jika ditulis apa adanya // Cerita Babat
tentang Majapahit // akan membuka pertengkaran dan rahasia Raja // itulah
penyebab mengapa para pujangga menjadi takut // sehingga membuat cerita ibarat
saja // agar orang bodoh tidak memahaminya // tentang cerita yang sesungguhnya.
11.
Marma janma
jawi mata sidji // akhli budi ngerti caritane // Majalengka sabenere // karana
wong kang cubluk //nrima mangan woh kayu kuldi // tan pisan ngerti mangan //
woh budi woh kawruh // mung nrima kabar kewala // nora dungkap carita kang elok
gaib // samar kalingan padang.
Hanya orang
jawa yang menggunakan mata hati // dan yang ahli budi saja yang memahami
cerita atas // kehancuran Kerajaan Majapahit yang sebenarnya // karena orang
yang bodoh // menerima saja makan buah kuldi // tidak pernah mengerti karena
tidak pernah memakan buah budi dan buah kawruh (ilmu) // dan hanya
menerima kabar burung saja // sehingga tidak bisa memahami apa sebenarnya
dibalik cerita yang aneh dan rahasiaitu, dan // sangat samar tertutup
terang./samar.
12.
BISMILLAH HIR RAHMA NIR RAHIM // mugi para agung tanah jawa // dipun
agung aksamane // de ulun kami purun // kumolancang meksa linuwih // mangun
carita kuna // ingkang wus katutup // tur tanpa pathokan kitab // tuduh tutur
ing sama-samaning urip // mung tukul sing engetan.
Diawali dengan
bacaan Basmalah // semoga para pinisepuh Tanah Jawa // berkenan memberikan maaf
dan ampunannya // karena aku telah berani –beraninya // dan begitu lancangnya
memaksakan diri merasa mampu // membangun kembali cerita masa lalu // yang
telah tertutup // dan tanpa dasar kitab // atau pun petunjuk dan carita
dari yang hidup di masa itu // dan ceita ini dibangun hanya berdasarkan
hasil pemikiran sendiri.
13.
Pan mengkene
purwane ing nguni // Prabu Brawijaya Majalengka // kasamaran pamriksane //
klimput galih Sang Prabu // kurang yitna ing tata lahir // akrama Putri Cempa//
wong Agama Rasul // ing sajroning sih-sinisihan // karon lulut sang garwa
asring ngaturi // kodjah lan ingkang raka.
Dan beginilah
ceritanya// Prabu Brawijaya Raja Majapahit // tergoda pandangannya // terbawa
keinginan hati sang Prabu // dan kurang hati-hati dalam bertindak // beliau
kemudian menikahi sorang putri dari Negeri Cempa (Sebelah Utara Kamboja)
// seorang Putri beragama Syariat // dan pada saat berkasih-kasihan //
serta pada saat memadu asmara sang putri sering memberi // cerita kepada sang
Prabu.
14.
Ingkang mulya
Agama Islam,// yen katimbang lan Agama Buda // Sarak Rasul unggul dewe//
ature wantu-wantu // Sri Narendra panggalih gingsir // mireng aturing garwa //
tan kawiyos tutuk // tan lami pulusanira // Putri Cempa tutuwi marang Sang
Putri // anama Sayit Rakhmat.
Bahwa yang
paling bagus adalah Aturan Hukum Islam (Syariat ) // jika dibandingkan dengan
Aturan Hukum Buda ( Agama di tingkat Hakikat. Pen) // Ilmu Syariat itu paling
tinggi // begitu yang disampaikan sang Prutri berkali-kali // Sehingga
goyanglah pemikiran Raja // karena terlalu seringnya mendengar penyampaian sang
Putri tentang hal itu // tapi tidak terucap dengan kata-kata // Tidak
lama kemudian keponakan dari // sang Putri Cempa datang berkunjung //
Keponakannya bernama Sayit Rakhmat.
15.
Nyuwun dukuh neng
Ngampel gading // nyuwun idi anggelar Sarengat // Kanjeng Rasul Agamen // Sang
Brawijaya Prabu // sapanyuwunira pinaring // sira Sang Sayit Rakhmat // hanulya
dudukuh// Surabaya Ngampel Denta // nggelaraken Sarengat Andika Nabi //
Muhammad Rasulullah.
Memohon
diijinkan bertempat tinggal di Ngampel Gading (Surabaya Utara. Pen) // Dan
memohon pula untuk diijinkan menyebarkan Ilmu Syariat // Agama Kanjeng Rasul //
Sanga Raja Brawijaya // kemudian mengabulkan segala permohonanya // sehingga
Sayit Rakhmat // kemudian bertempat tinggal // di Surabaya – di Ampel Denta //
dan Menyebarkan Syariat Nabi // Muhammad Rasulullah.
16.
Nulya akeh
Maolana prapti // saking Ngarab samya angajawa // asowan Ngarsa Sang Rajeng //
pra samya nyuwun dukuh // neng pasisir wus antuk idi // ing ngiden ing Sang
Nata // sapanyuwunipun // lama-lama saya ngrebda // tanah jawa kang samya ganti
Agami // Ganti Agama Ngarab.
Kemudian
disusul datangnya para Ulama // dari Arab datang ke Pulau Jawa // kemudian
datang menghadap kepada Raja // untuk memohon ijin bertempat tinggal // di
Wilayah pesisir // serta semuanya mendapatkan ijin Raja // tentang apapun yang
menjadi permohonannya // lama kelamaan berkembanglah // bahwa di Tanah Jawa
banyak orang jawa yang berganti Agama // Berganti Agama Ngarab.
17.
Sayit Rakhmat
dadya gununganing // paguron wong Islam sadaya // Benang Tuban dudukuhe //
Sayid Rakhmat Puniku // Maolana saking ing Ngarbi // tedak Njeng
Rasulullah// mila dados guru // panutane Jawi Islam // Kabeh kenut kerut wong
Jawa Pasisir // Maguru Sayit Rakhmat.
Sayit Rakhmat
sebagai panutan // bagi Perguruan orang Islam di tanah Jawa // Benang
Tuban tempat tinggalnya // Sayit Rakhmat adalah // seorang Maolana dari Arab //
Keturunan Kanjeng Rasulullah // dan menjadi guru // serta menjadi Panutan
orang Islam di Tanah Jawa // Semua orang pesisir terbawa // dan berguru kepada
Sayit Rakhmat.
18.
Samya masuk
Agama Islam // ing sa satanah Jawa ingkang nyangga// pasisir lor sapangulon //
masuk Agama Rasul // pada tinggal Agama Budi // Awit wetan Blambangan
sapangulanipun // tekan ing Banten negara // pada tinggal Agama Buda sami //
ganti Agama Arab.
Semuanya
masuk dan memeluk Agama Islam // Bahwa yang menyangga Pulau Jawa dalah penduduk
// di Wilayah Pesisir Utara ke barat // Semuanya telah memeluk Agama Syariat //
serta telah meninggalkan Agama Hakikat // Molai dari timur Wilayah Blambangan
(Banyuwangi ) ke Barat // hingga Wilayah Banten // semuanya telah meninggalkan
Agama Buda // dan beganti memeluk Agama Arab. (Syariat)
19.
Kena bujuk
dalil Alif Lam Mim, andalikal rahabapi udan// lil muttkim enak dewe // kedanan
mring ashadu, mila tinggal agama lami // wus kanggo sewu warsa //
pikukuhing luhur // Agama luhur pribadya // macung dewe mring Pangeran Maha
Suci // anyebut Budi Hawa.
Terkena bujuk
dalil Alif lam mim dan sterusnya // // // sehingga
meninggalkan Agama yang lama // yang telah belaku selama seribu tahun //
Patokan leluhur (sebagai patokan dalam mengatur system Negara) // Agama (untuk
jadi pedoman mengatur Negara ) yang paling luhur // Menghadap langsung kepada
Pangeran Yang Maha Suci // dengan menyebut Budi Hawa.
20.
Budi ikut Dzat-ira Hyang Widdi // apan iku kareping manah // nurut budi
karepe // wajib jalma puniku // kang miturut ahlining Budi // lawan kareping
manah // puniku tinurut // manungsa wignya punapa // obah osik iya darma
anglakoni // Budi ingkang ngobahaken.
Budi adalah
sebagai penghubung Dzat Tuhan // Jika ada keinginan hati // maka ikutilah
budi // Manusia seharusnya demikian // Jika bersumber dari Sang Budi // yang
didorong juga oleh keinginan hati // itulah yang harus diikuti // Manusia punya
kekuatan apa // Gerak, pikiran dan dalam menjalankan kewajiba hidup yang harus
dijalankan // semuanya adalah Budi yang menggerakkan.
21.
Biyen ana
putrane Sang Haji // kang patutan saking Putri Cina // aneng Palembang lahire
// Dyan Patah namanipun // angajawa sowan rama // esmu kewran ing galih Sri
Narpati // paring sebutan putra.
Ada seorang
putra sang Raja // Yang lahir dari Putri Cina // dan dilahirkan di Palembang //
Yang bernama Raden Patah // Pergi ke Jawa menghadap Sang ayah (Raja Brawijaya)
// Sang Raja kebingunan // untuk memberi sebutan kepada putranya.
22.
Dene maro tiga
ingkang jinis// yen miturut ing rama Narendra // Jawa Buda Agamane // leluri
ing luluhur // putra Raja mijil ing ardi // kasebut nama Bambang // yen miturut
Ibu // Cina iku aranira // yen Wong Arab Sayit sebutanireki // yen nurut ing
lanjaran.
Disebabkan
karena, dari tiga keturunan // Jika dilihat dari garis keturunan Raja Jawa,
maka Buda Agamanya // itu Jika mengikuti garis keturunan leluhur Jawa //
Jika Putra raja lahir di Gunung // akan disebut dengan nama Bambang // dan Jika
menurut garis keturunan Ibu akan disebut Cina // Tapi jika dari keturunan Arab,
Sayit sebutannya // Itu sebutan berdasarkan garis keturunan.
23.
Sri Narendra
sigra animbali // pra nayaka mundut panglimbangan // ingkang dadya prayogane //
sesebutaning sunu // Patih Gajahmada wotsari // yen pareng karsa Nata //
Putrane Pukulun // pinaringan sebutan Babah // ngirib-ngirib leluhur paduka
nguni // kasebut Nama Bambang.
Sang Raja
segera mengundang // Para bawahannya untuk minta pertimbangan // apa yang
terbaik // bagi sebutan untuk nama anaknya // Patih Gajah mada memberi
pertimbangan // Jika sang raja berkenan // Putra paduka raja // berilah sebutan
nama Babah // meniru leluhur paduka raja sejak dahulu // putranya akan disebut
dengan nama Bambang,
24.
Putra dalem
Ibu Cina Gusti // lahir sabrang Agamane Islam // nami babah prayogane // tegese
babah hiku // babar wonten sanes negari // suka kang sami miarsa// Patih
aturipun // mupakat para nayaka // Putra Nata kang lahir Palembang Nagri //
namane Babah Patah.
Putra paduka
ibunya seorang Cina // lahir di lain daerah dan beragama Islam //
sebaiknya diberi sebutan nama Babah // Arti dari babah adalah // Lahir di lain
negara // semuanya senang mendengar saran // dari pati Gajahmada // Semua Abdi
raja sepakat bahwa // Putra Raja yang lahir di Palembang // diberi nama
“Babah Patah”.
25.
Raden Patah
sakalngkung ajrih // yen nampika paparinging Nata // jroning tyas sanget
mandongkol // ananging lahiripun // samudana suka lan sipi // samana babah
Patah // pan lajeng jinunjung // jumeneng Dipati Demak // madanani Bupati urut
pasisir // Demak sapangulonya.
Raden Patah
sangat takut // apabila menolak pemberian nama tersebut // padahal di dalam
hatinya sangatlah mendongkol // namun, dalam tata lahirnya // dibuat bersikap
senang dan ikhlas denga mendapat nama tersebut // Kemudian Raden Patah
dinobatkan // menjadi Hadipati Demak // kedudukannya menyamai semua Bupati yang
berada di daerah pesisir // Molai dari Demak ke Barat.
26.
Iku purwanira
duk ing nguni // bangsa Jawa blaster lawan Cina // pada babah sebutane //
punika critanipun // Raden Patah ingkang murwani // misuwur cakren donya //
putranya Sang Prabu // kang lahir Nagri Palembang // patutan lawan putri cina
nguni // namane Babah Patah.
Itulah awal
cerita jaman dahulu // Orang Jawa yang kawin blester dengan Cina // akan
disebut dengan nama Babah // begitulah ceritanya // Raden Patah yang mengawalinya
// hinga sekarang terkenal di seluruh dunia // Putra sang Raja // yang lahir di
Palembang // Lahir dari putri Cina // bernama “Babah Patah”.
27.
Den kramaken
antuk Ngampel gading // wayahipun Kyageng Ngampel Denta // ingkang nunggil
Agamane // kaprenah mantu putu // lan Kyageng ing Ngampel gading // rinengga
duk panggihnya // aneng Majalangu // sawuse antara dina kinen pindah neng Demak
nama Dipati // dalem dusun Bintara.
Kemudian
dikawinkan dengan seorang putri dari Ampel // Cucu Sunan Ampel // yang agamanya
sama // Raden Patah sebagai menantu putu // dengan Kiyai Ageng di Ampel Gading
// pada saat pernikahannya diadakan kemeriahan // di Keraton Majapahit //
Setelah beberapa hari kemudian; keduanya disuruh pindah ke Demak dengan jabatan
sebagai Bupati // dan bertempat tinggal di Dusun Bintara.
28.
Rasen Patah
awit duk ing lahir // aneng Plembang anama wus Islam // Klilan angletarekaken
// marang Agamanipun // Raden Kusen jinunjung linggih // anama Hadipatya //
aneng Nagri Terung // lama-lama saya ngrebda // Sarak Rasul pra Ngulama nyuwun
idi // pangkat sebutan Sunan.
Raden sejak
molai lahir // di Palembang memang sudah beragama Islam // dan di beri
kebebasan untuk melestarikan // agama yang dianutnya // Raden Kusen adiknya
oleh Raja Brawijaya di beri jabatan // sebagai Adipati // di Negri Terung
(Madura) // semakin lama berkembanglah // Agama syariat. Dan para Ulama mohon
untuk diperkenankan // menggunakan pangkat dengan sebutan “Sunan”.
29.
Pardikane
Sunan iku Budi // uwitira kawruh kaelingan // kang becik lawan kang awon // yen
akeh uwohipun // Budi ngerti kelingan becik // wajibe sinuwunan // kawruh
ingkang luhur // wektu iku pra Ngulama // tyase bener utawane iya becik
// pan durung arsa cidra.
Makna di balik
kata Sunan adalah Budi // bersumber dari ilmu kesadaran diri // tentang yang
baik dan jelek // jika banyak buahnya // Budi akan memahami tentang
segala kebaikan // Wajib memohon // Ilmu yang luhur // Ketika itu para
Ulama // Jalan pikirannya masih benar dan baik // dan juga masih belum
berkhianat.
30.
Ciptanira
Brawijaya Haji // Pra-Ngulama masuk Gama Buda // dene Sunan sebutane //
lawan klakuwanipun // cegah dahar lawan aguling // yen wong Agama Makam
Agamaning Rasul // sirik cegah dahar nendra // mung nuruti rasaning lesan lan
diri // yen cegah mangan rusak.
Menurut
perasaan hati Sang Prabu Brawijaya // bahwa para Ulama itu termasuk dalam
Tingkat Agama Hakikat // Karena menggunakan sebutan Sunan,, tentulah sama
antara tindakan dan sebutannya // tindakannya mencegah banyak makan dan tidur
// karena jika orang masih di tingkat // Agama Syariat // menghindari tindakan;
tidak makan dan tidur (Tafakur/bertapa) // Hanya menuruti rasa mulut dan rasa
diri saja// apabila mencegah makan akan rusak.
31.
Prabu
Brawijaya paring idi // lama-lama agama wus ngrebada // ana nalar elok aneh //
gaib samar kalangkung // nora kena dipun kawruhi // netra karna lan grana //
miwah lesan iku // weruhe saking engetan // jroning utek iku lamun den kawruhi
// Raden Budi ngandika.
Oleh karena
pemahaman Raja demikian maka Sang Raja Brawijaya mengijinkan // sehingga
lama-kelamaan Agama berkembang sangat pesat // Ada nalar elok aneh // Gaib
samar teramat sangat samar // tidak boleh untuk diketahui // baik oleh mata,
telingan, hidung // dan juga mulut // bisa diketahaui hanya oleh kesadaran diri
(eling) // kesadaran otak itu jika boleh di pahami // Sang Budi-lah yang
akan mengatakan.
32.
Luwih-luwih
kang maca myang miyarsi // nganggep temen antanapi ora // katimbangan sabenere
// yen tan nganggepa estu // kabeh buku carita Jawi // tan ana kang carita //
yen doraha iku// samangkya maksih wujudndya // tilasane maksih kena den
priksani // kahanan jaman kuna.
Terlebih lagi
yang membaca dan yang mendengar hanya sebatas cerita // maka, akan menganggap
benar di antara yang salah // pergunakanlah pertimbangan dengan seharusnya //
jika menganggap tidak benar // semua buku cerita Jawa // tidak ada yang
bercerita // jika cerita itu bohong // sekarang masih ada bukti ujudndya //
peninggalannya masih bisa dibuktikan // keadaan pada jaman dahulu.
33.
Duk jamane
Nagri Majapahit // Suna Benang sumadya lelana // marang kediri karsane // sabat
kalih tutu pungkur// sapraptane neng lor Kediri // tanah ing Kartasana //
kalangan ing banyu // kali Brantas nuju bena // saking kulon anabrang ing wetan
kali// wus prapta pinggir wetan.
Pada jaman
Majapahit // Ketika itu Sunan benang akan mengembara // Ke Kediri yang
menjadi tujuannya // kedua abdinya mengiring di belakangnya // setelah sampai
di sebelah utara Kediri // di daerah Kertasana // terhalang sungai besar //
Sungai Brantas sedang banjir // Sang Sunan, Dari arah barat sungai menyeberang
ke sebelah timur sungai // Sampailah di sebelah timur sungai.
34.
Ndangu janma
ingkang tengga gagi// Niti gati Agamane apa tanah kene kag dena angge // apa
wus Islam Tuhu // apa isih Agama Budi // Ki bandar aturira // ing riki pukulun
// kang limrah Agama Kalang // sarak Buda inggih ngangge sawatawis // dene
agami enggal.
Bertanyalah
Sunan Benang kepada tukang perahu yang menyeberangkannya // Agama apakah yang
di anut di daerah sini // Apakah telah beragama Islam yang sebenarnya // Apakah
masih Agama Budi // Tukang perahu menjelaskan // Di daerah sini wahai Sunan //
pada umumnya beragama Kalang // Aturan Agama Buda juga masih dipakai sedikit //
sedang Agama baru .
35.
Sarak Rasul
inggih bribik-bribik // ingkang limrah tiyang ngriki sadaya // sami Kalang
Agamane // amulyakaken Bandung // Bandawasa den anggep Nabi // lamun dinten
jumungah// wage Wuye Wuku // punika dinten rahayu// kendel karya neda eca
seneng ati // tan kesah saking wisma.
Syariat Rasul
juga masih sedikit-sedikit // pada umumnya orang di daerah sini // masih
beragama Kalang // masih memulyakan Bandung Bandawasa yang di anggap nabi //
Jika hari Jum’at Wage, Wuku Wuye // itu adalah hari baik // libur kerja makan
enak dan bersenang senang // tidak pergi dari rumah.
36.
Sunan Benang
angandika aris // yen mangkono wong kenen sadaya // pada gedah agamane //
tegese gedah iku // nora ireng lan oran putih // pantes arane tanah // kuta
gedah iku // ki bandar matur prayoga // dawuh tuwan kawula ingkang nekseni //
katelah prapteng mangkya.
Suna
Benang berkata pelan // jika demikian semua orang di daerah ini // masih Gedah
agamanya // yang dimaksud Gedah adalah tidak hitam dan tidak putih // pantaslah
jika daerah ini saya beri nama Kota Gedah // tukang perahu menyetujuinya
// nama tersebut, tukang perahulah sebagai saksinya // sehingga sampai
sekarangpun daerah tersebut bernama “Gedah”.
37.
Tanah Kutha
salering Kediri // ingarananan tanah kutha gedah // nanging mung manut lumrahe
// tan wruh asale tembung // wit tan ngerti critane dihin // ran tanah kutha
gedah // kalumrahe misuwur // Sang wiku malih ngandika // lah ta sabar sira
amintaha warih // imbon marang ing desa.
Daerah di
sebelah utara Kediri // Disebut tanah kota Gedah // kebanyakan hanya
menyebutnya sebatas nama kota saja // dan tidak mengetahuai tentang asal mula
nama tersebut // karena tidak mengetahuai cerita asal-usul naman tersebut //
mengapa daeraha tersebut terkenal dengan nama “Gedah” // Kemudian Sunan Benang
// menyuruh abdinya untuk minta air // air bekam (air persedian untuk
memasak) kepada penduduk,
38.
Kali iki nuju
banjir // banyu buthek kurang sukcinira // anglarani yen den ombe // lan iki
wayah luhur // arsa wulu lan shalat mami // sabat siji gya mentar // malbeng
dukuh Patuk // wismane amung sajuga // datan ana wong lanang sawiji-wiji //
estri kang tengga wisma.
Karena sungai
sedang banjir // dan airnya keruh sehingga menurutnya, kurang suci // serta
bisa menyebabkan sakit jika diminum // dan sekarang sudah memasuki waktu shalat
dhuhur // saya akan wudhu dan Shalat // satu abdinya segera berangkat //
memasuki dukuh Patuk // hanya ada satu rumah // dan tidak satu pun laki-laki
yang ditemuinya // hanya seorang wanita yang sedang menunggu rumah itu.
39.
Maksih prawan
anendeng birahi // nuju nenun aneng ngemper jaba //sabat prapta lan wuwuse //
bok ngaten neda banyu // bening imbon ingkang aresik // bok prawan bagja mulat
// salah ciptanipun // kinira kakung njejawat // bok perawan arengu den-nya
mangsuli // sumahur tembung kasar.
Masih gadis
yang baru memasuki masa puber // sedang menenun di teras rumah // sahabat sunan
datang dan mengatakan // Wahai gadis, saya mohon minta air // air bekam yang
bening // Sang gadis ketika melihat utusan sunan // salah perkiraan //
dia mengira bahwa laki-laki itu, laki-laki yang suka menggoda wanita //
si gadis dengan sikap tidak senang menjawab // dengan kata-kata kasar.
40.
Dika santri
mentas liwat kali // njaluk banyu imbon aranira // ngriki tan wonten lumrahe //
tiyang angimbu banyu // njawi uyuh kula puniki // imbon bening saringan// yen
dikarsa ngunjuk // santri kesah tan pamitan // gerundelan sigra matur sang
Ngayogi // lir kasebut ing ngarsa.
Kamu santri
baru melewati sungai // meminta air bekam // di sini pada umumnya tidak
ada yang membekam air // kecuali air kencing saya ini // air bekam jernih
dan telah disaring // jika kau ingin minum // Santri pergi tanpa pamit //
sambil mengomel dan menyampaikan hal tersebut kepada Sunan Benang // seperti
kata gadis tersebut.
41.
Sunan Benang
dukanya tan sipi // dadya nebda karsa anyupata // lumrahe ing tanah kene //
muga laranga banyu // jalma estri jwa laki-laki // yen durung prawan tuwa //
miwah kakungipun // dadiya jajaka tuwa // sanalika kali Brantas mili alit //
lajeng nyimpang mengetan.
Sunan Benang
sangatlah marah // hingga berkata sambil melaknat // semua tanah yang berada di
daerah ini // semoga sulit air // para gadis dan jejakanya // jadilah perawan
tuwa // dan juga pemudanya // jadilah jejaka tuwa // seketika sungai Brantas
mengekecil alirannya // kemudian aliran airnya berubah mengarah ke arah timur.
42.
Nrajang dusun
wana miwah sabin // pinten-pinten dusun karisakan // katrajang kali ngalihe //
kali ingkang rumuhun // dadya asat prapta sa’mangkin // ki bandar langkung eram
// ing kasektenipun // neggih Kanjeng Sunan Benang // sigra lajeng tindaknya
dateng Kediri // Katelah prapteng mangkya.
Melanda dusun
hutan dan sawah // banyak desa yang menjadi rusak // dilanda aliran air yang
berubah arah // dan sungai aslinya // menjadi kecil aliran airnya sampai
sekarang // Tukang perahu sangatlah heran // atas kesaktian // dari Sunan
Benang // kemudian Sunan Benang melanjutkan perjalanan ke Kediri // sehingga
terkenal sampai sekarang.
43.
Tanah kutha
Gedah awis warih // mengulon lelakon wolung pal // limalas pal mengalore //
mangidul banyu sumur // dene ingkang alaki rabi //wus kaliwat saking mangsa
//wayah manak telu // jaka tuwa prawan tuwa // awit saking sabdane Hyang Maha
yekti // Kanjeng Sunan ing Benang.
Daerah kuta
Gedah adalah daerah sulit air // ke arah barat sejauh delapan pal // lima belas
pal ke arah utara // ke arah selatan sejauh air sumur // sedang yang akan
menikah // usianya sudah kelewat umur // yang seharusnya sudah beranak tiga //
Jejaka tuwa perawan tuwa // disebabkan oleh laknat dari yang sangat sakti //
yaitu Sunan Benang.
44.
Kawuwusa demit
Ni Palencing // danyangira sumur Tanjung desa // ginubel anak putune // Nyai
kula angsung wruh // wonten janma saking ing Tubin // namane Sunan Benang //
remen aru biru // sikara tanpa karana // siya-siya sami umate Hyang Widdi //
ubale kaprawiran.
Diceritakan
demit Ni Palencing // danyang penunggu sumur tanjung desa // diserbu anak
cucunya // Nyai, saya beri kabar // ada seseorang berasal dari Tuban // bernama
Sunan Benang // senang mencampuri urusan orang // membuat bencana tanpa ada
sebab // berbuat sia-sia kepada sesama makhluk Tuhan // memamerkan kesaktianya.
45.
Lepen ageng
kang saking Kediri // den sotaken sanalika asat // menggok ngetan kidul kuwe //
ngrusake wana dusun // lan nyupata tiang ing ngriki // telate saking mangsa //
laki rabinipun // yen wong lanang jaka tuwa // ingkang estri hajwa laki-laki //
yen durung prawan tuwa.
Sungai besar
yang dari arah Kediri // dipindah alirannya seketika kering // berbelok ke arah
Tenggara // meruksa hutan dan desa // dan memberi supata ke penduduk di sini //
akan terlambat // menikah // jika pemuda akan menjadi jejaka tua // yang wanita
tidak akan menikah // jika belum menjadi perawan tua.
46.
Lan ing ngriki
tanah den wastani // Kutha Gedah awis ingkang toya // dene teka salah gawe //
daweg sami ginanggu // dipun teluh dimen mati // Nyi Plencing duk miyarsa //
hature nak putu // sigra metuk Sunan Benang // tan kuwawa celak sarira lir geni
// lumayu nunjang-nunjang.
Dan daerah ini
// di beri nama Gedah serta sulit air // sedang yang tidak menerimakannya //
akan di ganggu // di santet sampai mati // Nyi Plencing ketika mendengat //
laporan anak cucunya // segera menemui Sunan Benang // akan tetapi dia tidak
kuat mendekat, karena badan Sunan Benang bagaikan api // lari tunggang
langgang.
47.
Mring Kediri
sigra tur udani // ing ratune Ki Butalocaya // manggen guwa Sela bale (sekarang
terkenal dengan nama Gua Sela Mangleng. Pen) // sukuning Wilis Gunung // sisih
wetan kang den enggeni // mangsuli kang carita // pruwane rumuhun // Kiyahi
Butalocaya // Patihe Sri Jabaya Narpati // arane Kyahi Daha.
Menuju ke
Kediri dan sega memberitahukan // kepada rajanya, Butalocaya // yang
beristana di Gua Sela Bale // di kaki Gunung Wilis // sisi sebelah timur //
kembali pada cerita // bahwa dahulunya // Kyai Butalocaya adalah // seorang
patih Raja Sri Jayabaya // di Kerajaan Daha.
48
Ingkang cikal
bakal ing Kediri // lan kang rayi aran kyahi Da...... /Sri Jayabaya dawuhe//
ran Daha gya pinundut // pan kinarya aran negari// ananging linironan // aran
ing Sang Prabu // Kiyahi Butalocaya // pan kinarya Patihe Sri nara pati // Sang
Prabu Jayabaya.
Yang menjadi
cikal bakal Kediri // dan adiknya yang bernama Da....// Sri Jayabaya
memerinthkan // untuk mengambil kata daha // sebagai nama kerajaan // kemudian
diganti // sebutannya oleh sang raja // Kyai Butalocaya // dijadikan sebagai
patih // Raja Jayabaya.
49
Buta iku
buteng ingkang harti // buteng iku bodo tan wruh sastra // Buto pan bodo
yektine // Lo; kowe tegesipun // caya kena den pracayani // Kyahi Butalocaya//
bodo temen mengku // tur mantep setya mring praja // marmanira kinarya Patih
Sang Haji // Sang Prabu Jayabaya.
Buta itu
buteng artinya // buteng itu bodoh tidak paham ilmu sastra // Buto
berarti bodoh // Lo; artinya kamu // caya itu bisa dipercaya // Kyai Butalocaya
// bodoh akan tetapi jujur // dan setia kepada raja // sehingga dijadikan
sebagai patih oleh sang Haji // Sang Prabu Jayabaya.
50.
Awit ana sesebutan
Kyahi //kyahi Daha teturutanira // ngayomi anak putune // ing kanan kering
dusun // kyahi Daha kang dipun ungsi // Jengkare Sri Narendra // sing Ngastina
Kratun // jujug wismane Ki Daha // sinugatan sawadya kuswa geng alit // mila
gung sihing Nata.
Awal mula
sebutan Kyai // adalah sebutan Kyai Daha dan keturunannya // bermakna yang
melindungi anak cucunya// yang berada di kanan kiri desa // Kyai Daha sebabagi
jujugan untuk mengungsi // Tidak perduli pembesar dan rakyat jalata semuanya di
jamu // sehingga sangat besarlah kasih sayang Raja.
51.
Ran Ki Daha
pinundut Narpati // pan kinarya namanireng desa // nanging liniru namane //
Kiyahi Tunggulwulung // dadya senapati ngajurit // muksane Sri Narendra //
lawan putranipun // Nimas Ratu Pagedongan // Kyahi Butalocaya lan ingkang rayi
// kalihe samya muksa.
Sebutan Ki
Daha diambil oleh raja // dan dijadikan menjadi nama desa // namun diganti
namanya // Kyai Tunggulwulung // dijadikan senopati prajurit // Ketika sang
raja muksa // bersama dengan sang putri yang bernama // Nimas Ratu Pagedongan
// Butalocaya beserta adiknya // keduanya juga muksa.
52.
Nini Ratu
Gedongan kinardi // Ratuning kang demit Nuswa Jawa // segara kidul kutahne
//pinaringan jujuluk // nama Nimas Ratu Nginangin // kayanganing samudra //
sagunging lelembut // daratan miwah lautan // kanan kering ing tanah Jawi
sumiwi // mring Ratu Pagedongan.
Nini Ratu
Pagedongan dijadikan // menjadi Ratu-nya demit Tanah Jawa // di Laut selatan
kekuasaannya // mendapatkan julukan // dengan nama Ratu Angin-angin //
kerajaannya di samodra // Semua demit daratan dan lautan // dan daerah kanan
kiri Pulau Jawa semua tunduk // kepada Ratu Pagedongan.
53.
Awit saking
karsanya Sang Haji // Kyahi Butalocaya pinernah // manggen Guwa Sela – Bale //
dene Ki Tunggulwulung // pan pinernah ing Kelud Ardi // rumeksa kawahira //
rikalane metu // hajwa ngrusakake desa // duk samana Ki Butalocaya linggih //
manggen kursi kencana.
Kemudian raja
memerintahkan // kepada Kyai Butalocaya diperintah untuk // bertempat tinggal di
Guwa Sela Bale // sedangkan Ki Tunggulwulung // bertempat tinggal di Gunung
Kelud // bertugas memelihara kawah // ketika lahar keluar // agar tidak merusak
desa // dan ketika Ki Butalocaya sedang duduk // di kursi kencana.
54.
Lemek babut
linebaran sari // kenibutan badak kenin kanan // ingkang sowan neng ngarsane //
Ki Patih Mega Mendung // putra kalih siniwing ngarsi // Panji sekti di guna //
Panjisari lahut // lagya eca guneman rasa // lawan Patih miwah ingkang putra
kalih // kagyat ing praptanira.
Beralasnkan
babut yang diberi wewangian // diapit badak di kanan kirinya // dan menghadap
kepadanya // Ki patih Megamendung // kedua putranya berada di depannya // yang
bernama Panji Sekti diguna // Panji Sari Lahut // ketika sedang asyiknya
membicarakan ilmu hakikat // dengan patih dan kedua putranya // tiba-tiba
dikagetkan oleh datangnya.
55.
Danyang
Tanjung tani Nyai Plencing // gupuh-gupuh anungkemi pada // angaturaken tiwase
// kyahi kula atur wruh // karisakan lering Kediri // wonten djanma sajuga sektinya
kalangkung // namanira Sunan Benang // Saking Tuban// Karsane dateng Kediri //
subrata lelana.
Danyang dari
Tanjungtani yang bernama Nyi Plencing // tergopoh-gopoh datang menghaturkan
sembah // menyampaikan berita // wahai Kyai hamba menyampaikan berita //
tentang kerusakan di daerah sebelah utara Kediri // Ada manusia sendirian, yang
sangat sakti // bernama Sunan Benang // dari Tuban // bermaksud ke Kediri //
bersama abdinya untuk mengembara.
ii. ASMARADANA
https://www.youtube.com/watch?v=BQLaDuVIUJU
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Katah ature
Nyi Plencing // kadya kang kasebut ngarsa // ngaturaken ing tiwase // lelembut
miwah manusa // Kyahi Butalocaya // duk miyarsa kalangkung bendu // mubal
ingkang pancandriya.
Banyak sekali
yang disampaikan Nyi Plencing // seperti tersebut di muka // dan menyampaikan
banyaknya korban // demit dan manusia // Kyai Butalocaya // ketika mendengarnya
menjadi sangat marah // terbakarlah pancaindranya.
2.
Sigra denira
nimbali // jin peri lan prayangan // kerigan anak putune // pratane sareng
prahara // sakedap wus samekta // sakapraboning prang pupuh // sigra budal
sabalanya.
Segera
memanggil // Jin peri dan perayangan // berserta anak cucunya // ketika datang,
dengan di iringi prahara // sekejap saja telah siap // berserta dengan
peralatan perangnya // segera berangkatlah mereka beserta pasukannya.
3.
Sakedap pan
sampun prapti // sahelering Kukum Desa // Butalocaya minda wong // Kyahi Sombre
wastanira // wadyane tan katingal // tur awendran kathahipun // wau Ki
Butalocaya
Sekejap saja
telah sampai // di sebelah utara desa // Butalocaya menyamar berujud manusia //
bernama Kyai Sombre // pasukannya tidak kelihatan // dan berjumlah sangat
banyak // diceritakan bahwa Ki Butalocaya.
4.
Mandeg marga
ngisor sambi // anganti ing praptanira // Sunan Benang saking eler // Sunan
Bonang nora samar // kang ngadeg tengah marga // demit ratu arsa ngganggu //
katara awak dahana.
Berhenti di
bawah pohon sambi // menunggu datangnya // Sunan Benang dari utara// Sunan
benang mengetahui // bahwa yang berdiri di tengah jalan // adalah Ratunya Demit
yang akan menggagunya // terlihat dari badanya yang bagaikan api.
5.
Wadya lit kang
samya ngiring // sumingkir lumayu tebah // datan kuwawa panase // caket lawan
Sunan Benang // miwah Butalocaya // kalihe sarira latu // Sunan Benang tan
kuwawa.
Pasukan yang
mengiringnya // segera berlari menyingkir // tidak kuat menahan panas // dekat
dengan Sunan Benang // demikian juga Butalocaya // keduanya berbadan api //
Sunan Benang tidak kuat.
6.
Hanyelak
ratuning demit // tanapi Butalocaya // datan kuwawa panase // caket lawan Sunan
Benang // sabat kalih kantaka // laheng katisen angguguh // angandika Sunan
Benang.
Mendekati
Ratunya Demit // demikian juga Butalocaya // tidak kuat menahan panas // dekat
dengan Sunan Benang // Dua sahabat Sunan pingsan // merasakan kedinginan karena
demam // berucaplah Sunan Benang.
7.
Butalocaya
siereki // metuk marang praptaningwang // ngalih aran Kyahi Sombre // apata
pada raharja // Kagyat Butalocaya // dene Sunan Benang weruh // iya marang
jeneng ingwang.
Butalocaya
kamu // menemui kedatanganku // kamu berganti nama Kyai Sombre // Apakah pada
selamat // terkejutlah Butalocaya // bahwa Sunan Benang mengetahui // nama
dirinya.
8.
Wusana Locaya
angling // dene paduka uninga // ganti aran Kyahi Sombre // angandika Kanjeng
Sunan // ingsun tan kasamaran // yen sira ratu lelembut // Kediri Butalocaya.
Kemudian
Butalocaya berkata // bahwa engkau bisa mengetahui // saya berganti nama
menjadi Kyai Sombre // berkatalah Kanjeng Sunan // saya tidak akan tertipu //
bahwa kamu adalah Raja Jin // wilayah Kediri bernama Butalocaya.
9.
KI Butalocaya
angling // Paduka tiyang punapa // dene aneh wangunane // mengangge pating
karembyah // dede pangangge Jawa // dapur kaya walangkadung // dede wangunan
wong Jawa.
Ki Butalocaya
heran // Paduka manusia jenis apa // mengapa berpenampilan aneh // berbusana
tidak karuan // tidak berpakaian model Jawa // mirip seperti belalang sembah //
bukan penampilan orang Jawa.
10.
Sunan Benang
ngandika ris // ingsun iki Bangsa Ngarab // Sayit Kramat araningong //
wismaningsun Benang Tuban // dene ta karsaningwang // arsa mring Kediri ingsun
// amriksani patilasan.
Sunan Benang
halus berkata // saya ini Bangsa Arab // Sayit Kramat julukanku // bertempat
tinggal di Benang – Tuban // sedangkankan keinginanku // ingin pergi ke Kediri
// ingin melihat peninggalan.
11.
Kadatonira ing
nguni // Maha Prabu Jayabaya // ing kene ngendi enggone // Nauri Butalocaya //
wetan leres punika // dusun Menang wastanipun // tilasan sadaya sirna.
Bekas kerajaan
di masal lalu // Maha Raja Jayabaya // dimanakah tempatnya // menjawablah
Butalocaya // persis di sebelah timur dari sini // Dusun Mamenang namanya //
peninggalannya semuanya musnah.
12.
Kedatonira
sang Haji // miwah pasanggrahan sirna // tuwin tilas kedatone // Nimas Ratu
Pagedongan // taman Bagenda Watya // pasangrahan Dana Catur // mung kantun
araning Desa.
Bekas bangunan
keraton // dan bekas pesanggrahan musnah // juga bekas keraton // milik Ratu
Nimas Pagedongan // yang bernama Taman Bagenda Watya // Pesanggrahan Dana Catur
// hanya tinggal nama desa.
13.
Kahurugan siti
pasir // lahar saking Kelud Harga // wangsul kawula pitaken // paduka gendak
sikara // ing anak putu Adam // nyabdaken kang boten patut // jaka tuwa prawan
tuwa.
Terpendam
tanah pasir // lahar dari gunung Kelud // balik saya bertanya // Paduka berbuat
jahat // kepada cucu Adam // menyabda yang tidak pantas // jejaka tua dan
perawan tua.
14.
Kalawan
nyukani nami // tanah ngriki Kita Gedah // lan paduka ngelih lepen //
nyabdaaken awis toya // tanah ngriki sadaya // siya-siya tanpa urus // sikara
datanpa dosa.
Dan juga
memberi nama // daerah di sini dengan nama Kota Gedah // dan juga paduka
memindahkan aliran sungai // dan menyabda sulit air // di seluruh wilayah
ini // sia-sia tanpa guna // menyiksa tanpa dosa.
15.
Geng-genging
susah wong urip // laki rabi lalu mangsa // sayekti dangu pancere // titahing
latta wal Hujwa // wit saking sabda Tuan// lan sapinten susahipun // tiyang
kang katrajang bena.
Sebesar-besarnya
kesusahan hidup // adalah menikah terlambat waktu // jelas akan lama
berkembangnya // makhluknya latta wal hujwa // yang disebabkan oleh sabda Tuan
// dan betapa kesusahan yang diderita // penduduk terkenan bencana banjir
bandang.
16.
Ngalihe lepen
Kediri // nyimpang ngetan nyabrang Desa// sawahe tegal kabeh // pinten-pinten
karisakan // kasusahaning jalma // lawan pinten susahipun // tiyang kaline kang
asat.
Memindah
aliran sungai Kediri // berpindah arah mengalir ke timur melanda Desa // dan
semua sawah serta tegal // banyak sekali menimbulkan kerusakan // menyebabkan
kesengsaran makhluk // dan juga betapa susahnya // penduduk dengan keringnya
sungai.
17.
Yekti
kekirangan warih // tambah paduka sotena // tanah ngriki sadayane // dumadosna
awis toya // salami-laminira // siya-siya tanpa urus // sikara tanpa prakara.
Berakibat
kekurangan air /// justru paduka habiskan // air di wilayah sini seluruhnya //
kau jadikan sulit air // selama-lamanya // perbuatan sia-sia yang tidak berguna
// berbuat siksa tanpa sebab.
18.
Njeng Sunan
angandika aris // mulane sun weh aran // tanah Kuta Gedah kene // sebab
agamaning janma // tan ireng datan petak // tetepe agama biru // awit agamane
kalang.
Sang Sunan
pelan berkata // makanya saya beri nama // di daerah sini dengan nama Kota
Gedah // sebab agama yang dianut penduduknya // tidak hitam dan tidak putih //
tetapnya Agama Biru // sebab agamanya setengah-setengah.
19.
Sun Sotaken
larang warih // sun njaluk banyu tan angsal // mula sun elih kaline // katekana
larang toya // tanah kene sadaya //mula sun sotake iku // jaka tuwa prawan
tuwa.
Saya habiskan
airnya sehingga sulit air // karena saya meminta air tidak boleh // makanya
saya pindahkan aliran sungainya // jadilah sulit air // tanah di walayah sini
seluruhnya // saya habiskan selurunya // saya sabda jaka tua perawan tua.
20.
Sebab kang
ingsun jaluki // banyu mangsuli tan angsal // bocah wadon prawan balegh //
nahuri Butalocaya // punika mboten timbang // lawan kalepatanipun // Tuan
sabdaaken mangkana.
Sebab yang saya
mintai // air menjawab tidak boleh // seorang gadis akhir baleg // menjawab
Butalocaya // itu sangat tidak adil // di banding dengan kesalahannya //
kemudian Tuan sabda menjadi demikian.
21.
Kang lepat
tiyang satunggil // ingkang susah tiyang kathah // mboten timbang lan hukume //
punika angger punapa // kang Tuan tindakena // sawenang-wenang mring makhluk //
mlarati janma kathah.
Yang kau
anggap salah satu orang // yang menanggung akibatnya orang banyak // sangat
tidak sebanding dan hukum // apa yang kau jadikan pedoman // atas tindakan Tuan
// berbuat sewenang-wenang terhadap makhluk // membuat miskin orang banyak.
22.
Katura kang
darbe nagri // paduka manggih hukuman // kang malarat langkung abot // sabab
angrisaken tanah // sami Tuan sotena // ing ngriki murahing banyu // dados asil
panggesangan.
Jika di
laporkan kepada yang berkausa // Paduka akan mendapatkan hukuman // yang
miskin semakin berat // sebab mengakibatkan tanah menjadi rusak // karena tuan
habiskan // yang semula di sini mudah mendapatkan air // yang bisa menghasilkan
untuk penghidupan.
23.
Laki rabi
alit-alit // enggal mencaraken tiyang // kawulanya Hyang Manon // Paduka sanes
Narendra // ngaru biru agama// tiyang dahwen namanipun // anyukani nama tanah.
Manikah masih
kecil // cepat berkembangnya manusia // hamba Tuhan // Padukan bukan raja //
mengurusi agama orang lain // orang syirik namanya // memberi nama suatu
daerah.
24.
Ngowahke tulis
nagari // ngandika Sinuwun Benang // nadyan katuran Sang Katong // Sang Prabu
ing Majalengka // ingsun masa wedia // mungsuh Ratu Majalanggu // ambekis
butalocaya.
Merubah
administrasi Negara // menjawablah Sunan Benang // walau dilaporkan kepada raja
// Sang Prabu di Majapahit // aku tidak takut // tehadap Ratu Majapahit //
menggeramlah Butalocaya.
25.
Rembag paduka
puniki // dede rembag akhli praja // rembuge wong nyunggi tempe // ngandelaken
yen digdaya // bok sampun sumakeyan // kinasihan ing Hyang Agung // sugih sanak
malaekat.
Omongan paduka
ini // bukan kata-kata seorang ahli negara // omongannya orang menyunggi tempe
// mengandalkan kesaktiannya // janganlah bersikap demikian // Tuan telah
menjadi kekasih Yang Maha Agung // memiliki banyak sahabat yang berupa
malaikat.
26.
Ing sakarsa
dadi // apan boten kalepatan // siya dahwen patiopen // tetep wong gendak
sikara // nadyan ing Tanah Jawa // yekti wonten wong kang langkung // prawira
kadi Paduka.
Setiap
keinginan tuan terkabul // apa tidak mendapatkan salah // berbuat sia-sai
mengurusi yang bukan urusannya // tetap orang yang berbuat jahat // walau di
Tanah Jawa // pasti ada orang yang melebihi // kesaktian paduka.
27.
Nanging sami
ahli budi // ajrih bebenduning Dewa // yen siya sami bangsane // siya-siya
tanpa krana // punapa gih Paduka // tungggalanipun rumuhun // Hajisaka Ratu
Mendang.
Namun mereka
ahli Hakikat // takut hukuman Tuhan // jika bebuat jahat kepada bangsa sendiri
// berbuat sia-sia tanpa sebab // apakah paduka // masih saudara dengan cerita
masa lalu // Hajisaka Ratu di Medang.
28.
Murit sabate
Ijajil // dados ratu Tanah Jawa // mung tigang tahun lamine // mengkrat saking
Tanah Jawa // sadaya sumber toya // ing Mendang saurutipun // binekta minggat
sadaya.
Murid dan
sahabat Ijajil // menjadi raja di Tanah Jawa // hanya selama tiga tahun //
minggat dari Tanah Jawa // semua sumber air // di Medang dan sekitarnya //
dibawa minggat semua.
29.
Djisaka wong
saking Ngarbi // tuwin tiyang saking Ngarab // pramila sami wateke // suka
karya sriking janma // paduka ngaku Sunan // yekti simpen Budi Luhur //
mamrih ayuning Buana.
Ajisaka
berasal dari Arab // dan orang yang berasal dari Arab // makanya sama wataknya
// suka berbuat sirik terhadap makhluk // Paduka mengaku sebagai Sunan // tentu
menyimpan Budi luhur // agar tenteramlah dunia.
30.
De wujud Tuan
puniki // jajil belis tiningalan // tan tahan ginoda rare // mijil mubal
gelis duka // niku sunaning menda // yen Sunan djanma satuhu // simpen budi
luhur panjang.
Sedangkan
tindakan Tuan sekarang // bagaikan jajil iblis yang terlihat // tidak tahan
digoda anak kecil // cepat sekali keluar marahnya // itu sikap Sunannya
kambing // jika Sunan yang sesungguhnya // berpikiran panjang dan berbudi
luhur.
31.
Gih niku
cobaning Widhi // begal Nabi Olya Raja // kang sirna timbang tantinge // mung
gugu karsa priyangga // niksa wong tanpa dosa // gih punika marganipun //
paduka manggih cilaka.
Itulah ujian
Tuhan // memotong ilmu Nabi Auliya raja // siapa saja yang kehilangan
pertimbangan dalam bertindak // hanya menuruti nafsu diri // menyiksa orang
tanpa dosa // itulah jalan yang tuan pilih// yang mengarahkan ke arah celaka
hidup tuan.
32.
Pratanda Tuan
samangkin // wus yasa nraka jahanam // yen wus dados Tuan angge // siram
salebeting kawah // wedang kang mumpal-mumpal // kawula bangsa lelebut , sanes
alam lan manusa.
Itu sebagai
tanda bahwa Tuan sekarang // sedang membangun neraka jahanam // jika sudah jadi
akan Tuan pake // mandi di dalam kawah // kawah wedang yang bergejolak // hamba
bangsa jin // beda alam dengan manusia.
33.
Prandene
maksih mengeti // rahayuning manusa // Paduka wangsulken age // lepen ingkang
sampun asat // miwah risaking tanah // wangsula kadi rumuhun // yen paduka
boten karsa.
Akan tetapi
masih bisa mengerti // ketentraman hidup manusia // Segeralah paduka
kembalikan seperti semula // sungai yang telah kering // dan juga
rusaknya tanah // kembalikan seperti semula // jika paduka tidak mau.
34.
Mangsulken
kadi rumiyin // sadaya manusa Jawa // kang Islam sami sun teluh // kajenge
pejah sadaya // kawula nyuwun bala // dateng kanjeng Ratu Ayu //
Nginangin kang neng Samodra.
Mengembalikan
seperti semula // seluruh orang Jawa // yang beragama syariat akan saya santet
// agar mati semua // saya akan minta bantuan // kepada Kanjeng Ratu Ayu //
Angin-angin yang berada di Samudra.
35.
Sunan Benang
duk miyarsi // padune Butalocaya // rumangsa kaluputane // nyikara wong tanpa
dosa // alon dennya ngandika // Butalocaya wruhanmu // ingsun iki bangsa Sunan.
Sunan Benang
ketika mendengar // penyampaian Butalocaya // merasa salah dalam tindakannya //
menyiksa penduduk tanpa dosa // pelan beliau berkata // Butalocaya ketahuilah
// Ingsun bangsa Sunan.
36.
Tan kena
mangsuli malih // ing wuwus kang wus kawedal // amung sun wangeni bae // lawase
pan nyatus warsa // sabda ningsun tambara // baliya kadi rumuhun // ambekis
Butalocaya.
Tidak boleh
menarik kata // ucapan yang telah keluar // hanya saja saya beri batas //
lamanya tiap seratus tahun // sabda ingsun beru akan netral // akan kembali
seperti semula // menggeramlah Butalocaya.
37.
Gih wangsulan
sak punika // yen ta wangsul sak punika // kadi ing wau-waune // paduka
kawula banda // Sunan Benang ngandika // tan kena mangsuli wuwus // sun pamit
nyimpang mangetan.
Kembalikanlah
sekarang juga // jika tidak dikembali sekarang juga // dan kembali seperti
semula // Paduka akan saya ikat // Sunan Benang berkata // Tidak boleh mencabut
ucapan // saya ijin, menyimpang jalan ke arah timur.
38.
Wohing kayu
sambi iki // saiki sun mehi aran // yeku kecacil arane // lir bocah cilik
tukaran // demit wong pecicilan // rebut bener ngadu kawruh // prakara rusaking
tanah.
Buah pohon
sambi ini // saya beri nama // Kecacil namanya // seperti pertengkaran anak
kecil // demit banyak tingkah // berebut kebenran mengadu ilmu // masalah
rusaknya tanah.
39.
Susahe janma
lan demit // sun suwun marang Rabana // woh sambi loro karyane // dadya asem
dagingira // wijine metu lenga // asem semon ulat kecut // demit padu lan
manusa.
Dan masalah
kesengsaraan penduduk serta demit // saya mohon kepada Tuhan // Buah pohon
sambi akan menjadi dua // asam rasanya // bijinya mengeluarkan minyak // Asam
bermakna sindiran sikap cemberut // demit bertengkar dengan manusia.
40.
Tegese lenga
puniki // demit mleleng janma lunga // dadiya seksi ing tembe // yen
sira padu lan Igwang // katelah prapteng mangkya // woh sambi cacil ranipun //
Sang Wiku malih ngandika.
Arti minyak
adalah // demit mleleng jalma pergi // yang menjadi saksi di belakang hari //
jika kamu bertengkar dengan saya // terkenal sampai sekarang // Buah pohon
sambi bernama Cacil // Sang Sunan berkata lagi.
41.
De gon
sun ketemu iki // kang lor aran desa Singkal // ing kene Desa ing Sumbre //
dene nggone wadyanira // kang ana kidul ika // Kawanguran aranipun //
Sunan Benang sigra mesat.
Tempat
pertemuan ini // sebelah utara saya beri nama Desa Singkal // di sini saya beri
nama Desa Sombre // sedang tempat pasukanmu // yang berada di selatan itu //
saya beri nama Desa Kawanguran // Sunan Benang segera berangkat.
42.
Malumpat mring
wetan kali // katelah prapta samangkya // tanah Kuta Gedah kene // ana desa
Kawanguran // Sumbre lawan ing Singkal // tegese Wanguran weruh // Singkal
sekel nemu akal.
Melompat ke
seberang timur sungai // terkenal sampai sekarang // di Wilayah Kota Gedah //
ada Desa yang bernama Kawanguran // Sumbre dan desa Singkal // arti kata
Wanguran adalah mengetahui // Singkal berarti terjepit/tertekan menemukan
akal.
43.
Butalocaya
nututi // tindakira Sunan Benang // ing Desa Bogem jujuge // hamriksani reca
Buda // sirah dwi badan juga // neng ngisor wreksa trenggulun // woh nedeng
mateng gelasah.
Butalocaya
menyusul // kepergian Sunan Benang // menuju ke Desa Bogem // melihat arca Buda
// berkepala dua satu badan // di bawah pohon trenggulun // yang sedang berbuah
lebat berjatuhan dan berserakan.
44.
Suna benang
ngasta Kudi // das reca buta sinempal // Butalocaya ngling songol // punika
iyasanira // Sang Prabu Jayabaya // kinarya pralamangipun // tekade Janma estri
Jawa.
Sunan benang
memegang Kudi (golok berbentuk mirip gambar wayang yang bernama Bagong) //
Kepala arca di potong // Butalocaya berkata sengol // itu buatan // Sang Raja
jayabaya // sebagai lambang // jalan pemikiran wanita Jawa.
45
Benjang alam
Nungsa Srenggi // sinten janma ningalana // mring raca niku wujude // anulia
sami wuninga // tekatira wanita // tanah Jawa iku besuk, angandika Sunan
Benang.
Besok alam
Nusantara // siapa saja yang melihat // ujud arca tersebut // barulah akan
paham // begitulah jalan pikiran wanita // tanah jawa yang akan datang //
berkatalah Sunan Benang.
46.
Sira iku
bangsa demit // wani padu lan manungsa // demit kumentus arane // nahuri
Butalocaya // inggih kaot punapa // dika Sunan kula Ratu // angandika Sunan
Benang.
Kamu itu
bangsa Jin // berani membantah manusia // Demit bergaya pintar namanya //
menjawablah Butalocaya // kan tidak ada salahnya // engkau Sunan Saya Raja Jin
// berkatalah Sunan Benang.
47.
Woh kayu
trenggulun ini // saiki sun wehi aran // kentos mungguh ing perlune // dadya
saksining sun wuntat // yen ingsun kekerengan// lan demit ingkang kumentus //
prakara rusaking praja.
Buah pohon Trenggulun
ini // sekarang saya beri nama // Kentos yang artinya // menjadi saksi di masa
yang akan datang // bahwa saya bertengkar kata-kata // dengan demit yang sok
pintar // tentang rusaknya negara.
48.
Katelah prapta
samangkin // wit trenggulun ewohira // pinuka kentos arane // awit saking
sabdanira // Kanjeng Sinuwun Benang // punika pituturipun // rahadyan
Budi sung karya.
Dikenal sampai
sekrang // pohon trenggulun buahnya // bernama kentos // oleh sabdanya // Sunan
Benang// itulah ceritanya // Raden Budi yang memberitahukan.
49.
Sigra tindak
sang Ngayogi // mangaler ing wayah ngasar // pan arsa shalat karsane // ana
sumur jawi desa // tan ana timbanira // ginolingaken kang sumur // ngambil wulu
lajeng shalat.
Segera
berangkalah sang Sunan // ke arah utara di waktu Ashar // karena akan
menjalankan Shalat // ada sebuah sumur di luar desa // tidak ada timbanya //
digulingkanlah sumur tersebut // kemudian mengambil air wudhu terus Shalat.
50.
Katelah prapta
samangkin // sumur iku ing ngaranan // sumur gumuling kaprahe // Sunan Benang
kang golingna // iku pituturira // Radyan Budi guruku // embuh bener luputira.
Dikenal sampai
sekarang // sumur tersebut diberi nama // sumur terguling dikenalnya // Sunan
Benang yang menggulingkannya // itulah ceritanya // Dari suara Budi guruku //
entah benar dan salahnya.
51.
Lajeng
tindaknya Sang Yogi // Desa Nyahen sampun prapta // miyat reca buto wadon //
neng ngiosring wreksa dadap // nedheng kembang wohira // tibeng kanan
keringipun // ing reca Buta baranang.
Kemudian Sang
Sunan melanjutkan perjalanan // dan sampailan di Desa Nyahen // terlihatlah
sebuah arca raksasa perempuan // yang berada di bawah pohon dadap // yang
sedang berbunga dan berbuah // jatuh di sebelah kanan kirinya // dari arca
raksasa perempuan tersebut.
52.
Sunan Benang
aningali // ing wujud reca Buta // eram dene sing agede // madhep ngulon
njengkang lenggah // nembelas kaki inggilnya // ubenge bangkekaniun // sadasa
kaki tan kurang.
Sunan Benang
melihat // ujud dari arca Buta tersebut // heran karena teramat besarnya //
menghadap ke barat duduknya // enambelas kaki tingginya // lingkar pinggangnya
// sepuluh kaki tidak kurang.
53.
Pama den elih
unggyaning // wong hastha tus tan kuwawa // yen ora lawan prantine // sinempal
bahune kanan // bathukira kerowak // Ki Butalocaya muwus // paduka nyata
dahwenan.
Andaikan
dipindah tempatnya // oleh delapan ratus orang tidak akan kuat // jika tidak
menggunakan alat // dipatahkanlah salah satu tangannya // dibuatlah luka di
dahinya // Ki Butalocaya menegurnya // Engkau memang orang sirik.
54.
Reca buta
becik-becik // rinusak tanpa prakara // saniki awon warnine // ing nguni
iyasanira // Sang Prabu Jayabaya // lan punapa asilipun // paduka ngrusak
gupala.
Arca buta yang
bagus // kau rusak tanpa sebab // sekarang jadi buruklah rupanya // dahulu itu
adalah buatan // Sang Prabu Jayabaya // dan apakah untungnya // Paduka merusak
arca tersebut.
55.
Sunan Benang
ngandika ris // mulane iki sun rusak // jwa pindundi ing wong akeh // senajenan
kinutukan // yen wong muji brahala // tetep aran kapir kupur // sasar lahir
batinira.
Sunan pelan
berkata // mengapa ini saya rusak // agar tidak dihormati orang gbanyak // di
beri sesajen dan bakar dupa // apabila orang mengagungkan arca // tetap disebut
orang kafir kufur // tersesat lahir batinnya.
56.
Ki Butalocaya
angling // Janma Jawa wus uninga // yen reca Jawa wujude // datan adarbe kuwasa
// sanes lata walhuja // mila ing ngurmatan iku // sinajenan kinutugan.
Ki Butalocaya
termangu // Orang Jawa telah paham // bahwa sebuah arca di Jawa // tidak akan
mempunyai kuasa // bukan lata walhujwa // mengapa di hormati dan // diberi
sajen dan di bakari Dupa itu dengan maksud.
57.
Supados sadaya
demit // sampun manggen siti wreksa // punika medal hasile / dados tedaning
manusa // mila sinung panggenan // kinen manggen reca wahu // wus manggen
wonten gupala.
Agar semua
demit di wilayah itu // tidak bertempat tinggal di tanah, sawah dan tegalan //
yang menghasilkan // yang hasilnya akan dimakan manusia // makanya tempat arca
itu angker // agar supaya demit bertempt tinggal di arca batu tersebut //
setelah bertempat tinggal di arca.
58.
Paduka tundung
mring pundi // wus wajibe brekasakan // reca guwa panggonane // ganda arum kang
tinedha // sarira seger sumyah // yen wus manggon reca wau // gon kiwa
neng ngandap wreksa.
Engkau usir
kemana // sudah seharusnya jin brekasakan // arca dan gua sebagai tempat
tinggalnya // di sebelah kiri di bagian bawah arca tersebut.
59.
Samar ayom
sepi resik // senenging manah kalintang // wus ngraos sanes alame // demit
kelawan manusa // mila sumingkir ngiwa // sampun manggen reca kayu // paduka
gendak sikara.
Terlindung,
sejuk, sepi dan bersih // betapa senang hatinya // telah merasa bahwa beda alam
// antara Jin dan manusia // makanya menyingkir ke sebelah kiri // setelah
bertempat tinggal di arca dan pohon // engkau ganggu.
60.
Tetep paduka
wong jail // siya samining tumitah // sami makhluking Hyang Manon // aluwung
manusa Jawa // ngurmati wujud reca // kang ginambar waunipun // pantes simpen
budi hawa.
Tetap engkau
termasuk orang jahil/usil // menyia-nyiakan sesama makhluk // sama-sama
makhluk Tuhan // lebih baik sikap orang Jawa // merawat sebuah arca // yang
digambar sebelumnya // pantaslah orang jawa menyimpan Budi pekerti hawa.
61.
Wangsul tiyang
bangsa Ngarbi // sami sujud Ka’bat ollah // tugu sela ing wujude // niku
langkung saking sasar // Sunan Benang ngandika // Kakbah ollah Mekkah iku //
Nabi Brahim ingkang yasa.
Kembali kepada
orang Arab // bersujud kepada Ka’bah Allah // tugu batu bentuknya // itu lebih
dari sesat (Jangan salah Tafsir – jika belum paham carilah ilmunya. Pen)
// Sunan Benang menjelaskan // Ka’bah Allah di Mekkah itu // Nabi Ibrahim yang
membuatnya.
62.
Hingkono
pusering bumi // sinung tanda tugu sela // sinujudan ing wong akeh // sapa
sujud Kahbat ollah // Allah paringg ngapura // luputira kabeh kang wus //
Butalocaya atanya.
Disitulah
pusat bumi // diberi tanda tugu dari batu // tempat arah sujud orang banyak //
siapa saja yang bersujud di ka’batullah // Allah akan memberi ampunan // atas
segala kesalahannya // Butalocaya bertanya.
63.
Niku tandane
punapi // yen angsal sih pangapura // sadaya kaluputane // napa tampi tanda
tanda hasta // serat mawi cap reta // saking pangeran kang Agung // angandika
Sunan Benang.
Apah ujud dan
tandanya // jika mendapatkan ampunan // segala kesalahannya // apa akan
menerima tanda tangan // surat dengan bercap reta // dari Tuhan Yang Agung //
berkatalah Sunan Benang.
64.
Kang kasebut
kitab mami // yen mati antuk kamulyan // Ki Butalocaya bekos // pejah malih yen
angsala // kamulyan kang sanyata // wonten donya sampun korut // sasar nembah
tugu sela.
Itu yngang
disebut di dalam kitab ku // jika meninggal mendapat kemuliaan // Ki Butalocaya
menggeram // Setelah meninggal dunia pun tidak akan mendapatkan // Kemuliaan
yang nyata // sedang masih di dunia telah keliru // menyembah tugu dari batu.
65.
Yen wus nrima
nembah Curi // sae minggah kelud harga // kathah sela ageng sae // iyasanireng
Pangeran // samya wujud pribadya // medal saking ing sabda Kun // iku wajib
sinujudan.
Jika hanya
menyembah batu // lebih baik naik saja ke puncak gunung Kelud // banyak batu
besar yang bagus-bagus // buatan Tuhan // terbentuk dengan sendirinya //
tercipta dari sabda KUN // itulah yang seharusnya yang kau sujudi.
66.
Dawuhing Hyang
Maha Luwih // sadaya manusa dunya // wikanana mring Betolahe // apan raganing
manusa // betolah kang sanyata // prau yasaning Hyang Agung // wajib rineksa
jinaga.
Perintah Yang
Maha Segalanya // manusia di seluruh dunia // Pahamilah tentang Baitullah // di
dalam raga manusia // Baitullah yang sebenarnya // Perahu ciptaan Yang Maha
Agung // wajib dirawat di jaga.
67.
Sinten wruh
asaling diri // wikan budi hawanira // gih punika tuladane // nadyan shalat
ratri siang // yen nganggo raga gelap // kawruhira sasar susur // kasasar
nembah mring sela.
Siapapun yang
paham asal diri // memahami Budi dan hawa nafsunya // itulah tauladannya //
Walau shalat siang malam // jika menggunakan raga gelap // ilmunya tersesat
jauh // tersesat menyambah batu.
68.
Tugu iyasaning
Nabi // Nabi niku gih manusa // kawulanira Hyang Manon // pinaringan wahyu
nyata // wignya sugih engetan // sidik paningale terus // weruh sakdurung
winarah.
Tugu buatan
Nabi // Nabi juga manusia // Makhluk Tuhan // di anugerahi Wahyu Tuhan //
pandai kaya pemikiran // tejam mata hatinya dan juga // mengetahui sesutu yang
belum terjadi.
69.
Kang yasa reca
puniki // Maha Prabu Jayabaya // inggih kakasih Hyang Manon // pinaringan wahyu
mulya // wignya sugih engetan // sidik paningale terus // weruh sakdurung
winarah.
Yang membuat
arca tersebut // Maha Prabu Jayabaya // Juga kekasih Tuhan // mendapat anugerah
wahyu utama // pandai kaya pemikiran // tajam matahatinya dan juga //
mengetahui sesuatu yang beum terjadi.
70.
Paduka
pathokan tulis // wong Jawa patokan sastra // batuwah luri luhure // sami
anyungkemi kabar // muhung ta nyungkemana // kabar tulis luri luhur // tulise
kenging pinriksa.
Engkau
berpedoman pada tulisan // Orang Jawa berpatokan ilmu nyata // petuah menurut
leluhur // sama sama mempercayai cerita // walau patuh pada // kabar yang
tertulis dan kabar dari para leluhur // tulisannya bisa dilihat.
71.
Wong nyungkemi
kabar Ngarbi // tan wruh wujude ing ngrika // embuh dora embuh yektos // gega
ujare wong nglompra // mila tuwan Ngajawa // adol umuk sade kawruh // mulyane
nagari Ngarab.
Oran yang
percaya kabar budaya Arab // tidak melihat ujud yang sebenarnya di sana //
entah dusta ataupun nyata // percaya cerita para pengembara // makanya Tuan
pergi ke Tanah Jawa // menjual cerita menjual ilmu // kebaikan tentang budaya
Arab.
72.
Dene kawula
udani // wujude nagari Mekkah // manusane arang cewok // tanah padas awis toya
// tanem tuwuh tan medal // panas benter awis jawah // wong kang budi akhli
nalar.
Sakerang saya
beri tahu // gambaran tentang Mekkah // orangnya jarang cebok // tanahnya
padas sulit air // tanaman sulit hidup // berhawa panas jarang hujan //
orang yang ahli Budi ahli nalar.
73.
Mastani Mekkah
nagari // kenging musibating Allah // nagri cilaka arane // wonge nebut siya-siya
// marang asmaning Allah // katah sade bangsanipun // kinarya rencang tumbasan.
Mengatakan
bahwa tanah Arab // mendapat musibating Allah // tanah celaka sebutannya
// orang nya menyebut sia-sia // hanya sebatas menyebut Asma Allah //
Banyak yang menjual bangsanya sendiri // sebagai barang yang bisa diperjual
belikan.
74.
Jinamah
datanpa kawin // pinadaken sato kewan // ingkang sanes agamane // tan enget
sami manusa // sami turuning Adam // paduka kesah den gupuh // paduka tiyang
duraka.
Dijamah tanpa
nikah // disamakan dengan hewan // yang berbeda Agamanya // tidak ingat
bahwa sama-sama manusia // sama-sama keturunan Adam // Segeralah engkau
pergi // Paduka orang Durhaka.
75.
Nagri Tanah
Jawi ngriki // nagari kang sukci mulya // madya asrep lan panase // tanah pasir
mirah toya // barang tinanem dadya // jaler bagus estri ayu // madya luwes kang
wicara.
Negeri Tanah
jawa di sini // Negeri yang suci mulia // berhawa sedang dingin dan panasnya //
bertanah berpasir banyak mengandung air // segala yang di tanam tumbuh // Pria
tampan wanita cantik // halus dan ramah ketika bicara.
76.
Rembag paduka
puniki // dede rembaging sarjana // rembage wong thethe hore // pracaya kang
nora nyata // yen Tuan arsa wikan // tengahing jagad satuhu // ing ngriki gen
kula lenggah.
Omongan paduka
itu // Bukan omongan sarjana // omongan orang rendahan // meyakini yang tidak
nyata // jika Tuan ingin mengetahui // Puser jagad sesungguhnya // di sinilah
tempat saya duduk.
77.
Paduka ukur
samangkin // yen cidra rembag kawula // kawula sampeyan jotos // rembag Paduka
kasasar // tanda yen kirang nalar // kirang neda budi kawruh // aremen siya
sikara.
Silahkan
Paduku ukur sekarang // jika bohong kata-kata saya // saya kamu pukul //
Omongan Paduka itu salah // menunjukan bahwa kurang pemikiran // kurang
memahami Budi dan Ilmu // sehingga senang menganiaya.
78.
Kang yasa reca
puniki // Maha Prabu Jayabaya // langkung tuwan digdayane // paduka mangsa
sageda // ngepal langkahing jagad. (jaman) // paduka kesah den gupuh // yen tan
kesah sapunika.
Yang membuat
arca ini // Maha Prabu Jayabaya // Melebihi Tuan kesaktiannya // Paduka tidak
bakalan bisa // menghentikan perputaran jaman // Paduka segeralah pergi // jika
tidak pergi sekarang juga.
79.
Sun undangken
ari mami // Tunggulwulung Kelud Arga // paduka kawula kroyok // paduka mangsa
meenanga // anunten kula bekta // mlebet kawah redi Kelut // sayekti paduka
susah.
Saya akan
panggilkan adik saya // Tunggulwulung di Gunung Kelud // Paduka saya keroyok //
Padaka tidak bakalan menang // kemudian paduka akan saya bawa // masuk kedalam
kawah Gunung Kelud // pasti Paduka sengsara.
80.
Napa Paduka
kepengin // manggen sela kados kula // sumangga mring Selabale // dadosa murid
kawula // Sunan Benang ngandika // tan nedya nurut rembugmu // sira setan
brekasakan.
Apakah Paduka
menginginkan // Bertempat tingga di batu seperti saya // silahkan pergi ke
Selabale // menjadi murid saya // Sunan Benang berkata // tidak bakalan saya
mengikuti akata-katamu // kamu setan brekasakan.
81.
Sanadyan kawula
demit // taksih pangkat demit Raja // langgeng mulya salamine // paduka dereng
kantenan // yen mulya lir kawula // yen tekad paduka rusuh // aremen siya
sikara.
Walau pun
hamba Jin // masih pangkat Jin Raja // langgeng hidup selamanya // Paduka belum
tentu // Mulia seperti hamba // Jika tindakan Paduka kotor // senang menyiksa.
82.
Mila paduka
ngejawi // wonten ngarab sanget nakal // dadya karan tiyang awon // yen Tuwan
nayaka mulya // mokal kesah sing praja // mila oncat saking Ngarbun // wus
pasti salah lan raja.
Makanya Paduka
pergi ke Jawa // karena di Arab sangat nakal // sehingga dituduh orang sebagai
jahat // Jika Tuan Pejabat tinggi // tidak mungkin meninggalkan kerajaan //
Makanya meninggalkan Arab // pastilah punya salah terhadap Raja.
83.
Tandane wonten
ing ngriki // Tuan taksih ngulondara // mahosi adating uwong // angaru biru
agama // damel risaking tanah // mahoni rupa wus bagus // kasebut
angger-angger.
Buktinya di
sini // Tuan masih mengembara // merubah kebiasan orang // mencampuri Agama //
membuatan kerusakan wilayah // merusak ujud yang sudah bagus // Tersebut dalam
Undang-Undang.
84.
Wong maoni
wangun becik // lan karya risaking tanah // maoni adating wong // agama luluhur
kuna // wajib Ratu aniksa // binuwang dateng Menadu // ngandika Sinuhun Benang.
Orang mengubah
ujud yang sudah baik // dan membuat kerusakan tanah // merobah adat budaya
orang lain // Agama leluhur kuna // hukumnya Wajib raja untuk menyiksanya // di
buang ke Menado // berkatalah Sunan Benang.
85.
Woh kembange
dadap iki // saiki sun wehi aran // kembange celung arane // aran ledung
uwohira // ingsun kacelung nalar // kalawan katladung rembug // dadya
saksinipun wuntat.
Buah dan bunga
pohon dadap ini// sekrang saya beri nama // Bunga Celung namanya // Ledung nama
buahnya // Ingsun kalah nalar // dan juga dibantah kata // jadilah saksi di
belakang hari.
86.
Sun padu lan
ratu demit // kalah kawruh kalah nalar // katelah prapta samangke // woh dadap
kledung ranira // kacelung kembangira // Sang Wiku malih nabda rum // sun pamit
mulih maring Benang.
Saya
berbantahan dengan demit // kalah ilmu kalah nalar // dikenal sampai sekarang
// nama buah dadap adalah Kledung // Celung nama bunganya // Sunan Benang
kemudian pelan berkata // saya ijin pulang ke Benang.
87.
Paduka kesah
den aglis // akarya sangaring kisma // yen dangu-dangu neng kene // akarya
susahing kathah // anarik larang pangan // panas benter awis jawah // Sunan
Benang sigra mentar.
Paduka,
segeralah pergi // akan sangarnya kisma // jika terlalu lama di sini // akan
membuat banyak orang susah // dan menyebabkan mahalnya bahan makanan // membuat
hawa panas dan jarang hujan // Sunan Benang segera berangkat .
88.
Ki Butalocaya
mulih // wadyane kinen bubaran // yata ganti winiraos // nagari ing Majalengka
// Sang Prabu Brawijaya // enjing siniweng wadya gung // balabar lir gula
drawa.
Ki Butalocaya
pulang // pasukan dibubarkan // kemudian gantilah yang diceritakan // Di negeri
Majapahit // Sang Prabu Brawijaya // suatu pagi di hadap para punggawa kerajaan
// membelabar bagaikan Gula Jawa.
iii.
DHANDHANGGULA
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Patih
Gajahmada awot sari // duh pukulun kawula tur wikan// pun patik tampi serate //
Abdi Tuan Temenggung// Kertasana atur upekti // Nagari Kertasana // asat
lepenipun // kang saking Kediri pejah // nimpang ngetan salering kota
Kediri // kenging ing sabdanira.
Patih
gajahmana memberi kabar // Wahai paduka raja, hamba menyapaikan kabar // Hamba
selaku Patih telah menerima surat // dari Abdi Tuan Tumenggung //
Kertasana,, mengabarkan // bahwa di wilayah Kertasana // sungainya kering //
sungai yang dari kediri mati // Sungai menyimpang ke timur dari sebelah Utara
Kota Kediri // karena terkena sabdanya.
2.
Sunan Benang
Ngulama ing Tuban // pinten-pinten dusun karisakan // sampun katur sadayane //
lir kang kasebut ngayun // langkung duka Sri Narapati // Ki Patih Gajahmada //
ing ngagnya lumaku // amriksa mring Keratsana // anitiya wadya lit asiling bumi
// kang risak dening toya.
Suna Benag
Ulama dari tubab // banyak dusun menjadi rusak // dan telah disampaikan
semuanya // seperti tersebut di depan // Sangat murkanya Sang Raja // Ki Patih
Gajahmada // segerlah berangkat // lihatlah daerah Kertasana // berilah rakyat
kecil hasil bumi // yang rusak karena banjir.
3.
Sunan Benang
kinen animbali // tan alami praptaning caraka // Ki Gajahmada ature // estu
leres pukulun // Kertasana kasatan warih // duta kang saking Tuban // manembah
umatur // Pukulun Ngulami Benang // tan pinanggih nuju kesah saking panti //
tan wikan purug ira.
Sunan Benang
disuruhnya untuk dipanggil // tidak berapa lama sampailah utusan // Ki
Gajahmada menyampaikan laporan // sungguh benarlah tuan Raja // Kertasana
kehabisan air // Utusan yang di di utus pergi ke Tuban // datang
menyembah menyampaikan kabar // Wahai Sang Raja Ulama di Benang // tidak
hamba ketemukan, karena sedang bepergian // tidak ada yang mengetahui ke
mana perginya.
4.
Angandika Nata
esmu runtik // iku Patih pra Ngulama Ngarab // nora lamba ing karepe // wiku
ndong aranipun // putih jaba jerone kuning // nora marem dedekah // neres
ringin kurung // Heh patih sira tundunga // Bangasa Ngarab kang aneng pulo Jawi
// mundak ngribeti praja.
Berkatalah
sang Raja dengan setengah marah // Wahai Patih para Ulama Arab // tidak jujur
kehendaknya // Wiku ndong sebutannya // putih di luar di dalamnya kuning
// tidak puas dedekah // neres pohon beringin kurung // Wahai patih kamu
usirlah // Bangsa Arab yang berada di Tanah Jawa // biar tidak membuat
kerusakan negara.
5.
Amung Demak
lawan Ngampel Gading // sun lilani aneng tanah Jawa // nglestarekna Agamane //
liyane loro iku // lah ulihna asale lami // lamun tan arsa lunga // pukulen ing
pupuh // matur Patih Gajahmada // inggih leres ing karsa paduka Gusti //
Ngulama Giripura.
Hanya di Demak
dan Ngampel Gading // yang saya ijinkan tetap berada di Tanah Jawa //
melestarikan Agamanya // selain dari dua daerah itu // kembalikanlah ke asal
mulanya // jika tidak mau pergi // pukulah dengan perang // Berkatalah
Gajahmada // Sangatlah tepat perintah peduka // Ulama Kerajaan Giri .
6.
Tigang warsa
tan sowan Sang Haji // boten asok ubektining praja // nedya rerempon
ciptane // tan ngrasa ngising nguyuh // nginum neda teng Tanah Jawi // lan
malih namanira // Santri Giri iku // ngungkuli Asma Paduka // apaparab Suhunan
Ngahenal Yakin // puniku tembung arab.
Tiga tahun
tidak datang menghadap Sang Haji // Tidak memberikan upeti sebagai tanda bakti
// sengaja rerempon ciptnya // Tidak merasa bahwa mereka berak kencing//
minum, makan di Tanah Jawa // dan juga yang namanya // Santri di Giri itu //
melebih Asma Paduka // berjuluk Susuhunan Ngainal Yakin // itu Bahasa
Arab.
7.
Jawanipun
Sunan hiku Budi // Jarwanipun Ngahenal makripat // yakin wikan weruh dhewe //
nama tingal kang terus // surasane ing tembung Jawi // nama Prabu Satmata //
niku asma luhur // nglangkungi asma Paduka // Ngirb-ngirib tingale Hyang Maha
Sukci // wikan tan kasamaran.
Bahasa
Jawanya, Sunan itu Budi // Arti ‘Ainal itu Ma’rifat // Yakin itu mengetahui
dengan sendirinya // Nama melihat yang terus // jika diterjemahkan kedalam
Bahasa jawa // Bernama Prabu Satmata // itu nama luhur // melebihi Asma paduka
// Meniru-niru Maha Tahunya Yang Maha Suci // Mengetahui atas segala sesuatu.
8.
Ngalam donya
boten wonten kalih // ingkang asma Sang Prabu Satmata // mung Bathara Wisnu
dewe // kala jumeneng Ratu // wonten Medang Kasapta nagri // ngandika Sri
Narendra // pukulen prang pupuh // Ki Patih matur sandika // sigra budal
kalawan angirit baris // gepuk ing Giri Pura.
Di dunia tidak
ada dua // yang bernama Sang Prabu Satmata // Hanya Bathara Wisnu sendiri //
Ketika menjadi Ratu // Di Medang Kasapta Negri // berkatalah Sri Narendra //
hantamlah dengan perang // Ki patih berkata akan dilaksanakan // Segeralah
berangkatlah sang patih dengan membawa pasukan // untuk menyerbu Kerajaan
Giri.
9.
Bubar giris
wadyabala Giri // tan kawawa lumawan ngayuda // Ki Gajahmada pamuke // Sunan
Giri lumayu // marang Benang panggih Sang Yogi // aminta kekuatan //
lumawan prang pupuh // nadahi wong Majalengka // tan cinatur prangira wong
Majapahit // lawan ing Giri pura .
Bubar
ketakutan pasukan Giri // tidak kuat melawan perang // menghdapi amukan
Gajahmada // Sunan Giri mengungsi // ke Benang bertemu dengan Sunan Benang //
memohon bantuan // untuk melawan perang // menghadapi pasukan Majapahit //
tidak diceritakan perang antara Majapahit // melawan pasukan Giri.
10.
Sampun kocap
babat Majapahit // Anggitira pujangga ing kuna // amrih gancar caritane // ing
wektu mangsa iku // Tanah Jawa wus meh sepalih // ngrasuk Agama Islam // Pasisir
sadarum // iring lor sa’urutira // lan tengahan ing kidul maksih netepi / Agama
Budi Hawa.
Telah tertuang
di Serat Babat Majapahit // Buatan Pujangga jaman dahulu // Agar mudah dalam
mengurai ceritanya // pada masa itu // Tanah jawa hampir separuh // telah
memeluk Agama Islam // di semua wilayah pesisir // Pesisir sebelah utara
seurutnya // Sedangkan Pulau Jawa bagian Tengah dan Selatan masih tetap
// Agama Hakikat Budi Hawa.
11.
Pan sinigeg
crita Majapahit // Sunan Benang wus rumangsa lepat // antuk nata dudukane //
tan harsa kendel dangu // aneng wisma numpak palwa glis // lan Sunan Giripura//
mring Demak wus pangguh // lan Hadipati Bintara // pan ing ngebang wruhanira ki
Dipati // iki tekaning mangsa.
Sampai di sini
dipotonglah cerita Majapahit // Sunan benang telah menyadari kesalahannya //
mendapat amarah Raja // tidak mau berlama-lama // berada di rumah // segera
naik perahu // bersama dengan Sunan Giri // menuju ke Demak dan bertemulah //
dengan Adipati Bintara // Kemudian memberi masukan dengan mengatakan //
Ketahuilah wahai Ki Dipati Demak Bintoro // saat sekaranglah telah sampai pada
waktunya.
12.
Risakira Nagri
Majapahit // umurira satus tigang warsa // saka panawangku kene // kang kelar
dadi Ratu // mengku ing Rat sa-Tanah Jawi // genteni Ramanira // kapraboning
Ratu // mung sira iku kang kelar // awit saking karsaning Hyang Maha Luwih //
semengko rembug ingwang.
Hancurnya
Kerajaan Majapahit // umurnya seratus tiga tahun // dari penerawanganku bahwa
// Yang kuat menjadi Ratu // menguasai seluruh Tanah Jawa // menggantikan
Ayahmu // untuk menjadi raja // hanya kamulah yang kuat // sebab sudah menjadi
kehendak Tuhan // sekarang pendapat saya.
13.
Lah rusaken
Nagri Majapahit // lawan alus demit ingkang samar // awja kawentar ing ngakeh
// sowana Bakda Mulut // rumantiya sikeping jurit // sawadyabalanira // pra
Sunan sadarum // miwah sagunging Dipatya // bawahira kang wus manjing ing
Islami // kumpulan aneng Demak.
Hancurkan
kerajaan Majapahit // dengan cara halus dengan cara diam-diam menyusup dan
menyamar // dengan rahasia jangan sampai ketahuan // menyusup dengan membawa
perlengkapan perang // seluruh pasukanmu // dan seluruh para Sunan // beserta
seluruh Adipati // bawahanmu yang telah memeluk Agama Islam // Kumpullkan dulu
di Demak.
14.
Samudana
ngadekake Masjid // yen wus kumpul sun kang aweh nalar // marang para Sunan
kabeh // miwah para Tumenggung // kang wus salin Gama Ngarabi // sayekti
nurut mring wang // pra Sunan sadarum // umatur Sang Adipatya // ulun ajrih
ngrisak Nagri Majapahit // mungsuh Bapa tur Nata.
Samarkan
dengan alasan mendirikan Masjid // jika telah berkumpul saya yang akan
menjelaskan // kepada semua Sunan // dan juga kepada para Tumenggung // yang
telah berganti Agama Syariat // pasti akan menuruti apa kata saya // semua para
Sunan // Menjawablah Sang Adipati Bintoro // Saya takut menyerang Majapahit //
Memusuhi ayah dan juga Raja.
15.
Kaping
tiganipun ambeciki // sung nugraha kamukten neng donya // punapa sun walesake
// mung setya tuhu ulun // dawuhipun suwargi // Kyai Susuhunan Ngampel Denta //
tan parenga mungsuh // mring Rama sanadyan Buda // pan punika jalaran ulun
dumadi // wujud gesang punika.
Yang ke tiga
telah berbuak baik // memberi nugraha dan kebahagiaan hidup di dunia // apa
yang seharusnya hamba lakukan // Hanya patuh dan setia hamba // Nasihat
almarhum // Kyai Sunan Ampel // tidak boleh memusuhi // Orang tua sendiri walau
beragama Buda // karena beliau sebagai sebab hamba menjadi ada // berujud hidup
di dunia ini.
16.
Buda kapir
kapire pribadi // nama Bapa wajib linuhurna // lan dereng wonten lepate //
Kanjeng rama mring ulun // Sunan Benang ngandika aris // sanadyan mungsuh Bapa
// mbeciki lan Ratu // nora ana walatira // ngrusak kapir Buda kawak sira
manggih // ganjaran swarga mulya.
Buda kafir,
kafirnya pribadi // Yang namanya orang tua wajib dijunjung tinggi // dan juga
tidak ada kesalahannya // Ayah hamba terhadap hamba // Sunan Benang pelan
berkata // Meski memusuhi orang tua // mengganti seorang raja dengan yang lebih
baik // tidak ada walatnya // menghancurkan Buda kafir tuwa engkau akan
mendapatkan // ganjaran surga mulya.
17.
Sunan Ngapel
iku santri miri // gundul bentul budeng tan wruh nalar // mung jago godogan bae
// sapira kawruhipun // Sayit Rakhmat ing Ngampel Gading // bocah lahiran Cempa
// tan padha lan ingsun // Sayit kramat Sunan Benang // tedak Rasul kang pinuji
wong sak bumi // panutane wong Islam.
Sunan Ampel
itu Santri miri // Gundul bentul budeng tidak paham nalar // hanya jago godogan
saja // seberapalah ilmunya // Sayit Rakhmat di Ampel Gading // anak kelahiran
Cempa // tidak sama dengan ingsun // Sayit Kramat Sunan Benang // Keturunan
Rasul yang di hormati manusia seluruh bumi // Rasul sebagai panutan orang
Islam.
18.
Sira mungsuh
Ramanira Aji // nadyan dosa-dosa wong sajuga // tur tuwa kapir wujude // yen
kalah Bapakmu // sayektine wong tanah Jawi // samya Islam sadaya // sapira
begjamu // nugrahanireng Pangeran // tikel ping mbuh sihing Hyang kang Maha
Sukci // kang tumiba mring sira.
Engkau melawan
orang tuamu raja // meski dosa.. hanya dosa satu orang saja // dan sudah tua,
kafir keadaannya // Jika ayahmu kalah // sesungguhnya orang Tanah Jawa // akan
menjadi Islam semua // Betapa besar untungmu // mendapatkan anugrah Tuhan //
berkali lipat tak terhitung jumlahnya atas anugrah dari Yang Maha
Suci // yang akan kau dapatkan.
19.
Satemene Rama
nira Aji // luwih siya putu marang sira // ingkang dadi pratandane // sira
pinaring juluk // aran babah iku tan becik // tegesa aran babah // iku
aran saru // bage mati mage gesang // wiji Jawi ginawa mring cina putri
// mulane ibunira.
Sesungguhnya
orang tuamu raja // telah menyia-nyiakan dirimu // sebagai tandanya tandanya //
kau di beri julukan // sebutan Babah itu tidak baik // arti kata Babah // itu
sebutan tidak sopan // entah mati entah hidup // biji dari jawa berada di dalam
putri cina // makanya ibumu.
20.
Pinaringken
Palembang Dipati // Arya Damar wong Prambanan buta // amegat sih sayektine //
tetep galih tan ayu // ramanira Sri Narapati // mulane rembug ingwang //
walesen lan alus // ing lahir aja katara // ing batine sesepen rahe den enting
// mamahen balungira.
Dikasihkan
kepada Adipati Palembang // Arya Damar yang berasal dari Prambanan buta //
sesungguhnya memutus cinta // tetap tidak baik // orang tuamu Raja // makanya
pendapat ku // balaslah denga halus // tata lahir jangan nampak // dalam batin
hisaplah darahnya sampai habis // kunyahlah tulangnya.
21.
Sunan Giri
anambungi angling // ingsun iki putu linurugan // mring ramanta utusane // tan
ana dosaningsun // ingaranan reraton mami // sebab tan arsa seba // marang
Majalangu // sumbare si Gajahmada // yen kacandak ingsun arsa den kuciri // lan
kinen guyang sona.
Sunan Giri
menambahi pendapat // saya ini wahai cucu di serang // oleh utusan oang tuamu
// padahal tidak ada kesalahanku // dituduh bahwa kerajaanku // hanya sebab
tidak mau menghadap // ke kerajaan Majapahit // sumbarnya Gajahmada // jika
tertangkap saya akan dikuciri // dan juga disuruh memandikan anjing.
22.
Lan sakehe
santriningsun sami // akeh cina kang samya ngajawa // neng Giri sun Islamake //
kang muni kitab ingsun // yen Wong Islam ngislamaken kapir // yekti tampa
ganjaran // sawarga ing besuk // mulane keh bangsa cina // kang mring Giri sun
Slamaken sadaya sami // sun anggep kulawarga.
Dan kebanyakan
dari santriku // adalah dari cina yang pergi ke Jawa // meng-Islamkan orang
kafir // menurut kitab ku // jika orang Islam meng-Islamkan orang kafir //
pasti akan mendapat pahala // balasan suarga nantinya // makanya banyak orang
cina // pergi ke Giri dan saya Islamkan semuanya tanpa kecuali // saya anggap
sebagai keluarga.
23.
Praptaningsun
kene ngungsi urip // marang sira wedi Gajahmada // lawan ramanira angger
// dene sengit kalangkung // mring wong santri kang Puji Dikir // ing
ngaran lara ayan // awan sore esuk //yen sira tan ngukuhana // yekti rusak
Agama Muhammad Nabi // nahuri Sang Dipatya.
Kedatanganku
ke sini mengungsi mencari hidup // kepadamu karena saya takut kepada Gajahmada
// dan juga kepada ayahandamu // karana mereka sangat bencinya // kepada para
santri yang selalu puji dzikir // dituduh sakit ayan // siang sore pagi // jika
engkau tidak jadi penguasa // pasti rusak Agama Nabi Muhammad // menjawablah
sang Adipati Demak.
24.
Niku leres
ingkang anglurugi // wong reraton tan ngrasa kaprenah // mring ratu kang
mbawahake // wus wajibe den ukum // linurugan dipun pateni // dika boten
rumangsa // mangan ngising nguyuh // wonten jroning Tanah Jawa // kang makaten
punika wus datan sisip // Sunan Benang ngandika.
Itu benarlah
yang menyerang mu // karena kau menjadi raja bawahan tidak merasa hormat //
kepada Raja penguasa // sudah seharusnya di hukum // di serang dan dibunuh //
engkau tidak merasa // makan, buang air besar dan kencing // di Tanah
Jawa // yang demikian itu tidak salah // Sunan Benang berkata.
25.
Yen ta sira
rembug wektu iki // kaprabone putu ramanira // yen sira anti surude // sayekti
pasrahipun // mring Dipati ing Panaraga // krana putra pangarsa // miwah putra
mantu // ing Pengging Ki Dayaningrat // mangsa pasrah kaprabon mring sira kaki
// de sira putra ngandap.
Jika kau
bicarakan sekarang // merebut kekuasanan orang tuamu // jika kau tunggu
meninggalnya // pasti akan dipasrahkan // kepada Adipati Ponorogo // Karena
putra sulung // atau kepada menantunya // di Pengging yang bernama Ki
Jayaningrat // tidak bakalan di serahkan kepadamu // karena dirimu anak urutan
bawah.
26.
Nora wajib
jumeneng Narpati // mumpung iki na lawang menga // Giri dadi jalarane //
hangrusak Majalangu // nadyan mati mungsuh lan kapir // yekti tampa ganjaran //
mati nemu ayu // nampani sawarga mulya // wus wajibe wong Islam mati lan kapir
// nyungkemi mring Agama.
Tidak berhak
menjadi raja // mumpung sekarang pintu sedang terbuka // penyerangan ke giri
yang yang menjadi sebabnya // sekarang waktunya menghancurkan Majapahit //
meski mati melawan kafir // pasti akan mendapat pahala // meninggal dengan
mendapatkan anugerah // mendapatkan Surga mulia // sudah seharusnya orang
Islam mati melawan kafir // membela agamanya.
27.
Lawan wajibira
ing ngaurip // angupaya nugraha neng donya // darajat kang luhur dewe // yen
urip nora weruh // nora melik darajat lahir // lamun sipat manusa // mesti
melikipun // mengku praja angreh wadya // apan ratu kalipahira Hyang Widdi //
nganggo sakarsa dadya.
Dan juga
kewajiban hidup // berusaha mendapatkan anugrah di dunia // derajat hidup yang
paling tinggi // jika hidup tidak tau // tidak menginginkan derajat lahir //
jika masih bersifat manusia biasa // pasti menginginkannya // menjadi raja
menguasai rakyanya // jika menjadi raja sebagai wakil tuhan // apapun
yang diinginkannya terwujud.
28.
Satemene sira
wus pinasti // dadi ratu aneng Tanah Jawa // gumanti ramanta angger // nanging
tata lahiripun // kudu sandi den Ikhtiari // rinebut lawat aprang // iku
saratipun // yen sira tan ikhtiara // sayektine sihing Hyang pinundut bali //
sira nampik sihing Hyang.
Sesungguhnya
kamu sudah digariskan // menjadi raja di Tanah Jawa // menggantikan kedudukan
raja ayahanda // namun dalam tata lahir // harus disyarati dengan ikhtiar usaha
// direbut dengan jalan perang // itulah syaratnya // jika tidak engkau
ikhtiari // pastilah takdir tuhan akan ditarik kembali // karena engkau menolak
takdir tuhan.
29.
Ingsun amung
darma anjurungi // kang wus weruh sadurung winarah // sun semprong wus katon
njengleh // simrawang kawruh Ingsun // nora samar ing dalem ghaib // sira
ingkang katingal // sing sih Hyang Mahagung // dadi Ratu Tanah Jawa // amurwani
nyalini Agama Sukci // berat Agama Buda.
Hamba hanya
sekedar mendukung // saya sudah mengetahui hal yang belum terjadi // Saya intip
sudah nampak dengan jelasnya // menggunakan ilmu ku // sudah nampak jelas di
dalam gaib // kaulah yang terlihat // yang mendapat anugerah Tuhan // yang
menguasai Agama Suci // membuang Agama Buda.
30.
Katah-katah
dawuh Sang ngayogi // ngebang-ebang marang Sang Dipatya // mamrih ngadeg
kasurane // angrusak Majalangu // den misili carita Nabi // kang padha ngrusak
Bapa // Kapir nemu ayu // ingsun iki wong wis tuwa // menangana adegira
Narapati // paring idi mring sira.
Banyak-banyaklah
yang disampaikan sang Sunan // membakar semangat sang Adipati // agar bangkit
semangatnya // untuk menghancurkan Majapahit // diberilah contoh cerita Nabi //
yang bertindak memusuhi ayah sendiri // yang masih kafir akan mendapatkan
keselamatan // saya ini orang yang sudah tua // apabila umurku sampai dengan
dinobatkannya dirimu menjadi raja // saya akan memberi restu kepada dirimu.
31.
Rahayune
adegira Haji // muteringrat mengku Tanah Jawa // lestariya sabanjure // Sang
Dipati umatur // yen makaten karsa Sang Yogi // kawula amung darma //
lumampah satuduh paduka kang botohan // Sunan Benang pangandikanira aris // ya
iku sun karepna.
Agar selamat
selama engkau menjadi raja // Raja besar yang menguasai Tanah Jawa //
lestarilah seterusnya // Dan Adipati mengatakan // jika demikian kehendak sang
Guru // hamba hanya sekedar // menjalankan perintah padukalah sebagai botohnya
// Sunan Benang berkata lembut // Itulah yang saya harapkan.
32.
Yen wus gelem
sira sun botohi // lah kirima layang arinira // Dipati Terung den age //
kang rapet tembung halus // lah antepen arinireki // apa abot mring Nata
// apa bot sadulur // tuwa tur tunggal agama // yen adimu dipati Terung
ngrujuki // adegira Narendra.
Jika sudah mau
kau saya botohi // buatlah surat kepada adikmu // Adipati Terung dengan segera
// susunlah kalimatnya dengan halus // dan tanyakanlah kepada adikmu // apa
lebih berat kepada raja // apa lebih berat saudara // saudara tua yang sama
Agamanya // jika adikmu Adipati terung setuju // dirimu yang menjadi Raja.
33.
Gampang banget
ngrusak Majapahit // Majalengka sapa den endelna // yen uwis balik si Kusen //
si Gugur isih timur // mangsa dadak waniya getih // Gajahmada wus tuwa //
wungkuk ambelengkuk // den thuthuk bae palastra // mangsa kelar nadahi yudamu
kaki // sigra Sang Hadipatya.
Sangatlah
mudah menghancurkan Majapahit // Majapahit siapakah yang bisa di andalkan //
jika si Kusen sudah mendukung kita // Si Gugur masih kecill // tidak bakalan
berani melihat darah // Gajahmada sudah terlalu tua // bungkuk // dipukul pelan
saja pasti mati // tidak akan kuat menghadapi seranganmu anakku // segeralah
sang Adipati.
34.
Kirim
serat mring Terung Dipati // tan alami prapta kang caraka // wus tinampen
wangsulane // lan Bupati sadarum // samudana ngedegken Masjid // tan lama sami
prapta // pra Sunan sadarum // miwah kang para Bupatya // pakumpulan perlu
ngedegaken Masjid // sawuse Masjid dadya.
Mengirim surat
kepada Adipati Terung // tidak lama sampailah sang utusan // telah diterima
balasannya // bersama dengan semua Bupati // disamarkan dengan membangun Masjid
// tidak lama kemudian semuanya sudah datang // Seluruh Sunan // Seluruh Bupati
// berkumpul mendirikan Masjid // setelah masjid berdiri.
35.
Para Sunan lan
para Bupati // Shalat Subuh neng Masjid sadaya // sawusnya bakda Shalate //
tinutup korinipun // Sunan Benang ngandika haris // lah sagung Para Sunan //
Bupati sadarum // lamun rembug sira padha // Sang Dipati Bintara sun degken
Haji // mengkurat Tanah Jawa.
Semua Sunan
dan Bupati // menjalankan Shalat subuh di Masjid // Setelahnya Shalat //
ditutuplah pintunya // Sunan Benang berkata // Wahai semua para Sunan // dan
para Bupati semuanya // Jika sepakat semuanya // Sang Adipati Bintara , saya
angkat menjadi raja // menguasai seluruh Tanah Jawa.
36.
Sarta mbedah
kraton Majapahit // ngrusak kapir nora nemu dosa // nampani suwarga tembe //
yen sira padha rembug // prayogane ing dina iki // Ki Dipati Binatara // ingsun
angkat Ratu // mumpung wus kumpul sadaya // para Sunan lan sagung para Dipati
// samekta saha wadya.
Serta
menghancurkan Majapahit // Menghancurkan kafir tidak berdosa // akan menerima
surga besuknya // jika semua sepakat // sebaiknya hari ini juga // Ki Adipati
Bintara // Saya nobatkan menjadi Raja // mumpung telah berkumpul semua //
seluruh Sunan dan seluruh Bupati // lengkap dengan pasukannya.
37.
Para Sunan lan
para Dipati // sabiyantu jumurung ing karsa // Sunan Benang timbalane // sadaya
tyasnya limut // kaya age tempuking jurit // angrusak Majalengka // anggempur
karatun // yata Pangran Siti Jenar // duk miyarsa micoreng sajroning galih //
lah iki tutur apa.
Semua sunan
dan Bupati // sependapat dan mendukung // segala rencana Sunan Benang // Semua
yang hadir pikirannya melayang // seolah-olah segera menyerbu // menghancurkan
Majapahit // menyerang kerajaan // diceritakan Pangeran Sitijenar // ketika
mendengar rencana tersebut hatinya menolak, dan mengatakan // Apa-apan ini.
38.
Siti Jenar
sumundul turnya ris // kados pundi ing karsa paduka // dene asalah karsane //
Sri Majapahit punjul // sih kawula para marta sih // ambeg ngumala retna //
adil mring wadya gung // teka arsa pinrih cidra // napa mboten angsal benduning
Hyang Widdi.
Sitijenar
memberanikan diri menyampaikan dengan kata-kata halus // Bagimanakah kehendak
paduka // Apakah kesalahan // Raja Majapahit yang mempunyai banyak kelebihan //
mangasihi rakyatnya adil terhadap rakyat kecil // berjiwa mulia // adil
terhadap para pembesarnya // tiba-tiba akan dihianati // apakah tidak akan
mendapatkan murka Tuhan.
39.
Duk kalane
praptane pra Wali // binecikan pinaringan papan // inguja ing sakarepe // tan
ana aru biru // teka dadak pinrih tan becik // kawula datan rembag ing karsa
Pukulun // punapa Jeng Rasulullah // kang sinebut arane Nabi sinelir // ngajani
budi cidra.
Ketika
datangnya para Wali // diterima dengan baik di beri tempat tinggal // di
biarkan sekehndaknya // tidak pernah diganggu // tiba tiba akan dihancurkan //
hamba tidak sepakat dengan rencana paduka // Apakah Kanjeng Rasul Allah // yang
tersebut sebagai pemimpin para Nabi // mengajari sifat hianat.
40.
Teka anak
anglanggar ing jurit // marang Bapa kapindhone Raja // ping telu angsung
kamukten // napa tan panggih bendu // marang Gusti kang Maha Sukci // kapindo
Rasulullah // ing pangraos hulun // Jeng Nabi nayakaningrat // dene mboten
kinen ngukum tiyang becik // mring Wali lan Ngulama.
Tiba-tiba anak
diajak menyerang // kepada orangtuanya sendiri, yang kedua kepada rajanya //
yang ketiga telah memberi kesenangan hidup // apakah tidak akan mendapat murka
// dari Gusti Yang Maha Suci // yang kedua Dari Rasulullah // menurut perasaan
hamba // Kanjeng Nabi Raja diraja // tidak memerintahkan menghukum orang baik
// kepada Wali dan ‘Ulama.
41.
Yen makaten
ing panugi mami // ing karsane pra wali sadaya // amung pamrih ing risake
// bapa kalwan sunu // mburu kathah isine kendil // bingah yen angsal brekat //
yen akeh wong lampus // mila darbe mbeg tan arja // wong weh becik wekasan
binalang tai // kados karsa paduka.
Jika demikian
menurut perasaanku // rencana para Wali semua // hanya menginginkan hancurnya
// hubungan orang tua dengan anak // mengejar kekayaan semata // senang jika
mendapatkan berkat // jika banyak orang mati // sehingga mempunyai rencana
jahat // Orang yang telah memberi kebaikan dibalas denga kotoran orang //
seperti perbuatan paduka.
42.
Duk miyarsa
sagungin pra Mukmin // ing wuwuse Pangran Siti Jenar // sakalangkung ing
lingseme // Suna Benang duk ngrungu // dukanira yayah sinipi // heh apa
jajil laknat // ingkang sira wuwus // Wali cilik kurang ajar // nganggo wani
nyanyampahi karsa mami // pan sira bosen gesang.
Ketika
mendengar semua para mukmin// mendengar ucapan Pangeran Sitijenar // sangatlah
malunya // Sunan Benang ketika mendengar // sangatlah murkanya // Heh.. apa
jajil laknat // apa yang kau katakan // Wali kecil kurang ajar //
berani-beraninya menyalahkan rencanaku // apakau kau bosan hidup.
43.
Pilh endi mati
karo urip // lamun ora miturut kaseng wang // amesti mati rinampok // Siti
Jenar asendu // dudu Siti Jenar sayekti // lamun wedi palastra // Gya rinebut
pupuh // Siti Jenar pinejahan // Sunan Giri kang kinen nglawe nelasi //
tumuli ana swara.
Pilihlah mati
atau hidup // jika tidak mengikuti kehendakku // pastilah mati di rampok //
Sitijenar berkata dengan perasaan sedih // Bukan Sitijenar asli // jika takut
mati // segeralah Sitijenar diserang // Siti Jenar dibunuh // Sunan Giri yang
disuruh membunuhnya // kemudian terdengar suara.
44.
Eling eling
Ngulama ing Giri // sira nora sun wales neng kerat // sun wales neng donya bae
// den enget sira besuk // lamun ana Narendra Jawi // kanthi wong bangsa tuwa
// sun lawe gulumu // Sunan Giri duk miyarsa // besuk wani iya ing samengko
wani // ingsun mangsa mukira.
Ingatlah wahai
Ulama Giri // Kau tidak kubalas di akhirat // akan ku balas didunia saja //
ingatlah kau yang akan datang // Jika telah ada Raja Jawa // didukung oleh
orang bangsa tua // saya ikat lehermu // ketika Sunan Giri mendengarnya // yang
akan datang saya berani sekarang pun saya berani // ingsun tidak bakalan
menghindar.
45.
Wus mangkana
karsane Sang Yogi // nglestareken ing sakarsanira // Dipati Demak adege // gya
ing ngidenan sampun // sang Dipati jumeneng Haji // amengku Tanah Jawa //
jejuluking Prabu // Senapati Jimbuningrat (Jin Bun. Pen)// Patihira iya saking
Ngatasangin // nama Patih Mangkurat.
Telah demikian
kehendak Guru // melanjutkan rencananya // Adipati Demak diangkat sebagai raja
// segara mendapatkan restu sudah // Sang Adipati dinobatkan menjadi Raja //
Menguasai seluruh Tanah Jawa // Bergelar lah sang prabu // Senapati Jimbuningrat
(Jin Bun ). Patihnya berasal dari atasangin // bernama Patih Mangkurat.
46.
Dupi enjang
samekta ngajurit // para Sunan lan para Bupatya // memba garebeg ampahe //
Riaya Bakda Mulud // wadya alit tan ana ngerti // wawadinireng lampah // amung
pra Tumenggung // kang sampun Agama Islam // para Sunan lan sagung para Bupati
// Sunan Giri lan Benang.
Ketika sudah
pagi bersiaplah seluruh pasukan // Semua Sunan dan Bupati // Bagaikan gerebeg
jalannya // Riyaya Bakda Mulud // rakyat kecil tidak mengerti // langkah
rahasia // hanya para Tumenggung // yang sudah beragama Islam // semua Sunan
dan Bupati // Sunan Giri dan Benang.
47.
Datan tumut
marang Majapahit // sangsalane wus sepuh tan kuat // amung paring idi bae //
rahayuwa ing laku // shalat kajat wonten ing Masjid // amung kang para Sunan //
lan para Tumenggung // umiring Sultan Bintara // tan winarna marga lampahing
baris // kocapa Majalengka.
Tidak ikut
pergi ke Majapahit // Karena sudah tua dan tidak kuat // hanya memberi restu
saja // agar selamat di perjalanan // Menjalan Shalat Hajat di dalam Masjid //
hanya semua Sunan // dan para Tumenggung // yang mengiringi Sultan Bintara //
Tidak diceritakan perjalannya // Diceritakan tentang Majapahit.
48.
Patih
Gajahmada sampun prapti // saking Giri wus malebeng pura // prapta ngarsane
Sang Rajeng // nembah saha wotsantun // abdi dalem dinuta Gusti // mukul prang
Giri Pura // lumawan prang pupuh // senapatining ngalaga // bangsa Cina
sampun agami Islam // kang nami Secasena.
Patih
Gajahmada telah kembali // dari Kerajaan Giri dan masuk ke dalam keraton //
datang menghadap kepada sang Raja // menyembah dan melaporkan // Hamba diutus
Gusti // menyerang Kerajaan Giri // tejadilah perang besar // senapati perang
// dari bangsa Cina dan sudah beragama Islam // yang bernama Secasena.
49.
Mangsah ngrana
pamuke lir belis // sawadyane tri atus sadaya // sami pacak kawignyane // tuhu
lamun pinunjul // mawi serban mangangge kaji // mangsahe sami mecak //
abdidalem bingung // inggih binedrong sanjata // ting jengkelang kang mati kena
ing mimis // pun Secasena pejah.
Melawan
pasukan perangnya bagaikan setan // bersama pasukannya yang berjumlah 300 orang
// menguasai beladiri tingkat tinggi // nyata memang pasukan elit // memakai
sorban berpakaian kaji // musuhnya telah siap // hamba sampai bingung //
akhirnya digempur senjata // bergelimpanglah yang mati terkena peluru //
sedangkan Secasena gugur.
50
Sakantune kang
gesang angisis // wadya Giri ngili wana arga // tuwin ngambang samudrane //
Sunan Giri lumayu // dateng Benang kawula usir // ngulama Giri Benang // lajeng
numpak prahu // layar ngambang ing lautan // amba kinten lajeng minggat dateng
ngarbi // tan wangsul angajawa.
Yang masih
hidup melarikan diri // pasukan giri melarikan diri meunju hutan dan gunung //
Serta berlayar di samudra // Sunan Giri melarikan diri // menuju Benang saya
usir // Ulama dari Giri dan Benang // semuanya naik kapal // berlayar di lautan
// saya kira melarikan diri menuju Arab // tidak akan kembali ke Jawa.
51.
Sri Narendra
angandika aris // sira Patih paringa uninga // mring si Patah dipun age //
dawuhana karsaningsun // yen ngulama Benang lan Giri // yen ana Nagri Demak //
dicekela gupuh // katur bandan neng ngarseng wang // dosanira santri Benang
ngrusak bumi // tanah ing Kartasana.
Sang Raja
pelan berkata // Hai patih berilah kabar // dengan segera kepada si Patah //
atas perintah saya // jika Ulama Benang dan Giri // jika berada di Demak //
segeralah di tangkap // jadikan tahanan di hadapanku // kesalahan santri Benang
merusak bumi // tanah di Kertasana.
52.
Dosanira
Ngulama ing Giri // nora arsa seba marang ingwang // sedya reraton karepe //
Patih sandika mundur // sapraptane ing pancaniti // lajeng minta parentah //
gandek kang den utus // mundi nawala Narendra // marang Demak kasaru caraka
prapti // saking Pati Bupatya.
Kesalahan
Ulama giri // tidak mau menghadap kepada ku // ingin mendirikan kerajaan
sendiri // Patih menjalankan perintah Raja // sesampainya di Pancaniti //
segera memerintahkan // Gandek yang di utus // Membawa surat raja // ke Demak
belum sampai berangkat datanglah utusan // dari Bupati Kabupaten Pati.
53.
Caos serat
katur mring Ki Patih // gya tinampan binuka winaca // kang ponang serat ungele
// sembah sumungkem ulun // Menak Tunjung ing Nagri Pati // katur Ki lurah
Patya // kawula tur unjuk // samangkya Dipati Demak // Babah Patah sampun madeg
Narapati // wonten ing Nagri Demak.
Menyampaikan
surat kepada sang Patih // Segera di buka dan dibaca .// isi surat yang
berbunyi // Hamba sembah sungkem hamba // Menak Tunjung di Negeri Pati //
Teruntuk Sang Patih // Hamba menyampaikan kabar // Sekarang Adipati Demak //
Babah Patah telah dinobatkan menjadi Raja // Di keraton Demak.
54.
Sunan Benang
kelawan Giri // ingkang dadya pangajenging karsa // angebang-ebang kalihe / ing
ngadegaken Ratu // mengsah Nata miwah Sudarmi // samangkya babah Patah // awrat
gurunipun // angentengaken Sudarmi // wus ing ngestren madegira Narapati //
amengku Tanah Jawa.
Sunan Benang
di Giri // yang menjadi pemuka segala rencana // Keduanya yang menghasul //
Raden Patah di nobatkan sebagai Raja // melawan raja dan ayah sendiri //
sekarang Babah Patah // lebih berat kepada gurunya // menganggap ringan orang
tuanya sendiri // Sudah ing ngestren diangkatnya menjadi Raja // Menguasai
seluruh Tanah Jawa.
55.
Ingkang
ngangkat Bupati pasisir // sawadyane kang Islam sadaya // ingkang ngidini
ngadege // para Sunan sadarum // saha bala samya ngideni // mangrurah
Majalengka // de jejulukipun // Senapati Jimbuningrat // kang penuji kan den
embun wong sabumi // samangkya sampun budal.
Yang mendukung
semua Bupati pesisir // beserta pasukannya yang semuanya sudah beragama Islam
// Yang mengijini berdirinya // Semua Sunan // dan juga wadya bala mengijini //
akan menyerang Majapahit // dengan berjuluk // Senopati Jimbuningrat // yang
dihormati yang disuyudi manusia seluruh bumi // sekarang sudah berangkat.
56.
Mukul ing
prang Nagri Majapahit // saha wadya sakapraboning prang // keh tri leksa
prajurite // menggah ing kunjukipun // ngarsa dalem Sri Narapati // sumangga
Lurah Patya // titi suratipun // Pati tanggal kaping tiga // Wulan Mulud warsa
awaling Jimakir // sewu tri atus astha. (3 Mulud 1308 H. Pen).
Untuk
menyerang kerajaan Majapahit // dan juga pasukan beserta peralatan perangnya //
sebanyak tigapuluh ribu prajurit // untuk disampaikan kepada // Sang Maha Raja
// Silahkan saya serahkan kepada Ki Patih // tanggal surat // Pati tanggal tiga
// bulan Mulud Tahun awal Jimakir // seribu tiga ratus delapan..
57.
Mangsa Sanga
Prangbakat wukuning // Kyana Patih wusnya maos serat // Jetung gereng kerot //
tumengeng tawang nebut // Hyang Bathara Dewa kang luwih // langkung gawok tyas
ingwang // wong Islam sadarum // datan becik kandutannya // Agamane nakal alame
basiwit // tan nglingi ing wuntat.
Pranata mangsa
ke Sanga Wuku : Prangbakat // Setelah sang Patih membaca surat // termangu
menahan marah // menengadah ke langit menyebut // Hyang Bathara Dewa yang Maha
Luwih // hamba tidak habis pikir // seluruh orang Islam // tidak baik
pikirannya // Agamanya nakal jiwanya jahat // tidak ingat belakang harinya.
iv.
PANGKUR
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Kyai Patih
wangsul mring Pura // prapteng ngarsa manembah matur aris // duh
Pukulun Maha Prabu // amba atur uninga // putra dalem ing Demak samangkya
sampun // madeg Nata wonten Demak // Jejulukira Narpati.
Ki Pati
kembali ke keraton // setelah menghadap sang Raja pelan berkata // Wahai Maha
Prabu // Hamba menyampaikan berita // Putra paduka di Demak sekarang telah //
menobatkan diri menjadi Raja di Demak.
2.
Senapati
Djimbuningrat // para Sunan ingkang ngangkat ngideni // miwah Bupati
sadarum // pasisir kang wus Islam // putra Tuan samangke wus budhal nglurug //
nggecak Nagri Majalengka // akarya buwana balik.
Berjuluk
Senapati Jimbuningrat // Para Sunan yang menganggkat dan yang merestui // dan
juga seluruh Bupati // pesisir yang telah beragama Islam // Putra tuan sekarang
telah berangkat menyerang // menyerang Majapahit // akan dijadikan hancur
lebur.
3.
Kagyat Sang
Nata miyarsa // getun ngungun dangu datanpa angling // njegereg gereng-gereng
mangu // kagagas ing wardaya // ingkang Putra lan para Wali sadarum // kolu
ngrusak Majalengka // sakarepe den turut.
Terperanjatlah
sang Nata setelah mendengarnya // menyesal diam tidak bergerak // diam membisu
marah melamun // dinalar secara akal // anaknya dan seluruh para Wali // tega
menghancurkan Majapahit // padahal segala keinginan Wali dipenuhi.
4.
Ing ngiden
pinaring pangkat // dene mangke karya buwana balik // rinuruh datan kapangguh
// den nalar-nalar wudar // lahir batin tan ana ingkang tinemu // ingkang dadi
sababira // kang Putra lan pra Ngulami.
Dijinkan dan
diberi pangkat // akan tetapi sekarang akan menghancurkan // dipikir tidak
masuk akal // di nalar malah tidak masuk akal // dengan cara lahir dan cara
batin tidak nyambung // yang menjadi penyebabnya // anaknya dan para Ulama.
5.
Teka arsa
ngrusak pura // sungkawanya Ratu gung kang linuwih //sinemonan ing Dewa Gung //
tyase kumbang mahesa // dipun mangsa tumane kinjir sadarum // wasana alon
ngandika // Maha Prabu Majapahit.
Tiba-tiba akan
menghancurkan keraton // Kesedihan Raja besar // diibaratkan oleh Dewa Agung //
Pikirannya Kumbang Mahesa // dimakan kutu kinjir seluruhnya // kemudian pelan
berkata // Maha Raja Majapahit.
6.
Patih apa
sababira // ya si Patah lan sagung pra Dipati // arsa ngrusak Majalangu // tan
tolih kabecikan // Patih Gajahmada manembah umatur // cupet pepet tyas kawula
// tan saged umatur Gusti.
Patih apakah
sebabnya // Si Patah dan seluruh Bupati // akan menyerang Majapahit // Tidak melihat
kebaikan // Sambil menyenbah Gajahmada berkata // hamba tidak bisa
berpikir // tidak bisa bicara wahai tuan raja.
7.
Dene tebih
saking nalar // den saeni walese datan becik // cidra lan sebutan buku //
pikukuhe wong Jawa // tiyang Jawi ingkang ngerti agal alus // wajibe yen
binecikan // sayektine males becik.
Sangat jauh
dari nalar // diberi kebaikan membalas dengan tidak baik // tidak sama
dengan apa yang terkandung dalam Kitab // orang jawa yang memahami yang kasar
dan yang halus // seharusnya jika diberi kebaikan // akan membalas dengan
kebaikan.
8.
Amung lagya
tiyang Islam // sinaenan teka ambalang tai // tetep lawan sebutipun // anebut
nama Allah, ila-ila tiyang Islam batosipun putihe jaba kewala // nanging
jeronipun kuning.
Akan tetapi
orang Islam (saat itu) // diberi kebaikan malah dibalas dengan melempar kotoran
manusia // tetap tidak sesuai dengan ucapannya // Menyebut Asma Allah // Tiada
Tuhan selain Allah // orang Islam (saat itu ) sesungguhnya hanya putih di luar
saja // akan tetapi dalamnya kuning.
9.
Beda sebute
tyang Buda // nebut Jagad Dewa Gung kang linuwih // Jagat iku raganipun // Dewa
Budi lan Hawa // kang sinebut raga budi karepipun // ngluhurken Namaning Hedzat
// iku Puji kang Prayogi.
Beda dengan
dengan sebutan orang Buda // menyebut Jagad Dewa Gung Kang Linuwih // Jagat itu
adalah raganya // Dewa itu Budi dan Hawa Nafsu // yang disebut raga budi
maksudnya // mensucikan asmaning Dzat // itu puji yang sangat baik.
10.
Anebut Nabi Muhammad // Rasulullah panunggul para Nabi //
Mochamad makaman kubur // kubur rasa kang salah // milanipun bengak-bengok
enjing surup // nekem weteng calumikan // jungkar – jungkir ngambung bumi.
Menyebut Nabi Muhammad // Rasulullah pemimpin para Nabi
// Muhammad makaman kubur // mengubur rasa yang salah // makannya teriak-teriak
pagi dan senja // menekan perut berkecumik // berjungkir-jungkir mencium tanah.
11.
Sakehing pangan winada // trancam cacing pecel kucing
sinirik // dendeng kethek opor lutung // botoke ula sawa // soto sare pindang
kirik pindang asu // bekakak babi andapan // gorengan kodok lan cindil.
Banyak jenis makanan yang dihindari // trancam cacing
pecel kucing dihindari // dendeng kethek opor lutung // botok ular sawah //
soto rase pindang kirik pindang anjing // bekakak babi anakan // gorengan kodok
dan anak tikus.
12.
Gecok mentah lintah mentah // becek sona cemeng ingkang
kebiri // kare kuwuk bistik gembluk // niku nami kang kharam // langkung
sengit kalamun ningali Asu // amba kinten terusing tyas // batine resik
paceran.
Gecok mentah lintah mentah // becek anjing hitam yang
dikebiri // kare kuwuk bistik gembluk // itu semua makanan haram // begitu
bencinya jika melihat anjing // saya kira sampai ke dalam hati // hatinya lebih
bersih dibanding selokan.
13,
Ing wus ngadel kawula // marang Santri dennya sengit
kepati // tan arsa anggepok asu // ulame den kharamena // mung wadose den
karsakna saben dalu // kinalalken tanpa pisah // mila ulame sinirik.
Hanya mempercayai ucapan // kepada santri sangat
membencinya // tidak mau tersentuh anjing // dagingnya di haramkan // hanya
kemaluannya di gunakan tiap malam (digunakan untuk obat kuat dengan cara
dibungkus dan diikatkan di badan) // dihalalkan tidak pernah berpisah //
makanya dagingnya di hindari.
14.
Gumujeng guguk Sang Nata // ya mangkono kojahe yayi Dewi
// Putri Cempa marang ingsun // Mula celeng lan sona // karo iki kinaramken
iwakipun // Asu nesu asalira //
Celeng Iku colong maling.
Tertawa keras sang Raja // seperti itulah apa yang
disampaikan sang Dewi // Putri Cempa kepada saya // makanya babi hutan dan
anjing // keduanya di haramkan dagingnya // Asu (anjing) nesu (marah ) asala
mulanya // Celeng (babi hutan ) itu Colong maling (mencuri).
15.
Ngandika Sri Brawijaya // wruhanira Patih prakara iki //
sun dewe kang maha luput // gegamang mring Agama // kang wus kaggo luluhur
turun tumurun // kagiwang ing aturira // Yayi Dewi Dwarawati.
Berkatalah Raja Brawijaya // ketahuilah wahai Patih
masalah ini // saya sendiri yang sangat salah // meremehkan terhadap Agama //
yang telah dianut oleh leluhur sejak jaman dahulu // terbujuk oleh penyampaian
// Dewi Dwarawati. (Permaisuri).
16.
Yen iwakira
pinangan // marang janma tekate nenulari // demen colong sugih nesu // kaya
celeng lan sona // Patih Gajahmada manembah umatur // dene gelare prayoga
// jebul batine penyakit.
Jika dagingnya di makan // oleh manusia akan tertular //
Suka mencuri dan mudah marah // bagaikan Babi hutan dan anjing // Patih
Gajahmada sambil menyembah berkata // Tata lahirnya sangat bagus // akan tetapi
tata batinnya penyakit.
17.
Yen Agama Rasulullah // suci mulya tinimbang lan liyaning
// dadya tyasingsun kalulun // kagiwang aturing dyah // sun ideni para Ngulama
sadarum // mencarken Agama Islam // Ing Jawa urut pasisir.
Jika Agama Rasulullah // Suci mulia dibanding dengan
Agama lainnya // itu yang menjadikan saya termakan kata // terbujuk rayuan sang
putri // makanya saya ijinkan semua para Ulama // menyebarkan Agama islam // di
Tanah Jawa di seluruh bagian pesisir.
18.
Sasenengira wong Jawa // manjing Islam manira datang
menging // dene iku tukulipun // teka nasar belasar // nora ana kabecikan kang
tinemu // ilang tataning manungsa // den beciki angalani.
Terserah sekehendak hati orang Jawa // jika ingin memeluk
Agama Islam saya tidak melarangnya // sedangkan sekarang tumbuhnya // menjadi
sesat dan salah // tidak ada kebaikan yang ditemukan // hilang tata aturan
manusia // diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
19.
Rata-rata awonira // ora ana siji kang akhli Budi // iku
gawoke tyasingsun // mung manis rembag ngarsa // ing batine angandut watu
sagenuk // kinarya ambandem sirah // jwa nganti mindo gaweni.
Rata-rata jelek semua // tidak ada satupun yang ahli
Hakikat // itulah heran saya // hanya manis kata di depan // dalam batin
menyimpan batu sebesar tempat menyimpan beras (jaman dahulu) . digunakan untuk
melempar kepala // sehingga jangan sampai dua kali kerja.
20.
Djanma Islam watakira // kaya tikus praptane dingkik
dingkik // jaluk pangan urip lemu // ingsun umbar angrebda ngentekake
pariku salumbung bandung // ingsun dewe tan keduman // mati wareg tampa tai.
Orang Islam wataknya // seperti tikus datang
mengintip-intip // minta makan hidup gemuk // saya biarkan kemudian menyebar
menghabiskan padiku sebanyak lumbung bandung // saya sendiri tidak kebagian //
mati kenyang makan kotoran manusia.
21.
Warege mung wareg susah // tanpa lari beras pariku enting
// telas den mangsa ing tikus // tekate luwih sasar // Puji Dzikir
kinarya ngijir pakewuh // shalat kinarya laladan // tuladan panggawe sisip.
Kenyangnya hanya kenyang kesusahan // tanpa tahu ke mana
beras padi ku habis // habis dimakan tikus // cita-citanya lebih sesat // Puji
Dzikir hanya menghitung kesulitan // Shalat hanya sebagai tutup // memberi
contoh perbuatan yang salah.
22.
Manganggo seta lir setan // putih jaba ing jero abang
langking // sun suwun maring Dewa Gung // Sajroning kasusahan // tinarima
dening Dewa kang linangkung // kuwalik ing imanira // manjalma wong kucir
benjing.
Berpakaian putih seperti setan // putih luarnya dalamnya
Merah menyala // saya berdoa kepada Dewa agung // dalam kesusahan // dikabulkan
oleh Dewa yang maha luwih // terbaliklah imanmu // berubah menjadi orang
berkuncung dimasa yang akan datang.
23.
Dene tan wruh kabecikan // sun beciki welase angalani //
sabdanira Ratu agung sajroning kasusahan // tinarima dening Dewa kang
linangkung // sineksenan ing bawana // pratanda jumeglug muni.
Karena tidak mengetahui kebaikan // saya beri kebaikan di
balas dengan kejahatan // sabda sang Ratu Agung dalam kesusahan // dikabulkan
oleh Dewa yang maha lebih // disaksikan alam dunia // ditandai suara
menggelegar terdengar.
24.
Geter dedet herawatya // hawit iku kuntul ana kang kuncir
// Sunan Ngulama sadarum // ngrangkep nama walikan // pratandaning katrima
panyuwunipun // Maha Prabu Brawijaya // marang Dewa kang linuwih.
Bergolak gelap gulita di angkasa // sejak itulah burung
bangau ada yang berkuncir // Semua Sunan dan Ulama // merangkap nama terbalik
// tanda diterima permohonannya // Maha Prabu Brawijaya // oleh sang Maha Dewa.
25.
Katelah prapta samangkya // para Sunan Ngulama Para wali
// kuntul kucir githokipun // ngandika Sri Narendra // heh ta Patih paran kang
dadi rembugmu // prakara praptaning mengsah // Santri ingkang
ngrebut nagri.
Dikenal sampai sekarang // para Sunan Ulama dan para Wali
// seperti burung bangau berkuncir di belakang kepalanya // berkatalah sang
Raja // wahai Patih apa yang saran yang bisa kau berikan // untuk menghadapi
kedatangan musuh // pasukan santri yang akan merebut negara.
26.
Apa linawan ing ngaprang // apa ora Patih matur wotsari
// duh Pukulun Maha Prabu // sahajangira ajang // sinegahan ing ngaprang
sawontenipun // Sang Prabu aris ngandika // heh kawruhana Patih.
Apakah dilawan dengan perang // apa tidak. Patih berkata
pelan // Wahai sang Prabu // karena tidak ada persiapan perang // hadapi dengan
perang seadanya // sang Prabu sopan berkata // wahai patih ketahuilah.
27.
Abot sanggane si Patah // pra Bupati pasisir eka kapti //
wus nunggal Agamanipun // sawadyabalanira / lah wawasen senapatining prang
pupuh // Dipati Terung Nagara // timbangmu abot mring ngendi.
Berat tanggung jawab si Patah // Semua Bupati pesisir
mendukungnya // telah memeluk agama yang sama // beserta seluruh pasukannya //
dan coba dinalar sebagai senopati perang besar // Adipati Terung // menurutmu
berat ke mana.
28.
Si Patah kalawan ingwang // Patih Gajahmada umatur aris
// panimbang amba Pukulun // awrat mring padukendra // ingkang ngangkat sing
ngandap prapta ngaluhur // jinunjung dadya manggala // ing Terung nama Dipati.
Antara si Patah dibanding saya // Patih Gajahmada sopan
berkata // menurut hamba lebih berat kepada paduka raja // yang telah
menganggkat dari orang biasa menjadi terhormat // dinobatkana menjadi pemuka /
di terung dengan Jabatan Bupati.
29.
Sri Narenddra angandika // kiraningsun Dipati Terung
balik // ngentengaken marang ingsun // abot sadulur tuwa // kapindone wus
nunggal agamanipun // tunggal tanah kelahiran // mulane sun kira balik.
Sang raja berkata // menurut perkiraan saya Adipati
Terung berbalik // meninggalkan saya // lebih berat terhadap saudara tua //
keduanya sudah satu agama // satu tanah kelahirannya // makanya menurutku di
akan berbalik.
30.
Getun ngungun ing tyasing wang // de si Patah balik dadi
Narpati // dijaluka krana alus // Nagara Tanah Jawa / sun paringaken lamun
becik tembungipun // umuringsun kari pira // mung kamuksan sun ulari.
Menyesal termangu pikiran ku // Si Patah berbalik ingin
Menjadi Raja // diminta secara halus // Negara Tanah Jawa // akan ku berikan
jika dengan kata kata yang baik // umurku tinggal berapa hari lagi // hanya
Muksa yang ku cari.
31.
Teka pinikul ing ngaprang // tinggal tata adate bangsa
iki // tan ana panantangipun // anganggo adat kewan //nora nganggo pratingkah
bener lan luput // mungsuh Bapa kanpindo Raja // ping tiga agawe becik.
Mengapa harus dengan jalan perang // meninggalkan
tatacara adat berperang // tidak ada tantangan perang // menggunkan cara
kelakuan hewan // tidak menggunakan cara yang benar dan juga salahnya // Berani
memusuhi ayahnya sendiri yang kedua Raja // yang ke tiga memberi kebaikan.
32.
Yen ingsun lawan ing prang // ingsun wirang ginuyu bumi
langit // Bapa mungsuh lawan Sunu // sinurak mring Jawata // tan rumangsa wong
tuwa wus ciklu bengkuk // sun tandingne para muda // sun arsa lolos mring Bali.
Jika saya lawan dengan perang // saya malu di tertawakan
bumi langit // Ayah melawan anak // Disoraki oleh Dewa // tidak merasa orang
tua yang sudah bungkuk // saya lawankan dengan yang masih muda // saya pribadi
akan meloloskan diri menuju ke Bali.
33.
Hing wuri mangsa bodoa // suguhana ing ngaprang sawatawis
// aja angrusak wadya Agung // lan sira timbalana // putraningsun Dipati
Pengging den gupuh // lan Dipati Panaraga // sakapraboning ngajurit.
Di belakang terserah lah // hadapilah pereng sekedarnya
// jangan merusak para petinggi // dan sekarang panggilah // Adipati Pengging
segera // dan juga Adipati Ponorogo // lengkap dengan pasukannya.
34.
Yen Manira nimbalana // mring sagunging wadya ing manca
nagri // kasusu praptaning mungsuh // wadya Demak wus celak // mungsuh Santri
sayekti perange rusuh // atinggal tataning ngaprang // santri kendil ngrayah
asil.
Jika saya meminta bantuan // pasukan dari manca negara //
akan kedahuluan musuh // pasukan Demak sudah dekat // musuh dengan santri sudah
pasti perangngnya ngawur // meninggalkan aturan perang // santri kendil hanya
memburu hasil.
35.
Manira iki wus tuwa // nora kelar jenengi ing ngajurit //
perak marang surut Ingsun // adoh marang ngayuda // ngendelaken si Gugur pan
maksih timur // lagya eca ginem rasa // kasaru gegering jawi.
Saya ini sudah tua // tidak kuat menjadi prajurit //
sudah dekat dengan umur saya // jauh dari kekutan untuk perang // mengandalkan
si Guru yang masih muda // sedang enak-enaknya berbicara // datanglah geger di
luar.
36.
Wong Demak angepung pura // para Sunan samya mangsah
ngawaki // gugup tyasira Sang Prabu // lolos saking djro pura // Sabda Palon
Naya Genggong atut pungkur // Kyana Patih Gajahmada // bramantya umangsah
jurit.
Pasukan Demak mengepung keraton // para Sunan turun
tangan sendiri // teperanjat hati sang Raja // melarikan diri dari dalam
keraton // Sabdapalon Naya Genggong mengikuti dari belakang // Sang Patih Gajah
mada // keluar menyerang.
37.
Astha Bupati Nayaka // jaga Praja pra mantri magersari //
kang samya sumiweng Prabu // pra putra punakawan // samya gugup sareng nyandak
sampluk ngamuk // angsahe lir singa lodra // sadaya wus ambeg pati.
Semua pimpinan pasukan // yang bertugas menjaga keraton
mantri magersari // yang mengabdi kepada raja // para putra pembantu //
terperanjat mengambil tombak menyerang // tingkahnya bagaikan singa marah
// semuanya telah siap mati.
38.
Tri leksa wadya ing Demak // tigang ewu wadya ign
Majapahit // sareng campuh ing prang pupuh // bedil muni sapisan // campuh
ruket tumbak akalian sangkuh // pedang lameng lan kalewang // arangsang
rinangsang keris.
Tigapuluh ribu pasukan Demak // Tigaribu pasukan
Majapahit // campur perang menjadi satu // senapan berbunyi sekali // perang
dekat tumbak dan sangkur // pedang tameng dan kelewang // serang menyerang
dengan keris.
39.
Wong Majalengka lir parang // kadya alun wadya Demak
nagari // kang tinempuh kukuh bakuh // wadya Demak anunjang // tumpek ngarsa
ing wuri prapta gumulung // pra Wali miwah Ngulama // sumedya mati prang sabil.
Orang Majapahit bagaikan parang // seperti ombak pasukan
Demak // yang diserang sama kuatnya // pasukan Demak menerjang // mengepung
dari muka dan belakang datang bergelombang // para Wali dan “Ulama // berniat
mati dalam perang sabil
40.
Surake kadya ampuhan // para mukmin tan kendat Puji
Dzikir // La ila ha illallahu // Muhammad Ralullah // La kaolla kuwata saking
Hyang Agung // djayaha wadya ing Demak // apese wong Majapahit.
Soraknya sangat bergemuruh // para mukmin tiada putus ber
dzikir // la ila ha illa Allah // Muhammad rasul Allah / la khaula wa la
kuwwata dari Tuhan yang Maha Agung // Jayalah pasukan Demak // celakalah
pasukan Majapahit.
41.
Para Sunan lan para Bupatya // samya mangsah ngawaki ing
ngajurit // guru santri para kaum // wong Majalengka tadah // pra Bupati
sadaya angamuk punggung // kang tinempuh tetumpesan // kang wuri anunjang wani
Para Sunan dan Buati // semua menyerang mendahului para
prajurit // Guru santri dan ulama // pasukan Majapahit menghadapinya //
semua Bupati semuanya mengamuk menyerang // yang diserang semuanya mati // yang
di belakang menyerang balik.
42.
Wantune karoban lawan // wong tri ewu tumpesan ing
ngajurit // amung kari lejeripun // Patih lan pra Bupatya // ngamuk liwung kang
katrajang bubar mawut // binedrong saking mandrawa // astha bupati ngemasi.
Karena lawan tidak sebanding // tiga ribu pasukan
Majapahit tumpes // hanya tinggal pemimpinnya saja // Patih dan Bupati //
menyerang dengan tanpa perhitungan // yang diterjang bubar berpencar // diserang
dari belakang // delapan Bupati meninggal dunia.
43.
Rahaden Lembupangarsa // putra Nata angamuk mobat mabit
// tinadahan Sunan Kudus // rame watang winatang // dangu-dangu Rahaden
winatang glampus // Gajahmada mengsah yudha // ngamuk anglir banteng kanin.
Raden Lembupeteng // Putra raja mengamuk berputar-putar
// dihadapi oleh Sunan Kudus // rame saling serang // lama-lama raden
lembupeteng di lempar tombak hingga meninggal dunia // Gajahmada menyerang //
mengamuk bagaikan bantheng yang terluka.
44.
Kyai Patih lir tugu waja // datan pasah tapak tilasing
kikir // tanapi tapaking palu // myang sisaning gurenda // teguh timbul kuat
kengkeng otot lunyu // tan ana braja tumama // kang katrajang bubar ngisis.
Sang Patih bagaikan tugu baja // Tidak mempan segala
senjata tajam // // // memakai ajian teguh timbul hingga sangat kuat dan
ototnya licin // tidak ada keris yang bisa melukai // yang di terjang bubar
melarikan diri.
45.
Angamuk lir liman meta // kang katrajang lebur atumpes
tapis // wangkenya matumpuk undung // siniwi wuri kanan // kanan kering kang
tinempuh bubar mawut // kang pejah tadah gelasah // pinedang dening ki Patih.
Mengamuk bagaikan gajah meta // yang terlewati semuanya
mati // bangkainya bertumpuk tumpuk // dkepung dari belang dan dari kanan //
kanan kiri yang di terjang bubar menyelamatkan diri // yang meninggal
berserakan // terkena pedang sang Patih Gajahmada.
46.
Binedong saking tebihan // kadi grimis tibane ponang
mimis // kadya udan tibeng watu // tan ana kang tumama // Sunan Ngudung nulya
mangsah ngembat lawung // lumarah tumbak tan pasah // Kyana Patih males haglis.
Dilempar tombak dari jauh // bagaikan gerimis jatuhnya
tombak // bagaikan hujan yang jatuh di batu // tidak ada melukainya // sunan
Ngudung maju menghadapinya // di lempar tombak tidak mempan // Sang patih
segera membalasnya.
47.
Hanggoco lawan curiga // Jaja butul Sunan Ngudung Ngemasi
// ing ngabyukan wadya agung // sapira kuatira // wong sajuga Ki Gajahmada wus
lampus // kuwandanya hilang musnah // nulya na swara kapyarsi.
Ditusuk menggunakan keris // Dada tembus Sunan Ngudung
tewas // Kemudian dikeroyok oleh pasukan dengan jumlah yang sangat banyak //
seberapa kekuatannya // hanya seorang diri dan akhirnya ki Gajahmada tewas //
dan hilang bersama dengan raganya // kemudian terdengar suara.
48.
He eling-eling
wong Islam // den beciki satemah angalani // ngrebat Praja mamrih lampus // sun
wales sira benjang // ingsun ajar weruh nalar bener luput // sun damoni
gitokira // rambutmu sun cukur bersih.
Hai ..
ingat-ingat orang Islam // diberi kebaikan mebalas kejahatan // merebut
kerajaan agar mati // akan kubalas engkau besok // ingsun ajari agar tau antara
yang benar dan salah // akan ku tiap tengkuk mu // rambutmu akan ku cukur
habis.
49.
Pra Sunan manjing jro pura // angulati Sang Nata tan
pinanggih // jroning pura amung kantun // Ratumas Dwarawatya // ing ngaturan
mring Benang sumingkir sampun // wadya lit manjing jro pura / anjejarah ngrayah
gusis.
Para Sunan masuk ke dalam keraton // mencari Sang Raja
tidak menemukannya // di dalam keraton hanya tertinggal // Permaisuri Ratu mas
Dwarawati // kemudian di ajak pergi ke Benang berangkat sudah // para
prajurit masuk ke dalam keraton // Menjarah semuanya yang ada sampai habis.
50.
Wadya lit tan ana lawan // Raden Gugur lolos tan bekta
dasih // Dipati Terung gya rawuh // byantu ngrayah jro pura // Buku-buku
betuwah Budha tinunu // tan ana kari satunggal // pikukuh Agama Budi.
Prajurit sudah tidak menemukan musuh lagi // Raden Gugur
lolos tidak membawa pembantu // Adipati Terung segera datang // Membantu
menjarah ke dalam keraton // Buku-buku ajaran Buda dibakar // tidak satupun
tertinggal // Aturan Agama Buda.
51.
Wong cilik bubar sumebar // beteng bangsal Terung ingkang
jageni // wong Islam Prajurit Terung // prentahe sang Dipatya // yen wong Buda
ngungsi beteng kinen nglampus // wong Buda ngungsi wana arga // kang teluk
kumpul jro puri.
Rakyat jelata bubar melarikan diri // beteng bangsal
pasukan Terung yang menjaganya // Orang Islam Prajurit Terung // Diperintah
oleh Adipatinya // jika orang buda mengungsi dan lewat beteng disuruh
membunuhnya // Orang buda melarikan diri ke dalam hutan dan gunung // yang
menyerahkan diri berkumpul di dalam keraton.
52.
Layone para nayaka Buda Islam kinumpulaken sami // sadaya
sami kinubur // sakidul wetan Pura // winastanan ing Trilaya kuburipun // kubure para putra palastra //
Rahadyan Lembupangarsi.
Jenazah para prajurit Buda dan Islam dikumpulkan semua //
semuanya dikubur // di sebelah tenggara keraton // kuburannya di beri nama
TRILAYA (sekarang lebih dikenal Makam Taralaya ) // Makam dari Putra raja yang
meninggal // Raden Lembupeteng.
53.
Wong Buda kang teluk ing prang // pan sadaya ing
Ngislamaken sami // sigra kinen nebut // Muhammad Rasulullah // marang Asmanira
Allah ingkang Agung // lan kinen maca Shahadat // sawusira tigang ari.
Orang Buda yang menyerahkan diri // semuanya di Islamkan
semua // disuruh menyebut Muhammad rasulullah // dan juga Nama Allah Yang Maha
Agunng // dan disuruh membaca Shahadat // setelah tiga hari.
54.
Sigra budal Sultn Demak // marang Ngampel anyare tigang
ari // ingkang pinatah ing pungkur // baris neng Majalengka // Kyana Patih
Mangkurat Bupati Terung // jagani pakewuhing prang // yen ana wadya ambalik.
Berangkatlah Sultan Demak // menuju ke Ampel menginap
tiga hari // yang di tinggal di belakang // baris di Majapahit // Sang Patih
Amangkurat Bupati terung // Menjaga ancaman perang // Jika ada prajurit yang
menyerang balik.
55.
Senapatining ngayuda // Sunan Kudus neng beteng dennya
baris // dadya wakile Sang Prabu // Nganthi wadya Ngulama // tigang atus Shalat
Kajat saben dalu // yen siang anderes Qur’an // terbangan dzikiran tahlil.
Senopati perang // Sunan Kudus berjaga di beteng // dan
Menjadi wakil Sang Raja // membawahi para Ulama // tigaratus orang jumlahnya
Shalat khajat tiap malam // jika siang membaca Al-Qur’an // terbangan Dzikir
dan tahlil.
56.
Wadya saparo binekta // marang Ngampel pra Sunan Bupati
// samya umiring Sang Prabu // prapta ing Ngampeldenta // Cinarita Jeng
Sunan Ngampel wus surut // amung kantun ingkang garwa // putri asal
saking Tubin.
Separuh pasukan di bawa // menuju Ampel dan juga para
Sunan dan Bupati // semuanya mengiring Sang Raja // sampailah di Ampel Denta //
Dikisahkan Sunan Ampel telah meninggal dunia // hanya tingggal sang Isteri //
Putri dari Tuban.
57.
Putrane Sang Arya Teja // kang kagarwa Jeng Sunan
Ngampelgading // sasedanira Sang wiku // Nyi Ageng nglestantuna // aneng
Ngampel pan maksih sinepuh-sepuh // mring wadya ing Surabaya // Jeng Sultan
mangsah ngabekti.
Putri dari Arya Teja // yang dinikahi oleh Sunan Ampel
Gading // Sepeninggal sang Wali // Nyi Ageng melesatarikan // di Ampel karena
masih dianggap sesepuh // oleh masyarakat Surabaya // Jeng Sultan menghaturkan
sembah.
58.
Rinangkul lungayanira // ganti-ganti Pra Sunan angsung
taklim // miwah Bupati sadarum // ganti mangsah tur sembah // wusnya tata kang
wayah tur sembah matur // eyang kawula tur wikan // ing Majalengka nagari
Dirangkul oleh sang Nyai // bergantian para Sunan memberi
salam // dan juga semua Bupati // bergantian menghaturkan sembah // setelah
semuanya selesai Sang Cucu sambil menyembah menyampaikan // Wahai eyang hamba
menyampaikan kabar // Majapahit negari.
59.
Pan sampun kawula bedah // Kanjeng Rama lolos saking
nagari // kalawan pun Adi Gugur // ical boten kantenan // Patih Gajahmada
lumawan ing pupuh // tinadahan para Sunan // Jeng Sunan ngudung Ngemasi.
Telah saya hancurkan // Kanjeng rama lolos dari Keraton
// demikia juga Adik- si Gugur // hilang tidak karuan // Patih Gajahmada melawan
perang // dihadapi para Sunan // Sunan Ngudung terbunuh.
60.
Den suduk Ki Gajahmada // Gajahmada inggih sampun ngemasi
// ulun sampun madeg Ratu // amengku Tanah Jawa // Wasta Ulun inggih Senapati
Djimbun // Inggih Panembahan Plembang // ngadaton Demak Nagari.
Di tusuk Ki Gajahmada // Gajahmada juga telah meninggal
dunia // Hamba telah menjadi Raja // menguasai seluruh Tanah Jawa // Julukan
hamba Senapati Djimbun // dan Juga Panembahan Plembang // Kerajaan berada di
Demak.
61.
Sowan kawula punika // ing paduka eyang anyuwun idi //
tetep hulun dados Ratu // mengku rat Tanah Jawa // run tumurun prapteng putra
wayah besuk // sampun wonten aralira // sampung wonten kang nyelani.
Kedatangan hamba sekarang // Menghadap paduka eyang mohon
restu // untuk tetap menjadi Raja // menguasai seluruh tanah jawa // sampai
dengan turunan dan anak cucu hamba // jangan sampai ada halangan apapun //
jangan sampai ada yang menyelanya.
62.
Nyai Ageng duk miarsa // ingkang wayah rinangkul den
tangisi // ginagas sajroning kalbu // dosa geng tri prakara // mungsuh Ratu
sudarma kang sarta angsung // nugraha kemukten donya // rinusak tanpa prakawis.
Nyai Ageng ketika mendengar // sang cucu dipeluk dan di
tangisi // di pikir di dalam kalbu // dosa besar tiga macam // Memusuhi Raja,
orang tua yang telah memberi // nugraha kenikmatan dunia // dirusak tanpa
sebab.
63.
Datan enget kabecikan // Sanga Prabu Brawijaya Narapati
// para Ngulama sadarum // ing nguja sakarsanya // pinaringan siti
sapametunipun // wong Jawa kang nedya gantya // Agama tan den wangeni.
Tidak mengingat kebaikannya // Sang Prabu Brawijaya raja
// para ulama semuanya // di dibebaskan semaunya // di beri wilayah beserta
hasil buminya // orang Jawa yang berniat berganti // Agama tidak dilarangnya.
64.
Ing mangke winales hala // tanpa dosa amung tan
arsa ganti // Agama Rasul lolahu // lolos saking jro pura // tanpa wadya tan
karuan dunungipun // seda lawan sugengira // wusana ngandika raris.
Sekarang dibalas dengan kejahatan // tanpa dosa hanya
karena tidak mau berganti // Agama syariat rasul // melarikan diri dari dalam
keraton // tanpa pengawal dan tidak diketahui dimana tempatnya //
meninggal ataukah hidup // kemudian berkata pelan.
65.
Putu sun takon ing sira // satemene tutura kang sayekti
// sapa ramamu satuhu // sapa kang ngangkat sira // dadi Ratu haneng
Tanah Jawa iku // lan sapa ngideni sira // apa sabab sira wani.
Wahai cucu,, saya bertanya kepadamu // berkatalah dengan
sejujurnya // siapakah sebenarnya ayahmu // siapakah yang mengangkat dirimu //
menjadi raja di tanah jawa ini // siapakah yang memberi ijin kepadamu // apakah
sebabnya engkau berani.
66.
Wani ngrusak Majalengka // salah apa Sang Prabu Majapahit
// dene sira kamipurun // sikara tanpa dosa // ingkang wayah alon denira umatur
// saking wartine pun biyang // sudarma kawula yekti.
Berani menghancurkan Majapahit // apakah kesalahan Sang
Raja Majapahit // sehingga kau berani // menyerang tanpa dosa // Sang cucu
pelan berkata // Menurut apa yang dikatakan ibu hamba // Ayah saya
sesungguhnya.
67.
Sanga Prabu Majalengka // Brawijaya jejulukira Haji //
ingkang ngangkat dados ratu // amengku Tanah Jawa // Pra Bupati pasisir
sadayanipun // kang nglindungi para Sunan // sawadya sabyantu kapti.
Sang Raja Majapahit // Brawijaya nama sang Raja // Yang
menobatkan saya menjadi raja // penguasa tanah jawa // para Bupati pesisir
semuanya // yang melindungi seluruh Sunan // beserta seluruh pasukan sepakat
yang membantunya utuk.
68.
Ngrusak Nagri Majalengka // prakawis amung tan arsa ganti
// Agama Rasul lohahu // kawula tan duraka // anyirnaken Sudarma kang kapir
kupur // Buda kawak nganggak-agak // dawuh lir kawung tan eling.
Menghancurkan Majapahit // masalahnya hanya karena tidak
mau berganti // Agama Syariat rasul // hamba tidak durhaka // memusnahakan ayah
yang kafir kufur // Buda tuwa berlagak // memerintah bagaikan pelangi tidak
sadar.
69.
Tan Arsa Agama Islam // duk miarsa Nyai Ageng sru anjerit
// kang wayah rinangkul gapyuk // duh putu wruhanira sira iku // nemu
durakeng Hyang Agung // dosanira tri prakara // mungsuh Ratu tur Sudarmi.
Tidak mau memeluk Agama Islam // setelah mendengar
jawabanya, Nyai Ageng menjerit keras // Sang cucu dipeluk erat // Wahai cucuku
ketahuilah olehmu // ksesungguhnya kamu akan mendapat kemarahan Tuhan // dosamu
tiga macam // Melawan raja dan juga ayahandamu.
70.
Kang beciki sung nugraha // sira wani ngrusak tanpa
prakawis // anane Islam lan kupur // sapa kang karya Islam amung siji Pangeran
Kang Maha Luhur // tan kena pineksa peksa // diniyat ganti agami.
Yang telah berbuat baik kepadamu dan memberi
anugrah // kau berani merusak kerajaanya tanpa sebab //sedangkan adanya Islam
dan kufur // siapakah yang membuat Islam // hanya satu, yaitu Tuhan Yang Maha
Luhur // tidak bisa dipaksa-paksakan // agar berganti Agama.
71.
Lamun durung karsanira // prapteng pati yekti dipun
andemi // nyungkemi Agamanipun .. yen wus pinaringena // dening Allah tan
susah pinardi iku // wus pasti karsa priyangga // angrasuk Agama Nabi.
Jika belum kehendak Tuhan // Sampai mati pun akan di anut
// memeluk Agamanya // jika telah mendapat hidayah // dari Allah tanpa di paksa
pun // pasti dengan sendirinya // memeluk Agama Nabi.
72.
Pangeran kang
sipat Rahman // nora akon utawa nora menging // wong salin Agma iku //
sasenenge priyangga // nora niksa wong kapir kang nora luput // tan ganjar
marang wong Islam // ingkang tumindak tan yekti.
Tuhan yang Maha Pengasih // tidak menyuruh pun tidak
melarang // manusia untuk berganti Agama // sesuka hatinya pribadinya
masing-masing // tidak akan menyiksa orang kafir yang tidak bersalah // dan
tidak memberi pahala kepada orang Islam // yang bertindak tidak baik.
73.
Mung bener lan luputira // den hadili lawan teteping
hadil // lalar-lulure hasalmu // hibumu putri Cina // nembah Pik-Kong wujud
gambar reca watu // tan kena sira menginga // mring wong kapir Buda budi.
Hanya benar dan salah dirimu //yang akan diadili dengan
seadil-adilnya // urut-urutlah asalmu // Ibumu putri cina // menyembah Pik-Kong
berupa gambar arca batu // tidak boleh engkau menghalangi // kepada orang kafir
buda budi.
74.
Tanda tekatmu lapisan // tekat santri anganggo adat katri
// mula blero paningalmu // tan weruh leres lepat // amung jare angaku putra
sang Prabu // mulo sira kolu Bapa // angrusak tanpa prakawis.
Bukti bahwa cita-citamu bohong // bertekad santri
mengunakan adat ketiga // maka tertipulah penglihatanmu // tidak melihat benar
dan salah // Hanya sebatas kabar mengaku putra raja // sehingga keu tega
terhadap orang tuamu // berbuat kerusakan tanpa sebab.
75.
Beda tekade
wong Jawa // Jawa Jawi mengerti mata siji // yekti weruh bener luput // kang
becik lan kang ala // yekti wedi mring Bapa kapindo Ratu // beciki angsung
nugraha // iku wajib den bekteni.
Jauh berbeda
dengan perbuatan orang jawa // orang yang menggunakan mata hati // pasti paham
mana yang benar dan salah // yang baik dan buruk // pasti hormat kepada
orang tua, yang kedua kepada raja // yang telah berbuat baik memberi anugerah
// itu wajib di junjung tinggi.
76.
Eklase jroning
wardaya // nora niyat bekti marang wong kapir // niyat bekti Bapa Ratu // wus
wajibe manusia // bekti Bapa ing Ratu lan pinisepuh // wong tan bekti Ratu Bapa
// urip tanpa mata yekti.
Niatkan dalam dalam hati // tidak berniat menghormati
orang kafir // berniatlah berbakti kepada ayah bunda // sudah kewajiban tiap
manusia // menghormati orang tua, raja dan para sesepuh // orang yang tidak
berbakti kepada raja dan orang tua // hidupnya pasti tanpa mata.
77.
Putu sun misili crita // panjenengan wong agung Kuparmani
// akrama putri Maddayun // putra Prabu Nusirwan // kapir kawak kumawak dawuk
abawuk // pada lawan Ramanira // prandene den Haji-haji.
Wahai cucuku, saya beri contoh cerita // kisah orang
besar dari Kuparmani // menikah dengan putri Mandayun // putri raja nusriwan //
kafir tu jelek sejeleknya // sama dengan orang tuamu // akan tetapi tetap di
hormati.
78.
Tur iku bapa mratuwa // suprandene wong menak wedi asih
// tur sengit mring mantunipun // sabab seje Agama // minta sraya Pra Ratu kang
sampun wudu // kinen nyirnaken wong Menak // wong agung meksa wedyasih.
Itu pun hanya ayah mertua // akan tetapi orang menak
takut menyayanginya // dan membenci menantunya // sebab beda agama // minta
bantuan raja yang sudah ber wudhu // disuruh membunuh orang Menak // akan
tetapi orang besar tetap mencintainya.
79.
Iku palupi utama // kalakuan kang kanggo wong linuwih //
tan kaya tekatmu putu // Bapa disiya-siya // dupeh kapir Buda kawak run-tumurun
// tan arsa ganti Agama // puniku dudu prakawis.
Itu contoh yang baik // perbuatan dari orang sakti //
tidak seperti perbuatanmu cucuku // orang tua kau sia-sia // karena Buda tua
dari turunan // tidak mau berganti Agama // itu bukan alasan.
80.
Jalaran rusaking praja // apa sira wus nganggo angaturi
// putu marang sudarmamu // kinen salin Agama // Sultan Demak alon denira
umatur // kawula dereng aturan // ngaturi salin Agami.
Sebagai alasan untuk merusak negara // apakah dirimu
sudah menyampaikan ajakan // wahai cucuku kepada orang tuamu // untuk berganti
Agama // Sultan Demak pelan berkata // Hamba belum menyampaikan ajakan //
mengajak untuk berganti Agama.
81.
Nyi Ageng gumujeng duka // luwih luput tindakira puniki
// nadyan para Nabi rumuhun // Ibrahim miwah Musa // tuwin Nabi Muhammad
ingkang sira nut // pada mungsuh wong tuwa // prakara salin Agami.
Nyi Ageng tertawa marah // lebih salah tindakanmu itu //
meski para Nabi dahulu // Ibrahim dan Musa // dan juga nabi Muhammad yang kau
anut // sama-sama bermusuhan dengan orang tua // disebabkan masalah ganti
Agama.
82.
Naging tan sepen aturan // ginelaran mukjizat temen Nabi
// atas karsaning Hyang Agung // kinen ngrata Agama / tan tinurut wong tuwa
banjur den mungsuh // nadyan mungsuh lan wong tuwa // lahir batine tan sisip.
Akan tetapai tidak bosan-bosan mengajaknya // dengan
menunjukkan mukjizat sebagai seoang Nabi // atas kehendak Tuhan // disuruh
menyebarkan Agama // hanya karena tidak diturut oleh orang tuanya
kemudian dumusuh // sedang memusuhi orang tua // lahir batin tetap salah.
83.
Balik ingkang kaya sira // kaya ngapa mukjizatira kaki //
yen nyata kalipat-tolahu // wenang nyalini sarak // atas saking karsaning Hyang
Maha Agung // age sira wetokena // nyatane ingsun arsa wrin.
Kembali pada dirimu // seperti apakah mukjizatmu //
jika benar kholifah Allah // diperbolehkan mengganti Agama // atas perintah
Tuhan yang maha Agung // segeralah kau keluarkan // perlihatkanlah mukjizatmu
aku ingin melihatnya.
84.
Kang wayah alon turira // boten kadah mukjizat kados Nabi
// mung miturut ungeling buku // yen ngislamaken wong kopar // yekti tampa
ganjaran suwarga besuk // Nyi Ageng gumujeng latah // ujar jare den sungkemi.
Sang cucu pelan berkata // saya tidak mempunyai mukjizat
seperti Nabi // hanya berdasar bunyi kitab // jika meng-Islamkan orang kafir //
pasti mendapat pahala surga besok // Nyai Ageng tertawa keras // hanya sebatas
katanya kau jadikan patokan.
85.
Jare bukune wong Arab // dudu buku pusakane leluri //
mung kesusu minta lemu // sugih daging dagangan // wong ngumbara tinurut //
sakarepipun kang nglakoni susah rusak // mung raganira pribadi.
Kata buku orang Arab // bukan buku pusaka leluhur //
hanya tergesa ingin gemuk// mempunyai banyak daging dan dagangan // seorang
pengembara kau turut // yang berbuat sekehendaknya sedang yang menerima
akibatnya dan menjadi susah dan rusak // hanya ragamu pribadi.
86.
Tanda kawruhira mentah // nora mateng terus iang
lahir batin // kena bujuk wong busuk // wani Bapa tur Raja // mung kasusu
kepengin jumeneng Ratu // muteringrat Tanah Jawa // Sinome nora pinikir.
Itu bukti ilmumu masih mentah // belum matang dan belum
merasuk dalam lahir dan batin // terkena rayuan orang jahat // berani kepada
orang tua dan raja // karena tidak sabar ingin menjadi Raja // menguasai
seluruh Tanah Jawa // sedangkan akibatnya tidak terpikirkan.
v. S I N O M
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Sira Santri
sesantrenan // dudu Santri ahli Budi // dalilmu kitab katatah // ing kawruh
kang gampang rumpil // ngedelken desthar putih // punika putihing kuntul //
cemer memangsanira // putih jaba ing jro abrit // tanpa guna maca Kitab saben
dina.
Kamu santri
dari menyantri // bukan santri ahli hakikat // dalilmu bersumber dari banyak
kitab // ilmu yang mudah dan sulit // mengandalkan kertas putih // itu seperti
putihnya burung Bangau // kotor makanannya // putih di luar di dalam merah //
tak berguna membaca kitab itu tiap hari.
2.
Duk suwargi
mratuanira // sira sowan nyuwun idi // arsa bedah Majalengka // Kyai geng nora
marengi // dhawuhe wanti wanti // aja mungsuh bapa ratu // bareng saiki seda //
dawuhe kok trajang wani // Santri apa wani nerak marang dosa.
Ketika
mertuamu masih hidup // kau datang mohon ijin // akan menghancurkan Majapahit
// Kyai besar tidak mengijinkan // perintahnya wanti-wanti // Jangan memusuhu
ayah dan raja // sekarang setelah ayah mertuamu meninggal dunia // perintahnya
kau langgar // santri apakah berani melanggar perintah mertua menuju dosa.
3.
Sira jaluk idi
mring wang // tetepmu dadi Narpati // mutering Rat Tanah Jawa // ingsun tan
wenang ngideni // bangsa cilik tur estri // tan wenang ngideni Ratu // aran
walik buana // idiku temah mlarati // balik sira wajib paring idi mring wang.
Engkau mohon
restu kepadaku // untuk tetap menjadi raja // menguasai seluruh tanah jawa //
saya tidak berwenang memberi restu // saya ini orang kecil dan wanita // tidak
berwenang memberi restu kepada raja // itu terbalik namanya // restuku
berakibat miskin // justru dirimu yang seharusnya memberi restu kepadaku.
4.
Karana
Kalipatolah // ing sajroning Tanah Jawi // sira dewe ingkang tuwa //
saucapmu idu geni // kang kaya awak mami // tuwa tuwas aranipun // metu awan
kemulan // metu enjing wedi warih // amung sira tetep tuwan Nata.
Karena
kau khlifah // di tanah jawa // engkaulah yang paling tua // segala ucapanmu
mandi // sedangkan yang seperti diriku // tua tak berguna sebutannya // keluar
siang berselimut // keluar pagi takut air // hanya engka tetap tuan raja.
5.
Putu sun
misili sira // carita patang prakawis // wong gege kaprabon Nata // ing Kitab
Kiyamat muni // kraton Nagara Mesir // panjenengan Nabi Dawud // putranira kang
tuwa // Habesalam ingkang nami // mungsuh Bapa nggege kaprabon Nata.
Cucuku saya
kasih contoh // empat macam cerita // orang yang merebut tahta raja // di dalam
kitab Kiyamat menyebutkan // kerajaan di Mesir // beliau Nabi Dawud // anak
tertuanya // bernama Habeselam // melawan orang tua merebut tahta.
6.
Jeng Dawud
kengser sing Praja // Habesalam kang gumanti // sawuse antara mangsa // Nabi
Dawud sarta dasih // wangsul amukul Nagri // Sang Habesalam lumayu // gya
ngungsi wana wasa // ginawa bandang turanggi // pan kacangkol tenggaknya neng
lata wreksa.
Nabi Dawud
lengser sebagai raja // Habesalam yang menggantikannya // setelah berapa waktu
// Nabi Dawud beserta rakyatnya // pulang menyerang kembali // Sang Habesalam
lari // mengungsi ke dalam hutan // dan dia dirbawa lari oleh kudanya //
kemudian tenggorokannya tertancap di batang kayu wreksa.
7.
Kudane terus
lumajar // Habesalam iku keri // tenggoke kajiret lata // gumantung lata
ngemasi // iku kukuming Widdi // yen wong wani Bapa Ratu // malih ana carita
ing Tanah Jawa Rumiyin // Ratu Mendang Sang Prabu Dewatacengkar.
Kudanya terus
berlari // Habesalam tertinggal // tenggorokannya terlilit akar hutan //
tergantung lata meninggal dunia // itulah Hukum Tuhan // jika anak durhaka
kepada orang tua // ada cerita lagi di tanah jawa jaman dahulu // Ratu Medang
sang Prabu Dewatacengkar.
8.
Hangege
kaprabon Bapa // Sang Prabu Sindu Haji // kena sabdane kang rama // dadi buta
angajrihi // Santri dahar wong siji // tan lama jenenging Ratu // ana Brahmana
prapta // saking sabrang angajawi // Hajisaka hanggelar kadibyan sulap.
Merebut
kerajaan ayahnya // Sang Raja Sindu haji // terkena kutukan ayahnya // berubah
menjadi raksasa yang menakutkan // santri makan buah satu // tidak lama menjadi
raja // Ada Brahmana yang datang // dari tanah sebrang pergi ke Jawa //
Hajisaka menyebarkan ilmu kesaktian.
9.
Wong Jawa
basih sadaya // mring Dewatacengkar geting // Jisaka den anggep raja // Ratune
dipun perangi // ambyur segara Hindi // salah rupa dadi bajul // mangsa isi
samudra // tan lama nuli ngemasi // mungsuh sarpa jakalinglung wastanira.
Semua orang
jawa sayang padanya // kepada Dewatacengkar benci // Ajisaka dianggap raja //
raja aslinya di perangi // kalah dan menyelam di laut hindi // salah rupa
berubah menjadi buaya // memakan isi lautan // tidak lama kemudian meninggal
//karena kalah bertarung dengan naga Jakalinglung namanya.
10.
Crita nagri
lokapala // nama prabu dana pati // lan Rama Resi Wisrawa // rame prang rebutan
putri //tur Bapa ingkang sisip // prandene meksa kasiku // dinukan mring Jawata
// aja maneh lir sireki // mungsuh bapa sikara tanpa prakara.
Cerita di
negara lokapala // nama rajanya danapati // dan yahanya Resi Wisrawa //
berperang memperebutkan putri // padahal ayahnya yang salah // itu pun masih
mendapat bendu // mendapat murka Tuhan // apalagi hanya dirimu // melawan orang
tua tanpa ada sebabnya.
11.
Sayekti urip
cilaka // patimu malbeng jumani // iku kukuming Pangeran // wong kaya sira iki
// embuh ukuming Widdi // marang sira iku besuk // Sultan Demak miyarsa // Nyai
Ageng denira ngling // analangsa getun kang wus kalampahan.
Pasti celaka
hidupnya // matimu akan masuk neraka // itulah hukuman Tuhan // orang sepertimu
ini // entahlah apa hukuman Tuhan // kepadamu di kelak kemudian hari // Sultan
Demak mendengarnya // semua nasihat Nyai Ageng // bersedih hati dan menyesal
terhadap yang telah terjadi.
12.
Para Sunan lan
pra Bupatya // kang jumurung angrojungi // hadeg mu dadi Narendra // lan bedahe
Majapahit // dosa kedik tur cilik // mung siji murtad ing Ratu // sebab seje
Agama // dosane tan dadi kudis // balik sira dosa gedhe tri prakara.
Semua Sunan
dan Bupati // yang mendukung dan menyetujui // cita-citamu untuk menjadi raja
// dan menyebabkan hancurnya Majapahit // sedikit dosanya dan kecil // hanya
satu dosanya murtad kepada raja // sebab beda agama // dosanya tidak menjadi
penyakit // sedangkan dirimu dosa besar tiga macam.
13.
Hiku Sira
tanpa timbang // gelem bae nglakoni // linebokake loropan // lan sagung para
Ngulami // miwah para Bupati // dene sira tan sumurup // ingkang nemu cilaka //
malebu naraka api // kang nglakoni dosa geng sira priyangga.
Itu tidak kau
perhitungkan // mau-maunya dimasukan // dimasukan kedalam jebakan // oleh semua
para Ulama // dan juga para Bupati // sedangkan engkau tidak mengetahui // yang
menerima celaka // dimasukan ke dalam api neraka // yang melakukan dosa besar
dirimu sendiri.
14.
Tur kelangan
Ratu Bapa // sebutanmu nora becik // rusak tataning manusa // ginuyu hisining
bumi // salawasira wuri // rumaket nama tan barus // katuju menang perang //
mungsuh Bapa kaki-kaki // lah hetungen gunggungen klupatanira.
Dan juga kamu
kehilangan orang tua raja // julukanmu tidak baik // rusak tata aturan manusia
// ditertawakan isi bumi // selamanya di belakang hari // gandeng dengan
namamu, nama yang tidak baik // karena menang perang // musuh orang tua yang
sudah kakek-kakek // hitunglah semua kesalahanmu.
15.
Nadyan sira
mratobata // maring Pangeran kang luwih // kaya tan oleh ngapura // kakehan
luputmu kaki // dingin mungsuh sudarmi // kapindo murtad ing Ratu // tur
ngrusak kebecikan // apa cacate Sang Haji // sira rusak prajane tanpa
karana.
Walau engkau
bertobat // kepada Tuhan Yang Maha segalanya // sepertinya tidak akan mendapat
pengampunan // terlalu banya dosamu cucuku // yang pertama memusuhi orang tua
// kedua murtad kepada raja // dan merusak kebaikan // apakah cacat sang
raja // kamu rusak keratonnya tanpa ada penyebabnya.
16.
Dipati ing
Panaraga .. Bathara Katong prajurit // iku putra Majalengka //
Handayaningrat ing Pengging // hiku mantu Sang Haji // karone prajurit
wudu // iku mangsa trimaha // rusake ing Majapahit // yekti labuh ing Bapa
rusaking Praja.
Adipati
Ponorogo –Bathara Katong // itu putra Majapahit // Raja di Pengging // Itu
menantu Raja // keduanya telah Islam // itu tidak akan menerimakan //atas
hancurnya Majapahit // pasti membela ayah dan membela hancurnya keraton.
17.
Iku abot
sangganira // angantep tangkeping jurit // labuh Ratu pindo Bapa // ping telu
ngrebat Nagari // wit timur prapteng making // saben dina ajar pupuh // wus
wignya ngadu bala // aju unduring prajurit // balik sira iku bangsa Ngulama.
Itu berat
tanggunganmu // jika mereka menyerang bersama pasukannya // membela Raja kedua
orang tua // ketiganya merebtu kerajaan // sejak mulai mudanya sampai
dewasa // tiap hari belajar perang // sudah ahli berperang // mengatur
pasukannya untuk menyerangan dan bertahan // sedangkan dirimu itu golongan
Ulama.
18.
Kapan gonmu
ajar yuda // mung mangeran Puji Dzikir // lamun bengi shalat kajat // nyilih
swarane Hyang Widdi // Iku yeng diparingi // bisa metu karamatmu // yen datan
pinaringan // jengkinga nganti kepising // tiwas bundas bathukmu tan menang
yuda.
Kapan kau
belajar perang // hanya menuhankan Puji dzikir // malam harinya shalat
hajat // meminjam suara Tuhan // itu jika dikabulkan // bisa keluar
kesaktianmu // jika tidak diberi anugerah // walaupun bersujud sampai
mengeluarkan air besar // sampai luka dahimu tidak akan menang perang.
19.
Ngendelake
sugih Japa // pasa mutih pati geni // amrih mandi tenungira // iku kaki
ngapirani // prakarane wong jurit // ingkang narik asor unggul // hamung carita
ngarsa // kang bener lawan kang sisip // kapindo sugih gaman hatul yuda.
Mengandalkan
banyak mantra // puasa mutih pati geni // agar supaya ampuh santetmu // itu
cucuku.. sangat merugikan // masalah berperang // yang menjadi kalah dan
menang // seperti kisah di depan // yang benar dan yang salah // dan yang
kedua banyak senjata dan ahli berperang.
20.
Timbang
tandingira lawan // akeh kediking prajurit // bener akeh wadyanira // iku kabeh
bangsa santri // mung ajar ngentep kendil // mangsa pecusa prang pupuh //
ngendelken pra Bupatya //pasisir kang Islam sami // Islam anyar adate masih
tugelan.
Ukurlah
kekuatan lawan // banyak sedikitnya pasukan //memang benar banyak jumlah
pasukanmu // itu semuanya hanya santri // hanya belajar melempar kendil //
tidak mungkin ahli perang // mengandalkan para Bupati // pesisir yang telah
Islam semua // Islam baru saja biasanya masih setengah-setengah.
21.
Samangsa
sampun ayudya // tekadira mungal-mungil // timbang bener lawan lepat // mangsa
meluwa wong sisip // kang bener den iloni // ambalik madyaning pupuh .. iku tan
sira timbang // mung ngandelken sira wani // dudu laku prakarane wong ngayuda.
Ketika sudah terjadi
perang // tekadnya mudah goyah // mempertimbangkan benar dan salah // tidak
mungkin ikut yang salah // yang benarlah yang dibela // berbalik ketika terjadi
perang // itu tidak kau perhitungkan // hanya mengandalkan kamu berani // itu
bukan menjadi modal perang.
22.
Menurut
sebutan kitab // yen wong mati prang lan kapir // aran mati sabilolah //
ginanjar swarga mbenjang // puniku ngapirani // kang perang sabil satuhu //
hukum ingkang sanyata // patenana ingkang sisip // lan pendemen urugana
bebeneran.
Menurut
yag tertulis dalam Kitab // jika orang mati berperang dengan kafir // disebut
mati Sabilullah // mendapat pahala suarga besok hari // itu tertipu // yang
disebut perang sabil yang sebenarnya // berdasarkan hukum yang nyata //
bunuhlah yang salah // dan tutuppilah dengan kebenaran.
23.
Benera mata
satunggal // aja bener mata kalih // samar kalingan papadang // benere
anganan ngering // yen benere wus sami // nganggo bener mata telu // tegese
telu telas // benere mung murih hasil // najis makruh yen enak kinalalena.
Benar menurut
mata hati // bukan benar menurut dua mata // tertipu tertutup terang //
benarnya goyang ke kanan ke kiri // jika benarnya sudah sama // benar yang
terlihat mata tiga // artinya tiga (telu) habis (telas) // benar yang hanya
dengan pertimbangan hasil // najis makruh jika di khalalkan.
24.
Tandane
beneranira // lan para Sunan ngulami // laku ngrusak Majalengka // nora pisan
angengeti // becikane Sang Aji // mung kasusu enggal lemu // sugih daging
dagangan // sadiyan rayap yen mati // mula tan wruh beciking Ratu lan Bapa.
Itu benar
menurutmu // dan para Sunan Ulama // melakukan penghancuran Majapahit // sama
sekali tidak mengingat // kebaikan sang raja // terburu nafsu agar cepat gemuk
// kaya daging dan dagangan // untuk persediaan rayap jika mati //
makanya tidak melihat kebaikan raja dan orang tua.
25.
Sanajan
mungsuh wong kompra // yen sira murwani sisip //sayekti mati cilaka // sanadyan
mungsuh Islami // yen bebenerane kaki // wus pasti mati rahayu // jwa dumeh
kapir Buda pada // turun Adam Nabi // wujudira ya manungsa kaya sira.
Walau pun
melawan oang biasa // jika engkau mebela yang salah // pasti mati celaka //
walau pun memusuhi Islam // jika membela kebenaran // sudah pasti mati selamat
// jangan kau anggap kafir Buda semuanya // keturunan Nabi Adam // ujudnya juga
sama-sama manusia seperti dirimu.
26.
Wong urip ana
ing donya // dosane limang prakawis // Dosa Allah lan Muhammad // kapindo Guru
Narpati // ping tiga Yayah wibi // garwa putra kaping Catur // lima marang
sasama // dosa ingkang angka siji / wong kang nganggo goroh samar-samar.
Manusia hidup
di dunia // dosanya lima macam // dosa kepada Allah dan Muhammad // yang kedua
kepada Guru dan Penguasa // yang ketiga Ayah Ibu // suami atau istri dan
anak yang ke empat // yang kelima dosa kepada sesama // dosa yang pertama //
dosa orang yang berdusta denga samar-samar.
27.
Wong kang dosa
Guru Raja // wong wani Guru Narpati // wong kang dosa yayah rena // wong wani
Bapa lan Bibi // wong dosa garwa siwi // kang tan ngreken garwa sunu // dosa
mring sasama // wong sikara tanpa uwis // lan wong tan wruh kabecikaning
sasama.
Yang kedua
dosa terhadap Guru dan Pengausa // orang yang berani kepada Guru dan penguasa
// ketiga yang dosa kepada kedua orang tua // orang yang durhaka kepada orang
tua // keempat yang dosa kepada suami atau istri dan anaknya // yang
mengabaikan mereka // dosa kepaa sesamanya // orang yang menyiksa tiada henti
//dan orang yang tidak tau kebaikan sesamanya.
28.
Sira timbanga
pribadya // tuturku wus kocap ngarsi // sira kasebut Ngulama // sayekti wruh
bener sisip // Sultan Demak miyarsi // amuwus sajroning kalbu // alon ing
aturira // duh eyang kados punapi // dosa ulun mring Allah matumpa-tumpa.
Keu
pertimbangkan sendiri // uraianku seperti di depan // kau termasuk Ulama //
pasti mengetahui yang benar dan yang salah // Sultan demak mendengar // berkata
dalam hati // pelan perkataannya // Wahai eyang bagaimanakah // dosaku kepada
Allah bertumpuk-tumpuk.
29.
Nyi Ageng
Ngampel ngandika // sira tan dosa mring Widdi // dosa mring sudarmanira //
Gusti Allah mung ngadili // kang bener lan kang sisip // ingkang salah dipun
ukum // sineleh aneng kerat //binelok sajroning geni // Sultan Demak umatur
sarwi karuna.
Nyia Ageng
Ampel berkata // kau tidak berdosa kepada Tuhan // kau berdosa kepada orang tua
// Tuhan Allah hanya mengadili // yang benar dan yang salah // yang salah
dihukum // ditaruh di akhirat // dipasung di dalam api // Sultan demak berkata
dengan pasrah.
30.
Rehning sampun
kalampahan // punapa winuwus malih // pan amung tedah paduka // ingkang kawula
lampahi // Nyai geng ngandika ris // yen sira nurut rembugku // ramamu ulatana
// katemuwa ngendi-endi // aturana kondur marang Majalengka.
Karena telah
terlanjur // apaguna dibicarakan lagi // hamba mohon petunjuk paduka // apa yag
harus saya lakukan // Nyai Ageng mengatakan // jika engkau mengikuti apa kataku
// Carilah ayahmu // dimanapun kau temukan // ajaklah kembali ke Majapahit.
31.
Yen ramamu
isih karsa // angasto kaprabon Haji // anuli sira junjunga // tetepa kadya ing
nguni // kari pira Sang Aji // yuswane anuli surut // lan sira anyuwuna //
ngapura luputmu kaki // yen tan karsa ramamu jumeneng Nata.
Jika ayahmu
masih menginginkan //untuk memegang kekuasan Raja kembali // segeralah kau
angkat kembali // tetap seperti semula // tinggal berapa-lamakah sang raja //
usianya kemudian akan meninggal dunia // dan kau mohonlah // pengampunan atas
kesalahanmu cucuku // jika ayahmu tidak berkenan menjadi raja kembali.
32.
Suwunen ing
rilanira // ing Jawa sira ratoni // idine kang terus ing tyas // dadi
becik lahir batin // tan ginuyu ing Bumi // sira panciya ramamu // dahar
busananira // gawekna kadaton ngardi // saprabote pandita jwa kongsi kurang.
Mohonlah
kerelaannya // tanah Jawa kau kuasai // ijinya yang terus sampai ke dalam hati
// jadilah baik lahir batinnya // maka tidak akan diterawakan dunia // Jatahlah
ayahmu // Makan dan busananya // buatkan keraton di gunung // lengkap dengan
pelengkapan Pandita jangan sampai kurang.
33.
Heh ta angger
kawruhanira // nadyan wong satanah Jawi // angideni marang sira // tetepmu
ngadeg Narpati // yen nora den ideni // ramanira Sang Prabu // lamun tyase tan
rila // sira ora kelar kaki // dadi Nata neng Jawa sabanjurira.
Wahai cucuku
ketahuilah // walau pun semua orang di Tanah Jawa // mengijinkan dirimu //
tetap menjadi raja // jika tidak mendapat restu dari // Ayahmu sang Raja //
jika hatinya tidak rela // kau tidak bakalan kuat // menjadi raja di tanah jawa
beserta keturunanmu.
34.
Aja dumeh
kapir Buda // iku betuwah Narpati // sawetane tanah Ngajam // yen kongsi gela
ing galih // manawa animbali // putra wayah para Ratu // sawetan Tanah Jawa //
sawadya kaprabon jurit // masih abot sangganira ing ngayuda.
Jangan kau
kira kafir Buda // itu tetaplah raja // sebelah timurnya tanah ngajam // Jika
sampai kecewa hatinya // jika beliau memanggil // anak cucu para raja //
sebelah timurnya tanah Jawa // dan pasukan perang dengan perlengkapannya //
masih berat tanggungjawabmu dalam perang.
35.
Karana
sagung pra Raja // kanan kering Tanah Jawi // kabeh kawengku santana //
pada wiji Majapahit // manawa angengeti // darbe Ratu pinisepuh // siniya tanpa
dosa // angantep tangkeping jurit // sabiyantu angrebut ing Majalengka.
Karena sumua
raja // sebelah kanan kiri Tanah Jawa // semuanya sebagai kerajaan jajahannya
// semuany keturunan Majapahit // jika mereka ingat // mempunyai Ratu yang
dituakan // di sia-siakan tanpa dosa // maka mereka akan menyiapkan pasukan
perangnya // untk membantu merebut Majapahit.
36.
Yekti prang
gedhe gempuran // kadya jaman Hurubesmi // Majapahit lan Blambangan //
pira-pira kang pepati // tur Menakjinga sisip // prandene pada biyantu // iki
wong tuwanira // bener nganggo ratu luwih // sayektine ing prang nedya
pupungkasan.
Pasti akan
terjadi perang besar-besaran // seperti jaman Hurubesmi // Majapahit melawan
Blambangan // banyak sekali korbannya // padahal Menakjingga yang salah //
tetap membantunya // ini orang tuamu // dalam posisi yang benar // pasti
akan terjadi perang habis-habisan.
37.
Putu lamun
sira menang // tetep jumeneng narpati // yen kalah den oyak-oyak // kacandak
dipun pateni // wong Islam den kuciri // tur sira iku katempuh // rusaking
wadya bala // kang mati madyaning jurit // pada nagih mring sira besuk neng
kerat.
Cucuku jika
kau menang // akan tetap menjadi raja // jika kalah akan diburu // tertangkap
akan dibunuh // orang Islam akan digundul // dan engkau mempunyai tanggungan //
terbunuhnya pasukanmu // yang mati ketika perang // semuanya menagih kepadamu
besok di akherat.
38.
Ramamu
jumeneng Nata // tan lama nuli ngemasi // ing Tanah Jawa kaliya // sira ora
andarbeni // mulane rembuk mami // turuten ingkang satuhu // antinen surut ira
// nadyan prang rebut nagari // mungsuh kadang punika tan dadi ngapa.
Ayahmu kembali
menjadi raja // tidak lama kemudian akan meninggal dunia // Tanah akan jawa
dikuasai oleh orang lain // dan kamu tidak memilikinya // makanya menurut
pendampat ku // ikutilah kata-kata ku // tunggulah sampai Beliau meninggal
dunia // walau berperang berebut negara // melawan saudara itu tidak mengapa.
39.
Sanadyan kalah
menanga // tan ginuyu bumi langit // wus lumrah wong madya pada // lamun
sudarma ngemasi // anak arebut waris // pusaka kang luwih perlu // lamun gege
samangkya // lan bapa rebut nagari // kalah menang dadya geguyoning jagad.
Walaupun kalah
ataupun menang // tidak ditertawakan bumi dan langit // sudah umum di dunia //
jika orang tua meninggal dunia // anak saling berebut warisan // warisan
pusakan yang paling penting // jika perang sekarang // melawan ayah
berebut negara // kalah ataupun menang jadi tertawaan jagad.
40.
Katujune
menang perang // mungsuh Bapa kaki-kaki // wungkuk bengkuk suku tiga // endi
sebutanmu becik // loking janma mung nisthip // iku sira dipun emut // aja
nrajang kanistan // tolehen awakmu kaki // ramanira Ratu Agung Binathara.
Seandainya
menang perang // melawan orang tua yang sudah sepuh // bungkuk berkaki tiga //
dimana letak baiknya // justru akan dikatakan sebagai makhluk yang
hina // itu kau harus ingat // jangan melanggar kenistaan // lihatlah
dirimu cucuku // Ayahmu Ratu Agung.
41.
Ibunira Putri
Cina // Agama miturut Ngarbi // aran janget ing ngatigan // jembar jajahanireki
// dene akendel ngisin // mungsuh Bapa kang wus pikun // saru tinoning katah //
mungguh rembugku samangkin // lah muliha mring nagaranira Demak.
Ibumu putri
cina // agamanya menurut Arab // disebut tiga keturunan // luas jajahannya //
mengapa kamu tidak tau malu // Melawan orang tua yang sudah pikun // sangat
tidak pantas dilihat orang banyak // menurut pendapatku sekarang // kembalilah
ke Demak.
42.
Aja lumaku
pribadya // ngulati Ramamu kaki // manawa giris tyasira // kemlurusen angemasi
// becik Sunan Kali // kinen lumaku angluru // aja anggawa wadya // lumakuwa
cara Santri // yen kapangguh den genahena kewala.
Jangan kau
berangkat sendiri // jika akan mencari ayahmu // Jika perasaan ayahmu takut //
bisa berakibat fatal // lebih baik Sunan Kalaijaga // kau suruh untuk
mencarinya // jangan membawa pasukan // lakukan dengan cara santri // jika ketemu
jelaskanlah saja.
. 43
Yen karsa den
aturana // kondur marang Majapahit // jujug ing Ngampeldenta // yen ora karsa
Sang Haji // aja kok peksa kaki // manawa runtik tyasipun // ngandika anyupata
// punika yekti mlarati // wus mangkata sadina iki bubaran.
Jika berkenan
mohonkanlah untuk // kembali ke Majapahit // pulanglah ke Ampel Denta // jika
beliau tidak berkenan // jangan kau paksa cucuku // jika sampai marah //
akan mengatakan laknat // sungguh mengakibatkan kerugian // segeralah berangkat
dan hari ini juga bubarkan.
44.
Nulya sami
abubaran sawadynira tan kari // Jeng Sultan kundur mring Demak // Sunan
Kali kang ngulati // lumaku cara santri // mung sabat kalih kang tumut // nurut
pasisir wetan // sinigeg Jeng Sunan Kali // Kanjeng Sultan sawadya anggula
drawa.
Kemudian semua
bubar beserta pasukanny tiada yang ketinggalan // Sultan kembali ke Demak //
Sunan Kalijaga yang mencarinya // berjalan dengan cara santri // hanya dua
sahabat yang menyertainya // menelusuri pesisir timur // terpotong kisah sunan
Kali // Kanjeng sultan dan pasukannya (memasuki tembang Dhandhanggula).
vi.
DANDANGGULA
Edit : Pujo Prayitno
1.
Sampun prapta
ing Demak nagari // Kanjeng Sultan Bintara sa wadya // umjung gumuruh swarane
// kang prapta lan kang methuk // suka sukanira tan sipi // ngulama praja desa
// nracak kaulipun // yen jaya prange gustinya // Dzikir mulut beleh sapi wedus
biri // Tahlil dzikir terbangan.
Telah
sampailah di kerajaan Demak // Sultan Bintara beserta pasukannya // Menggema
bergemuruh suaranya // yang datang dan yang menjemput // kebahagiannya
tak henti // Ulama kota dan desa // semua mengadakan tasyakuran // karena
ratunya menang perang // Dzikir lisan memotong sapi kambing dan biri-biri //
Tahlil dzikir dan memainkan musik terbang.
2.
Santri murid
samu kaul ngemis // marang pasar sadina ping sanga // pating garandul kasange
// sapepak ireng butuh // pan kinarya mumule Nabi // Sultan Bintara
panggya // kalawan Sang Wiku // Kangjeng Sinuhun ing Benang // angandika
praptamu pada basuki // lakumu mangun yuda.
Santri murid
kaul meminta-minta // pergi ke pasar sehari sembilan kali // bergelantungan
peralatannya // selengkapnya kebutuhan didapatnya // karena akan digunakan
untuk memuliakan Nabi // Sultan Bintara mengadakan pertemuan dengan Sang Sunan
// dan Kanjeng Sunan Benang berkata // apakah kedatanganmu selamat // dari
perjalananmu beperang.
3.
Apa asor apa
unggul jurit // Kanjeng Sultan alon aturira // sampun bedah karatone // Nagari
Majalangu // pra punggawa kang lawan jurit // samya tumpesing yuda // margi
kaget gugup // Kyana Patih Gajahmada // saha wadya ngamuk punggung ambeg pati
// gaman pedang curiga.
Apakah kalah
ataukah menang perang // Kanjeng Sultan sopan bicara // Telah hancur
kerajaannya // Negara Majapahit // para pasukan yang berperang // semua tumpes
dalam perang // karena terperanjat diserang mendadak// Sang Patih Gajahmada //
beserta pasukannya mengamuk mencari mati // senjata pedang dan keris.
4.
Wadya Demak
panggah hanadahi // kinarocok wadya pra Bupatya // mung Patih kang teguh dewe
// Sunan Ngudung gya nempuh // hanglarihi nanging tan titis // Gajahmada
hangrangsang // dateng Sunan Ngudung // pinarjaya jaja tatas // kapisanan Sunan
Ngudung hangemasi // sigra para Bupatya.
Pasukan Demak
tetap menghadapinya // Dikeroyok para Bupati // hanya sang patih yang paling
kuat // Sunan Ngudung segera maju ke medan laga // melemparkan tombak kurang
titis // Gajahmada balik menyerang // untuk menyerang Sunan Ngudung // Sunan
Ngudung dibunuh dada tembus // hanya sekali tusukan keris sunan Ngudung tewas
// segera semua Bupati.
5.
Para Sunan
panggah hanadahi // pinarbutan Gajahmada pejah // nanging sirna kuwandane //
nulya na swara krungu // angaturken ingkang pepeling // suka Susuhunan Benang
mesem ngandika rum // suwarane wong wis modar // wedi apa besuk wani mengko
wani // mungsuh wong kapir Buda.
Beserta para
sunan melawannya // mengeroyok Gajahmada dan akhirnya tewas // Namun hilang
beserta raganya // kemudian terdengar suara // mengatakan tentang supata //
Gembiralah Sunan Benang sambil tersenyum berkata // kata-kata orang yang telah
mati // takut apa besok berani sekarang juga berani // melawan orang kafir
Buda.
6.
Nora cidra ing
pambatang mami // Majalengka sapa den handelna // yen uwis balik si Kusen // si
Gugur masih timur // mangsa dadak wani ing getih // Gajahmada wus tuwa //
wungkuk hamelengguk // thinuthuk bae palastra // nora kelar nadahi yudamu kaki
// muda sedeng humurnya.
Tidak salah
perkiraan saya // Majapahit siapakah yang dihandalkan // Jika Si Kusen telah
berbalik // Si Guru masih muda // tidak mungkin berani dengan darah //
Gajahmada sudah tua bungkuk // dipuku pelan saja meninggal // tidak kuat
melawan kridamu anakku // masih muda sedang umurnya.
7.
Wadya Demak
lajeng manjing puri // hangulati Jeng Rama tan ana // lolos tan wikan parane //
tuwin pan yayi Gugur // samya lolos tan bekta dasih // kang kantun ing djro
pura // amung kanjeng Ibu // pramewari dwarawatya // kula turi nyingkir mring
Benang rumiyin // nurut atur kawula.
Pasukan Demak
kemudian masuk ke dalam keraton // mencari ayahanda tidak menemukan // lolos
tidak diketahui kemana perginya // dan juga adiku Si Gugur // lolos tidak
membawa pembantu // yang tertinggal di dalam keraton // Hanya Ibu // permaisur
Dwarawati // saya suruh beliau untuk menyingkir ke Benang dahulu // dan dia
menuruti kata-kata hamba.
8.
Wonten dene
yayi Hadipati // nagri Terung wus rumantyeng yuda /// sikep lawan gegamane //
lajeng biyantu pupuh // jarah rayah sajroning puri // buku petuwah Buda //
kinumpul sadarum // lajenge kawula bakar // dimen sirna pikekah Agama Budi //
gumujeng Sunan Benang.
Sedangkan adik
Adipati // negri Terung telah siap bertempur // lengkap dengan persenjataanya
// kemudian membantu perang // menjarah ke dalam keraton // buku Agama Buda //
semuanya dikumpulkan // kemudian saya bakar // agar musnahlah aturan Agama Buda
// tertawalah Sunan Benang.
9.
Iku bener
anggitira kaki // lamun misih buku sarak Buda // wong Jawa awet kapire //
kongsiya sewu taun // mangsa dadak ganti Agami // nut sarak rasul lolah // datan
nedya emut // anebut Asmaning Allah // lawan nebut Asmanira Kanjeng Nabi //
Muhammad Rasul olah.
Itu benar
pemikiranmu anakku // jika masih ada buku Agama Buda // orang jawa awet
kafirnya // walau sampai seribu tahun // tidak bakalan berganti Agama // untuk
mengikuti syariat Rasulullah // tidak bakalan ingat // menyebut Asma Allah //
dan juga menyebut asmanya Kanjeng Nabi // Muhammad rasulullah.
10.
Mangsa niyat
Shalat Kaji Dzikir // Kanjeng Sultan Bintara turira // beteng-beteng sadayane
// ing bangsal lan ing Terung // wadya Islam ingkang Jageni // parentahe Yayi
Mas // Hadipati Terung // kalamun ana wong Buda // ngungsi beteng sadaya
tumpesen sami // dene yen janma Islam.
Tidak akan ada
niyat Shalat haji Dzikir // Sultan Bintara mengatakan // beteng-beteng
seluruhnya // di bangsal Adipati Terung dan // pasukan Islam yang berjaga //
atas perintah // adiku Adipati Terung // jika ada orang Buda // mengungsi
lewat beteng bunuh semua // jika yang beragama Islam.
11
.Ngungsi
beteng kinen sungi kori // mila tiyang buda buyar hambyar // mawut
saparan-parane // ngungsi mring wana gunung // kang lumawan dipun perangi //
kawula tigang dina // aneng Majalangu // lajeng dateng Ngampel Denta // nyuwun
idi tetep kula dados Haji // mring Ibu mara tuwa.
Melewati beteng
disuruh membukan pintu // makanya orang Buda menyebar // semburat tidak karuan
// melarikan diri ke hutan dan gunung // yang melawan di perangi // hamba
selama tiga hari /// berada di Majapahit // kemudian menuju Ampel Denta //
memohon restu hamba untuk menjadi raja // kepada ibu mertua.
12.
Ingkang tugur
wonten Majapahit // anjageni kang putra santana // yen wonten kang mangkat
tyase // yayi dipati Terung // lawan Patih Mangkurat nenggih // wadyane pra
dipatya // sepalih kang tumut // sapalih kawula bekta // dateng ngampel neng
Terung // sipeng tri ari // minta pakaweting prang.
Yang berada di
Majapahit // untuk berjaga putra kerabat // bila ada yang berangkat tyase //
adiku Adipati terung // dan juga Patih Mangkurat dan juga // pasukan para
Bupati // separuh yang ikut // separuh saya ajak // menuju Ampel di Terung //
menginap tiga hari // minta pakaweting perang.
13.
Kang kawula
angge senapati // ingkang dadya susulih kawula // Ing beteng Terung barise //
inggih Pangeran Kudus // pramugari misesa baris // kanti para Ngulama // sadaya
tri atus // saben dalu Shalat Kajat // Dzikir mulut tansah Muji siang ratri //
Tahlil Dzikir Terbangan.
Yang saya
jadikan Senopati // dan menjadi wakil hamba // berbaris di Beteng terung //
yaitu Pangeran Kudus // pasukan berbaris // bersama para Ulama //
semuanya berjumlah tiga ratus // tiap malam shalat hajat // Dzikir lisan selalu
memuji siang dan malam // Tahlil dzikir terbangan.
14.
Para Sunan lan
para Bupati // gya umiring mring kula sadaya // ulun sapraptaning Ngampel //
wusing pranata ulun // para Sunan para Bupati // nulya lenggah satata // kawula
umatur // kang dadya perlu kawula // nyuwun idi tetep kula dados Haji // mengku
rat Tanah Jawa .
Para Sunan dan
semua Bupati // segera memihak saya semua // sesampainya hamba di Ampel //
setelah saya tata // Para sunan dan Bupati // kemudian menata duduk // saya
menyampaikan // apa yang menjadi keperluan hamba // memohon restu tetapnya saya
menjadi Raja // menguasai Tanah Jawa.
15.
Saha kula
ngaturi udani // bedahipun nagri Majalengka // lan Kangjeng Rama lolose
// tuwin pan Yayi Gugur // ugi lolos tan bekta dasih // pejahe Gajahmada //
lumawan ing pupuh // Ibu sanget dukanira // sarwi muwus nguman-uman dateng mami
// tuwin Sunan Ngulama.
Dan juga hamba
memberitahukan // hancurnya Majapahit //dan lolosnya ayahanda // dan juga si
Guru // juga lolos tanpa membawa abdi // Gajahmada terbunuh // dalam peperangan
// Ibuda sangatlah marah // dengan mengatai-ngatai dan menyalahkan hamba //
beserta para Sunan dan Ulama.
16.
Winastan Janma
tanpa Budi // dene tan wruh kabecikan Raja // asikara tanpa wite //
nanging panimbang hulun // inggih leres Jeng Ibu Nyai // sampun katur sadaya //
ing sadukanipun // Nyai Ageng Ngampeldenta // purwa madya wasananira abersih //
putuse kang rinembag.
Dikatakanya
manusia tidak berbudi // karena tidak tau kebaikan raja // menyiksa tanpa sebab
// namun setelah saya pikir // memang benarlah apa yang dikatakan Kanjeng Ibu
Nyai // telah ku sampaikan semua // dan juga kata-kata kemarahan // Nyai Ageng
Ngampel Gading // awal tengah dan akhir sampai bersih // samapi habis yang
dibicarakan.
17.
Sunan Benang
Jetung datan angling // nging sinamur jwa kongsi katara // kang dadya
kaluputane // mring Ratu Majalangu // ing wusana ngandika aris // dene merangi
tatal // nalarira iku // wong wis mati ing nguripan // tekatira mati tengah
nglangi pinggir // nganggo tekat urakan.
Sunan Benang
diam tak berkata // Namun diselimurkan agar tidak terlihat // yang menjadi
kesalahannya // kepada Ratu Majapahit // kemudian berkata pelan // Ibaratnya
memerangi tatal // nalarmu itu // Manusia yang telah meninggal kau hidupkan
kembali // tekadmu mati di tengah berenang ke pinggir // menggunakan tekad
urakan.
18.
Wong kang
ngerti terus lahir batin // mangan gula wus prapteng ing dada // dipun ulu
sadayane // embuh dadine pungkur // luwih karsanira Hyang Widdi // janma kang
akhli nalar // ngarani sireku // ing ngaran bangsa tugelan // nora murni
nuwuhake nyawa kalih // katanda tekat ira.
Orang yang
telah memahami lahir terus kedalam batin // makan gula telah sampai di dada //
akan ditelan semuanya // entah apa jadinya di belakang // terserah apa kehendak
Tuhan // manusia yang ahli nalar // menyebut dirimu // disebut
setengah-setengah // tidak murni menggunakan dua nyawa // terlihat dari
tekadmu.
19.
Mungal-mungil
tan wurung ketail // ing pakewuh dadi tiwasira // marga kurang kantepane //
sira nurut ibumu // ibunira iku pawestri // tan wenang dadi imam //
amurwani laku // prakara ngrembug nagara // yen wong wadon weruhe mung
uyah trasi // wus kocap jroning kitab.
Ragu-ragu
akhirnya terjerat // oleh berbagai masalah yang bisa mengakibatkan kematianmu
// karena disebabkan kurang kemantapannya // kau menuruti Ibu-mu // Ibumu itu
wanita // tidak berhak menjadi Imam// menjadi panutan // membicarakan tentang
tata negara // Seorang wanita hanya mengetahui uyah dan terasi // telah
tertulis dalam kitab.
20.
Yen wong
kakung manut mring pawetri // nadyan bojo sanadyan wong tuwa // wus pasti dadi
tiwase // sebab estri puniku // tetep aran uwong sejati // nglowong mung dadi
wadah // tan wenang tinantun // prakara ngrembuk negara // apa maneh bener
luputing Agami // wus pasti sasarira.
Jika seorang
laki-laki dipimpin wanita // meski istri ataupun orang tua // sudah pasti akan
celaka // sebab wanita adalah // tetap disebut manusia sejati // kosong hanya
sebagai wadah // tidak wajib diikuti // ketika membicarakan negara // apalagi
masalah benar dan salah yang menyangkut Agama // pasti akan menjadi tersesat.
21.
Sira aran
tiyang kang sejati // iya iku pikukuhing palwa // nora kena mengleng-mengleng
// kudu jejeg abakuh // aneng tengah amikukuhi // sira wus dadi imam //
amurwani laku // panutan wong jawa Islam // yen tyasira mirang miring nengah
minggir // dadi tiwasing kathah.
Kau disebut
orang sejati // yaitu ibaratnya tiang kapal // tidak boleh ragu-ragu // harus
tegak dengan kuat // ditengah menguatkan // kau telah menjadi Imam // panutan
segala tindakan // menjadi panutan orang Islam // Jikan batinmu ragu-ragu
ke tengah dan ke pinggir // akan mencelakakan orang banyak.
22.
Para Sunan lan
para Bupati // wus anganggkat sira dadi raja // Ngratoni Wong Jawa kabeh // ran
Senapati Djimbun // kang pinuji di embun sabumi // jaluk idi wanodya // asor
bangsanipun // darajate luhur sira // nadyan tuwa nora wajib angideni /
jenengira Narendra.
Semua sunan
dan Bupati // telah mengangkatmu menjadi Raja // menguasai seluruh tanah Jawa
// dengan bergelar Adipati Jinbun // Yang di puji di sembah orang sedunia //
memohon restu kepada wanita // dari golongan derajat rendahan // lebih tinggi
dirimu derajatnya // Walaupun tua dia tidak wajib untuk memberi restu // kepada
dirimu untuk menjadi raja.
23.
Dadi sira kena
den arani // janma mulya dijak dadi kumpra // anjaluk idi wong jelek // apa
sira tan weruh // sebutne Tajushalatin // lamun bangsa wanodya // apes
duwekipun // tan kena tinari karya // dadi sira anerak angger nagari //
sisikuning kalipah.
Jika demikian
engkau bisa disebut //dari manusia terhomta mejadi manusia biasa // karena
memohon restu manusia rendahan // apakah kau belum memahami // apa yang
tercantum dalam Kitab Tajushalatin // Apabila golongan wanita // maka apes
miliknya // tidak bisa diajak bekerja // jika demikian kamu melanggar
undang-undang negara // terkena siku khalifah.
24.
Upamane
ramanira Haji // sira angkat bali dadi Raja // pulih getih kaya biyen // pra
Bupati wus suyut // animbali kang putra kalih // Dipati Panaraga // miwah putra
mantu // ing Pengging Handayaningrat // nora wurung pasti sira den pateni //
sapa kang ngalangana.
Seandainya orang
tuamu raja // kau angkat kembali menjadi raja // kembali seperti semula //
semua Bupati telah tunduk // kemudian raja memanggil kedua anaknya yang lain //
Hadipati Ponorogo // serta putra mantu // di Keraton Pengging // pastilah
dirimu akan dihukum mati// siapakah yang akan menghalanginya.
25.
Ngilangake
mring endog sawiji // Ibu andap tur seje Agama // wus agawe salah gedhe //
murtad ing Bapa Ratu // wus wajibe dipun pateni // wus sah sebutane kitab //
kukume linampus // tur nora sira pribadya // sawadyamu kang padha biyantu balik
// sah wajib pinatenan.
Menghilangkan
satu anak // dari seorang ibu kelas bawah dan juga beda Agama // dan telah
berbuat kesalahan besar // murtad kepada raja // sudah seharusnya dibunuh //
telah tertulis dalam kitab // hukumannya hukuman mati // dan juga bukan hanya
dirimu sendiri //tapi juga beserta seluruh pasukanmu yang telah membantumu //
sah dan wajib dihukum mati.
26.
Dadi sira kena
den arani // janma rusak kudu angajak-ajak // anggawa pepati akeh // lamun
weruha ingsun // tekatira nengah minggir // mulat wuri lan nagara // ingsun
datan purun // ambotohi marang sira // ingsun sengguh mantep tetep trusing
ngati // mantepe tekadira.
Sehingga
dirimu bisa disebut // Manusia yang rusak dan mengajak-ajak // sehingga membawa
korban sangat banyak // seandainya dari dulu saya mengetahui // tekadmu ke
tengah ke pinggir berubah-ubah // melihat kebelakang dan melihat negara // saya
tidak bakalan bersedia // menjadi botoh dirimu // saya kira engkau sudah mantap
dan kuat sampai ke dalam hati // atas ketekatan dirimu.
27.
Wong kang
ngerti terus lahir batin // mangan gula wus prapta ing dada // dipun ulu
sadayane // embuh dadine besuk // luwih karsanira Hyang Widhi // wus sedya
nglawaning prang // mungsuh Bapa Ratu // nadyan Bapa Ratu Budha // pan
wus khalal tan ana batal karami // pinangan Janma Islam.
Manusia yang
telah paham lahir batinnya // makan gula sudah sampai di dada // akan ditelan
semuanya // entah apa jadinya // teserah apa kata Tuhan // sudah diniati
melawan dengan perang // melawan orang tua raja // karena beragama Buda // itu
halal tidak ada batal kharamnya // akan dimakan oleh orang Islam.
28.
Nora ana ing
sawiji-wiji // najis mekruh sadayane sirna // wong kapir asli darbeke // kang
wus kasor prangipun // janma Islam ingkang darbeni // sanadyan ta wanodya //
wenang den dol iku // kinarya batur tumbasan // sampun khalal jinamah datanpa
kawin // wus sah sebutan kitab.
Tidak ada yang
menghalangi // Najis dan makruh semuanya telah sirna // Semua harta milik orang
kafir // jika sudah kalah perang // akan menjadi milik orang Islam // meskipun
itu wanitanya // boleh dijual // seperti barang dagangan // sudah khalal di
jamah tanpa nikah // sudah sah menurut isi dari kitab.
29.
Balik mengko
paranta kang dadi //pungkasane kekarepanira // tutura sun rungokake //
enake atiningsun // lamun tekatira lestari // ambedah Majalengka // sun ideni
iku // dadi Ratu Tanah Jawa // sabanjure prapteng anak putu benjing // yen sira
murungena.
Sekarang
kembali apa yang menjadi // keinginanmu sekarang // sampaikanlah akan saya
dengarkan // terserah apa kata hatimu // apabila tekadmu tetap // inging
menghancurkan Majapahit // saya restui // dirimu menjadi raja menguasai
tanah jawa // samapi dengan anak cucumu // namun jika dirimu menggagalkan niatmu.
30.
Sira manut
maratuwa estri // ingsun mulih marang nagri Ngarab // aneng kene tanpa gawe //
mangsa wurunga lampus tur tan bisa ngelar agami // lah iya ucapena //
enggal-enggal gothak-gathuk // yen sira alestarekna // genya ngrusak karaton
ing Majapahit // amungsuh Bapa Raja.
Dan jika
dirimu mengikuti apa kata mertuamu perempuan // maka saya kembali pulang ke
Tanah Arab // Di sini sudah tidak ada gunanya // jika tetap bertahan sampai
matipun tidak bisa menyiarkan agama // ayo ucapkanlah // cepat-cepat kau
pertimbangkan // jika kau teruskan // niatmu untuk menghancurkan Majapahit //
melawan orangtuamu raja.
31.
Nanging sira
tetep dadi Haji // Mungsuh Bapa wenang tinobatan // mring Hyang nyuwun
ngapurane // nedya mungsuh wong sepuh // Ratu kapir tan durakani //
lupiane wus ana // Pra Nabi rumuhun // Ibrahim Musa Muhammad // pada musuh wong
tuwa kang pada kapir // nemu mulya raharja.
Kamu akan
tetap menjadi raja // kau melawan orang tua masih bisa bertobat // kepada tuhan
mohon untuk diampuni// karena melawan orang tua // yang kafir itu bukan durhaka
// contohnya sudah ada // kisah Nabi jaman dahulu // Nabi Ibrahim. Musa .
Muhammad// semuanya memusuhi orang tuanya yang kafir // akhirnya mendapatkan
kemuliaan dan selamat.
32.
Lamun wurung
ngrusak Majapahit // sira dosa guru kang sanyata // luwih gedhe durakane
// yen wong dosa ing guru // nora wenang dipun tobati // sebab kang meruhana //
dadalan rahayu // ing ngurip prapteng hantaka // Kanjeng Sultan Bintara sareng
miharsi // Sabdane Sunan Benang.
Jika kau
gagalkan dalam menghancurkan Majapahit // kau nyata-nyata berdosa terhadap
gurumu // lebih besar durhakanya // Jika orang berdosa kepada guru // tidak
bisa diampuni // sebab gurulah yang memberi petunjuk // jalan keselamatan //
ketika hidupnya sampai meninggal dunia // Kanjeng Sultan Bintara, setelah
mendangar // apa yang dikatakan oleh Sunan Benang.
33.
Getun jegrek
dangu datan angling // pan rumangsa kaluputanira // kabudan laku tingkahe
// Maju mundur kabentus // ing pakewuh kag gampang rumpil // tiba kasandung
rasa // kabentus ing wang wung // kapengkok nalar kang samar // maju mundur
duraka// ing lahir batin // mangkono hosiking tyas,
Menyesal, dan
termangu tanpa bisa berfikir // karena merasa salah // karena bingung
untuk mengambil keputusan // Maju kena mundur kena // karena menghadapi masalah
yang mudah tapi rumit // jatuh terbentur rasa // terbentur kebingungan // jatuh
terduduk oleh nalar yang samar // Maju mundur tetap durhaka // baik lahir
maupun batin// begitulah yang ada dalam pikiran Sultan.
34.
Yen wurunga
ngrusak Majaphit // dosa marang Guru kang sanyata // luwih gedhe durakane //
yen den banjurna iku // denya ngrusak ing Majapahit // dosa mring Bapa Raja
nanging dadi ratu // malah wenang tinobatan // ing wusana Jeng Sultan Humatur
aris // inggih kula lajengaken.
Jika
menggagalkan menghnacurkan Majapahit // Dosa besar terhadap Guru // lebih besar
durhakanya // jika dilanjutkan // untuk menghancurkan Majapahit // Durhaka
kepada orang tua dan raja, namun akan menjadi raja // dan syah untuk dinobatkan
// akhirnya Jeng Sultan berkata pelan // Iya akan saya lanjutkan.
35.
Gen kawula
ngrusak Majapahit // rehning nguni kawula wus sagah // dateng Ibu Nyi Geng
Ngampel // manawi Rama kondur / kula angkat narpati malih // amengku Tanah Jawa
// kadya ingkang sampun // sayekti kawula cidra // boten wande kawula dipun
dukani // mring Ibu maratuwa.
Untuk
menghancurkan Majapahit // karena saya sudah terlanjur mengatakan sanggup //
kepada Nyi Ageng // apabila ayahanda kembali pulang // saya angkat menjadi raja
kembali // untuk sebagai penguasa tanah jawa // seperti sebelumnya // berarti
saya ingkar janji // tentunya saya akan dimarahi // oleh Ibu mertua.
36.
Kados pundi
gen kula mangsuli // sebab kula cidra ing hubaya // Sunan Benang ngandikane //
lah iku gampang gampung nora susah ngupaya pikir // aja cidra ngubaya // wuwus
kang wus metu // yen Ramanira wus prapta lan sabaha marang nagri Majapahit //
sawadya sangkeping prang.
Apa yang harus
saya katakan // sebab saya ingkar janji // Sunan berkata memberi jalan keluar
// Itu sangat mudah, tidak usah kau pikir // jangan kau ingkar janji //
terhadap janji yang telah kau katakan // Jika orang tuamu telah kembali
segeralah menghadap ke Majapahit // dengan membawa pasukan perang lengkap
dengan peralatannya.
37.
Kriggen kabeh
Bupati pasisir // sawadyane sikep kapraboning prang // kira wong tri leksa kehe
// para Sunan sadarum // jaken seba mring Majapahit // lamun sira wus panggya
// kalawan Ramamu // sira anyuwuna ngapura // ing sakehe kaluputanira kang wis
// wani Bapa tur Raja.
Ajak semua
Bupati pesisir // bersama pasukannya lengkap dengan peralatan perang //
kira-kira berjulah 30.000 banyaknya // dan juga para sunan semua // ajaklah
menghadap ke Majapahit // jika kau telah bertemu // dengan orang tuamu //
segeralah kau mohon ampun // atas segala kesalahan yang telah kau lakukan //
berani kepada orang tua dan juga raja.
38.
Yen sira wus
holeh pangaksami // ing sakehing kaluputanira // ramamu angkaten Rajeng // Pulo
Jawa Karimun // aja ana ing Tanah Jawi // mundak ngribeti nalar // jenengira
Ratu // jaganen wadya sanambang // sadinane urunan para Bupati // sawadya
sikeping prang.
Jika kau telah
mendapatkan pengampunan // atas segala kesalahanmu // orang tuamu angkatlah
menjadi raja // di Pulau Karimunjawa // jangan berada di Pulau Jawa // akan
menyebabkan kebingungan dalam berfikir // Sedangkan sang raja // jagalah oleh
sepasukan prajurit // setiap harinya dengan biaya dari urunan para bupati //
lengkap dengan peralatan perangnya.
39.
Dimen seda
pinangan ing demit // aneng Krimun saking karsaningwang // dene yen ana
murkane // kang putra kalihipun // Hadipati ing Panaraga // Pengging
Handayaningrat // lawanen prang pupuh // wus lumrah manusa gesang // Bapa seda
anak samya rebut waris // pusaka ngrebut praja.
Biar meninggal
dimakan demit // di Pulau Karimun dengan sendirinya // jika ada murkanya //
dari kedua anaknya // Adipati Ponorogo // dan Pengging Hadiningrat // lawanlah
dengan perang // sudah sewajarnya dalam kehidupan // Sepeninggal orang tua anak
berebut waris // pusaka dan kerajaan.
40.
Sunan Giri
anambungi angling // inggih leres ing karsa paduka // kawula prayogakake //
nanging utamanipun // sampung ngantos amangun jurit // karya risaking praja //
yen pareng pukulun // kawula tenung kewala // Sri Narendra miwah ingkang putra
kalih // kajenge nunten seda.
Sunan Giri
menyambung kata-kata // Betulah apa yang kau katakan // saya setuju // namun
sebaiknya // jangan sampai terjadi perang // bisa mengakibatkan kerusakan
negara // Jika saya di perkenankan // saya santet saja // Sang Raja Brawijaya
beserta kedua putranya // biar meninggal dunia.
41.
Kula tenung
mejahi janma tri // bangsa kapir boten manggih dosa // amrih wilujenging ngakeh
// Sunan Benang amuwus // luwih karepira pribadi // Kanjeng Sultan Bintara //
anambungi wuwus // lere Sunan Giri Pura // pan wus dadya pirembag saliring
kardi // ganti kang kawuwus
Saya santet
membunuh tiga orang // menyantet orang yang kafir tidak berdosa // demi
keselamatan orang banyak // Sunan benang menjawab // terserah saja, itu
keinginanmu // Kanjeng Sultan Bintara // mendukung dengan mengatakan // benar
apa yang akan dilakukan oleh Sunan Giri Pura // karena semuanya sudah masuk
dalam rencana // “” GANTI yang dicerikan :
42.
Tindakira
Kanjeng Sunan Kali // angulati Prabu Brawijaya // lunta-lunta lampahe // sabat
kalih tan kantun // cara santri lampah musafir // nurut pasisir wetan //
prateng dukuh-dukuh // denira ngupaya warta // kang kamargan lolose // Kanjeng
Sang Haji // Sri Nata Brawijaya.
Kisah perjalan
Sunan Kali // dalam mencari kepergian Prabu Brawijaya // terlunta-lunta
jalannya // Dua sahabatnya tidak ketinggalan // berjalan mengunakan cara santri
sebagai musafir // menelusuri tepian pesisir timur // setiap masuk desa-desa //
selalu mencari kabar // di setiap yang dilewatinya atas lolosnya // Sang Raja
// Sri Nata Brawijaya.
vii.
S I N O M
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Sang Prabu
prapteng Blambangan // kendel margi pinggir beji // Ratu agung Binathara // bau
denda nyakrawati // mangkya nahen prihatin // rekasa ing tindakipun // kang
munggweng ngarsa Nata // dasih kalih datan tebih // Palonsabda Genggongnaya
gegujengan.
Tibalah sang
raja di Blambangan (Banyuwangi) // beristirahat di pinggir sumber air // Raja
besar bagaikan Dewa // kuat dan berwibawa // sekarang sedang prihatin //
sengsara dalam perjalannya // Yang sedang menghadap Raja // dua abdinya tidak
terlalu jauh // Sabdapalon dan Nayagenggong selalu bercanda.
2.
Kasaru ing
praptanira // Sunan Kali gya ngabekti // sumungkem padha Narendra // ngandika
Sri Narpati // Eh Sahit sira prapti // apa karyamu kang perlu // nututi
lakuningwang // Umatur njeng Sunan Kali // prapta ulun dinuta putra paduka.
Tiba-tiba
datanglah // Sunan Kali yang segera menyampaikan sembah bekti // Sungkem di
hadapan raja // berkatalah sang raja // Eh Sahit engkau datang // apa keperluan
atas kedatanganmu // menyusul langkah kepergianku // Menjawablah sunan Kali //
Kedatanganku sebagai duta putra tuanku raja.
3.
Nusul madosi
paduka // kapanggih ing pundi-pundi // sembah sungkeme kunjuke // ing padha
Paduka Aji // lan nyuwun pangaksami // sadaya ing lepatipun // kamipurun
angrebat // kaprabon tuan Narpati // inggih saking kalimput tyas punggung muda.
Hamba disuruh
mencari paduka // ketemu dimanapun saja // Dia menyampaikan sembah sungkem //
di telapak kaki paduka raja // dan mohon pengampunan // atas segala
kesalahannya // karenan lancang merebut // kekuasaan Paduka Raja // karena
khilaf terdorong oleh jiwa muda.
4.
Kirang priksa
parikrama / kasesa selak kepengin // mangku praja angreh wadya // siniwi para
Bupati // mangkya Putra Sang Aji // rumaos ing lepatipun // darbe Bapa tur Raja
// Ratu Agung nyakrawati // anjengkaken sing ngandap aparing pangkat.
Kurang
memahami sopan santun // tergesa-gesa ingin segera // menjadi raja memerintah
punggawa // dihormati para Bupati // sekarang Putra Paduka // sadar atas
kesalahannya // Mempunyai orang tua dan juga sebagai raja // Raja Besar yang
berwibawa // yang telah mengangkat derajatnya dengan memberi pangkat.
5.
Ing demak nama
Dipatya // temah kalimput ing galih // ngrabat praja mamrih seda // tangeh
malesa prayogi // ing sih paduka gusti // mangke putra tuan emut // darbe Bapa
tur Raja // Ratu Agung nyakrawati // tilar praja tan karuwan dunungira.
Menjadi Bupati
Demak // karena khilaf pikirannya // merebut tahta agar meninggal dunia // dan
tidak mungkin engkau akan membalasnya // karena rasa sayang engkau kepada putra
// sekarang putramu sadar // mempunyai Orang tua dan juga Raja // Raja Besar
yang berwibawa // meninggalkan kerajaan tidak diketahui tempatnya.
6.
Rumaos angsal
duduka // mring kang karya bumi langit // mila kawula dinuta // madosi Paduka
Gusti // kapanggya pundi-pundi // paduka ngaturan kundur // dateng ing
Majalengka // tetepa kadya ing nguni // mengku Praja siniwi para Punggawa.
Merasa
mendapat kemarahan // oleh yang mencipta bumi langit // sehingga saya diutus //
mencari engkau wahai sang raja // ketemu dimanapun saja // engkau dimohon
kembali // ke Majapahit // tetap seperti semula // mengusai kerajaan dan
dihormati para punggawa.
7.
Aweta kinarya
jimat // pinundi pundi pra siwi // wayah buyut myang santana // pinet sawabipun
Gusti // rahayune neng bumi // manawi paduka kundur // putra paduka pasrah //
karaton konjuk Sang Aji // putra tuan nyaosaken pejah gesang.
Bertahan sampai
lama sebagai pusaka // dijungjung tinggi oleh para putra // cucu buyut
dan kerabat // untuk diambil barokahnya paduka // agar selamat hidup di
dunia // Jika paduka pulang kembali // putra paduka akan memasrahkan // keraton
kepada paduka // Putra padukan memasrahkan hidup dan matinya.
8.
Pareng boten
kaparenga // putranta nyuwun aksami // sadaya ing kalepatan // mung nyuwun
aksami // sadaya ing kalepatan // mung nyuwun pangkate lami // Demak nama
Dipati // tetepa kadya rumuhun // yen paduka tan arsa // angasta kaprabon
Aji // sinaosan kadaton wonten aldaka.
Boleh ataupun
tidak // putra paduka mohon ampunan // atas segala kesalahannya // hanya mohon
maaf // atas segala kesalahannya // dan mohon pangkatnya yang lama // tetap
menjadi Bupati Demak// tetap sebagaimana sebelumnya // Andaikan engkau tidak
menginginkan untuk // menjadi raja kembali // akan dibangunkan untuk paduka
keraton di Gunung.
9.
Ing pundi
ingkang kinarsa // aldaka kang den depoki // putra paduka kang yasa //
sapiratosing maharsi // putra tuan nyaosi // busana dahar Sang Prabu // nanging
nyuwun pusaka // karaton ing Tanah Jawi // dipun suwun kang rila trusing
wardaya.
Terserah
dimana yang kau inginkan // gunung apa untuk dijadikan padepokan //Putra padaku
yang akan membangunnya // lengkap dengan segala keperluannya // Putra paduka
akan menjamin // busana dahar Sang Prabu // namun Sang Putra mohon pusaka //
kerajaan di tanah jawa // Putra paduka mohon dengan keikhlasan paduka lahir
sampai dengan batin paduka.
10.
Ngandika sri
Brawijaya // sun ngrungu aturmu Sahit // nanging tan ingsun gatekna // karana
wus kapok mami // rembugan karo santri // padha nganggo mata pitu // kabeh mata
lapisan // ablero lamun ningali // mulat ngarsa ing wuri jenggung
mustaka.
Berkatalah Sri
Brawijaya // saya mendengar semua perkataanmu Sahit // namun tidak ku
perhatikan // karena saya sudah terlanjur tidak percaya // berdialog dengan
santri // semuanya menggunakan 7 mata // semua mata berlapisi // juling jika
melihat // melihat kedepan sedang dibelakangnya memukul kepala.
11.
Caturan mung
manis lesan // batine angandut wedi // kinapyukake ing mata // piceka mataku
siji // mula ingsun beciki // walese lir munyuk buntung // apa salah
manira // rinusak tanpa prakawis // tinggal tata adat caraning manusa.
Jika berkata
hanya manis di mulut saja// di dalam hatinya mengandung pasir // yang akan
dilemparkan ke mata // butalah satu mataku // semula saya baiki // membalasnya
seperti monyet buntung // apa kesalahan saya // dirusak tanpa ada sebab //
meninggalkan tata cara manusia.
12.
Mukul prang
tanpa panantang // anganggo tataning babi // dudu manusa utama // Sunan Kali
duk miyarsi // pangandika Sang Aji // rumangsa ing lepatipun // denira melu
bedah // karaton ing Majapahit // analongsa kaduwung kaya matiya.
Menyarang
tanpa melakukan tantangan // menggunakan tata cara kelakuan babi // bukan
kelakuan manusia utama // ketika Sunan kali mendengar // segala ucapan sang
Raja // barulah dia sadar atas segala kesalahannya // karena ikut membantu
merusak // kerajaan Majapahit // sedih menyesal serasa akan mati.
13.
Ngrerepa ing
aturira // saduka-duka Sang Aji // kang dumateng putra Tuan // dadosa jimat
paripih // kacancang pucuk weni // kapundi wonten ing ngembun // mandar
amuwuhana // cahya Nurbuat kang wening // rahayune sadaya putra paduka.
Merayulah
sunan Kali dengan mengatakan // sebesar apapun kemarahan paduka Raja // yang
tetuju kepada putra paduka // akan dijadikan pusaka // akan diikat di pucuk
pohon Wani // di sunggi di atas kepala // semoga akan menjadi // cahaya Nurbuat
yang bening // untuk menjadikan keselamatan putra paduka.
14.
Rehning sampun
kalampahan // punapa winuwus malih // namung aksama paduka // sinuwun putra
Sang Aji // mila mangke mangsuli // katepatan ingkang sampun // wangsul karsa
paduka // karsa tindak dateng pundi // angandika Saga Prabu Brawijaya.
Karena hal itu
sudah terlanjur terjadi // apa yang masih bisa dikatakan // hanya ampunan dan
maaf paduka // yang dimohon oleh putra paduka // tidak akan mengulang
kembali // kejadian yang telah terjadi // kembali kepada paduka // Paduka
hendak pergi kemana // berkatalah Sang Prabu Brawijaya
15.
Saiki karsa
manira // arsa tindak marang Bali // katemu yayi Narendra // wong ngagung
Kalungkung nagri // arsa ingsun wartani // Si Patah Pratingkahipun // sikara
tanpa dosa // lan Ingsun purih nimbali // para Raja kanan kering Tanah Jawa .
Keinginanku
sekarang // ingin pergi ke Bali // untuk menemui adik raja // orang besar di kerajaan
Klungkung // akan saya beritahu // atas kelakuan Si Patah // menyiksa
tanpa sebab // saya akan mohon bantuan untuk memanggil // semua raja di kanan
dan kiri Pulau Jawa.
16.
Samekta
kapraboning prang // bleleng Lombok Badung Mangli // Karangasem Jagaraga //
Bimma Megora Mekral // lawan malih nagari // Timur Hambon Halipuru // Guha lan
Powa-Powa // Makasar Menado Boni // Pacet Buton Ternate lan Dore Bandah.
Lengkap dengan
pasukan perangnya // Buleleng, Lombok, Mangli // Karangasem. Jagaraga // Bima,
Megora, Mekral // dan juga kerajaan // Timor, Ambon , Arafuru // Gua dan
Powa-powa // Makasar menado, Bone // Pacet, Biton, Ternate dan Dora Bandah.
17.
Mulu Kote ing
Banjarmas // Siyak Batak luri malih // Dayak Selon Dana Bawang // Riyo Ringga
Tapanuli // Mlabar tanapi Ngacih // Minangkabo Bangkahulu // Nias Lampung
Piyaman // Padang Precih // Padang Tinggi // Hadipati Palembang sun weni wikan.
Mulu kote di
Banjarmas // Siyak, Batak, dan juga // Dayak Selon Dna Bawang // Rio Ringga,
Tapanuli // Malabr dan juga Ngacih // Minagkabo Bengkulu // Nias Lampung
Pariyaman // Padang Precih // Padang Tinggi // sedangkan Adipati Palembang akan
saya beritahu.
18.
Yen anake karo
pisan // sapraptane tanah Jawi // karo sun karya Dipaya // pada amengku nagari
// nanging tan weruh margi // wani mungsuh Bapa Ratu // sun jaluk lilanira //
anake ingsun pateni // sabab murtad ing Bapa kapindo Raja.
Jika kedua
anaknya // setibanya di Tanah Jawa // keduanya ku jadikan Bupati // keduanya
kujadikan raja // Namun tidak tau jalan // Berani melawan orang tua yang juga
Raja // akan kuminta kerelaanya // kedua anaknya akan saya bunuh // sebab sudah
murtad kepada orang tua dan yang kedua kepada Raja.
19.
Lan Ingsun
harsa sung wikan // mring Hongte Cina nagari // yen putrane wus patutan // lan
ingsun kakung sawiji // nanging tan weruh becik // wani mungsuh Bapa Ratu //
sun jaluk lilanira // putrane ingsun pateni // lan sun jaluk biyantu prajurit
Cina.
Saya akan
memberitahukan juga // Raja Hongte di Cina // jika putrinya sudah mempunyai anak
// dengan saya,, hanya seorang putra // namun tidak mengetahui kebaikan //
Berani memusuhi orang tuanya sendira yang juga raja // saya mohonkan
keralaannya // cucunya akan saya bunuh // dan saya mohon bantuan prajurit Cina.
20.
Samekta
kapraboning prang // anjunjung nagara Bali // yen wus samekta ngayuda // asikep
kaprabon jurit // manawa pada eling // labet kabecikanipun // kalawana duwe
welas // mring wong wungkuk kaki-kai // yekti teka ing Bali samekteng yuda.
Lengkap dengan
peralatan perangnya // menuju ke kerajaan di Bali // jika semua pasukan sudah
siap // dengan peralatan perangnya // jika masih ingat atas kebaikan // dan
juga jika masih punya rasa kasihan // kepada kakek yang sduah bungkuk // pasti
akan datang ke Bali lengkap dengan pasukannya.
21.
Sun ajak mring
Tanah Jwa // angrebut karaton mami // nadyan prang gedhe gempuran // lan anak
ingsun tan sisip // wit ingsun tan ngawiti // tinggal carane wong agung //
Sunan Kali miyarsa // dawuhe Sri Narpati // pan alegeg ngandika jroning
wardaya.
Akan saya ajak
ke Jawa // untuk merebut kerajaanku // walaupun akan terjadi perang
besar-besaran // melawan anakku sendiri itu tidak salah // karena bukan saya
yang mengawali // dalam menggunakan tidak akan meninggalkan tata cara orang
besar seperti anaku.// Ketika Sunan Kali mendengar // apa yang dikatakan sang
raja // terdiam dan dalam hati berkata
22.
Tan cidra ing
dhawuhe ira // Nyai Ageng Ngampelgading // si iyang wungkuk bergagah / bergigih
gagahi nagri // tan miyat wujud diri // geger wungkuk kulit kisut // lamun iki
banjura // anyabrang marang ing Bali // nora wurung karya perang brata yuda.
Sungguh tidak
salah apa yang dikatakan // oleh Nyai Ageng di Ampel Gading // bahwa si eyang
yang bungkuk // tetap ingin menguasai negara // tidak melihat ujud dirinya //
sudah bungkuk dan berkulit kisut // jika terus melanjutkan // menyeberang ke
Bali // akan terjadi perang Barata Yuda.
23.
Tur Demak
mangsa menanga // karana katindih sisip // mungsuh Bapa pindo Raja // ping telu
agawe becik // yekti wong Tanah Jawi // kang durung Islam satuhu // asih mring
Ratu tuwa // angantep tangkeping jurit // yekti kasor wong Islam tumpesing
aprang.
Melawan Demak,
dan Demak tidak mungkin menang // karena di posisi yang salah // melawan orang
tua yang kedua sebagai Raja // yang ketiga telah memberi kebaikan // pasti
semua orang Jawa // yang agama Islamnya belum kuat // lebih memilih membela
Raja yang tua // dan akan melakuka perlawanan melawan Demak // Pasukan Islam
jelas akan kalah.
24.
Wasana alon
turira // duh pukulun Sribupati// upami Tuan lajengna // ing karsa Paduka Haji
// nimbali pra Narpati // tan wurung dadya prang brubuh // punapa boten ngeman
// risake nagari Jawi // sayektine putra paduka kasoran.
Kemudian Suna
Kali berkata pelan // Wahai sang Raja // Jika Tuan terus melanjutkan // apa
yang menjadi keinginan Tuan // memanggil para raja // tentulah akan terjadi
perang besar-besaran // apakah tidak kasihan // atas kerusakan Negri Jawa //
pasti Putra Padukan akan kalah.
25.
Paduka
jumeneng Nata // Tan lama nuli ngemasi // keprabon Nata kaliya // sanes darah
Paduka ji // umpaminipun anjing // rebatan bangkening gembluk // kang kerah
tulus kerah // tumpesan sami ngemasi // daging manah tineda mring sanes sona.
Engkau akan
menjadi raja kembali // tidak berapa lama engkau meninggal dunia // Kerajaan
akan dikuasai orang lain // yang bukan keturunan Paduka raja // jika
diibaratkan anjing // berebut bangkai monyet // yang bertengkar terus
bertengkar // akhirnya keduanya meninggal // dan hatinya akan dimakan anjing
lainnya.
26.
Ngandika Sri
Brawijaya // luwih karsaning Hyang Widdi // Ingsun Ratu Binathara netepi
matakku siji // tan amot mata kalih// siji bener paningalku // ingkang miturut
sarak // pranatane bangsa inggil// yen si Patah ngrasa duwe bapa mring wang.
Berkatalah Sri
Brawijaya // itu terserah kehendak Tuhan // Saya sebagai Raja di Raja..
melangkah menggunakan satu mata yaitu mata hati // tidak akan bisa jika
menggunakan dua mata // dengan satu mata hati akan benar penglihatanku // yang
menurut sarak // dan aturan bangsa yang luhur // seharusnya si Patah merasa
bahwa sayalah ayah kandungnya.
27.
Kapengin dadi
Narendra // disuwun krana becik // karaton ing Tanah Jawa // sun paringken
lawan aris // ingsun wus kaki-kaki // wus wareg jenenging Ratu // trima dadi
pandita // pitekur ana ing wukir / balik mangke si Patah siya maring wang.
Jika
mengingkan untuk menjadi Raja // diminta dengan cara yang baik // Kerajaan di
tanah Jawa // akan saya kasihkan dengan senang hati // saya sudah kakek-kakek
// telah kenyang menjadi raja // sudah waktunya menjadi pandita // bertafakur
di atas gunung // lihatlah sekarang si Patah menyia-nyiakan diriku.
28.
Sayekti ingsun
tanrila // ing Jawa dipun ratoni // luwih karsaning Sukmana pamintaningsung ing
nguni // Suna Kali Miyarsi // ngandikanira Sang Prabu // rumangsa tan
kaduga // ngaturi Sri Narpati // nulya muwun sumungkem pada Sang Nata.
Sungguh saya
sangat tidak akan rela // Jika dia yang menjadi raja di Tanah Jawa // lebih
lebih kehendak sukma ku // itulah permohonanku sejak dahulu // Ketika sunan
Kali mendengar perkataan raja// Dia merasa tidak tega // untuk membujuk rayu
sang raja // sambil menangis dia bersujud kepada raja.
29.
Nyaosaken
cundrikira // umatur sarwi anangis // manawi karsanta Nata tan arsa kula aturi
// tan sanget aningali // pratingkah kang langkung saru // kawula nyuwun pejah
// suwawi tuwan telasi datan tahan ginaguyu hisining rat.
Sambil
memberikan keris nya // berkata sambil menangis // Apabila sang raja tidak
berkenan atas nasihat saya // saya tidak ingin melihat // kejadian yang lebih
mengerikan // lebih baik saya mati // bunuhlah saya karena saya tidak akan
tahan ditertawakan se isi dunia.
30.
Kandeg tyas
Sri Brawijaya // tri pandurat tan kena ngling // tebah jaja nenggak waspa //
lah Sahit lungguha dihin // sun pikire kang mening // sun timbange aturmu //
temen lan gorohira // karana ingsun kuwatir // kehing atur manawa sira lamisan.
Seketika
berhenti jalan pikiran raja // termangu tanpa bisa berfikir // menepuk dada
menelan air mata // Wahai Sahit duduklah dahulu // akan saya pikirkan dulu
dengan tenang // saya nalar dulu nasihatmu // antara jujur ataukah dusta //
karena saya kuatir // semua kata-katamu hanya manis di mulut saja.
31.
Eh Sahit iku
Ulama // sun kundur mring Majapahit // Si Patah seba ngarseng wang // getinge
tan bisa mari // dene duwe Sudarmi // Buda kawak kapir kupur // lali tan
ngetang Bapa // sun cinekel kinabiri // sinung karya atunggu lawang pungkuran.
Wahai Sahit
engkau adalah Ulama // jika saja saya pulang ke Majapahit // Si Patah menghadap
kepadau // bencinya tidak akan hilang // Karena mempunyai orang tua //
Kakek-kakek beragama Buda kafir kufur // dengan itu akan lupa kepada ayahnya //
saya akan ditangkap di kebiri // kemudian akan dijadikan penunggu pintu
belakang.
32.
Esuk sore
miwah siang // pinardi sembahyang mami // yen tan bisa dipun guyang // ing
blumbang dikosoki // alang-alang kang garing // iba-iba susah ingsun // rupa
ala wus tuwa // njekukuk kinum ing warih// sru gumujeng Sunan Kalijaga.
Pagi sore dan
juga siang // saya akan diajari sembahyang // jika tidak bisa saya akan
diguyang // di sungai buatan di gosok// menggunakan alang-alang kering //
Betapa sengsaranya hidupku // sudah tua dan berwajah jelek // meringkak di
rendam dalam air // Tertawa keraslah Sunan Kalijaga.
33.
Mokal kadya
punika // kawula kang tanggel benjing // manawi putra Paduka siya ing paduka
Aji // dene bab ing Agami // sakarsa paduka tinut // namung langkung
utama manawi paduka arsi // sarak Rasul anebut asmaning Allah.
Tidak akan
terjadi hal demikian // saya yang menjadi jaminannya // Jika putra paduka
berbuat demikian kepada paduka tuan raja // sedangkan soal Agama // terserah
apa yang paduka peluk // namun akan lebih baikya jika paduka berkenan //
beragama Syariat Rasul menyebut Asma Allah.
34.
Yen tan karsa
tan punapa // karana babing Agami // tan muhung Shalat Sembahyang pikekahira
Islami // nging sadat kekah ugi // nadyan shalat dingkal-dingkul yang dereng
ngertos Sadat // tetep yen punika kapir // angandika Maha Brabu Brawijaya.
Jika tidak
berkenan tidak apa-apa // Karena soal keyakinan Agama // buka hanya Shalat
sembahyang saja rukun Islam itu // Syahadat juga termasuk // Jika menjalankan
Shalat berkali-kali jika belum mengerti apa syahadat yang sesungguhnya // itu
masih tetap kafir // Barkatalah Prabu Brawijaya.
35.
Sadat iku kaya
apa // manira durung mangerti // age sira ucapna // mirengna talingan mami //
matur Jeng Sunan Kali // gih punika lapalipun // ngucap Ashadu Allah // la ila
ha illalhi // kaping kalih angucap ashhaduanna.
Syahadat itu
seperti apa // saya belum mengerti // segeralah kau ucapkan // Perdengarkan
kepada telinga saya // Berkatalan Sunan Kali // beginilah kalimatnya // Ashadu
Allah // la ila h illallah // yang kedua mengucapkan Ashadu anna
36.
Muhammadar
Rasulullah // tegese ingsun ngawruhi // pan ora ana Pangeran // amung Allah
kang sejati // lawan ingsun nekseni // Jeng Nabi Muhammad iku // utusanira
Allah // la ila ha illallahi // ya Muhammad Rasulullah kang sanyata.
Muhammad ar
Rasulullah // artinya adalah saya menyaksikan // sesungguhnya tidak ada Tuhan
// hanya Allah saja yang sejati // dan saya menjadi saksi // Kanjeng Nabi
Muhammad itu adalah // utusan Allah // La ila ha Illallah // ya Muhammad
Rasulullah yang sebenar-benarnya.
37.
Wong kang
nembah Puji Aran // tan wikan wujud sejati // atetep dados wong kopar // tiyang
ingkang nembah puji // kang sipat wujud warni // nembah brahala ranipun //
lahir batine sasar // wikana ing lahir batin // tiyang ngucap sumurupa kang den
ucap.
Orang yang
menyembah sebatas nama saja // Tidak memahami wujud aslinya // tetap mejadi
orang kopar // Orang yang melakukan sembah puji // hanya kepada sifat wujud
warna // menyembah berhala namanya // lahir batinnya tersesat // Pahamilah
lahir dan batin // Jika berkata, pahamilah apa yang diucapkan.
38.
Tegese Nabi
Muhammad // Rasulullah kang sejati // Muhammad makam kuburan // kubure rasa
sakalir // ragane janma iki // kubure rasa sadarum // muji badan priyangga //
amuji Muhammad Ngarbi // raganing wang wayangan dzating Pangeran.
Arti dari Nabi
Muhammad adalah // Rosulullah, sebenar-benarnya utusan Allah // Sedangkan
Muhammad sendiri sekarang (yang artinya atau kedudukannya sedang bukan
selaku nabi tapi orangnya) sekarang berada di dalam) kuburan (karena telah
meninggal dunia dan sekarang sudah dikubur dan di jamin jasad Nabi Tidak akan
rusak selamanya). // sedangkan kuburan dari semua rasa adalah //
raga manusia ini // sebagai tempat semua rasa yang ada // memuji badan sendiri
// sama saja memuji Muhammad Arab (ketika sedang berkedudukan bukan sedang
sebagai nabi )// Raga manusia adalah sebagai bayangan dzat Tuhan. (Hati-hati
memahami tentang hal ini ... jika masih bingung.. carilah ilmunya sampai ketemu
---- ).
39.
Wujud makam
isi rasa // Rasul rasa kang nusuli // rasa mangan manjing lesan // rasule
minggah suwargi // anglebur tanpa dadi // leleh luluh dadi endut // anyebut
Rasulullah // rupa ala ganda bacin // Nama Allah rupa ala ganda salah. (hati-2
jangan salah tafsir.Pen).
Wujud makam
yang berisi rasa // Rasul (Dalam ilmu kerata basa jawa ) adalah Rasa yang
keluar (nusuli) atau Rasul adalah yang mengeluarkan rasa // rasa dari makanan
mulutlah yang merasakan // Rasule (utusan) sebagai jalan naik ke surga //
menyatukan rasa akan menjadi // bercampur menjadi lumpur // menyebut rasululah
// (dalam ilmu kerata basa jawa bukan arti yang sebenarnya seperti arti menurut
Bahasa Arab ) akan bermakna // rupa jelek berbau bangkai // Nama Allah (
menurut keratabasa jawa ... bukan allah seperti bahasa Arab) // rupa ala (rupa
jelek berbau salah.
40,
Riningkes
sebutanira // Muhammad Rasulollahi // ingkang dihin iku badan // ping kalih
meruhi tedi // kaping tri weruh ngisi // rasa jro suwarganipun // wus wajibe
manusa // mangeran rasa lan tedi // dadya nebut Muhammad ya Rasulullah.
Diringkas akan
menjadi sebutan (Muhammad Rasulollahi ) tapi ini ditinjau dari kerata basa
(bukan ditinjau dari terjemahan bahasa Arab). // Yang pertama adalah badan //
yang kedua memahami apa yang dimakan // yang ke tiga memahami isi dari // rasa
.. itulah surganya orang makan // sudah seharusnya bahwa manusia // menuhankan
(mencari nikmat) dari rasa makanan // sehingga akan mengatakan Muhammad
Rasululohi. (Makna seperti tersebut di atas // bukan maka terjemahan dari
bahasa arab)
41.
Mulane Santri
Sembahyang // angucap rapal ushalli // angrawuhi asal ira // kang manjing
raganing janmi // asale roch ilapi // tegese Rasul puniku // inggih jatining
rasa // wijile rasa ngurip // mijil saking badaning Muhammad kekah . (Hati-2
jangan salah tafsir. pen).
Makanya ketika
santri akan melaksanakan sembahyang // mengucap rapal ushalli // yang bermakna
“ pahamilah darimana sesungguhnya diri berasal // diri yang masuk ke dalam raga
manusia // itu berasal dari ruh idlafi // arti Rasul adalah // Rasa sejati //
yang mengeluarkan segala rasa ketika hidup // itu berasal dari raga muhammad
yang menjadi panutan.
42.
Lantaran
ashadu Allah // mila pancen munggah Kaji // pinuji ngucap ngertiya // Ashadu
Allah ing nginggil // lamun mboten mangerti // sadat kang kasebut ngayun // tan
wikan kapir Islam // tan weruh purwane dadi // awit saking kang rapal
Ashadu Allah.
Dengan jalan
ashadu Allah // itu sebenar-benar naik haji // benar benar memahami siapakah
yang di Puji (disembah) // Ashadu Allah seperti telah disebutkan sebelumnya //
jika belum mengerti // Sahadat yang telah tersebut di depan // tidak akan
memahami apa yang di maksud Kafir Dalam Islam yang sesungguhnya // Tidak akan
bisa memahami diri berasal darimana dan akan ke mana // bahwa sesungguhnya
semuanya berasal dari yang disebut Ashadu Allah.
43.
Rehning
Kanjeng Rasulullah // punika bangsa Ngarabi // wikan gunggunge manusa // ing
donya muhun sadosin // warninipun mung kalih // estri akaliyan jalu // samya
medal sing makam // sami angsal Roh Ilapi // medal saking makaman badan kang
mlekah.
Karena Kanjeng
Rasulullah // itu berbangsa Arab // paham benar jumlah manusia // di dunia
jumlahnya hanya dua belas // jenisnya hanya dua // perempuan dan laki-laki //
semuanya keluar dari makam // yang mendapkan roh idlofi // keluar dari badan
yang merekah.
44.
Rehning Jeng
Muhammad Mekkah // pinaring Wahyu Hyag Widdi // bikak kawruh gaib samar //
sartane sagunging janmi // dadya ingkang pinuji // Muhammad nagari Ngarbun //
sebab kang meruhana tata Agami Islam // Muji Guru Muhammad kang lahir Mekkah.
Karena Kanjeng
Muhammad yang di Mekkah (bukan muhammad yang sebatas bahasa jawa ) // mendapat
anugerah wahyu dari Tuhan // sehingga diberi kemampuan membuka ilmu rahasia
yang amat rahasia // sehingga semua manusia // akan memuji // Muhammad
yang berasal dari Arab // Sebab lantaran dia sebagai jalan memahamkan syariat
Agama Islam // Mengagungkan Nabi Muhammad saw. yang lahir di Mekkah.
45.
Sarat mawas
keblatira // Ka’bahtullah Mekkah Nagri // niku tata kalahiran // eninge ing
dalem batin madep keblat pribadi // ing guwa SIRR ciptanipun // punika
Ka’bahtullah // apan ta raganing janmi // Ka;bahtullah prahu gaweyaning Allah.
Syariat dari
kiblat adalah // Ka’bahtullah di negara Arab // itu kiblat lahir //
Kiblat hakikat itu berada dalam batin sebagai arah kiblat tiap diri pribadi //
berada di dalam sirr tempat yang sangat rahasia // Itulah Ka’bahtulah secara
hakikat // itulah yang dimaksud bahwa raga manusia // adalah yang memuat
Ka’bahtullah ciptaan Allah swt.
46.
Gih betolah
gih makaman // ing raga hulun puniki // wujud guwa siring cipta // damelanira
Hyang Widdi // sun gawa wira wiri // manut siring cipta hulun // pundi
panggenan kula // niku tengah jagad mami // dados keblat raga hulun sipatullah.
Jadi tempat
baitullah yaitu // di dalam diriku ini // berujud dua sirnya cipta // Buatan
Tuhan // saya bawa ke mana-mana // mengikuti siring cipta saya // dimanapun
saya berasa // itulah pusat dunia // yang menjadi kiblat ada dalam raga saya
dari sifatulah.
47.
Pan kinarya
kanyatahan // sipat wujuding Hyang Widdi // pinarengaken kawula // mirsa
nganggo raga dadi // tan wikan andarbeni // tan weruh ing kabulipun // mirsa
hanganggo raga // sun tingali mata siji // kang kagungan wujud Allah tunggil
kula.
Yang menjadi
tempat // sifat wujud dari Tuhan // yang diberikan kepada hamba // di dalam
raga tempat nya // akan tetapi jika tidak memahami bahwa kiblat ada dalam diri
// maka sama saja tidak mengetahui jika hanya // dilihat dengan mata yang ada
di raga // saya lihat menggunakan mata satu (mata hati ) // yang memiliki
segala bentuk itu Allah berada Satu dengan saya.. (Satu bukan menyatu .. dekat
tak bersentuhan jauh tak terjangkau angan .. oran jawa bilang .. cedhak tanpa
senggolan – tebih tanpa wangenan ).
48.
Upami tiyang
ngeklasna // mengagungkan Muhammad Ngarbi // mawas ka’bahtullah Mekkah ,//
sembah sebutan dumugi // upami boten muji // Muhammad kang mijil Ngarbun //
tetep kopar kapiran // tan wikan purwane dadi // awit saking kang rapal wa
saduallah.
Jika orang itu
ikhlas // memuji Muhammad Arab // dengan melihat Ka’batullah Mekkah // sebutan
sembahnya akan sampai // jika tidak mengagungkan // Muhammad yang lahir di
Mekkah // tetap kopar kafir // sama saja tidak memahami asal diri // sebab yang
dimaksud dengan kalimat Wa as hadu Allah.
49.
Pami tiang
minggah wisma // priksa nganggo wisma dadi // sayektine ingkang gadah //narik
sewan saben ari // pituwas nganggo panti // yen tan bayar dipun ukum // siniya
sinikara // linebokaken ing buwi // mila wajib ngabekti kang karya badan.
Seperti orang
yang menempati rumah // tiap hari menyadari menggunakan rumah itu // pastilah
yang punya rumah // menarik sewa tiap hari // sebagai ganti biaya menempati
rumahnya // jika tidak mau membayar sewa akan dihukum // disiya-siya dan
disiksa // dimasukan ke dalam penjara // sehingga wajib berbakti kepada yang
membuat raga.
50.
Sinebut
sajroning kitab // dosane wong mring Hyang Widdi // kang durjana badanira
// bekta raga wira wiri // tan wikan asalneki // salamine jeneng pandung //
ambekta raga gelap // den anggo dipun kukuhi // wus wajibe sinikara dosanira.
Telah
disebutkan di dalam kitab // Dosa manusia kepada Tuhan // yang menyia-nyiakan
raganya // membawa raga ke mana-mana // tapi tidak memahami raga itu dari mana
// selamanya sesat // membawa raga yang bukan miliknya // dipergunakan
dan dikuasainya // sudah seharusnyalah disiksa.
51.
Sanese dosa
punika // dosa guru lan narpati // yayah rena garwa putra // miwah ta marang
sasami // dosa samining jalmi // angsal rekes nyuwun maklum // wong nganggo
raga gelap // dosa mring Allah pribadi // yekti kunjuk rekese nyuwun ngapura.
Selain dosa
tersebut // ada dosa kepada Guru dan penguasa // kedua orang tua dan
putra-putrinya // dan juga dosa terhadap sesama // dosa kepada sesama makhluk
// bisa diampuni dengan jalan memohon maaf // Orang yang menggunakan raga akan
tetapi tidak memahami raga itu dari mana // dosa kepada Allah secara pribadi //
itu harus bertobat mohon pengampunan.
52.
Mila wajibe
wong gesang // sayogya sami ngawruhi // dununge sarak sarengat / hakekat
tharekat yekti // makripat ping gangsaling // angandika Sanga Prabu //
artine kadya paran // kang aran sarengat iki // alon matur Kanjeng Sunan
Kalijaga.
Kewajiban
manusia hidup itu // sebaiknya bisa memahami // apa yang dimaksud Syarat,
Syari’at // Hakikat, Thariqat yang sesungguhnya // Ma’rifat yang kelimanya //
Berkatalah sang Raja // Seperti apakah artinya // yang disebut dengan Syari’at
// Sunan kalijaga menjelaskannya dengan pelan.
53.
Tegese nama
sarengat // yen sare jengat kan perji // tarekat taren mring garwa / hakekate
sami hapti // den hakken aben wadi // kedah rujuk estri jalu // makripat
ngertos wikan // sarak-sarak laki rabi // ngaben ala wus kaiden yayah rena.
Yang dimaksud
dengan Syarengat // (kerata basa) Jika tidur (meninggalkan urusan dunia ) maka
berdirilah kemaluannya atau rahasianya (Sirnya bangkit) // Tarekat mohon ijin
kepada Istri (Munajat kepada Tuhan) // Makripat mengetahui dan memahami //
syarat rukun nikah (syrarat menyatu dengan tuhan – menyatu bukan bermakna
menjadi satu – sulit kutemukan kalimat yang tepat ) // menyatukan sesuatu
rahasia telah mendapat restu orang tua (telah mendapat ijin Tuhan untuk
menyatukan rasa dengan rasa Tuhan – Bahasa lainnya – Manunggaling Kawula Gusti
– walau makna yang paling pas tidak bakalan bisa di urai dengan kata ).
54.
Ping kalih
idining Raja // ping tiga saksi sasami // nyuwun idi Bapa biyang // jalaranira
dumadi // nyuwun idi narpati // wewakilira Hyang Agung // saksi dateng sasama
// kahuningana sasami // estri iki dadi betolah kawula.
Yang kedua
ijin penguasa // yang ketiga saksi dari sesamamnya // Mohon restu orang tua //
yang melalui dia kau menjadi ada // mohon ijin penguasa // sebagai wakil Tuhan
// adanya saksi dari sesama agar pernikahan itu di ketahui masyarakat // Isteri
itu menjadi Biatullah makhluk. .
55.
Gen salulut
kawula // shalat dateng Mekkah Kaji // wujudira wujud ana // ananya ana pribadi
// boten Sahadat malih // kang boten mawi Ashadu // pisahe raga sukma // punika
adat Sarani // gih punika sahadat tanpa lawanan.
Tempat mangedu
kasih // ibarat shalat dan pergi Haji // wujud diri wujud yang ada // dan
adanya ada dengan sendirinya // jika sudah di tingkat ini bukan syahadat lagi
namanya // syahadat yang sudah tidak mengucapkan Ashadu (Syahadt Hakikat) //
memisahkan raga dan sukma itu // adat Nasarah (Kristen) // itulah syahadat
tanpa ada lawannya.
56.
Sampun bekta
sampun nilar // jazat paduka kang pasthi // mung ngaturna ing titipan // den
aturna kang nitipi // suka Sri Narapati // duk miyarsa aturipun // Jeng Sunan
Kalijaga // wus gingsir ingkang panggalih // karsa Islam anbut asmaning
Allah.
Jangan di bawa
jangan ditinggal // jazad tiap diri kembalikan denga seharsunya // kembalikan
bahwa itu hanya titipan // dikembalikan kepada yang menitipkan // Senang lah
Sang Raja // setelah mendengar penjelasan // Jeng Sunan Kalijaga // telah
pahamlah dalam pikirannya // sehinga mau memeluk Agama Islam dengan menyebut
Asma Allah.
57.
Sukeng Tyas
Sang Brawijaya // mesem angandika aris // nyata bener Sahit gampang // ngelmune
wong Islam iki // becik ing dina mangkin // ingsun manjing Sarak Rasul //
anebut Nama Allah // Pangeran ingkang sajati // saksenana iki Sahit
Islamingwang.
Senanglah hati
Sang Brawijaya // sambil tersenyum berkata // Wahai Sahit memang benar-benar
mudah // ilmu dari orang Islam ini // baiklah sekarang juga // saya memeluk
sarak Rasul // menyebut Asma Allah // Tuhan yang sejati // Kau saksikan wahai
Sahit atas Islam ku ini.
58.
Suna Kali tur
andika // Sang Prabu ngandika malih // yen wus Islam jenengingwang //
ingsun kundur Majapahit // pasrah kaprabon mami // si Patah sun junjung Ratu //
mengku rat Tanah Jawa // genteni kaprabon mami // sun mandita aneng gunung
sesingitan.
Sunan Kali
berkata, akulah saksinya // Sang Prabu kemudian berkata // Setelah saya memeluk
Agama Islam // Saya akan pulang ke Majapahit // akan menyerahkan karajaan ku //
kepada si Patah yang akan saya angkat menjadi Raja // menguasai seluruh Tanah
Jawa // menggantikan Tahta saya // saya akan bertafakur di gunung mengasingkan
diri.
59.
Sunan Kali
aturira // langkung jumurung Sang Haji // kados karsa padukendra // mendah
sukanering galih // putranta Sang Dipati // paduka sinunggi ngembun // jinimat
pinusaka // pinuji sinungggi –sunggi // wong sapraja tur tunggil agamanira.
Sunan Kali
mengatakan // saya mendukung langkah Sang Raja // seperti yang engkau kehendaki
itu // alangkah bahagianya hati // Putra handa Adipati // Engkau akan di
angkat di atas kepala // dijadikan pusaka // diagung-agungkan // oleh rakyat di
seluruh negeri yang Agamanya sudah sama seperti Agama yang Tuan anut.
60.
Suna Kali
angrerepa // ature arum amanis // kewes luwes tur memelas // utamanira Sang
Haji // terusa lahir batin // pratanda Islam satuhu // sampun batin kewala //
lahire mawiya saksi // paras rikma agundul kakos kawula.
Sunan kali
merayu // berkata dengan indah dan manis // indah rapih dan kata-kata yang
membangkitkan rasa iba // Dalam tata lahir harus ada bukti // rambut harus
dipotong pendek seperti saya, kata Suna Kali.
61.
Ngandika Sri
Brawijaya // iya parasana mami // melu gundul kaya sira // Sunan Kali ngasta
gunting // sigra dipun parasi // mustakane Sanga Prabu // kang rikma
datan pasah // umatur Jeng Sunan Kali // Kados pundi akarsa paduka Sang Nata.
Berkatalah Sri
Brawijaya // silahkan kau cukur saya // ikut gundul seperti dirimu // Sunan
Kali mengambil gunting // segera memotong rambut // yang ada di kepala Sang
Raja // akan tetapi rambutnya tidak bisa dipotong // maka berkatalah Sunan Kali
// Bagaimanakah kehendak engkau wahai Sang Raja.
62.
Karsa dawah
lelamisan // tan terus prapta ing batin // ing batos wus karsa Islam // ing
lahir maksih ngekahi // Agami kang rumiyin // punika pratandanipun //
dene rikma paduka // datan pasah kula gunting // Islam batos namane Islam
Bidalah.
Mengapa hanya
sebatas kata manis di mulut // tidak terus ke dalam hati // dalam batin telah
memeluk Islam // dalam tata lahir masih memeluk // Agama terdahulu // inilah
buktinya // dimana rambut paduka // tidak bisa saya gunting // Islam dalam hati
saja itu bernama Islam Bidalah.
63.
Islame batos
kewala // lahire maksih ngekahi // manawi lahire Islam // batosipun taksih
kapir // kapir ngidaban nami // utamenipun Sang Prabu // lahir batos Islama //
dados mawi netra siji // angadika Maha Prabu Brawijaya.
Islam hanya
dalam hati // lahirnya menganut lain Agama // apabila lahirnya Islam dan
hatinya kafir // Kafir ngidaban namanya // yang paling baik wahai Sang Raja //
lahir dan batinnya Islam // itulah makna menggunakan mata satu // Maka
berkatalah Maha Prabu Brawijaya.
64.
Lah Sahit sira
tutugna // amarsi marang mami // sun wus Islam terusing tyas // ingsun masuk
sarak Nabi // nulya ginunting malih // gya pasah rikma Sang Prabu // wus
waradin sadaya // ing parasira Sang Aji // angandika mring dasih aneng
pungkuran.
Wahai Sahit;
selessaikanlah // mencukur rambutku // saya telah Islam sampai kedalam jiwa //
saya memeluk Syariat Nabi // kemudian dipotong kembali // terpotonglah rambut
sang prabu // telah selesasi semuanya // sang Raja dalam bercukur //
berkatalah kepada abdinya di belakang.
BERSAMBUNG KE
JILID : 2
http://bukuj.blogspot.com/2014/01/terjemahan-bebas-dan-naskah-asli.html
Diposkan
oleh pujo prayitno di
Kamis, Januari 16, 2014
Turut
berduka cita atas bencana hancurnya kampung nelayan di Jakarta. Bencana itu,
ada 3 penyebabnya : 1. Bencana karena serangan, ketika pasukan sebagai
penghancurnya. 2. Bencana karena wabah penyakit. 3. Bencana karena Alam. Dan
ketika Falsafah kemanusian telah tercabut dari kaum itu, maka Ketika terjadi
bencana penghancuran oleh pasukan, justru korban yang melolong menjerit hingga
anak kecil kebungungan, bahkan terpaksa tinggal di perahu pun dengan teganya
mereka itu justru di bully..
Turut berduka cita atas bencana hancurnya kampung nelayan di
Jakarta.
Bencana itu, ada 3 penyebabnya :
1. Bencana karena serangan, ketika pasukan sebagai penghancurnya.
2. Bencana karena wabah penyakit.
3. Bencana karena Alam.
Tidak perlu mengirim ribuan pasukan untuk menghancurkan suatu kaum.
Cakup hancurkan nilai falsafahnya.
Dan ketika Falsafah kemanusian telah tercabut dari kaum itu, maka
Ketika terjadi bencana penghancuran oleh pasukan, justru korban yang melolong menjerit hingga anak kecil kebungungan, bahkan terpaksa tinggal di perahu pun dengan teganya mereka itu justru di bully..
<> Wahai Engkau Yang Maha Kuat, kepada siapa lagi yang lemah ini memohon pertolongan selain kepada Engkau"
<.> Semoga, para korban bencana, mendapat Anugerah=Nya, dengan anugerah semakin tebalnya Iman di dada, sehingga sabar dan ikhlas meneduhkan jiwanya.
Aamiinnn.
Bencana itu, ada 3 penyebabnya :
1. Bencana karena serangan, ketika pasukan sebagai penghancurnya.
2. Bencana karena wabah penyakit.
3. Bencana karena Alam.
Tidak perlu mengirim ribuan pasukan untuk menghancurkan suatu kaum.
Cakup hancurkan nilai falsafahnya.
Dan ketika Falsafah kemanusian telah tercabut dari kaum itu, maka
Ketika terjadi bencana penghancuran oleh pasukan, justru korban yang melolong menjerit hingga anak kecil kebungungan, bahkan terpaksa tinggal di perahu pun dengan teganya mereka itu justru di bully..
<> Wahai Engkau Yang Maha Kuat, kepada siapa lagi yang lemah ini memohon pertolongan selain kepada Engkau"
<.> Semoga, para korban bencana, mendapat Anugerah=Nya, dengan anugerah semakin tebalnya Iman di dada, sehingga sabar dan ikhlas meneduhkan jiwanya.
Aamiinnn.
Kamis,
23 Januari 2014
Buku yang
sangat di benci oleh kalangan TERTENTU
Walau
pembuka cerita di Tembang No. 12..
Di awali
dengan kalimat Basmalah ...
Tapi bahasa
Sastra Jawa ..
Penuh makna
di balik kata ...
Jika bisa menjaring ILMU
dibalik Sastra..
Jika bisa mengurai cahaya
di balik kata
Masukilah
kandungan sastra ini..
Jika tidak
.. jangan coba-coba..!!!!
Akan
tersesat.. oleh bahasa Sastra JAWA.
Darmagandul;
bukan sastra sembarang sastra..
jika salah
cerna – sesat yang didapat.
HATI HATILAH!! MENELAAH KARYA SASTRA. “JAWA”
INGAT ..
INI karya Sastra --- bukan sejarah.. sebatas menambah wawasan..
“Aja mung
Ngaji Syariat bloko – jangan cuma Mengaji Syariat apa adanya”
“Pujo
Prayitno / Pen Sanjaya”
TERJEMAHAN BEBAS DAN NASKAH ASLI DARMAGANDUL
JILID II
Penerbit :
“Keluarga Soebarno” – Solo
Tanpa – Tahun.
Penyadur
dan penterjemah: Pujo Prayitno
DAFTAR
ISI
1.
Pangkur (Kisah perpisahan antara Sabda palon
dengan Prabu Brawijaya. Kisah asal mula Nama Banyu wangi. Kisah perjalanan
Prabu Brawijaya bersama Sunan Kali dan kisah berubahnya air yang
berbau wangi menjadi banger setelah empat hari ).
2. Hasmaradana (Kisah
meninggalnya Prabu Brawijaya, serta wasiatnya kepada Sunan Kali).
3. Dhandhanggula (Membuka
Rahasia (Tafsir) di balik cerita yang termuat di dalam Serat Babat tentang
Hancurnya Majapahit)
4. Mijil (Sunan Kali
menjaga agar cerita leluhur Jawa tidak punah. Beliau mencipta wayang. Kisah
perjalanan Sayid Anwar Cucu nabi Adam ke Tanah Jawa dan diambil menantu raja
Jin Tanah Jawa serta Menjadi Raja.
5. Kinanthi (Yang
dimaksud Agama Buda Budi adalah agama di Tingkat Ma’rifat).
6. Megatruh (Perbedaan
jenis huruf di dunia).
7. Pucung (Nasihat
Kalamwadi kepada Isterinya, tentang sikap seorang istri kepada suaminya)
8. Asmaradana (Nasihat
Kalamwadi kepada Isterinya, tentang, pedoman kebahagian dalam berumah tangga).
9. Kinanti (Kalam wadi menjelsakan lokasi
tempat peninggan Prabu Jayabaya Raja Kediri).
Edit Pujo Prayitno
i. PANGKUR
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Sabdapalon
Genggong naya // karopisan ingsun tuturi // awit dina iki ingsun tinggal Agama
Buda // Ingsun masuk Agama Rasulullahu // anyebut Asmaning Allah // Pangeran
ingkang Sajati.
Sabdopalon
Nayagenggong // kalian berdua saya perintahkan // sejak saat ini saya
meninggalkan Agama Buda // saya memeluk Agama Rasulullah // menyebut Asma Allah
// Tuhang yang sesungguhnya.
2.
Kang dadya
karsa manira // karo pisan sira sun ajak ganti Agama // Rasulullahu // tinggal
Agama Buda // Sabdapalon Nayagenggong matur sendu // Kula Niki Ratu Danyang //
kang rumeksa Tanah Jawi.
Yang menjadi
harapanku // kalian berdua saya ajak berganti Agama // Rasulullah //
meninggalkan Agama Budha // Dengan sedih Sabdapalon Nayagenggong berkata //
Saya ini ratunya Danyang // yang menjaga Tanah Jawa.
3.
Sinten kang
dadya Narendra // inggih badhe kula among ing wuri // wus karsane Dewa Agung //
punika karya kula// awit saking luhur paduka rumuhun // Sang Resi Manumayasa //
Sakutrem lan Bambang Sakri.
Siapapun yang
menjadi Raja // akan saya jaga di belakang // sudah menjadi kehendak Dewa Agung
// itulah tugas saya // sejak dari leluhur paduka di masa lalu // Sang Resi
Manumayasa // Sekutrem dan Bambang Sakri.
4.
Run-tumurun
prapteng mangkya // kula among pikukuh lajer Jawi // lamun nuju tilem ingsun //
lajeng kesah perangan // perangira rebutan sami sadulur // kang nakal aneda
jalma // bangsane ingkang binukti.
Beranak cucu
sampai dengan sekarang // saya jaga semua raja jawa // ketika mereka sedang
tidur // kemudian saya pergi berpisah // berpisah sambil berebut dengan saudara
saya yang // nakal makan sesamanya // jenisnya yang jahat.
5.
Prapteng
mangke umur kula // wonten macapadha rong ewu warsi // langkung tigangatus //
amomong lajer Jawa // boten wonten kang owah Agamanipun // netepi awit sapisan
// ngleluri Agama Budi.
Umurku sampai
sekarang // hidup di dunia sudah duaribu tigaratus tahun lebih // menjaga
raja tanah jawa // tidak ada satupun yang berganti Hukum tatanegara // sejak
awalnya tetap // memeluk Agama Budi (Hakikat).
6.
Amung paduka
punika // karsa pisah pikukuh lajer Jawi // Jawi ngerti tegesipun // narimah
nama Jawan // ribiriban kawruh remen nunut-nunut // mung mamrih kaya kapiran //
kamuksan Paduka benjing.
Hanya paduka
sekaranglah // yang akan berpisah dengan yang dianut Raja Jawa // Jawi itu
artinya memahami // sedangkan kata Jawan adalah // bertukar ilmu suka
ikut-ikutan // hanya menginginkan kekayaan sehinga tidak kau urus // mati
sempurna dengan tidak meninggal jazad dirimu besok.
7.
Sabdanira Wiku
Tama // sinauran getering Bumi // sinemonan ing Dewa gung // Sang Prabu
Brawijaya // dene karsa lumebet Agama Rasul // rerupane ngalam donya //
tinambahan rupa katri.
Ucapan orang
sakti tersebu// dijawab oleh bergetarnya bumi // sebagai perlambang dari Dewa
agung // karena Prabu Brawijaya // mau memeluk Agama Rasulullah // sebutan
tanaman di dunia // bertambah menjadi tiga nama.
8.
Siji aran
suket jawan // pari randa nunut lan pari mriji // ngandikanira Sang Prabu //
kapriye Palon Sabda // Gengong Naya kang dadi kekencenganmu // apa gelem apa
ora // atinggal Agama Budi.
Yang nomer
satu disebut Rumput Jawan // Padi Randa nunut dan padi mriji // berktalah sang
raja // bagaimanakah sabdapalon // Nayagenggong yang menjadi tekadmu // apakah
mau atau tidak // meninggalkan Agama Budi.
9.
Anebut Nabi
Muhammad // Rasulullah panunggul Para Nabi // lawan nebut Asmanipun // Allah
sabenerira // Sabdapalon Nayagenggong matur sendu // paduka masuk pribadya //
kawula boya kadugi.
Menyebut Nabi
Muhammad // Rasulullah pemimpin para Nabi // dan juga menyebut asma // Allah
dengan sebenar-benarnya // Sabda palon Nayagenggong dengan sedih berkata //
Silahkah paduka masuk sendirian // saya sangat tidak suka.
10.
Tan tahan ulun
tumingal // adat siya kadi wong tanah ngarbi // siya kukum sebutipun // lan
siya dateng raga // ngelmunira amungel serat sadarum // manawi karya kapiran //
kamuksan kawula benjing.
Sungguh!! Saya
sangat tidak tahan // Budaya kekerasan seperti orang Arab // merusak hukum
namanya // dan juga merusak raga // Ilmunya hanya sebatas tulisan saja // jika
diterapkan dalam berkarya tidak ada buktinya // kamuksan saya besok (meninggal
hilang bersama raganya).
11.
Dene kang
mastani mulya // Sarak Rasul punika tiyang ngarbi // lan tiyang Islam sadarum
// gugu badan priyangga // menggah ulun mastani tiyang boten urus // gunggung
becika kang angga // ngapesken badan pribadi.
Bahwa yang
mengatakan kemuliaan Sarak Rasul itu adalah orang Arab // dan juga semua orang
Islam // percaya pada pendapat sendiri // menurut pribadi saya adalah orang
yang yang tidak urus // hanya mengurusi kebutuhan raganya saja // yang
akan berakibat mencelakan dirinya sendiri.
12.
Kula sreg
Agama lama // nyebut Jagad Dewa Gung kang Linuwih // jagad niku raganipun //
dewa budi lan hawa // wus wajibe manusa iku amanut // elinge budi karepan//
dados mboten ngapirani.
Saya lebih
cocok cara yang digunakan oleh Agama yang lama // menyebut Jaga Dwa Gung Yang
Maha Lebih // Jagad itu adalah raganya // Dewa adalah Budi Hawa nafsu // sudah
sewajarnya bahwa manusia itu akan mengikuti // kehendak yang muncul dari Budi
bukan dari hawa nafsu // sehingga tidak menyesatkan.
13.
Yen nebut Nabi
Muhammad // Rasulullah punika kang niwasi // Muhammad makaman kubur // kubure
iya salah // mung mangeran rasa rasa wadah entut // mung nedha eca kewala
// tan wrin bilaine wuri.
Jika hanya
sebatas mengucapkan nama Nabi Muhammad // Rasulullah saja, itu bisa
menyesatkan // Muhammmad sekarang berada di dalam makam disebut alam kubur //
jika itu yang dimaksud maka menjadi salah // karena hanya menuhankan rasa akan
tetapi rasa yang sebagai tempat kentut, bukan rasa sejati // karena hanya
sebatas makan enak saja // tidak mengetahui akibat celaka di belakang hari.
14.
Mila Nama
Muhammadan // mung sabadan kubur rasa sakalir // Rohilapi asalipun // lapi niku
lapisan // yen wus risak wangsul asal usulipun // wangsul Prabu Brawijaya //
dumunung wonten ing pundi.
Makanya jika
hanya sebatas nama Muhammadan // hanyalah badan tempatnya semua rasa // Ruh
idlafi asalnya // lapi itu alah lapisan // jika telah rusak akan kembali
kepada asal-usulnay semula // Sedangkan Prabu Brawijaya // sesungguhnya berada
di mana.
15.
Adam muntel
marang ing Hyang // nama Brahim kabrahimipun ngurip // mangsa nemu rasa
tuhu // nir angining kang rasa // ujud badan ingaranan Muhammadun // Muhammad
kuburing rasa // iya rasaning kang budi.
Adam (kekal)
membungkus sifat Tuhan // sedangkan nama Ibrahim .. adalah sifat keberhalaan
dalam kehidupan // Tidak akan bisa menemukan rasa sejati // gambaran angin dari
rasa // adalah berujud Raga yang diberinama Muhammadun // Muhammad sebagai
tempat menyimpan segala rasa yang ada // yaitu rasa dari Budi.
16.
Dzat Sifat
miwah kan rasa // yen pinundut marang Hyang Maha Luwih // raga paduka puniku //
kalawan jasatira // wujud dadi badane dewe puniku // lantaran angadu rasa //
Bapa Biyung ora kardi.
Dzat Sifat dan
juga rasa // jika telah diambil oleh Tuhan Yang Maha segalanya // Raga manusia
// dan juga jasatnya // menyatu menjadi tubuh kita ini // adalah karena
beradunya rasa // rasa dari Ayah bunda ,, itu tidak pernah diingat.
17.
Milane ing
ngaran anak // ana yekti ujudira pribadi // sabab samar dadosipun // kawula tan
anduga // ing karsane Lata Walhujwa anglimput // wujud-wujude pribadya //
risak-risake pribadi.
Makanya
disebut anak // anak itu adalah ujud diri // sebab terjadi dari yang samar //
kebanyak tidak ada yang mengira // atas kehendak lata walhujwa yang menutupnya
// wujud adalah wujud pribadi // rusak itu rusak pribadi.
18.
Dat sipate
myang kang rasa // yen pinundut ing Hyang kang Maha tinggi // mung kantun
pangraosipun // ingkang paduka bekta // dateng pundi gen paduka arsa nglimput
// napa dados tuan tanah // dadya demit tengga siti.
Dzat Sifat dan
juga rasa // jika telah diabil oleh Tuhan Yang Maha Tinggi // yang tertinggal
hanya perasaan saja // yang kau bawa // kemanakah kau akan bersembuyi //
apakah akan menjadi tuan tanah // akan menjadi demit penunggu tanah.
19.
Dene langkung
denya nistha // anenggani dagangan daging bacin // kang wus luluh dadi lebu //
tetep yen tanpa guna // saking kirang budi nalar kawruh hipun // duk
gesange dereng neda // woh wit kawruh sarta budi.
Itu sangatlah
hina // menunggui daging basi // yang telah hancur menjadi debu // itu sangat
tidak berguna // disebabkan karena kurangnya Budi nalar dan ilmunya // karena
ketika hidup belum pernah mempelajari // buah dari ilmu dan budi.
20.
Nrimah pejah
dados setan // tengga siti ngajeng ajeng wong ngirim // sajen slametan
lan kutug // tilar mujijat kapat // weh kiyanat anak putu kang kapungkur
// tyang pejah boten kabawah // mring Ratu prakara lahir .
Jika meninggal
akan menjadi setan // penunggu tanah mengharap-harap ada oang yang berkirim //
sajen selamatan dan dupa // meninggalkan mukjijat empat // memberi hianat
menyesatkan anak cucunya di belakang hari //
21.
Mung Allah
kang ambawahana // pan wus adat sukma pisah lan budi // lamun sae tekadipun //
ginanjar ing kamulyan // lamun awon mung nampani siksanipun / suwawi paduka
jawab // ing atur kawula niki.
Hanya Allah
yang menguasainya // karena suda adatnya sukma berpisah dengan budi // jika
bagus tekad niatnya // mandapat pahala kemuliaan // jika manusia hanya
menerima siksa // segera engkau jawab // seperti penjelasan saya ini.
22.
Angandika Sri
Narendra // Brawijaya mulih marang asali // asal enur bali enur // Ki
Sabdapalon ngucap // gih puniku kawruh wong kapir pengung // ical siji wangsul
tunggal // napa ndonya sangga runggi.
Berkatalah
sang Raja // Brawijaya akan pulang ke asalnya // asal cahaya kembali ke cahaya
// Berkatalah Sabdapalon // itulah ilmunya orang kafir yang bodoh // hilang
satu kembali kepada satu // apakah di dunia hanya mencari untung dan rugi.
23.
Tan darbe
kawruh kelingan // dereng neda woh kawruh lawan budi // asal siji mantuk
satu // dede mati utama // kang utama mantuk satus telung puluh // satus telung
puluh telas // luluh pulih wujud malih.
Tidak
mempunyai ilmu ingat (kesadaran diri) // itu karena belum mendapatkan buah dari
ilmu dan buah dari budi // berasal dari satu kembali menajdi satu // itu bukan
mati utama // yang benar itu kembali menjadi seratus tigapuluh // seratus tiga
puluh habis // hancur dan kembali berujud seperti semula.
24.
Langgeng risak
wujudira // ingkang risak asal sing rohilapi // ingkang langgeng wujudipun //
pisah raga lan sukma // gih sahadat punika inggih ashadu // gantos rohlapi
lapisan // sasi surup andadri.
Yang tetap
rusak itu raganya // yang bisa rusak itu berasal dari roh idlafi // yang
langgeng wujudnya // pisah raga dengan sukma // itulah sahadat ya itulah ashadu
// sedangkan roh idlafi itu hanya lapisannya saja // waktunya tenggelam tapi
terbit.
25.
Dari iku dari
mana // witira wit wujut dadi sujanmi // surup sumurupa iku // sampun obah sing
prenah // jroning guwa tan sumurup wujudipun // nanging ta
sajatinira // jro guwa sir cipta mami.
Asal itu
darimana // Pohon kejadianmu adalah pohon wujud menjadi manusia // memahami dan
pahamilah itu // jangan gerak tapi menujulah pada tempatnya // di dalam gua
tidak akan terlihat ujudnya // namun sesungguhnya // di dalam gua sir rahasia
cipta ku.
26.
Angandika Sri
Narendra // ciptaningsun nitis mring janma luwih // Ki Sabdapalon anjumbul //
jalma niki kasasar // lir mladean tumempel ing wreksa agung // tan bawa tancep
priyangga // kamuktene trima nempel.
Berkatalah
sang raja // ciptaku menitis kepada manusia sakti // Sabdopalon terperanjat //
ini omongan manusia tersesat // mirip benalu yang menempel di pohon besar //
tidak bisa berdiri sendiri // kesenangan hidupnya hanya menempel.
27.
Dede pati kang
utama // pan punika inggih patine nisthip // remen nempel nunut-nunut // boya
bawa pribadya // yen tinundung kaleyangan tanpa dunung // dados setan
berkasakan // nempeli janma kang sanis.
Itu bukan mati
yang utama // dan juga mati tersebut mati yang salah // senang menempel dan
nunut-nunut // tidak bisa mandiri // jika diusir mengembara tidak punya tempat
// akan menjadi setan breksakan // akan merasuki manusia yang sasar.
28.
Angandika Sri
Narendra // asal suwung mulih mring asal sepi // kala ingsun durung wujud //
tan ana apa-apa // ingsun manggon ing kono sakanthanipun // niku patine wong
kalap // nglamong iman tanpa ngelmi.
Berkatalah sang
Raja // asal kosong kembali sepi // seperti ketiku aku belum ada // tidak ada
apa-apa // saya akan bertempat tinggal di sana selamanya // itu matinya
orang di bawa oleh setan // melayang iman tanpa ilmu.
29.
Duk gesange
kadya kewan .. minum mangan tan liya miwah guling// melik rasa lemu bagus //
sugih daging dagangan // wus narima ngambus buki nginum uyuh //
pejah tanpa kramat // sira urip jroning pati.
Ketika hidup
kembali akan menjadi hewan // hanya mencari makan minum dan tidur // hanya
menginginkan badan gemuk dan bagus // kaya harta dagangan // menerima mencium
kotoran minum kencing // mati tidak berwibawa // kau hidup dalam
kematian.
30.
Angandika Sri
Narendra // sun nunggoni makaman kubur mami // kang wus luluh awor lebu // Ki
Sabdopalon nyentak // gih puniku patinipun tiyang cubluk / dados setan neng
kuburan // neggani dagangan daging.
Berkatalah
sang raja // saya tunggui makam tempat dimana saya dikubur// yang telah hancur
menjadi debu // Ki Sabdapalon menggertak // itulah matinya orang bodoh // akan
menjadi setan penunggu kuburan // menjaga dagangan daging.
31.
Kang wus luluh
awor kisma // tanpa wekas niku patining santri // saking cupetireng kawruh //
kalingan la ilollah// boya yektos ganti rohilapi baru // tiyang bodho
tegesira // ngandika malih Sang Haji.
Yang yelah
hancur bercampur tanah // tanpa pesan itu matinya santri // disebabkan
karena sangat sedikit ilmunya // tertutup oleh La ila ha illallah //
percaya akan ganti rohilapi yang baru // itu orang bodoh // berkata lagi sang
raja.
32.
Sun Muksa
saraganingwang // Sabdapalon gumujeng anyekikik// yen tiyang Agami Rasul //
tiyang tan saget muksa // tan kuwawi ngringkes nguntal raganipun // alema
kakehan tela // kawratan dagangan daging.
Saya muksa
bersama ragaku // Sabdapalon tertawa sinis // bila orang beragama Rasul //
adalah orang yang tidak bisa moksa // tidak akan bisa meringkas menelan raganya
sendiri // terlalu gemuk kebanyakan makan ketela // Kebanyakan membawa dagangan
daging.
33.
Tiyang seda
namung cilaka // nama pejah tan nilar layon jisim // boten sadar
tegesipun // tan pejah boten gesang // boten saget dados rohilapi baru //
tiyang bodo tegesira // mung dados gunungan demit.
Celaka jika
meninggal dengan cara demikian // yang namanya meninggal tidak meninggalkan
mayat dan jisim // artinya itu tidak sadar // tidak mati dan tidak hidup //
tidak bisa menjadi ruh ilapi baru // itu artinya orang yang bodoh // hanya akan
menjadi kepalanya demit.
34.
Sun tan nyipta
apa-apa // nora niyat ihtiaar nampik milih // luwih karsane Hyang Agung //
mentala gone gesang // Sabda palon umatur sarwi gumuyu // paduka atilar //
sipat supe yen tinitah luwih.
Saya tidak
akan mencipta apa-apa // tidak usaha dan apapun akan saya terima // terserah
apa kehendak Tuhan // Tega ketika hidup // Sabdapalon berkata sambil tertawa //
kau lupa bahwa kau dicipta dengan diberi kelebihan sifat.
35.
Tilar wajibe
manusa // wis winenang ikhtiar nampik milih // yen wus limrah dadi watu //
sirna saung pirembag // tanpa damel pados ngelmu pados kawruh // amrih kamulyaning
seda // ngandika malih Sang Haji.
Itu sama saja
meninggalkan kewajiban sebagai manusia // manusia diperboleh usaha, menolak dan
memilih // jika telah menerima bersikap seperti batu // habislah sudah
kata-kata // tidak berguna mencari ilmu dan kawruh // ilmu yang bertujuan
mencari keselatan ketika meninggal dunia // berkata lagi sang raja.
36.
Cipteng sun
mulih mring kerat // munggah swarga seba Hyang Maha Tinggi // kerat lan suwarga
niku // sampun paduka bekta // wus mupakat suwarga sebutipun // nenggih jagate
manusa // mengku alam sahir kahir.
Keinginanku
akan kembali ke akhirat // masuk surga menghadap Tuhan Yang Maha Tinggi //
Akhirat dan surga sudah kau bawa, kata sabdopalon // sudah pas disebut surga //
itulah dunia manusia // yang menguasai alam sahir kahir (besar dan kecil).
37.
Duk tapel Adam
wus pepak // kerat nraka suwarga ngaras kursi // kerat pundi kang jinujug //
menek tambah kesasar // enggen kerat amelarat tegesipun // saenggen-enggen
ngakerat // yen kenging kula singkiri.
Apa yang yang
ada di Adam itu sudah lengkap // Akhirat, neraka, surga, Arasy // akhirat
yang mana yang kau tuju // memanjat malah tambah tersesat // yang namanya
akhirat itu melarat namanya // ada di mana-mana akhirat itu // jika boleh
justru akan saya hindari.
38.
Mantuk datang
kamlaratan // tuwin manggih adilira kumpeni // lepat-lepat jawabipun // yekti
tampi hukuman // ngangge rante nyanggi kerja paksa iku // melarat tan tampi
bayar // mlebet kerat nungsa srengi.
Menuju kepada
kemelaratan // bertemu dengan keadilan Belanda // jika salah menjawabnya //
pasti akan dipenjara // di belenggu rante disuruh kerja paksa // melarat tidak
menerima bayaran // masuk akhirat Nusa Srenggi.
39.
Tegese srenggi
manusa // gawe sregep tan kena glirah-glirih // nyenggi awrat damelipun // yen
kenging singkiriana // anak putu aja-na nglakoni pungkur // wong cilaka aneng
donya // suwargane mupangati.
Maksudnya
Srenggi adalah manusia yang // semangat hidupnya dan tidak bolah bermalasan //
menyunggi berat kerjanya // jika bisa hindarilah // anak putu jangan sampai
mengalami nasib seperti itu // itu orang celaka hidup di dunia // sorganya
sangat bermanfaat.
40.
Tampa ulam
sambel jangan // niku kerat kang boten tata lahir // menggah kerat tiyang
lampus // langkung saking punika // melarate inggih sa enggen-genipun // paduka
kondur mring kerat // kalawan minggah suwargi //
Menerima lauk
pauk, sambal dan sayur // itulah akhirat dalam tata laihir // sedangkan akhirat
bagi orang mati itu // lebih dari itu // melaratnya termasuk juga dengan tempatnya
// Paduka pulang ke akhirat // dan naik ke surga.
41.
Tetep Paduka
kasasar // tiyang cilka munggah dateng suwargi // kebo sapi jaran wedus //niku
munggah suwarga // den momoti tinedanan sarwi mlaku // nrima nama Raja Kaya //
turu trima kemul siti.
Tetap engkan
tersesat // orang celakalah yang naik ke surga // kerbau sapi kuda dan kambing
// itu namanya naik ke surga // dinaiki, makan sambil berjalan // itulah yang
disebut Raja Kaya // tidur hanya di atas tanah.
42.
Gesang nyanggi
karya peksa // tanpa dosa den pragat dipun bukti // kula wikan kaget jumbul //
lare wonten pangonan // nyepeng gebug kula taken karyanipun // gebage kinarya
mala // anggebagi raja sugih.
Dalam hidupnya
harus menjalankan kerja paksa // tanpa dosa di pragat di pukuli // saya mengetahuinya
meloncat kaget // anak penggembala // memegang pemukul, ketika saya
tanyakan untuk apa // pemukulnya untuk memukul // memukuli raja kaya.
43.
Kang sami
minggah suwarga // suwargane satemah den krikiti // niku paduka den emut //
sampun minggah suwarga // bok manawi bejing seda njalma lembu // cilaka gesang
neng donya // lan sampun sowan Hyang Widdi.
Yang telah
naik ke surga // akhirnya surganya di gigit-gigit // ingatlah seperti itulah
kejadiannya // jangan sampai naik surga // barang kali ketika mati akan berubah
menjadi lembu // celakalah hidup di dunia // dan jangan menghadap Tuhan.
44.
Tanpa
haran gen tan prenah // tanpa wujud gatra lan tanpa warni // namung asma
wujudipun // wonten donya akerat // gih punika paduka ingkang kalimput // dereng
tepang dereng wikan // daleme Hyang Maha tinggi.
Yang tanpa
sebutan, tempat dan arah // tanpa wujud nyata dan tanpa warna // hanya Asma
ujudnya // di dunia dan akhirat // itu sama saja kau tertipu // karena belum
kenal dan belum mengetahui // Tempatnya Hyang Maha Tinggi.
45.
Tepange mung
tepang cahya // lire cahyanira surya lan sasi // patemune cahya murub // tepang
dados satunggal // boten pisah lawan inggih boten kumpul // tebih datanpa
wangenan // celak tan panggih pinanggih.
Kenalnya hanya
sebatas kenal cahaya // artinya cahaya matahari dan bulan // pertemuanya
menjadi cahaya yang menyala // kenal menjadi satu // tidak terpisah juga tidak
menyatu // Jauh tidak bisa dijangkau pikiran // dekat tapi tidak
bersentuhan.
46.
Tan kenging
paduka gampang // tan kuwawi kawula mandeng Gusti // mesti geseng dados awu //
sampun malih paduka // boten kuwawi nyelak Hang Kang Maha Agung // panjenengan
Nabi Musa // ingaken kalamullahi.
Itu tidak bisa
engkau anggap mudah // tidak akan kuat makhluk memandang Tuhan // pasti
terbakar menjadi abu // apalagi hanya dirimu // tidak akan kuat dekat dengan
Tuhan // sedangkan nabi Musa saja // yang dikenal dengan nama Kalam Allah
pun.
47.
Acelak datan
kawawa // aningali mandeng marang Hyang Widdi // kantaka satengah lampus //
milane niku ngilang // amung nate nglimputi saliring wujud // sampun boten
tiningalan paduka wijil roh janmi.
Mendekat saja
tidak kuat // apalagi melihat dzat Tuhan // pingsan dan hampir meninggal //
makanya hilang sudah // hanya meliputi segala wujud // sehingga Dia tidak
nampak dan keluar menjadi ruh manusia.
48.
Sanes Bangsa
Malaikat // asal api kuciwa celak wedi // yen manusa raganipun // sal nutpah
asal sepah // Budi mulya roh sukma saking Hyang Agung // winenang bawa
priyangga // tanpa damel bola bali..
Bukan bangsa
Malaikat // berasal dari cahaya kecewa takut mendekat // sedangkan raga manusia
// berasal dari Nutpah berasal dari sepah // Budi, roh suci sukma dari Tuhan //
wenang membawa sendiri // tidak dibuat berulang-ulang.
49.
Sowan Hyang
Lata Walhujwa // wus winenang cangkok nagari pribadi // yen sedya kongsiya
lampus // anyuwun kongsi praja // dadi terus boya mawi wongsal wangsul // urip
pisan mati pisan // ngandika malih Sang Aji.
Menghadap Lata
Walhujwa // telah wenang membuat negara pribadi // sejak lahir sampai meninggal
// memohon kerjasama raja // akan terus tidak akan bolak balik // hidup sekali
mati sekali // berkata lagi sang Raja.
50.
Dene lumrahe
manusa // pada melik ganjaran kerat benjing // minggah mring swarganipun //
Sabda Palon turira // tiyang limrah sami loro mripatipun // dados loro
kawruhira // aningali keblat kalih.
Sedangkan pada
umumnya manusia // hanya mengharapkan pahala akhirat yang akan datang // Naik
ke surga // Sabdopalon berkata // Orang biasanya melihat dengan dua mata //
sehingga menjadi dualah ilmunya // melihat kiblat dua.
51.
Punika netra
saringan // nyaring nimbang bener kalwan sisip // awon lawan saenipun // kang
kanggo kabatinan // aningali dat sipatira Hyang Agung // Netra Batin mung
satunggal // keblat elar mung sawiji.
Itu mata
saringan // menyaring mempertimbangkan benar salahnya // buruk dan baiknya //
itu yang dipakai dalam hal batin // untuk melihat Dzat Sifat Tuhan // Mata
batin hanya satu // Klibat sesungguhnya hanya satu.
52.
Netrane Ki
Lurah Semar // pados keblat kang bener emoh sisip // datan samar wujudipun //
sadayane pangucap // mawas ngulon cinegat inggih kapangguh // datan samar
wujudira // punika Ki Semar lami.
Mata dari ki
Lurah Semar // akan mencari kiblat yang benar tidak akan mau yang salah //
tidak samar ujudnya // semua perkataanya // melihat ke barat di cegat juga
ketemu // tidak samar ujudnya // itu adalah Ki Semar lama.
53.
Kapriye bener
oranya // ingkang aran sebutan urip mati // Ki Sabdapalon umatur // sareng ing
tindakira // urip langgeng nyarengi napas lumaku // urip iku tegesira // wus
masyhur kang langgeng gingsir.
Manakah yang
benar dan yang salah // yang disebut hidup dan mati // Sabdapalon berkata //
ada bersama dengan langkahmu // hidup kekal bersama dengan jalannya nafas //
arti hidup adalah // telah paham yang langgeng dan yang berubah.
54.
Ingkang mati
raganira // angraosaken kanikmataning ngati // seda pejah lawan lampus //
punika tegesira // sadat mepet amepeti jaja-nipun // gantos roh lapi lapisan //
mila tiyang Gama Budi.
Yang meninggal
hanyalah raga // yang merasakan kenikmatan itu hati // mati meninggal dunia //
artinya adalah // sahadaat menutup dan menutupi dadanya // ganti roh ilapi
terlapisi // sehingga orang yang beragama budi (hakikat).
55.
Yen raganira
wus tuwa // sukamnira wus tuwa tuwa taksih // raga tladaning Hyang Agung // yen
rusak den aturna // winangsulna dateng pundi asalipun // ja kliru ingkang
pernah // antuke asale nguni (lami).
Jika raga
sudah tua // jika sukma sudah tua // raga milik Tuhan Yang Maha Agung // jika
rusak kembalikanlah // kembalikan kepada darimana berasal // jangan sampai
salah dan harus betul // kembalikan kepada asalnya dahulu.
56.
Anyuwun ganti
panggenan // kang prayoga ngungkuli ingkang lami // gantos rohilapi baru //
kasebut Hyang Mulya // sampun obah saking pernah jagatipun // yekti jagating
manusa // langgeng datan kena gingsir.
Mintalah ganti
tempatnya // yang baik itu lebih baik dari sebelumnya // berganti menjadi roh
ilapi yang baru // yang disebut Hyang Mulya // telah bergerak dari arah
jagatnya // yaitu jagat manusia // langgeng tidak akan pernah berubah.
57.
Kang obah
makaming rasa // raga wadah kang asal roh ilapi // Prabu Brawijaya iku
(diri manusia. Pen) // tan anom datan sepah // langgeng mulya wonten
tengah jagatipun // lumampah tan mawi obah // saking prenahira lami.
Yang bergerak
dan menjadi tempat rasa // raga adalah wadah yang berasal dari ruh ilapi //
Prabu Brawijaya itu sesungguhnya // tidak muda dan tidak tua // hidup langgeng
di tengah jagadnya sendiri // berjalan tanpa bergerak // dari asal
mulanya.
58.
Wonten guwa
sirring cipta // wus kawawa siring cipta kang ening // lan gawanen gagawanmu //
kang gawa minta raga // tulis ilang gunggungan kang kongsi kumpul //
plekate jare wutuhna // miyat jantung keteg kering.
Ada dalam gua
sirr dari cipta // telah mampu mengetahui Sirr cipta yang bening // dan bawalah
bawaanmu // yang membawa meminta raga // hilangnya tulis ganbungkalan hingga
berkumpul // utuhkan konsentrasi // lihatlah detak jantung.
59.
Nurut marga
siring cipta // jujugira kang cetha cethak cethik // niki pungkasaning
kawruh // Kawruhira Wong Buda (Ahli Rasa.Pen) // lebeting roh saking cethak
marginipun // wonten cethik kendelira // medal margi Kalam Wadi.
Mengikuti
jalan geraknya sirr dan cipta // menuju cetha cethak cethik (maaf tidak
diterjemahkan) // inilah puncak dari ilmu // Ilmunya orang buda (ilmunya ahli
hakikat) // ruh itu masuk dari cethak itulah jalannya // tempat berhentinya
bernama cethik // lewat jalan kalam wadi (kalimat rahasia).
60.
Kentiring
segara Rahmat // Manjing jero guwa selaning estri // tumiba ing nikmat laut //
kang dasar bumi rahmat // wonten ngriku si BUDI yasa kadatun // betollah raga
kang mulya // saking sabda KUN dumadi.
Hanyut ke
dalam samudra rahmat // masuk ke dalam guwa dalam tubuh wanita // jatuh ke
dalam kenikmatan lautan // sebagai dasar bumi rahmat // di situlah Budi akan
membangun keraton // Baitullah raga yang mulia // dari sabda KUN maka jadilah.
61.
Dados wonten
tengah jagad // djoring swarganira wong sepuh estri // mila jalma
keblatipun // ing tengah jagadira // jagating wong ing guwa SIRR ciptanipun //
ginawa saparanira // langgeng boten owah gingsir.
Itu berada di
puser/ tengah jagad // tempat surgamu berada pada orang tua perempuan //
sehingga kiblat manusia // di tengah jagad dirinya // jagad manusia berada di
dalam gua rahasia Sirr ciptanya sendiri // dan dibawa kemanapun pergi //
langgeng dan tidak pernah berubah.
62.
Papesten
umuring janma // wus pinasthi tan kena owah gingsir // wus tinulis lohkilmakpul
// beja cilakanira // manut dateng Budi nalar kawruhipun // kang kirang
ikhtiarira // suda kabegjaning urip.
Takdir umur
manusia // sudah pasti dan tidak akan berubah // telah tercatat di lohkilmakpul
(sengaja ditulis apa adanya), // selamat atapun celaka hidupnya // sesuai
dengan budi, nalar, dan ilmunya // yang kurang ikhtiarnya // akan berkurang
keberuntungan hidupnya.
63.
Purwane keblat
sakawan // wetan kulon kidul lor kang mungkasi // wetan wiwitan sun jujug //
kulon Bapa kelonan // aran kidul gotahaka sigrong dinudul // petenga ana ing
tengah // mor lahirnya jabang bayi.
Berasal dari
empat kiblat // timur barat selatan dan utara yang terakhir // timur adalah
asal mula tujuan // Barat bapak ayah berpelukan // Kidul (selatan ) ......
tidak diterjemahkan // jika telah bersatu maka akan terlahirlah anak manusia.
64,
Tanggal pisan
kapurnaman // tenun senteg pisan lajeng nigasi // tempur niku nama jumbuh //
nama wujuding gesang // emoh madap – madep marang uripipun // sepen swarga lan
naraka // metu alam kabir sahir.
Baru tanggal
satu telah terbit bulan purnama // ketika sedang menenun pakaian sekali hentak,
sudah jadi kain // tempur itu nama jumbuh // nama dari ujud hidup // tidak
hanya menghadap kepada hidupnya saja // telah kosong dari surga dan neraka //
telah keluar dari alam Sahir dan kabir.
65.
Nenggih
tanggaling manusa // lahirira saking tyang sepuh estri // sareng tanggal
dinanipun // kalawan kadangira // ingkang aneng Bapa ya wuragilipun //
kadang barep iku kawah // adi ragil iku ari-ari.
Itulah
penaggalan manusia // lahir dari orang tua wanita // dengan tanggal yang
bersamaan // dengan seluruh saudaranya // yang berada di badan ayahnya sebagai
saudara ragilnya // sedang saudara sulunya adalah ketuban // adiknya aalah
ari-ari.
66.
Sentek sapisan
wus nigasi // pamisahe bayi lan ari-ari // yogya kawruhana iku // usus kang
bareng tanggal // gaibira rumeksa ing uripipun // puniku pituturira // Raden
Budi kang sung kardi.
Sekali potong
putus // itulah saat memotong tali pusar // maka pahamilah itu // usus
yang sama tanggalnya // gaib dari semua itu akan menjaga sang bayi // itu
menurut perkataan // sura Budi yang saya percaya.
67.
Pelinge pan
jalma surya // lenggah surya panawangane bening // den eling sadayanipun // yen
dalu lawan siang // sampun samar rerupan sadayanipun // sampun mawi atetanya //
lan malih pilingan sasi.
Yang jadi
pengingat manusia matahari // duduk di matahari terawangnya jernih // ingatlah
akan kesemuanya // ketika malam maupun siang // jangan heran atas segala bentuk
yang ada // janganlah bertanya // dan juga di tepi sang rembulan.
68.
Lenggah bumi
rahmat mulya // lampahira manuta srengat lahir // den eling sadayanipun //
surup lan tanggalira // biyen mangke iya kalawan ing besuk // niku kawruhe wong
JAWA // JAWI ingkang nama BUDI.
Duduk di bumi
rahmat mulia // jalani hidup ikuti syariat lahir // ingat segalanya //
tenggalmnya penanggalan hidupmu // dahulu sekarang dan yang akan datang //
Itulah ilmu orang jawa // yang di sebut Jawi itulah Budi.
69.
Kang raga
ngibarat palwa // tiyangira Hyang Sukma kang mandiri // pados Budi tuduh kawruh
// lamun palwa lumampah // pandom salah amesthi cilakanipun // palwa pecah
jagad rebah // jagad pisah lan pandoming.
Raga itu
ibarat perahu // sebagai tiangnya sukma yang mendiri // mencari Budi petunjuk
ilmu // jika perahu berjalan // kemudi salah pasti akan celaka // perahu pecah
dunia hancur // dunia akab berpisah dengan sang petunjuk.
70.
Pramila
prayogi mapan // mumpung gesang palwa maksih lumaris // yen tan mapan
gesangipun // pejah malih sageta // anetepi aran kamanusanipun // baita
raga sun bubrah // sukma pisah lawan budi.
Maka sebaiknya
tempatkanlah yang benar // mumpung masih hidup; perahu kehidupan masih berjalan
// jika sudah mati tidak akan bisa // menyebut sebutan manusia // raga sebagai
perahu saya rusak // sukma berpisah dengan budi.
71.
Punika araning
sadat // pisahira kawula lawan Gusti // kesah pisah tegesipun // Dzat niku
datireng Hyang // yen wus pisah raga sukma budinipun // si yogi santun betolah
// pandome bineka malih.
Itulah yang
disebut sahadat // berpisahnya manusia dengan Tuhan // pergi berpisah artinya
// Dzat itu hanyalah milik Tuhan // jika telah terpisah antara raga, sukma dan
budi // sang yodi berganti batulah // kemudinya akan terus dibawa.
72.
Napas tali
Pujining Hyang // yen pisaha RAGA; Sukma lan BUDI // martitis kang embuh-embuh
// yen ta tunggal besaran // boten surut kang tanggal salamnipun// niku
den cetha waspada // kawruh jaya sampurnaning.
Napas sabagai
tali memuji Tuhan // jika sudah pisah antara raga, sukma dan Budi // menitis
kepada yang tidak dikenal // jika besarnya menyatu // tidak akan suru
tanggalnya selama-lamanya // itu harus jelas dan walalu waspada // ilmu jaya
sempurnanya.
73.
Yekti araning
kawula // wajib wenang aturan lawan Gusti // iyasa betollah baru // ngungkulana
kang lama // ing ragane baetollah namanipun // prau paparinging Allah //
saking sabdaning KUN dadi.
Itulah yang
disebut kawula // wajib dan wenang berbicara dengan Tuhan // membuat baitullah
yang baru // meninggalkan yang lama // di dalam raga disebut baitullah //
perahu pemberian Allah // berasal dari sabda Kun langsung jadi.
74.
Yen baita
tiyang Jawa // apan saben santun betollah malih // betolah rohlapi bagus // yen
palwa tiyang Islam // trimah dlujur amor prau bangke remuk // gesanga satus
pangrasa // tanpa nalar kawruh budi.
Sedangkan
perahu orang jawa // jika berganti akan berganti baitullah lagi // baitullah
roh ilapi yang lebih bagus // namun jika perahu orang Islam // hanya
membujur saja campur dengan mayat yang hancur // hidupnya tiap seratus tahunan
// tanpa nalar ilmu dan budi.
75.
Punika tiyang
cilaka // boten saged karya senenging ati // boten mangan minum turu // tansah
susah lan sayah // tengga lemah tan wonten wekasanipun // sukma bodo namanira //
kirang ikhtiare urip.
Itu termasuk
celaka // tidak bisa berbuat untuk menyenangkan hati // tidak makan minum dan
tidur // selalu sudah dan kecapaian // menunggu tanah tidak ada akhirnya //
sukma bodoh namanya // kurang ikhtiarnya dalam hidup.
76.
Yen sukma niku
matiya // kala donya suwung tan wonten janmi // yen sukma niku sadarum // donya
kebak manusa // gih lumampah saringane surut sepuh // gantos rohlapi lapisan //
sanadyan sukmaning janmi.
Jika sukma
bisa mati // ketika dunia kosong tiada makhluk // jika semua sukma ada // maka
dunia penuh dengan manusia // hanya berjalan dengan saringanmeninggal karena
tua // berganti roh ilapi lapisan // walau sukma manusia.
77.
Yen tekat
nasar belasar // gih kesasar benjing kalamun mati // pasti janma dados kuwuk //
nadyan sukmaning kewan // lamun tekat sumedyanira rahayu // inggih mentas
saking kerat // mlarat nitis marang janmi.
Jika punya
tekad yang salah // akan tersesat juga dikala meninggal dunia // tentunya akan
berubah menjadi monyet // walaupun sukma dari hewan // jika tekadnya baik //
setelah dari akhirat // akan berubah menjadi manusia.
78.
Mungel Kitab
Purwakanda // panjenengan Bathara Wisnu Murti // rikala jumeneng Ratu // wonten
Mendang Kamulan // satowanan tanapi ingkang lelembut // cinipta dadi manusa //
kinarya Abdining Haji.
Tercatat di
kitab Purwakanda // Bathara wisnu murti // ketika menjadi raja // di Medang
Kamulan // hewan hutan dan jin // dicipta menjadi manusia // dijadikan rakyat
oleh sang raja.
79.
Lan malih
kawula crita // tatkalane luhur paduka nguni // Sri Palasara amangun // karaton
Gajah Hoya // hugi nyipta satowana lan lelembut // pinanta dadi manusa //
kinarya bala Sang Haji.
Dan juga akan
saya ceritakan // ketika sesepuh paduka jaman dahulu // sri Palasara yang
membangun // keraton Gajah Hoya // Juga mencipta semua hewan hutan dan jin //
dicipta menjadi manusia // untuk di jadikan bawahan sang raja.
80.
Mila angganing
manusa // beda-beda janma sawiji wiji // mirit kewan gandanipun // paduka
nyatakena // keringete mesti bedha gandanipun // mirit datengg bangsa kewan //
iku tandane sayekti.
Maka dari itu
raga tiap manusia // berbeda antara satu dengan lainnya // bau badannya mirip
dengan hewan // silahkan kau buktikan // bau keringatnya pasti berbeda-beda //
keringan berbau mirip dengan bangsa hewan // itulah bukti yang nyata.
81.
Mungel serat
tapaking Hyang // Sastra Jendra Ayuningrat tinulis // dados saking sabdaning
KUN // munggeng ragengsun wuntat // aran jatot mujitot ing wujudipun // Dewa
Gung akarya badan // murup nyarambahi diri.
Tersurat di
serat buatan Hyang // Tertulis di Sastra Jendra Ayuningrat // dari Sabda Kun
semua menjadi ada // bahwa raga diriku bagian belakang // yang disebut jatot
mujitot // Dewa yang agung yang membaut badan // menyala di seluruh diri.
82.
Incengen ing
cengelira // jiling puji amuji Sang Hyang Widdi // Maknakna ana ing punuk //
timbangan salang malang // pundak manthak delengen petanganipun // urip saba
ngalam donya // ngupaya kawruh lan bukti.
Lihatlah
tengkukmu // Mujalah Tuhan // maknai sampai benar-benar paham // timbanglah kan
kirinya // bahu tegap perhitungkan lebar bentangannya // Urip menjelajah alam
dunia // mencari ilmu dan bukti.
83.
Yen angsale
kuldi katah // gesang untung sugih dagangan daging // yen angsal kathah woh
kawruh // angsal sanguning gesang // gesang iku langgeng tan kranane lampus //
tepak tepat-tepanira // wikan walikaning ngurip.
Jika perolehan
harta banyak // beruntunglah hidupmu kaya akan barang dagangan daging // jika
mendapat banyak buah dari ilmu // akan mendapatkan sangu hiup // hidup (Daya
hidup – ya Hayyu ) itu langgeng tidak terkena kematian // jejak tepat
setepat-tepatnya dirimu // memahami apa di balik kehidupan.
84.
Ula-ula
ulatana // lah lalaren gligirira kang gligir // geger uger-ugeripun // sumingep
sumsumira // aran lebu wetu dewa nyambung umur // arane janma sambungan // lali
eling urip mati.
Ula-ula
lihatlah // punggung jadilah yang lurus // geger pedoman hidup // tutuplah
susummu // keluar masuknya hawa penyambung umur // manusia adalah sambungan //
lupa ingat hidup dan mati.
85.
Lempeng tengen
lawan kiwa // ingkang kenceng tekate lahir batin // wruh bener kalawan
luput // becik kalawan ala // tingalana mata mata batin satu // ingkang bener
tekatira // keblat elor mung sawiji.
Pinggang kiri
kanan // kuatkan tekat lahir dan batin // memahami bear dan salah // yang baik
dan jelek // lihatlah mata hati yang satu // yang benarlah tikatmu // keblat
utara hanya satu.
86.
Tengah tengen
kongsi terang // wonten donya sadarma ngango diri // tan wruh ijab kabulipun
// tan karya boya tumbas // aran kiwa niku raga wujudipun // isi hawa kekarepan
// tan wenang ngukuhi pati.
Tengah kanan
sampai jelasa // hidup dunia hanya sebatasn memakai diri // tidak tau ijab dan
kabulnya // tidak membut dan tidak di beli // yang disebut kiri itulah raga //
berisi hawa keinginan // tdak berhak menguasai pati.
87.
Bodol badonge
Hyang Sukma // jujugira kang cetha cethak cethik // yen tan CETHA kawruhipun //
lumebet ronging kongkang // dudu jalma sila kodok aranipun // yen tan CETHA
kawruhira // surut janma dad percil.
Pecahlah
pelindung sang sukma // tujulah yang cetha cethak cethik // jika tidak jelas
ilmunya // akan masuk lobang katak // bukan manusia yang bersila akan tetapi
katak sebutannya // jika tidak jelas ilmumu // hilang kemanusiaanmu jadilah
anak katak.
88.
Punika unine
serat // yen paduka mahibena ing tulis // sinten karya badan iku // sinten kang
paring aran // inggih namung Lata Walhujwa Dewa Gung // yen paduka mahibena //
tetep yen Paduka kapir //
Itulah bunyi
kitab // jika tuan membantah isi kitab yang berupa badan manusia // siapakah
yang membuat badan ini// siapakah yang memberi nama // itulah Lata
Walhujwa dewa bessar // jika paduka masih tetap membantah // berarti
padukalah yang kafir.
89.
Kapiran seda
paduka // tan percaya seratira Hyang Widdi // lawan murtad ing luluhur // luhur
Jawi Sadaya // dados kapir kapiran ing sedanipun // nempel tosan wreksa sela //
dados demit tengga siti.
Tidak akan ada
yang mengurus saat kematianmu // tidak percaya badan buatan Tuhan // dan juga
murtad kepada sesepuh // seluruh sesepuh jawa // akan tersesat katika menemui
ajal // merasuki keris, pohon dan batu // akan menjadi demit penunggu tanah.
90.
Yen Paduka tan
sageta // maos Sastraning Hyang kang munggeng diri // benjing seda njalma kuwuk
// marga gaduhan raga // lamun saget maos Sastraning Hyang Agung // tan samar
panggenan lama // surat jalma dadi jalmi.
Sija paduka
tidak bisa // Kitab Tuhan yang ada pada badan // besok ketika mati akan berubah
jadi monyet // sebab memanfaatkan raga // jika bisa membaca kitab Tuhan yang
tidak tertulis // Tidak akan bingung tempatnya yang lama // Kitab Jalma menjadi
Jalmi.
91.
Sinebut daptar
ambiya // Panjenengan Nabi Musa rumiyin // tiyang pejah wonten kubur // punika
ing ngagesang // gesangira ganti roh ilapi baru // anggantos makam kuburan //
kahume salah mangerti .
Itu yang
dinamakan Daftar Ambiya // Milik Nabi Musa // manusia masuk alam kubur //
itu pun masih hidup // hidup menggunakan roh ilapi yang baru // yang
menggantikan tempat kuburan // Kebanyakan orang salah mengerti.
92.
Kinira janma
kang modar // kang pinendem ing siti urip malih // puniku klintuning
kawruh // malih ingkang wus kocap // wadah daptar kang sinebut buku-buku //
alame jalma walikan // wong agung kang kirang budi.
Dikira manusia
mati // Setelah di kubur akan kembali hidup // itu kesalahan ilmu yang didapat
// ada juga cerita // Daftar tempat yang disebut buku-buku // alam manusia yang
terbalik // orang besar yang kurang budinya.
93.
Kang narik
sasaring kathah // dipun walik alame mring Hyang Widdi // Ratu Agung dadi semut
// nadyan wijiling kompra // lamun dados pangajeng – ajeng rahayu // amulya
langkung raharja // paduka wakiling Widdi.
Yang akan
membawa kesesatan orang banyak // dibalik jalan pikirannya oleh Tuhan // Ratu
agung berubah menjadi semut // walau keturunan orang biasa // jika jadi panutan
// akan menyelamatkan // Mulia lebih selamat // engkau wakil Tuhan.
94.
Den puguh
kekah apangah // angebaki pikekah adat Nabi // manawi paduka masuk // Agama
Rasulullah // tiyang Jawi sayekti Islam sadarum // pan kasasar pejahira //
dados demit tengga siti.
Cepatlah
mencari pegangan // memenuhi aturan aat Nabi // jika paduka memeluk // Agama
Rasulullah // semua orang jawa semua akan masuk Islam // akan tersesat
kematianmu // akan menjadi demit penunggu tanah.
95.
Angandika Sri
Narendra // dene sira iku tan ganti-ganti // makaman kuburmu baru // Sabdapalon
turira // ulun campur wadag lawan alus ulun // wus jumbuh dados satunggal
// inggih nglebet inggih Jawi.
Berkatalah
Tuan Raja // mengapa kau tidak pernah berganti // tempat kuburmu yang baru //
Sabdopalon berkata // Saya campur antara raga dan sukmaku // telah menyatu
menjadi satu // ya di dalam ya di luar.
96.
Gih kajeng
kula pribadya // badan wujud saget sami sakniki // lamun kula nedha wujud //
gih niki wujud kula // lamun Adam sapunika icalipun // saget murcapada ana //
anane padha saniki..
Itu pun atas
kehendak saya pribadi // Jika Adam hilangnya sekarang // bisa berada di dunia
// adanya sama dengan sekrang.
97.
Raga ulun
sipating Hyang // yen sakujur aran darma pribadi // suwawi paduka dumuk //
sumangga wastanana // ingkang pundi Sabdapalon wujudipun // anglela kalingan
padang // padange wus tan kaheksi.
Ragaku adalah
sifat Tuhan // jika seluruh badan bernama Darma pribadi // silahkan engkau
tunjuk // silahkan beri nama / yang manakah ujud dari Sabdapalon // Sangat
jelas tapi tertutup terang // terangnya sudah tidak terlihat.
98.
Wujude Ki
Palon Sabda // amung asma nglimputi ingkang diri // boten anem boten
sepuh // tan pejah boya gesang // gesangira anglimputi ing patinipun // patine
nglimputi jro gesang // gesang langgeng ing salami.
Ujud dari
Sabdapalon // Sedang asma menguasai diri // tidak muda juga tidak tua // tidak
mati juga tidak hidup // hidupnya menguasai matinya // patinya menguasai
hidupnya // hidup langgeng selamanya.
99.
Angandika Sri
Narendra // ana ngendi Pangeran kang sajati // Ki Sabda palon umatur // datan
tebih tan celak // gih paduka kalawan panggenanipun // wujud sipating Hyang
Sukma // angagem sarira tunggil.
Berkatalah
sang Raja // Ada dimakanah Tuhan yang sesungguhnya // Sabdapalon menjawab
// Tidak jauh juga tidak dekat // yaitu dirimu dengan tempatnya // itulah wujud
dan sifat Hyang Sukma // berbusana satu badan.
100.
Nenggih budi
lawan badan // niku sareng tumindakira katri // boten pisah boten kumpul //
langkung karsa paduka // amastani yen paduka Ratu Agung // luhung mangsa
kilapan // atur kawula puniki.
Bahwa budi
dengan badan // itu bersamaan dalam bertindak // tidak pisah tidak kumpul //
terserah sekehendak paduka // yang menyebutkan bahwa paduka Ratu Agung // luhur
pasa paduka tidak paham // apa yang sakatakan
101.
Apan enget
budinira // yekti obah hawa kareping ngurip // arane ingkang lumaku // ing tata
kalahiran // angupados woh kuldi wawaratanipun // bahita raga betollah //
iyasane kyai Budi.
Ketika ingat
kepada budi paduka // hawa akan bergerak mememenuhi kebutuhan hidup // itulah
yang disebut berjalan // dalam tata lahir // mencari buah penghasilan yang
diperlukan // raga adalah perahu yang membawa baitullah // kyai budi yang
membuat.
102.
Pintane Lata
Walhujwa // bab Agama ing nagri tri prakawis // woh wit budi kang rumuhun //
woh kawruh kalihira // woh wit kuldi punika ping tiganipun // Woh Budi nika
kalingan // woh kawruh niku pangerti.
Perminttan
Lata Walhujwa // soal agama dalam bernegara ada tiga macam // yang pertama
buhanya budi // yang kedua buah dari ilmu // yang ketiga buahnya harta
kekayaan// buha dari budi itu eling kesadaran // buha dari ilmu itu pemahaman.
103.
Woh wit kuldi
niku pangan // tiang Jawi tedane woh wit Budi // tiang Indi woh wit kawruh //
woh wit kuldi tiang Arab // nrimah sugih dagangan daging lemu // sadian
panganan rayap // kawruhe tan dadi wiji.
Buah pohon
kuldi itu makanan // makanan orang jawa itu buah pohon budi // orang Indi buah
dari pohon kawruh – ilmu // makanan orang Arab buah dari pohon kuldi // Hanya
mencari dagangan daging yang gemuk // untuk menjadi persediaan makanan rayap //
ilmunya tidak bisa menjadi biji.
104.
Kang neda woh
Budi wreksa // hanungkemi Agama Buda Budi // Budi Hawa sebutipun // Pangeran
kaengetan // matur dewe marang dewane kang Agung // lakune amara tapa // cegah
dhahar miwah guling.
Yang
makanannya buah pohon budi // memeluk agama Buda Budi // Budi hawa sebutannya
// Menuhankan kesadaran diri (eling) // berbicara langsung dalam menjalankan
perintah Tuhan // yang dilakukan bertapa // tidak makan dan tidur.
105.
Datan neda woh
kawruh wreksa // hanungkemi Agamane Nasrani // nebut Ngiasa Rohollahu //
tangiya rasaning tyas // hamengeran ing kawignyan kawruhipun // mung ngawruhi
becik ala // kang bener lawan kang sisip.
Yang
makanannya buah dari pohon kawruh // memeluk Agama Nasrani // menyebut Isa
Ruhullah // yang bangun pikirannya // menuhankan keahlian // hanya bsia
mengenal baik dan buruk // yang benar dan yang salah.
106.
Kang nedha woh
kuldi wreksa // anungkemi agamane Jeng Nabi // Muhammad Rasul lolahu // muhmat
makam kuburan // kuburane inggih ing rasa sadarum // woh wit kuldi karepira //
nurut agama Islam.
Yang
makananannya buah pohon Kuldi // memeluk Agama Jeng Nabi // Muhammad Rasulullah
// Muhammad bertempat di kuburan // yang memuat semua rasa yang ada // Buha
dari pohon kuldi // akan memeluk Agama Islam.
107.
Nuruti
nikmating badan // lan nikmati perji klimising lathi // mung sepele untungipun
// sugih daging dagangan // sadiyane rayap ing benjang yen lampus // datan
kenging sinimpenan // jro guwa sir cipta mami.
Hanya menuruti
nikmat badan // nikmatnya farji dan nikmatnya mulut // sangat sepe keuntungannya
// hanya kaya makanan saja // ketika mati akan menjadi makanan rayap // tidak
bisa disimpan // di dalam guwa rahasia dalam cipta hamba.
108.
Ingkang neda
heronira // inggih kawruh kalawan inggih budi // dikon tetep kang sinebut //
pangeraning brahala // nrimah gelar lan suwung barang puniku // punika
pranatanira // sagoning Cina Li Si Bin.
Yang makan
daunnya // yaitu ilmu dan budi // di suruh tetep yang di sebut // menuhankan
berhala // hanya menerima gelar dan suwung barang sekarang // itu aturan //
dari Cina Li Si Bin.
109.
Kang neda woh
budi wreksa // untung sanget winastan raja sugih // raja kaya wastanipun // tan
melik uwang barang // wus narima mangan minum ngambus empluk // tan mikir
mulyaning badan // tilem kemul tenja siti.
110.
Yen neda woh
budi wreksa // saking karna lebetira abukti // yen nedoa kajeng kawruh //
lebete medal netra // woh wit kuldi lebete marga kang tutuk // lah paduka
nyatakena // atur kawula puniki.
Jika makan
buah pohon Budi // masuknya dari hidung // jika makan buah pohon kawruh akan
masuk dari mata // sedang buah pohon kuldi akan masuk dari mulut // silahkan
padauka buktikan // omongan saya ini.
111.
Angandika Sri
Narendra // yen mangkono sira amesti kapir // Ki Sabdapalon umatur // kula
kapir punapa // anetepi Agama kula leluhur // kang tetep kapir paduka // atilar
agama lami.
Berkatalah Sri
Narendra / jika begitu berari kamu kafir // Sabdopalon menjawab // kenapa saya
kafir // saya mengikuti Agama leluhur // yang kafir itu paduka // karena
meninggalkan agama yang lama.
112.
Nami Jawan
ribiriban // boya nami jawi jawan mangeti // mangerti kang agal alus // atilar
nami Jawa // yekti owah wangun sarta tekadipun // yekti apes gessangira
// Agamine kirang murni.
Itu disebut
Jawan karena Cuma meniru saja // jika bukan jawan tapi Jawa // akan mengerti
yang kasar dan yang halus // jika meninggalkan jawa // pasti akan berubah
bentuk dan cita-citanya // pasti apes hidupmu // karena agamanya tidak murni.
113.
Angandika Sri
Narendra // apa sira nora nurut mring mami // Ki Sabdapalon umatur // manut yen
Gami lama // yen mangangge gami enggal datan purun // sababe Paduka gantya //
Agami tan manut mami.
Berkatalah
tuan raja // apakah kamu menurut padaku // Sabdapalon benjawab // akan menurut
jika Agama lama // jika agama baru saya tidak mau // sebab paduka berganti //
Agama tidak sama dengan ku.
114.
Napa Paduka
kilapan // nama Kula Ki Sabda Palon niki // tegese sabda pamuwus // Palon
pikekah kandang // aran Naya niku Ulat // tegesipun Genggong langgeng datan
owah // sahucap kula puniki.
Apakau paduka
tidak ingat // Sabdopalon namaku ini // punya arti Sabda adalah ucapan // Palon
itu pedoman // Naya itu skikap // Genggong itu langgeng tidak pernah berubah //
semua perkataanku
115.
Kenging
kinarya pikekah // dados ulat pasemon tanah Jawi // langgeng ing
salaminipun // Sang Brawijaya nabda // kaya priye rehning ingsun wus kabanjur
// lumebu Agama Islam // disekseni dening Sahid.
Bisa menjadi
pegangan // menjadi sikap lambang tanah jawa // langgeng selamanya // Sang
Brawijaya berkata // bagaimanakah karena saya sudah terlanjur // memeluk Agama
Islam // sahit yang menjadi saksi.
116.
Tan kena
mangsuli sabda // ingsun wirang ginuyu bumi langit // Ki Sabdapalon umatur //
paduka lampahan // nalar niki kula mboten tumut-tumut // yen kawula ngekahana
// ngudur balung tanpa isi.
Tidak boleh
menarik kata // saya wirang ditertawakan bumi langit // Sabdpalon berkata //
Siahkankan paduka lanjutkan // saya tidak ikut-ikut // jika saya ngotot // sama
saja berebut tulang tanpa isi.
ii. D U R M A
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Sunan Kali
matur marang Sri narendra // pukulun Sri Bupati // paben lawan rencang // tanpa
damel punika // mindak ngribeti panggalih // Paduka arsa ngrasuk Agama Nabi.
Suna Kali
berkata pada raja // Wahai Tuan raja // bertengkar dengan pembantu // tidak
akan ada hasilnya // hanya mengotori pikiran // Paduka sudah memeluk Agama
Islam.
2.
Rasulullah
sakalangkung sukci mulya // katimbang lan sanesing // manawi tyas
uwas // tirta beji punika // sun karya pratanda yekti // kawula sabda yen toya
saged wangi.
Agama
Rasulullah lebih suci dan mulia // dibanding yang lainnya // Jika pikiran
ragu-ragu // Air sumber ini // akan saya jadikan bukti // akan saya sabda ija
airnya bisa berbau harusm
3.
Tanda leres
Agama Nabi Muhammad // yen boten saged wangi // leres Agama Buda // Toya tanda
cinipta //dening Kanjeng Sunan Kali // arum sakala // ganda amrik aminging.
Itu tandanya
betullah Agama nabi Muhammad // jika tidak bisa berbau harus // maka yang benar
adalah agama Buda // air telah dicipta // oleh Sunan Kalijaga // wangi
seketika // harumnya menyebar
4.
Kanjeng Sunan
nulya matur mring Sang Nata // Punika Sri Bupati // toya sampun angambar
// arum amrik gandanya // aleres Agama Nabi // Jeng Rasulullah // Sabdapalon
nambungi.
Sang Sunan kemudian
berkata kepada raja // inilah wahai raja // air telah berbau harum // baunya
telah menyebar // betullah Agama Nabi // kanjeng Rasulullah // Sabdopalon
membantah
5.
Duh Pukulun
punika Srinara Nata // kasektene pun Sahit // den pameraken mring wang // punika
barang napa // kasektene rare alit // yen nimbangana // sadaya dadi bayi.
Wahai tuan
engkau adalah raja // kesaktian Sahit // dipamerkan kepadaku // itu permaina
apa // itu kesaktian anak kecil // jika saya lawan // semuanya sama saja dengan
bayi.
6.
Satuhune
kawula rebat punapa // Paduka klorop jaji // sakarsa-a paduka // remen Agama
liya // sanes Agama naluri // pan rembagira // melik Agama Nabi.
Sebetulnya
apakah yang saya perebutkan // paduka disesatkan // terseralah apa kata paduka
// suka lain Agama // bukan Agama leluhur // dan paduka // memilih Agama nabi.
7.
Datan nedya
amomong dateng Paduka /// Ratu Gung Cupet Budi // tyas wus tan kengetan // yen
siniku ing Dewa // Punika leluhur Jawi // Paduka nata // ngleluri Bangsa
Ngarbi.
Saya tidakakan
menjaga paduka lagi // Raja besar kerdil pikirannya // pikiran sudah melupakan
// bahwa telah mendapat murka dewa // itulah leluhur Jawa // paduka itu raja //
melestarikan bangsa Arab.
8.
Tanda Ratu tan
medhep netra sajuga // anganggep netra kalih // wus ngalondo tekat // tinampik
ing Jawata // iku rusak kukum ngadil // kawula wirang // de Ratu cupet budi.
Tanda raja
tidak menggunakan mata hati // percaya pada mata lahir // sudah seperti orang
belanda cita-citanya // kau akan di tolak dewa // akan rusak hukum keadilan //
saya malu // mempunyai raja kerdil berfikirnya.
9.
Tanpa damel
kawula akerengan // yen kawula lawani // punika Sang Nata // benjang sun karya
tanda // sun sabda sapisan iki // arus sadaya // sitine dadya bacin.
Tak ada guna
hamba bertengkar // jika saya melawan // padauka itu raja // akan saya beri
tanda // saya sabda sekali saja // berbau tidak enak // tanahnya berbau
bangkai.
10.
Yen Paduka
Sang Nata kirang pracaya // kasebut serat Jawi // crita manikmaya // kang karya
kawah wedang // nginggile mah meru wukir // punika amba // di Guru mung
nekseni.
Jika paduka
raja kuang percaya // telah tertulis dalam seraj jawa // cerita Manikmaya //
yang membuat kawah wedang // di puncak gunugn mahameru // itu adalah saya //
Sang Guru Dewa hanya sebagai saksi.
11.
Wektu niku
sitine ing Tanah Jawa // saben ri gonjang ganjing // sing genging dahana// kang
neng dasar pratala // sadaya kula entuti // jemblong sadaya // dadya margining
geni.
Saat itu tanah
jawa // tiap hari gempa // api besar yang ada // di dalam perut bumi // sumau
saya beri kentut // tembus semuanya // menjadi jalan api.
12.
Nuli mantun
goyange Tanah Jawa // Pucukira kang wukir // geng ageng sadaya // sami medal
dahana // wonten tlawah tlaga ugi // medal sadaya // goyangira kang wukir .
Sejak itu
tanah jawa berhenti bergetar // puncak gunung // gunung besar seluruhnya //
mengeluarkan lahar // ada yang berubah menjadi telaga // keluar semuanya //
gunung semuanya bergetar.
13.
Lamun dereng
paduka tobat mring Dewa // jawah ing Tanah Jawi // yekti dipun suda // ing
dalem wolung dina // selangkung windu puniki // wus lineggahan // wangsul Agami
Budi.
Jika paduka
belum bertobat kepada dewa // hujan di tanah jawa // akan berkurang // dalam
setiap delapan hari // sejak mulai windu ini // sudah digariskan // akan
kembali Agama Budi.
14.
Sri Narendra
miyarsa ing aturira // Sabda Palon mrinani // kaduwung jroning tyas // denya
Agama Islam // kewran galihira Aji // njentung tan ngucap // wusana ngandika
ris.
Ketika sang
Nata mendengar ucapan // Anacaman sabda palon // menyesal dalam hatinya //
karena Agama Islam // kebingungan pikiran sang raja // terdiam tanpa kata //
kemudian pelan berkata
15.
Mula ingsun
angrasuk Agama Islam // critane yayi Dewi // Raja Putri Cempa // kabeh Ummat
Muhammad // swargane ngungkuli kapir // benjang yen laya /// nugrahaning Hyang
Widdi.
Penyebab saya
memeluk Agama Islam // dasar cerita sang Dewi // Putri raja dari Cempa // semua
umat Muhammad // surganya melebihi kafir // apabila telah meninggal // itu
Anugerah Tuhan.
16.
Yen Paduka
anurut marang wanodya // katah Ratu geng nguni // den ukum Hyang Sukma // Nabi
Adam Sulaiman // lan nguni Sri Narpati // Sri Angling Darma // pandita Balhum
Nguni.
Jika kau
mengikuti Wanita // banyak raja di masa lalu // Di hukum Tuhan // Nabi Adam,
Sulaiman // Dahulu ada raja // Sri Anglingdarma namanya // Pandita balhum di
masa lalu.
17.
Sami nurut ing
rembugira wanodya // sisikuning Hyang Widdi // Muhammad crita // lamun kakung
nuruta // ujare janma pawestri // mesti cilaka // tangeh manggih basuki.
Smua percaya
ucapan wanita // terkena bendu Tuhan // Muhammad bersabda // Jika
laki-laki tunduk // apa kata wanita // pasti celaka // tidak mungkin
menemukan selamat.
18.
Sabab putri
niku uwong aranira // nglowong mung darma dadi wadah aranira // estri datan
winenang // amurwani ing agami // paduka Nata // melik ganjaran benjing.
Sebab sebutan
putri // kosong hanya sebatas sebagai wadah // wanita tidak berwenangn //
sebagai pemimpin Agama // engka adalah raja // memilih pahala besok hari.
19.
Lepat mangke
ing benjing yekti yen lepat // putra wayah pra sami // datan wurung risak
// samya susah sadaya // Agamane kirang murni // remen Paduka // anut mring
rare alit.
Sekarang salah
yang akan datang pun salah // sampai ke anak cucu // akan rusak semua // semua
akan susah // agamanya tidak murni // karena paduka // senang mengikuti anak
kecil.
20.
Nami Jawa dede
Jawa Jawi ngertya // Jawa mangirib-irib // teges aran Jawan // sanes Jawa
sanyata // niku Ratu Cupet Budi // datan wurunga // ciniren ing Dewaji.
Nama jawa
bukan jawa jawi pengertianya // jawa hanya ikut-ikutan // itu disebut Jawan //
bukan asli jawa // itu raja pendek pikirannya // pada akhirnya // mendapat
teguran Dewa.
21.
Bedanira kang
kapir kalawan Islam // sipat priya pan kapir // kalamun wanodya // yekti iku
kupura // de sipat priyeku kapir // iku tegesnya // asipat kalih desi.
Perbedaan
kafir dan Islam // laki-laki bersifat kafir // sedangkan wanita // itu bersifat
kufur // yang dimaksud laki-laki bersifat kafir itu // mempunyai arti //
bersifat dua puluh.
22.
Herong heleng
punika tegesira // yen puluh iku pulih // saben resmen wuda // selan anesel
alam // estri tan kawon lan kapir // tan nedya purra // Islam Buda lam Kapir.
Herong
(lubang) = heleng artinya // sedangkan puluh itu pulih seperti semula // setiap
memadu kasih telanjang // saling memasuki alam // wanita tidak akan kalah
dengan kafir // tidak menginginkan kerajaan // Islam Buda dan kafir.
23.
Sri Narendra
Brawijaya gya grahita // bedanya Islam kapir // sipat kalih dasa // punika
tegesira // anjentung dangu tan angling // angles jroning tyas // rumaos lamun
sisip.
Sri Narendra
Brawijaya segera menelaah // beda Islam dan kafir // sifat dua puluh // itu
artinya // termangu lama tidak bergerak // melamun pikirannya // merasa
bertindak salah.
24.
Genya karsa
lumebet Agama Islam // tilar Agama Budi // tan arsa ngandika // dateng abdi
pusaka // wasana mupus ing takdir // Ki Palon Sabda // sendu matur Sang
Haji.
Karena memeluk
Agama Islam // meninggalkan Agama Budi // akhirnya tidak mau bicara // dengan
abdi pusaka // akhirnya menyerah kepada takdir // Sabdapalon // dengan sedih
berkata kepada tuan raja//
25.
Niku tanda
Ratu Gung kurang kupiya // mupus yen sampun takdir // Ratu kaya bocah // amupus
takdirullah // tanda Ratu cupet budi // pan wus dilalah // takdir kang den
sungkemi.
Itu tanda ratu
kurang pandai // menyerah jika sudah takdir // raja mirip anak kecil //
menyerah tadir Allah // tanda raja pendek pikiran // hanya karena kehendak
Tuhan// takdir yang diyakini.
26.
Tadir lahir
adan kang dereng dumawah // wajib den ikhtiari // sadereng dumawah //
ngupaya budi daya // punika wajibing ngurip // yen wong waskita // mungkur
barang kang sisip.
Takdir lahir
yang belum terjadi // wajib di ikhtiari // sebelum terjadi // berupa segala
daya // itu kewajiban hidup // jika orang Waskitha // akan meninggalkan barang
yang salah.
iii.
P A N G K U R
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Takdir lahir
kebatinan // niku sareng tumindakira kalih // lamun lepat lahiripun// takdir
batine lepat // leres batin takdir batin harjayu // takdir kang dereng dumawah
// wajib yen den ikhtiari.
Takdir lahir
dan batin // keduanya harus sama tindakannya // jika salah di lahirnya //
takdir batin juga akan salah // tapi jika batinnya benar takdir batin akan baik
// takdir yang belum terjadi // wajin diikhtiari.
2.
Takdir kang
sampun dumawah // rare alit niku saget mastani // yen wus takdire Hyang
agung // niku pabene bocah // mung paduka Ratu Agung guru uyuh // tan wirang
ginujweng jagat // tanda Ratu kurang budi.
Takdir yang
sudah terjadi // anak kecilpun bisa menyebutkan // jika itu sudah takdir Tuhan
// itu pertengkaran anak kecil // hanya paduka raja besar guru kencing // tidak
merasa malu di tertawakan dunia // itu tanda raja kurang luas pemikirannya.
3.
Misilken
mendet tetepa // crita kuna buku sabrang lan Jawi // tan wonten kuciwanipun //
ing jaman kuna-kuna // lir Paduka Ratu Agung guru uyuh // ran walik buwana
sungsang // dinukan mrang Dewa di.
Mengambil
contoh cerita // jaman dahulu buku luar dan buku jawa // tidak akan
mengecewakan // pada jaman dahulu // seieperti paduka raja besar guru kencing
// disebut dunia terbalik // dimarahi sang Dewa.
4.
Pinundut
kraton Paduka // sabab lepat tilar Agami luri // kang pinundi para luhur
// luhur Jawi sadaya // lan ing ngembun amrang ing jalma sawegung // tuan dede
Bangsa Arab // mumule luri Ngarabi.
Diambilan
keraton paduka // karena salah telah meninggalkan agama leluhur // yang
diagungkan pra luhur // semua sesepuh jawa / dan dihormati semua rakyat jawa //
Tuan bukan bangsa Arab // memuliakan lelhur Arab.
5.
Luhur paduka
sadaya // kang wus surut tan wonten paring idi // nurut garwa guru uyuh
// narik sasar mring katah // dipun ukum paduka dateng Hyang Agung // putra
Nata ngandap-ngandap ngrebat praja amrih pati.
Para sesepuh
paduka semua // yang telah meninggal dunia tidak ada yang memberi restu //
justru mengikuti nasihat sang istri // mengajak sesat orang banyak // maka
paduka dihukum oleh Tuhan Yang Maha Agung // putra paduka yang bawah merebut tahta
mengancam pati.
6.
Punika
dudukaning Hyang // kang dumawah paduka ing samangkin // Sang Prabu dupi
angrungu // ature Palon Sabda // anglesing tyas ngunandika jroning kalbu //
kaduwung kang wus kalakyan // wusana ngandika aris.
Itulah
kemarahan Tuhan // yang jatuh kepada paduka sekarang // ketika sang prabu
mendengar // yang disampaikan sabdapalon // terhentilah pikirannya dan berkata
dalam kalbu // menyesali apa yang telah terjadi // akhirnya berkata
7.
Tan wus yen
sira tutuha // balik mengko sira kang ingsun tari // kang dadi kekencenganmu //
sarta benerira // rehning uwus kebanjur ngandikaningsun // sun masuk
Agama Islam // sineksen dening Sahit.
Tak ada
gunanya jika kau persalahkan // kembali kepada dirimu apa yang kau pilih //
yang menjadi pedomanmu // serta apa yang kau anggap benar // karena sudah
terlanjur perkataanku // saya memeluk Agama Islam / sahit saksinya.
8.
Tan kena
mangsuli sabda // ingsun wirang ginuyu bumi langit // Ki Sabda Palon
umatur // paduka lampahan // nalar niki kula boten tumut-tumut // yen kawula
ngekahana .. ngudur balung tanpa isi.
Tidak boleh
menarik kata // saya malu ditertawakan bumi dan langit // Sabdapalon berkata //
silahkan paduka lanjutkan // saya tidak ikut-ikut // jika saya memaksa //
berebut balung tanpa isi.
9.
Prapteng
samanten kewala // gen kawula momong paduka Aji // pan wus dadya tekat ulun //
ngleluri luhur Jawa // kula pamit kesah ing sapurug-purug // Sri narendra ris
ngandika // sira lunga menyang ngendi.
Sampai di sini
saja // tugasku mengawal paduka raja // karena telah menjadi tekadku // menjaga
leluhur jawa // saya mohon pamit akan akan mengelana // Sri Narendra berkata //
Kau akan pergi ke mana
10.
Sabda Palon
aturira // datan kesah tan manggen wonten ngriki .. mung netepi nama ulun //
nama Ki Lurah Semar // kula nglimput saliring samar // kang wujud
anglelela kalingan padang // den enget Sang Nata benjing.
Sabdapalon
menjawab // tidak pergi dan tidak bertempat di sini // hanya menurti namaku //
nama Ki Lurah Semar // Saya bersembunyi di segala yang samar // yang jelas
ujudnya tertutup terang .. ingatlah wahai raja, besuk.
11.
Yen wonten
manusa Jawa // Jawa Jawi mangerti netra siji // nama sepuh gama kawruh // niku
momongan kula // arsa ngrangkul weruhken bener luput // sigra tedak Sri
Narendra // arssa ngrangkul den inggati.
Jika ada
manusia Jawa // Orang jawa yang paham tentang jawa dan mengerti dengan mata
satu // Sepuh membawa ilmu Agama // itulah momonganku // akan merangkul
menunjukkan benar dan salah // segera turun sang raja // akan memeluk namun
dihindari.
12.
Sabda Palon
Genggong Naya // sami musna kadung Sri Narpati // kalangkung pangungunipun //
Sang Nata neggak waspa // angandika eh Sahit kawruhanmu // ing besuk nagri
Blambangan // aran nagri Banyuwangi.
Sabdapalon
Nayagenggong // keduanya musnah, sedangkan sang raja // sangat dalam
penyesalannya // menelan air mata // berkata : Wahai Sahit // ketahuilah // di
belakang hari negeri Blambangan // berganti nama menjadi Banyuwangi.
13.
Ya iku
tengeranira // Nayagenggong bali mring Jawi // anggawa momonganipun // mata
siji kang wignya // Sabdapalon maksih aneng sabrang nglimput // tengeran iki
yen sendang banyune wus mari wangi.
Itulah
tandanya // Sabdapalon Nayagenggong kembali ke tanah jawa // membawa asuhannya
// ahli dalam menggunakan mata satu (mata hati) // Sekarang Sabdapalon masih di
luar jawa bersembunyi // tandanya adalah jika sedang airnya sudah tidak
berbau harum.
14.
Wong Jawa
salin Agama // wong kang padha Agama Islam benjing // aganti Agama Kawruh //
Sunan Kali turira // yen makaten utaminira pukulun // prayogi kawula bekta //
kang tirta arum puniki.
Maka orang
jawa akan berganti Agama // orang yang beragama Islam besok // akan berganti
menjadi agama kawruh // sunan Kali berkata // jika demikian yang utama wahai
raja // sebaiknya saya bawa // air yang berbau wangi ini
15.
Kawula damel
pratanda // lamung langgeng kang tirta maksih wangi // alanggeng Agami Rasul //
kang kangge Tanah Jawa // lamun ical malih dados amis arus // aleres dawuh
paduka // ing benjang santun Agami.
Akan saya
jadikan sebagai tanda // jika tetap air ini berbau wangi // akan langgeng Agama
Rasul // yang di pakai di tanah jawa // jika hilang dan berubah berbau amis dan
arus // benarlah kata paduka raja // dibelakang hari akan berganti Agama.
16.
Angandika Sri
Narendra // agaweya bumbung pring jawa kalih // sira isanana banyu // kang
sisih banyu tawa // pan karyanen sangu yen ngelak neng dlanggung // ingkang
siji isenana // kang tirta arum puniki.
Berkataah Sri
Rarendra // Buatlah potongan bambu jawa dua buah // kau isilah air // yang satu
air tawar // untuk menjadi bekal jika haur di perjalanan // yang satunya isilah
//dengan air yang berbau wangi itu.
17.
Sunan Kali
sigra karya // bumbung kalih pring Jawa kang wus garing // sigra ingisenan
banyu // kang sisih banyu tawa // ingkang siji ing ngisenan banyu arum //
sinumpet wawadahira // tinutup ron pandan sili.
Segeralah
Sunan kali membuatnya // dua buah tempat air dari bambu jawa yang telah kering
// kemudian di isi air // yang satunya air tawar // yang satunya air harum //
ditutuplah tempat air itu // ditutup menggunakan daun pandan sili.
18.
Sabat kalih
kinen bekta // siji sabat anggawa banyu siji // sigra sareng tindakipun //
saking ing sendang ganda // Sri Narendra kang tumindak aneng ngayun // Sunan Kali
munggeng tengah // sabat kalih ingkang ngiring.
Dua sahabat
Suna Kalijaga disuruh membawanya // satu sahabat membawa satu buah // dan
segeralah berangkat // dari sedang yang berbau harum // Sri narendra berjalan
di depan // yang ditengah Sunan Kali // dua abdi mengiring di belakang.
19.
Kadalon wonten
ing marga // Sumber Watu tedak nyipeng sawengi enjing binuka kang bumbung //
ginanda toyanira // datan ewah gandane kadi rumuhun // lajeng tindak Sang
Narendra // klawan Jeng Sunan Kali.
Kamalaman di
jalan // di Sumberwatu istirahat dan bermalam // paginya dibukalah tempat iar
// dicium airnya // tidak berubah baunya tetap seperti semula // Kemudian
berjalan lagi sang raja // bersama dengan Sunan Kali.
20.
Surup prapta
Panarukan // Sri Narendra nyare ngriku sawengi // enjing binuka kang bumbung //
ginanda gandanira // datan owah gandane kadya rumuhun // lajeng tindaknya Sang
Nata // surup prapta ing Besuki.
Senja sampai
di Panarukan // bermalam semalam // paginya tempat air dibuka // dicium baunya
// baunya tidak berubah tetap seperti semula // berjalan lagi sang raja //
senja sampai di Besuki.
21.
Nyare sadalu
Sang Nata // sareng enjing toya pinirsa malih // ginanda kang toya arum // kang
toya tambah ngambar // sigra lajeng tedakira Sanga Prabu // surup
prapteng Prabalingga // nyare sadalu Sang Haji.
Sag Raja
bermalam semalam // paginya iar dilihat lagi // dicium air yang harum // baunya
semakin semerbak // kemudian raja melanjutkan perjalanan // senja sampai di
Probolinggo // bermalam semalam sang Raja.
22.
Benjingira
mriksa toya // bumbung toya tawa pinriksa dingin // datan ewah gandanipun //
miwah raosing toya // nanging muruh umplukking toya kang arum // kang
toya rawa meh telas den inum samargi-margi.
Paginya air
diperiksa // tempat air tawar diperiks aterlebih dahulu // tidak berubah baunya
// dan juga rasanya // namun mengeluarkan busa air yang berbau harum // air
tawar hampir habis di minum dalam perjalanan.
23.
Kang toya arum
punika // pan ginanda gandane banger bacin // aor inggih raosipun // ponang
toya binucal // Sri Narendra alon pangandikanipun // heh ta Sahit wruhanira
nagri Prabalingga benjing .
Air yang harum
ini // ketika dicium baunya arus dan bacin // berubah rasanya // kemudian air
di buang // Sri narendra pelan berkta // Wahai Sahit, ketahuilah nagri
Probolinggi di masa yang akan datng.
24.
Lestari aran
nagara // Prabalingga nanging banger kang warih // ing kene anggone besuk //
pakumpulane bangsa // ing ngendi gonira marsudi ing kawruh // kawignyaning
kalahiran // denira marsudi budi.
Namanya tetap
tidak berubah // di Probolinggi iar menjadi banger // di sinilah tempatnya
besok // Tempat berkumpulnya // dimana kau akan belajar ilmu // keahlian dalam
tata lahir // dan juga tempat belajar tentang Budi.
25.
Denya ajar
dadi Jawa // Jawa Jawi mangerti netra siji // yen mung siji netranipun // kabeh
manusa Jawa // pada eling Agamane // Budi kawruh tegese ran Prabalingga //
prabawane wong Jawi.
Untuk belajar
jadi Jawa // jawa jawi akan paham dengan satu mata (mata hati ) // jika hanya
menggunakan satu mata (mata hati) // akan ingat Agamanaya // Budi ilmu itu
artinya dan disebut Probolinggo // kewibawaan orang jawa.
26.
Kelangan
prabawaning angga // sarak Rasul kanggo ing Tanah Jawi // mung patangatus Rong taun // patang karaton ji Jawa // dungkap
kraton lilima Agama Santun // Agama kawruh kang kanggya // pratanda gandaning
warih. (Parong = PORONG).
Kehilangan
kewibawaan raga // Sarak Rasul di pakai di tanah jawa // mung patangatus rong
tahun (empat habis .. kembar dua ) .empat kerajaan di jawa // menginjak yang
kelima Gama Santun // Agama Ilmu yang di pakai // dengan tanda berubahnya bau
air.
(Inilah yang
dimaksud Agama di Serat Darmagandul ... bahwa makna di balik KATA AGAMA.. yang
dimaksudkan bukan Agama seperti arti kata sesunguhnya.. akan tetapi bermakna..
soal Aturan Hukum sebagai pedoman dalam mengatur sistem pemerintahan .. Sejak
jaman dahulu, aturan hukum selalu mengikuti hukum yang dianut raja .. Mengikuti
aturan hukum yang bersumber dari Budi .. Sedangkan Hukum Syariat Islam dalam
mengatur urusan Negara di tanah Jawa .. hanya mampu bertahan Patang atus rong
tahun.. empat kerajaan habis ... rong (2) kembar – Solo dan Yogya dua yang
sebelumnya adalah Demak dan Pajang– Sedang yang kelima .. menggunakan sistim
kawruh = Ilmu – hasil penalaran akal = Pancasila .) Sedangkan soal Agama yang
bermakna keyakinan tentang TUHAN.. Di tanah Jawa == tiak ada Satupun Raja yang
melarangnya ... Itulah Uniknya Serat Darmagandul === Makna Kata Agama yang
bermakna Sistem pemerintahan ==== Yang dijadikan perbatahan antara Raja
Brawijaya dengan Sabdapalon Nayagenggong --- adalah AGAMA yang bermakna sistem
dalam mengatur Negara. (Ini pendapat pribadi penterjemah --- sedangkan makna
sesungguhnya tetap tersimpan di naskah aslinya). Buku sebatas HIDANGAN.. makan
hidangan itu secukupnya dan yang sesuai selera.. Yang tidak selera jangan di
ambil.. jika dihabiskan semuanya.. kata Orang JAWA itu tidak sopan dan serakah
namanya.
27.
Arume mung
patang dina // dungkap panca ari gandane bacin // wus pastinira Hyang Agung //
tyasingsun manut tangga // demen nunut nunut seje bangsanipun / anganggo Agama
Ngarab // atinggal Agama Budi.
Harumnya hanya
empat hati // pada hari ke lima baunya banger // telah menjadi kehendak Tuhan
// pikiran ku nurut tetangga // senang ikutan-ikutan bangsa lain // memeluk
Agama Arab // meninggalkan Agama Budi.
28.
Lajeng
tindaknya Sang Nata // sapta hari prapta ing Ngampel Gading // Nyai Ageng
Ngampel methuk // tunduk angaras pada // myang udrasa katah-katah sambatipun //
Sri Narendra lon ngandikan // wus menenga aja nangis.
Perjalan sang
raja // setelah empat hari tiba di Ampel Gading // Nyai Ageng yang menyambut //
duduk bersimpun menyembah // serta menyampaikan keluhannya // Sri paduka
menenangkan // berhentilah menangis.
29.
Mupus karsaning
Allah // sira iku urip darma nglakoni // wus tinulis lohkil makpul // begja
cilakanira // nora kena suminggah karseng Hyang Agung // wajibe manusa
gesang // ing rat Jawa brata ngelmi.
Terimalah
kehendak Tuhan // hidup itu hanya sebatas menjalankan // Telah tertulis di
kitab catatan kehidupan // setiap nasib manusia // tidak akan bisa menghindar
apa yang telah menjadi ketetapn Tuhan // kewajiban hidup manusia // Di tanah
jawa itu mencari ilmu.
iv.
HASMARA DANA
EEdit : Pujo Prayitno
1
Nyi ageng
Ngampelgading // umatur marang Narendra // ngaturaken sahature // kang wayah
Sultan Bintara // kadya kasebut ngarsa // angandika Sang Prabu // lah ta sira
timbalana.
Nyai Ageng
Ngampel Gading // Berkata kepada raja // menyampaikan tentang // Sultan Bintara
cucunya // seperti diceritakan di depan // Berkatalah sang raja //
segeralah kau panggil.
2.
Si Patah mring
ngarsa mami // Nyi Ageng akarya surat // sampun lumampah dutane // tan winuwus
aneng marga // wus prapta negri Demak // surat katur mring Sang Prabu // winaca
sinukmeng driya.
Si Patah untuk
menghadap kepadaku // Nyai Ageng membuat surat // Duta yang membawanya // tidak
dicerita dalam perjalanannya // telah sampailah di Demak // Kepada Sang prabu
surat disampaikan // dengan perasaan senang dbacalah suratnya.
3.
Sigra ondang
Sri Bupati // budal marang Ngampel Denta // ganti ingkang winiraos // Raden
Bondan Kajawan // ing tarup myarsa warta // lamun nagri Majalangi // binedah
Dipati Demak.
Sang Bupati
segera mempersiapkan // berangkat ke Ngampel Denta // Ganti yang diceritakan //
Raden Bondan Kejawan // Di Tarup mendengar kabar // bahwa Majapahit // direbut
oleh Bupati Demak.
4.
Kang Ramam Sri
Narpati // lolos saking jroning Pura // datan kantenan prenahe // kalangkung
marma ing driya // Raden Bondan Kajawan // sigra dateng majalangu // lumampah
anamur laku .
Sri Raja
sebagai ayahnya // melarikan diri dari kerajaan // tidak diketahui tempatnya //
sagat sedihlah pikirannya // Bodan Kejawan // segera berangkat ke Majapahit //
berjalan dengan cara menyamar.
5.
Sapraptaning
Majapahit // nora cidra ing wardoyo // ing Majalengka bedahe // ngupaya warta
tan angsal // dununging ingkang Rama // nulya lajeng lampahipun // marang Nagri
Surabaya.
Setelah sampai
di Majapahit // bahw kabar yang diterimanya tida bohong // tentang hancurnya
kerajaan majapahit // dia tidak mendapat berita // keberadaan ayahnya // dia
terus melanjutkan perjalanan // menuju Surabaya.
6.
Sapraptaning
Surabanggi // Rahaden Bondan Kajawan // miyarsa warta dening wong // yen Rama
Sri Nata // rawuh ing ngampel denta // ananging sarawuhipun // Ngampel denta
kraos gerah.
Setelah sampai
di Surabaya // Raden Bondan Kejawan // mendapat berita bahwa // Ayahnya //
berada di Ngampel Gading // akan tetapi sesampainya di // Ngampel Gading,
kemudian sakit.
7.
Lajeng sowan
caos bekti // kang rama alon ngandika // sapa ngabektu maringong // kang putra
matur prasaja // kula putra paduka // Bondan Kajawan ing Tarup //
rinangkul lungayanira.
Dia menghadap
menyampaikan sembah // ayahnya pelan berkata // siapakah yang berbakti kepadaku
// sang anak jujur berkata // hamba putra paduka // Bondan Kejawan di Terup //
segera dipeluknya dia.
8.
Gerahe saya
ngranuhi // wau ta jeng Sri Narendra // wus kraos prapteng takdire // dumugi
ing puput yuswa // puwara lon ngandika // lah Sahit mareka ingsun // sun
arsa prapteng antaka.
Semakin parah
sakitnya // ketika Sri Narendra // merasanakan bahkan akan sampai takdirnya //
akan berakhir umurnya // kemudian berkata // Wahai Sahit, mendekatlah padaku //
Ingsun akan sampai pada akhir hidupku.
9.
Sira akarya
tulis // mring Pengging myang Panaraga // den age sun tandanane // narima
karsaning Hyang // rusake majalengka // aja na ngrebut karatun // karya paring
darudahing rat.
Kau buatlah
surat // yang ditujukan ke Pengging dan Ponorogo // segeralah akan saya tanda
tangani // teraimalah apa yang menjadi Takdir Tuhan // dengan rusaknya
Majapahit // jangan ada yang berebut kerajaan // hanya akan membuat kerusakan
di dunia.
10.
Ngemana
rusaking dasih // sebaa marang ing Demak // den rukun sapungkuringong // sapa
kang awit ala // sun pinta marang sukma // apesa ing yudanipun // Sunan Kali
sigra nyerat.
Kasihanilah
penderitaan rakyat // Datanglah ke Demak // rukunlah sepeninggalku // siapa
yang mendahului perang // saya mohon kepada Tuhan // Apes perangnya // Sunan
Kali segera menulis.
11.
Wus dadya
dipun andani // tapak asmaning Narendra // wus lumampah carakane // Sri
Narendra ris ngandika // Sahit sapungkuringwang // sira den ngemong satuhu //
marang anak putuningwang.
Setelah jadi
diberilah // tanda tangan sang Raja // telah berjalan carakanya // sang raja
pelan berkata // Wahai Sahit, sepeninggalku // asuhlah dengan sabar // semua
anak cucuku.
12.
Ingsun titip
bocah iki// saturune sira monga //manawa ana begjane // bisa nurunake benjang
// lajering Tanah Jawa // lawan malih wekasingsun // yen ingsun prapteng
antaka.
Saya titip
anak ini // sampai dengan anak cucunya, asuhlah // jika ada anugerah Tuhan //
nantinya akan bisa menurunkan // Panutan di Tanah Jawa // dan juga wasiatku //
jika saya sudah meninggal dunia .
13.
Sarekna ing
Majapahit // salor wetaning sagaran // aranana kuburingong // ing Ngastana
Sastrawulan // lawan sira suwurna // ingkang sinarekaken ngriku // yayi Dewi
Putri Cempa.
Makamlah saya
di Majapahit // di sebelah Timur Laut tambak Segaran // di Astana Sastrawulan
// Dan kau ceritakan // bahwa yang dimakamkan di tempat itu // adalah Makam
Dewi Putri Cempa.
14.
Lawan malih
wekas mami // anak putuningsun benjang // ja kawin Putri Cina // aja gawe
senapatya // ing ngaprang liya bangsa // jeng Sunan Kali umatur // punapa
paduka Nata .
Dan juga pesan
ku // anak cucuku besok hari // jangan menikahi Putri Cina // Dan jangan
mengangkap Senopati // Perang, dari lain bangsa // Sunan Kali berkata // Apakah
engkau paduka raja.
15.
Boten paring
dawuh idi // mring putra paduka nata // Sultan Demak jumenenge // Narendra ing
Tanah Jawa // Sang Prabu angandika // iya sun ideni iku // kandeg telung
panjenengan.
Tidak memberi
restu // kepada putra paduka // atas pengangkatan Sultan Demak // sebagai raja
yang menguasai tanah jawa // Sang Prabu berkata // Iya saya ijinkan // hanya
sebataras tiga turunan saja.
16.
Umatur Jeng
Sunan Kali // dawuh paduka punika // amba nyuwun mangertose // Sri Nata alon
ngandika // tegese sastra wulan // sastra tulis tegesipun // basa wulan damar
jagat.
Berkatalah
Sunan Kali // perintah paduka ini // saya mohon dijelaskan maksudnya // Sri
Narendra pelan berkata // arti kata “Sasatra Wulan” // Sastra adalah tulis
(ilmu) // wulan (Bulan) adalah lampu dunia. (Ilmu penerang dunia).
17.
Tulisira kubur
mami // amung sagebyaring wulan // yen maksih ana gebyare // ing wulan ing dina
wuntat // wong Jawa pada wikan // lamun Islam sedanipun // mulane sun kon
nyuwurna.
Berilah
tulisan di makam ku // hanya sekejab sinar bulan menerangi // Jika masih ada
cahaya yang memancar // dari Bulan, di belakang hari // Orang jawa barulah
paham // Bahwa saya meinggal dunia dengan membawa Agama Islam // sehingga yasa
menyuruh untuk menyebarkan kabar bahwa yang ada di dalam makam saya itu adalah.
18.
Astana yayi
Dewi // sang Raja Putri Cempa // ingsun wus diwadonake // si Patah tan
nganggep priya // yen ngrasa darbe Bapa // lanang dadi Ratu Agung // tan
mangkana siyanira.
Makam Yayi
Dewi // Putri Cempa (Sekarang lebih dikenal dengn nama Makam Putri Cempa di
Trowulan – Mojokerto ). // Saya dianggap perempuan // si Patah tidak mengangap
saya laki-laki // Jika dia merasa punya ayah // laki-laki yang menjadi Raja
Besar // tidak akan berbuat demikian.
19.
Mulane mung
sung wangeni // turun telu idiningwang // Si Patah telu wijile // Jawa Cina lan
raseksa // mulane kolu Bapa // arusuh ing tekat ipun // mulane ingsun
mitungkas.
Sehingga saya
batasi // Hanya ssampai 3 keturunan yang saya ijinkan // Si patah tiga
keturunannya // yaitu Jawa; Cina dan Raksasa // Sihingga tega kepada ayah
sendiri // jahat cinta-citanya // sihingga saya berwasiat.
20.
Aja kawin liya
jinis // ing sajroning sih sinisihan // ngobahake agamane // ngapesake uripe //
mulane sun mitungkas // aja liya bangsanipun // gawe senapatining prang.
Jangan menikah
beda Agama // ketika sedang bermesraan // akan merongrong agamanya // akan
berakibat sial hidupnya // dan juga saya berwasiat // jangan mempunyai
Panglima Perang lain bangsa.
21,
Ngentengaken
sihireng Gusti // aneng sajroning ngayuda // amaro tingal ciptane // wus tutug
pitungkasingwang // cateten aneng serat // wus telas ing dawuh ingsun // asta
sidakep priyangga.
Menganggap
enteng rajanya // ketika berperang // pikirannya bercabang dua // sudah habis
wasiat ku // tulislah dalam surat // telah habis perintahku // tangan
bersedakep sendiri.
22.
Wus surut
Srinarpati // samya mituhua parentah // ing Majalengka sinare // ing Ngastana
Sastrawulan // katelah prapteng mangkya // kang mashur sinare ngriku // Sang
Raja Putri Cempa.
Telah
waafatlah sang raja // semua melaksanakan wasiatnya // dimakamkan di Majaphit
// di Astana Sastrawulan (Sekarang dikenal dengan nama “ Daerah Trowulan –
Mojokerto) // dikenal sampai sekrang // bahwa yang dimakamkan di situ adalah //
Putri Cempa.
23.
Denen Putri
Cempa yekti // sedane aneng ing Tuban // Karang Kumuning sinare //
ingkang aneng Majalengka // iku astananira // Ratu Agung Majalangu // Maha
Prabu Brawijaya.
Sedangkan
Putri Cempa // meninggal di Tuban // di makankan di Karang Kemuning //
sedangkan yang ada di Majalengka // itu adalah makam // Raja Besar Majapahit //
Maha Prabu Brawijaya.
24.
Awetara tigang
hari // praptane Sultan Bintara // wus kapanggih lan eyange // kang eyang alon
ngandika // putu wus bejanira // ora menangi ramamu // tan kongsi ngabekti
sira.
Sekitar tiga
hari // sampailah Sultan Bintara // telah bertemu dengan eyang putri di
Ampel // Nyi Ageng Ngampel pelan berkata // Cucuku sudah menjadi nasibmu // kau
tidak sempat bertemu denegan ayahmu // kau tidak sempat memberi hormat padanya.
25.
Datan nganti
nyuwun idi // tetepmu jumeneng Nata // lawan nyuwun ngapurane // kabeh
kaluputanira // kang uwis kalampahan // Sultan Demak wuwusipun // punapa malih
rinasa.
Tidak sempat
mohon restu // kamu menjadi raja // dan juga tidak sempat mohon maaf // atas
semua kesalahanmu // yang telah kamu lakukan // Sultan Demak berkata // Apalah
yang bisa saya katakan.
26.
Sawusira
tigang ratri // sigra kundur Sultan Demak // sareng lan Sultan Ampele // ing
marga datan winarna // prapta nagari Demak. Nulya ngedaton Sang Prabu // yata
ganti cinarita.
Setelah tiga
minggu // Sultan Demak kembali pulang // Bersamam SULTAN Ampel // di jalan
tidak diceritakan // sampailah di Demak // Sang Raja segera masuk ke dalam
Keraton // Sekarang berganti cerita
27.
Andayaningrat
ing Pengging // lan dipati Panaraga // sira Sang Bathara Katong // sami
amiyarsa warta // Hadipati ing demak //ambedah ing majalangu // sinamar sowan
rihaya.
Penguasa
Pengging // dan Adipati Ponorogo // bergelar Sang Bathara Katong // mendengar
kabar bahwa // Adipati Demak // melakukan kudeta di Majapahit // dengan jalan
pasukannya masuk dengan cara menyamar bersilaturahmi seperti hari raya satu
demi satu.
28.
Kang Rama
Srinarpati // Lolos saking jroning Pura // datan kantenan dununge // kalangkung
bramantyanira // sigra ngundangi wadya // sakapraboning prang pupuh // sumedya
rerempon yuda.
Sedangkan
ayahnya Sang Raja // melarikan diri dari dalam keraton // tidak diketahui
tempatnya // terbakarlah kemarahannya // segera mengumpulkan pasukan // lengkap
dengan peralatan perangngya // untuk melakukan penyerangan
29.
Amukul Demak
nagari // labuh Rama rebut Praja // wus miranti Prajurite // kasaru ing
praptanira // caraka mundi serat // tinampan binuka sampun // winaca sinukmeng
driya.
Menyerbu Demak
// Membela orang tua merebut negara // setelah pasukannya siap berangkat //
tiba-tiba kedatangan // utusan yang membawa surat // surat dibuka // dibaca
dengan senang hati.
30.
Kang surat
dipun sungkemi // sru muwus adres kang waspa // jetung gereng-gereng kerot //
merbabak pasuryanira // lir pendah ginaluga // asru pangandikanipun // aja awet
ingsun gesang.
Dicium dan di
peluk sura titu // sambil menangis dan berurai air mata // termangu menahan
marah // merah padam wajahnya // bagaikan pendah ginaluga // sambil menjerit
berkata // jangan panjang umurku.
31.
Mundak
andadawa isin // sun Seba marang ing Demak // Hadi Pati kalih mogok // tan seba
marang ing Demak // tan harsa maguting prang // saking puteking tyasipun //
gerah satemah pralaya.
Saya tidak
tahan menanggung malu // jika harus datang ke Demak // Dua adipati mogok //
tidak datang ke Demak // dan juga tidak mau berperang // saking bingung
pikirannya // sakit dan meninggal dunia.
32.
Kang kocap
kauling gaib // sedane Handayaningrat // kalawan batara Katong // tinenung
Sunan ing Harga // dimen hajwa ngrubeda // ing Demak Kangjeng Sang Prabu //
kariya manising praja.
Ada kabar
burung bahwa // atas meninggalnya Sultan Pengging // dan Bathara Katong // di
santet oleh Sunan Giri // agar tidak menjadi penghalang // Raja Demak // agar
selamatlah negara.
v. DHANDHANGGULA
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Mula crita
Nagri Majapahit // sora timbang sahambaning praja // ya ambane jajahane //
cinekak critanipun // sabab buka wadining Haji // putra prang lawan Bapa //
sakalangkung saru // ing nganggit para Pujangga // anyemoni bedahe ing
Majapahit // pinacak Layang Babat.
Sehingga
cerita kehancuran Majapahit // tidak sebanding dengan luasnya kerajaan // dan
juga dengan banyaknya negara jajahan // sehingga ceritanya diringkas // agar
tidak membuka rahasia raja // Anak mengkudeta ayahnya sendiri // menurut adat
Jawa itu sangat tidak sopan // Sehingga para Pujangga membuat kisah //
perlambang/ibarat saja tentang kehancuran Majapahit // yang termuat di “Cerita
Babat”. Yang berisi cerita :
2.
Marga saking
kramate pra Wali // kerisira Sunan Giripura // tinarik metu tawone // ngentup
wong Majalangu // Sunan Cerbon bedonge mijil // tikus yutan awendran // mangsa
sakeh sangu // miwah bekakas Turangga // bubar giris wong Majalengka sru miris
// tikus yutan awendran.
Karena
kewibawaan para Wali // Keris milik Sunan Giri // ketika dicabut, mengeluarkan
Lebah // Menyengat pasukan Majapahit // dari dalam Badong pusaka milik Sunan
Cirebon keluarlah // jutaan tikus (pasukannya menyusup satu demi satu dengan
jalan menymar) // dan memakan perbekalan // dan juga kuda // Porak
porandalah pasukan Majapahit dan melarikan diri karena ketakutan // melihat
tikus berjuta-juta jumlahnya.
3.
Peti saking
Palembang Nagari // dipun bukak madyaning paprangan // jumedul metu demite //
neluh wong Majalangu // bubar giris tineluh demit // Sang Prabu Brawijaya //
mekrat sedanipun// Iku pasemon sadaya bedahira // ing Majaphit sayekti kadya
kang kocap ngarsa.
Peti dari
Palembang // ketika dibuka di medan peperangan // keluarlah pasukan jin //
menyantet pasukan Majapahit // lari ketakutanlah disantet demit // Raja
Brawijaya // melarikan diri dan meninggal // cerita itu hanya untuk menutupi
cerita yag sebenarnya tentang cerita kehancuran // Majapahit sebagaimana yang
diceritakan di depan.
4.
Majalengka iku
wujud Nagri // nora kaya sinjang kena rusak // rusak dikrikiti bahe // lan
malih lumrahipun // tawon bubar den mangsa janmi // wana kerkeh demitnya //
rusake ginempur // mring wadya kang mamrih bangga // amung lagya bedahe ing
Majaphit // Praja Gung bedahira.
Makaphit itu
sebuah negara // bukan seperti jarit yang bisa rusak // rusak dimakan tikus //
dan juga pada umumnya // lebah itu takut kepada manusia // dan Hutanlah yang
banyak demitnya // Kehancuran Majapahit diserang dari belakang // oleh pasukan
yang telah menyusup satu demi satu dengan jalan menyamar // Jika kehancuran
Majapahit // Sebuah kerajaan besar jika hancurnya.
5.
Margi saking
tawon tikus demit // iku kanda ing caritanira // pralambang pasemon bae // sapa
pracaya iku // tanda jalma uteke isi // tlethong babi lan sona // jen jalma
satuhu // kang simpen utek mardika // tan pracaya nalare // aneh kapati tan
tepung lawan nalar.
Hanya
disebabkan oleh lebah, tikus dan jin // seperti yang termuat dalam cerita //
itu hanya lambang ibarat saja // siapapun yang percaya cerita tersebut // itu
hanya untuk manusia yang otaknya berisi // kotoran babi dan anjing // jika
benar-benar manusia // yang mempunyai otak merdeka // tidak akan mempercayainya
// cerita aneh dan tidak masuk akal.
6.
Nora cocok
lahir lawan batin // iku tandane carita dora // pralambang pasemon kabeh // yen
tinulisa tuhu // caritane ing Majapahit // ambuka wadi Nata // Pujanggane takut
// mila pasemon kewala // pasemone pralambangira asami // mangkene tegesira.
Tidak sesuai
dengan kenyataan lahir dan batin // itu menunjukan cerita bohong belaka //
hanya ibarat semua // jika ditulis apa adanya // cerita kehancuran Majapahit //
akan membuka rahasia raja // para Pujangganya takut // sehingga dibuat cerita
ibarat saja // sebagai pasemon dan lambang // cerita yang sesungguhnya adalah
sebagai berikut :
7.
Tikus iku
watak krikit-krikit // lama-lama ye den umbar ngrebdha // pangane angentekake
// para Ngulama Ngarbun // praptanira ing Tanah Jawi // amung badan sapata //
sowan mring Sang Prabu // padha nyuwun panguripan // di paringi bareng wus lemu
kang paring urip nulya rinusak.
Tikus itu
berwatak suka menggerogoti // jika dibiarkan, semakain lama semakin bekembang
// akan menghabiskan makanan // Para Ulama Arab // ketika datang ke Pulau Jawa
// hanya membawa badan saja // ketika menghadap raja // memohon untuk diberi
penghidupan // setelah dikabukan sehingga gemuk yang memberi penghidupan
kemudian dihancurkan.
8.
Tawon iku gawa
raga manis // gegamane aneng silitira // tala gowok paturone // puniku
semonipun // pan sanyata wong Islam iki (orangnya saat itu.Pen) // mung manis
rembug ngarsa // ngentup saking pungkur // akolu angrusak praja // Majalengka
Ratu ingkang ngurip-urip // weh gawok kang miharsa.
Lebah itu
membawa penampilan yang manis // senjatanya berada di silit // bernama Tala
yang berada di lobang tempat tinggalnya // itulah lambangnya // akan tetapi
ternyata orang Islam saat itu // Hanya berkata manis di depan // menyengat dari
belakang // tega merusak kerajaan // Majapahit serta juga Rajanya yang telah
memberi penghidupan // dan memberikan tempat tinggal yang nyaman.
9.
Denen demit
den wadhahi pethi // gya binukak neng madyeng ranangga // jumeglug metu demite
// tegese plambang niku // nglimbang galih ganti agami // Pethi punika
wadah // simpenan kang brukut // demit niku makna samar // tukag teluh bedah
Nagri Majapahit // den teluh primpen samar.
Sedangkan
demit yang damukan ke dalam peti // ketika dibuka di medan laga // meledak
bersamaan dengan keluarnya Demit // arti lambang itu adalah // merayu hati agar
berganti Agama // Peti dan suatu wadah // untuk menyimpan sesuatu dengan rapih
// Demit itu berarti perbuatan tidak jelas // Tukang Santet dengan tujuan
menghancurkan Majapahit // Di santet agar tidak diketaui serangannya.
10.
Nora ana
critane kawiji // samudana seba ngestupada // lakune kinagetake // mulane pra
pra nung anung // Majalengka tan wikan masih // durung nganti sadiya //
kaprabon prang pupuh // Dipati Terung Nagara wus biyantu // mring raka Demak
Dipati // ambedah Majalengka.
Dan tidak ada
cerita yang keluar tentang apa penyebab kematiannya // pasukannya datang
menyamar menghadap menyampaikan sembah // sehingga tanpa ada curiga // dan
karena para pembesar // Majapahit tidak mengetahui bahwa akan di serang //
sehingga tidak siap sedia // tiba-tiba diserang mendadak // Bupati Terung telah
membantu // kepada kakaknya yaitu Bupati Demak // untuk menyerang Majapahit.
11.
Ambiyantu
ngrayah jroning puri // Buku-buku batuwak karajan // sarak Buda pikukuhe //
dipun obong sadarum // dimen sirna Agama Budi // supaya mituhuwa // marang
sarak Rasul // iku critane kang nyata // ing bedahe iya Nagri Majapahit //
timbang kalawan nalar.
Membantu
mejarah isi keraton // Buku-buku Undang-undang kerajaan // Buku Agama Buda
(Majaphit itu Hindu) // di bakar semuanya // agar sirnalah Agama Budi (Hakikat)
// agar mengikuti // ajaran syariat // itulah cerita yang sebenarnya // tentang
kehancuran Majapahit // masuk akal jika dika dinalar.
12.
Nora nana
crita dingin-dingin // Nagri Agung kaya Majalengka // bedahe den tupi tawon //
lan den krikiti tikus // bubar sarta den teluh demit // bedahe Majalengka //
apan misuwur // jumeglug swara lir gelap // suwarane warata satanah Indi //
wong Islam (orangnya saat itu.pen) watakira.
Sejak dahulu
tidak ada cerita // Negara seperti Majapahit // hancarnya hanya dikarenakan
disengat lebah // di gerogoti tikus // dan di santet // hamcurnya Majapahit //
terkenal dengan suara // meledak bagaikan petir // Suwaranya terdengar di
seluruh tanah Indi // Watak orang Islam (saat itu).
13.
Kaya tawon
tikus lawan demit // nora weruh kabecikaning Raja // asikara tanpa wite // awit
wruh puniku // para sunan sinebut Wali // Wali iku walikan // kekarepanipun //
mawas ngulon nolih ngetan // ya mulane den beciki angalani // mring Ratu
Majalengka.
Seperti lebah,
tikus dan demit // Tidak memandang kebaikan raja // menyiksa semaunya //
barulah bisa dipahami sejak itu // para Sunan disebut Wali (bhs. Jawa ) // Wali
itu Walikan (terbalik) // kehendaknya // menghadap kebaran melihat ke timur //
sehinga di beri kebaikan dijawab dengan kejahatan // kepada raja Majapahit.
14.
Wali wolu
sanga kang tinari // den mumule mring sagung wong jawa // ujar puniku tegese //
tegese Wali Wolu Sunan wolu mbalela mbalik // sangane Raden Patah // tinari ing
kewuh // ing ngangkat jumeneng Nata // sarta ngrusak karaton ing Majapahit //
mungsuh Bapa tur Raja.
Delapan wali
yang ke sembilan di tawari // dimuliakan seluruh orang jawa // kalimat itu
bermakna // arti dari Wali delapan adalah delapan Sunan balik melawan //
yang ke sembilan adalah Raden Patah // di hadapan pada dua masalah // untuk
diangkat menjadi raja // dan menghancurkan kerajaan Majapahit// melawan orang
tua sebagai penguasa.
15.
Mangertine
Sunan iku dadi // uwitira kawruh kaelingan // kang becik miwah kang awon // yen
akeh uwohipun // budi ngerti kelingan becik // wajibe sinuhunan // pinundi ing
ngembun // yen aweh krenah pitenah // kadya Sunan ingkang ngringkes nama Wali
// angrusak sarakira.
Yang dimaksud
Sunan adalah // Sumber ilmu kesadaran // untuk mengetahui yang baik dan buruk
// jika berbuah – budi akan paham pada kebaikan // seharunya tempat
permohonan // dimuliakan di atas kepala // tapi ketika memberi ilmu justru
mengandung fitnah // seperti Sunan yang meringkas nama menjadi Wali // membuat
kerusakan sekehendaknya.
16.
Wajibira wong
kang den beciki // sayektine males kabecikan // katelah prapta samangke //
Kristen Agamam Ngarbun // watak amil manis adremis // angrebut saking wuntat //
ing ngarsa anjenggung // lamun mati linurupan // mujur ngalor den teluh
sembahyang tlekim // melik slawat telung wang.
Seharusnya
orang yang diberi kebaikan // akan membalas dengan kebaikan // dikenal sampai
sekrang // Agama Kristen Agama Arab // wataknya hanya suka meminta // merebut
dari belakang // di depan memukul // jika mati ditutupi // membujur ke utara di
teluh sembayang talkim // mengharapkan sjalawat tiga uang.
17.
Beda lawan
Umate Jeng Nabi // wiwit pisan ngancik Tanah Jawa // telung prakra bandane //
kang dingin badanipun // budi ngerti sedya basuki // kapindo uwang barang //
kaping tiganipun // tatu jaja tugel jangga // pramilane rahayu prapteng
samangkin // tur akeh dananira.
Sangat jauh
dengan Umat Nabi yang sesungguhnya // pertama masuk tanah jawa // bermodalkan
tiga macam // yang pertama raga yang berisi // Budi (ilmu hakikat) sehingga
paham betul tentang keselamatan // yang kedua harta berupa uang dan barang //
yang ketiga // dada luka leher putus (berani berperang dengan cara satria) //
sehingga selamat sampai sekarang // dan juga banyak sedekahnya (Islam tetap
jaya di Tanah Jawa – sedangkan jika Syariat Islam di jadikan dasar negara –
kehancuran yang di dapat – seperti Demak-Pajang – mataram jadi dua kerajaan
umurnya pendek semua– terakhir malah di jajah belanda .. karena waktu itu
Syariat Islam hanya sebatas untuk Politik). Seperti juga yang diwasiatkan Nabi
Adam kepada salah satu putranya yang bernama Nabi Sis a.s. Bahwa Agama apapun
yang masuk ke Tanah jawa .. akan mudah tercampuri budaya lokal.
18.
Kiraningsun
dina wuri-wuri // banda uyah mulih dadi uyah // wong Jawa ilang antepe //
maring Agama Ngarbun // pada ganti Agama Srani // ngancik ing Tanah Jawa // toh
wang barang umur // jejeg adil nora siya // ala nganggur sun titeni sambi
guling // gantinira Agama.
Perkiraanku di
belakang hari // modal uyah akan kembali uyah // Orang jawa kehilangan
ketetapan hatinya // kepada Agama Arab // akan berganti ke Agama Srani // masuk
ke tanah jawa // bertaruh uang dan umur // tegal adil tidak berkelakuan
jelek // tidak senang menganggur akan saya perhatikan sambil rebahan // akan
bergantinya Agama.
19.
Pituture Budi
kang mung wari // sadurunge tedak Majalengka // kuntul Tanah Jawa akeh //
durung ana kukuncung // sabedahe ing Majaphit // kraton ngalih mring Demak //
gantii sarak Rasul // kuntul ing donya kunciran // kombang kebo tyasira telas
binukti // ceples tuma handapan.
Kabar berita
dari Budi // sebelum kehancuran Majapahit // banyak burung bangau di tanah jawa
// belum berkuncir // setelah hancurnya Majapahit // dan kerajaan pindah ke
Demak // Dasar Negara diganti Syariat // sejak itu burung bangau di dunia
berkuncir // Kumbang besar pikiranmu habis dimakan // kutu rendahan.
20.
Mangertine
kebo raja sugih // kombang iku wenang tanpa ngucap // ambrengengeng suwarane //
punika semonipun // Brawijaya ing Majaphit // telas rahosing driya // mengsah
lawan sunu // hanggereng tan lawan ing prang // Dewa luwih kang paring belok
ginaib // kombang hatine telas.
Yang dimaksud
kerbau Adalah Raja Kaya // Kumbang itu berkuasa tanpa berkata // mendengung
suaranya // itulah ibaratnya // Brawijaya raja Majapahit // habis perasaan
hatinya // bermusuhan dengan anak // Hanya menggeram tidak dilawan dengan
perang // Tuhan yang Maha Luwih telah memberi pasung gaib //
Kumbangmenghabiskan hati.
21.
Pan dimangsa
tuma nganti enting // tuma iku tegesira tuman // andapan krumaning celeng //
Raden Patah puniku // praptanira ing Majaphit // sumungkem ngaras pada // nira
Sang Prabu // mring rama pinaring manah // dipun angkat neng Demak nama Dipati
// wusana makan manah.
Harina dihisap
kutu sampai habis // Tuma itu berarti kebiasaan // Kutu dari babi hutan //
Raden Patah adalah // ketika datang di Majaphit // bersujud mencium // kaki
sang raja // kemudian di beri hati // dinobatkan menjadi Bupati Demak //
kemudian memakan hati.
22.
Mukul perang
angrebat nagari // tinggal tata tan nganggo panantang // anganggo caraning
celeng // tan ngetang bener luput // nelasaken galih Sang Haji // punika
semonira // tuma mangsa kalbu // tegesira tuma tuman // kalbu hati telas galihe
Sang Haji // dimangsa putra ngandap.
Menyerang
perang merebut kerajaan // dengan cara tanpa aturan tanpa tantangan //
mengunakan cara babi hutan (Menyusup menyamar) // tidak memperhitungkan benar dan
salah // menghabiskan pikiran raja // itulah lambangnya // kutu makan kalbu //
tegesa tuma itu kebiasaan // habislah perasaan hati sang raja // dihabiskan
anaknya yang kecil.
23.
Denen kuntul
nganggo den kuciri // pasemone Jeng Sultan ing Demak // cumeri-ceri sengite
mring Ratu Majalangu // sebab Buda Agama kapir // tan tolih kaluputan // Allah
paring semu // gitoke kuntul kuciran // tegesira tolihen gitokireki //
(hasalireki) Ibune putri Cina.
Sedangkan
burung bangau berkuncung // ibarat sultan Demak // benci yang teramat sangat
kepada raja Brawijaya // Sebab beragama Buda dan kafir // tidak melihat bahwa
tindakannya salah // Tuhan memberi peringatan // belakang kepala bangau
berkuncung // artinya lihatlah tengkukmu // asal dirimu dari Ibu Cina.
24.
Nora kena tyas
cumeri ceri // sengit dupeh seje kang Agama // wus pinasti dewe-dewe// mung
bener lawan luput // Gusti Allah ingkang ngadili // mula paring pratanda //
pasemone puniku // githok kuntul kekunciran // wus tolehen kaluputanira iki //
dosamu tri prakara.
Dalam hati
tidak boleh membenci // membenci karena beda Agama // telah digariskan
sendiri-sendiri // antara benar dan salah // Hanya Allah yang mengadili //
sihingga memberi tanda // ibaratnya adalah // tengkuk bangau itu berkuncung //
lihatlah kesalahan dirimu sendiri // dosamu tiga macam.
25.
Nuduhake wijil
datan murni // seje bangsa lan seje Agama // mulane rusuh tekade // purwane
wiji Ratu // Sriwijaya ing Majapahit // Ratu Gung Binathara // ina ing tyasipun
// amelik jumeneng Nata // dene mamak melik tega leluhuri // ibumu putri Cina.
Menunjukan
keturunan tidak murni // beda bangsa dan beda agama // sehinga tidak karuan
kelakuannya // berasal dari keturunan Ratu // Sriwijaya ----- pergi ke Majaphit
// Raja besar berwibawa // sangat rendah kalbunya // menginginkan menjadi raja
// buta matanya sehingga tega kepada leluhurnya // Ibumu putri cina.
26.
Mila kendel
tan darbe dudugi // ngrebut praja tan mawi ukara // Arya Damar campurane //
sang Aria Damar iku // ibunira putri raseksi // sukane ngokop erah // siya
ambegipun // mulane gething wong Buda // pan katarik Agama minturut Ngarbi //
gething marang wong Budha.
Sihingga nekad
tidak punya sopan santun // merebut kerajaan tanpa tantangan // karena telah
tercampur oleh Arya Damar // sedangkan Aria Damar itu // beribu putri raseksi
(raksasa perempuan) // sukanya minum darah // jahat kelakuannya // shingga
membenci orang buda // dan juga suka Agama menurut Arab // membenci orang buda.
27.
Yen murniya
wijine tiyang kalih // seje bangsa lan seje Agama // yekti tan ana lumrahe //
amungsuh lan wong sepuh // mukul perang angrebut nagri // tan toli kaluputan //
mungsuh Bapa Ratu // ora lawan dipun siya // amung sabab tan purun ganti Agami
// iku dudu prakara.
Jika murni
dari biji dua orang // beda bangsa dan agamanya // pasti tidak akan mungkin //
memusuhi orang tuanya sendiri // menyerang merebut negara // tanpa melihat
kesalahan // melawan orang tua raja // selain di lawan juga disia-siakan //
hanya disebabkan tidak mau berganti Agama // itu mukan penyebab.
28.
Pangrasane
amung Bangsa Ngarbi // ingkang bener bangsa liyane // salah kabeh agamane //
ing ngaran kapir turun // mila Raden Patah sru gething // wong kang Agama Cina
// Allah paring semu // gitoke kuntul kuciran // tegesira tolehen ugi // dosa
geng tri prakara.
Hanya merasa
hanya Budaya Arab // yang paling benar dibanding bangsa yang lain // salah
semua agamanya // disebut kafir keturunan // sehingga Raden Patah sangatlah
benci // orang yang beragam cina // Allah memberi tanda // burung bangau berkuncir
// artinya lihatlah ke belakang// dosa besar tiga jenisnya.
29.
Mungsuh Ratu
kalawan Sudarmi // ambeciki angsung kanugrahan // teka rinusak prajane // tan
ana luputipun // sabab amung tan arsa ganti // Agama Rasulullah // iku dudu
laku // Allah sampun luwih wikan // ing sakarsa Agama lelurineki // katelah
prapta samangkya.
Melawan raja
dan juga orangtuanya sendiri // yang telah memberi kebaikan dan kesenangan //
tiba-tiba dirusak negaranya // tanpa ada salah // hanya disebabkan tida mau
berganti // Agama Rasulullah // dikenal sampai sekarang.
30.
Sabab kuntul
asemuci-suci // panganggone kabeh sarwo seta // resik inggil paturone // kayu
nginggiling banyu // saben jedul asuci sikil // sarta lan raup muka // nanging
tyase rusuh // ajember pakanira // putih jaba ing jeru metu bang langking //
semon wali sadaya.
Bangau yang
berlagak suci // pakaianny serba putih // bersih tinggi tempat tidurnya // kau
di atas air // tiap keluar bersuci kaki // serta cuci muka // namun hatinya
kotor // kotor pula yang dimakan // di luar putih di dalam merah menyala //
itulah gambaran wali semua.
31.
Kang biyantu
bedah Majapahit // tan ngengeti kabecikan Nata // asikara tanpa wite // sinemon
ing Dewa Gung // githok kuntul sami akuncir // iya pasemon samar // elok gaib
tuhu // supaya pada grahita // luputira pra Wali kang ahli budi //
ngrasaa luputira.
Yang telah
membantu menghancurkan Majapahit // tidak ingat kebaikan raja // menyerang
tanpa sebab // diberi tanda oleh Tuhan // Tengkuk bangau berkuncir // itu tanda
yang samar // sungguh sangat gaib // agar mawas diri // kesalahan wali yang
ahli budi // meralah atas kesalahanmu.
32.
Yen tan ngrasa
luput lahir batin // dipun walik imane ing benjang // janma lir kuntul wujude
// yen lungguh mlangkring kayu // nganggo putih tur nganggo kucir // mangsa
kodok lan kongkang // klenteng mesjidipun // sembah dluwang reca setan //
tinadahan rambut petak nganggo kucir // iku pasemoning Hyang.
Jika lahir
batinnya tidak meraa salah // akan dibalik imannya di belakang hari // manusia
bagai bentuk bangau // duduk di atas kayu // berpakaian putih dan berkuncir //
makan katak dan katak besar // klenteng masjdinya // menyebah kertas arca setan
// ditampung rambut putih (sorban) berkuncir // itu ibarat dari Tuhan.
33.
Rambut pethak
manut adat Ngarbi // rambut panjang nganut adat Jawa // klabang tri santri
jilmane // sambungan sarakipun // sarak Buda kapir myang Ngarbi // mulane
bangsa Cina // methik rambutipun // nuturken kapir kombangan // nuturaken dudu
Arab dudu Jawi // aran kapir kambangan.
Rambut putih
(sorban) itu budaya Arab // rambut panjang budaya jawa // di kelabang tiga
menjelma menjadi santri // dilihat dari rambutnya // menunjukan kafir
tengah-tengah // menunjukan bukan budaya Arab bukan budaya jawa // disebut
kafir tengah-tengah.
34.
Karemane amung
saba warih // ora bisa teles kang sarira // saking kandele sarate // tan pegat
sebutipun // saben melek cangkeme criwis // iku isbat kawruhe santri pawetri //
Islame tanpa guna.
Hobinya
bermain air // badannya tidak bisa basah // terlalu banyak kotoran badannya //
tidak pernah berhenti menyebut // tiap bangun mulutnya bercelumik // itu isbat
ilmunya santri wanita // Islamnya tak berguna.
35.
Mila mangke
kathah bangsa kucir // angajawa sebab alusira // santri Jawa duk waune //
kurang ing kawruhipun// sukmanira katutu ing angin // dukune tanah Cina //
mangke padha mantuk // rambute klabang mertiga // nuturaken yen aluse santri
brahi // jilma neng Tanah Jawa.
Sehingga
sekarang banyak bangsa berkuncir // pergi ke jawa karena sangat halus budayanya
// santri jawa asal mulanya // kurang pengetahuannya // sukmanya terbawa angin
// mempunyai dukun dari cina // sekarang banyak yang pulang // sehingga
rambutnya di kelabang tiga // menunjukkan jika itu halusnya santri birahi //
menjelma di tanah jawa.
36.
Nora manut
Agama naluri // ora manut Agamane Raja // kapir kambangan arane // bangsa Cina
puniku // jaman dingin tan ana kuncir // pra samya konde rikma // manut
luhuripun // sabedahe Majalengka // prapteng mangke // bangsa Cina nganggo
kucir // sabab kadya ing ngarsa//
Tidak menurut
budaya leluhur // tidak mengikuti budaya raja // kafir setengah-setengah
namanya // bangsa cina itu // jaman dahulu tidak memakai kuncir // semua
rambutnya di konde // mengikuti leluhurnya // setelah kehancuran Majapahit // sampai
dengan sekarang // orang cina itu ber kuncir (sampai dengan dibuatnya buku ini)
// peneybabnya seperti diceritakan di depan.
37.
Mila singkek
mirib kadya kaji // cupat ijir tan purun kelangan // mangan nucuk ngaberake //
ambuang saru siku // lamun linggih datanpa kering // adat masih ginawa // ing
kasantrenipun // ing ngurip prateng antaka // adatira lan adating santri sami
// mengeran dluwang sela.
Sehingga
Singkek (sebutan cina dahulu) mirip dengan Haji // pandai berhitung tidak mau
kehilangan // makan menggunakan sumpit (nucuk) // membuang sial // jika duduk
menganggkat satu keki budaya masih dibawa // ketika menjadi santri // mulai
hidup sampai matinya // budayanya dan budaya santri sama // menuhankan kertas
dan batu.
38.
Menyang Mekkah
perlu munggah Kaji // prapta Mekkah nembah tugu sela // lir cina nembah
tepekong // yen trima nembah watu // becik munggah ardi Merapi // ing kono akeh
sela // Yasane Hyang Agung // yen trima nembah kuburan // Tanah Jawa akeh candi
// kuburaning yasane para Buda.
Pergi ke
Mekkah naik Haji // Sampai di Mekkah menyembah tugu batu // mirip cina
menyembah tepekong // jika hanya menyembah batu // lebih baik naik ke gunugn
merapi // di sana banyak batu // ciptaan Tuhan // Jika hanya sekedar menyembah
makam // tanah jawa banyak candi // makam bikinan para Buda.
39.
Mila Cina iku
nora wani // ngestokake Jeng Nabi Muhammad // kapok kang uwis kalakon // pinuji
siang dalu // Rasulullah wusana mati // thukul neng Tanah Cina // rambut dadi
buntut // pan pinda sato kewan // beda kewan rabutira duwur silit // Cina aneng
mastaka.
Sehingga orang
cina tidak berani // mengikuti ajaran Nabi Muhammad // kapok yang telah terjadi
// dipuja siang malam // Rasulullah kemudian wafat // tumbuh di tanah cina //
rambut jadi ekor // mirip hewan // beda dengan hewan rambut di atas dubur //
sedangkan cina ada di kepala.
40.
Pituture sira
Raden Budi // Agamane wong Jawa samangkya // Agama Srani arane // tegese Srani
iku // panasaran ingkang den goni // munggah Kaji mring Mekkah // perlu nembah
watu // kang muni kitab kakayat // lan ambiya sapa wong kang nembah curi //
lahir batin kasasar.
Menurut kata
hatiku // Agama orang jawa sekarang // Gama Srani namanya // arti srani adalah
// penasaran yang di goni (ditempati) // Naik Haji ke Mekkah // menyembah batu
// termuat di kitab kakayat // dan kitab ambiya .. siapa orang yang menyembah
batu // lahir batinnya salah.
41
Darma Gandul
aturira aris // kula taken dateng Ngabduljalal // Agama srani kang kangge //
Bangsa Eropa iku // Agamine Agami Srani // Ki Kalamwadi mojar // ya bener
tuturmu // siji makna loro makna // Srani Landa Sranine Srani ngabekti // tan
nembah dluwang sela.
Darmagandul
berkata pelan // saya bertanya kepada ‘Abdul Jalal // Agama Srani yang di anut
// oleh bangsa Eropa adalah // Agama Srani // Ki Kalamwadi berkata // benarlah
apa yang kau katakan // Satu arti dua arti // Sarni Belanda Sari berbakti //
tidak menyembah kertas dan batu.
42.
Temen-temen
anenmbah Hyang Widdi // tan lantaran nembah dluwang sela // nembah Allah
sabenere // sekolah kawruhipun // angrawuhi purwana dadi // wujud saking
karseng Hyang // melu sebutipun // kang muni Kitab Ambiya // Nabi Ngisa iku
putrane Hyang Widdi // Allah kang mujudena.
Benar-benra
menyembah Tuhan// tidak memakai sarana kertas dan batu // menyembah Tuhan
sebenarnya // Sekolah tempat mencari ilmunya // tuk mengetahi awal mula
kejadian // yang berupa wujud adalah dari Tuhan // masuk dalam
penyebutannya // seperti yang termuat dalam Kitab Ambiya // Nabi Isa itu Anak
Tuhan // Allah yang menciptakan.
43.
Sultan Demak
waskitha ing gaib // yen rinenggon binendon dening Hyang // rumangsa kaluputane
// sigra mring Majalngu // andedegan kubur sudarmi // antara tigang dina //
prenah paser kubur // wreksa thukul tanpa sangkan // warna papat siji kuning
semu abrit // terus sekar ronira.
Sultan demak
bisa membaca berita gaib // dan merasa bahwa dirinya mendapat murka Tuhan //
sadar akan kesalahannya // segera berangkat ke Majapahit // menuju Makam Sang
ayah // waktu perjalanan selama tiga hari // sampailah di pusara makam// ada
tanaman yang tumbuh tanpa diketahui dari mana asalnya // empat jenis tanaman,
satu kuning kemerahan // terus ada bunga yang berdaun.
44.
Ingkang siji
wit sekar ron putih // roning madya siji roning ngrembak // mubeng lir payung
histane // siji godonge lembut // dapur oyot amawa eri // ana swara kapyarsa //
pernah puser kubur // dumeling ujaring swara // telas kabeh sih ingsun tresna
ing siwi // den enak resmi buja.
Yang pertama
pohon bunga daun berwarna putih // daunya sedikit yang satunya daunya banyak //
melingkar bagaikan payung // jenis satunya berdaun lembut // bagian akar ada
durinya // ada suara terdengar // berasal dari tengah makam // terngiang suara
terdengar // Habis sudah kasih sayang ku kepada putraku // silahkan menikmati
makan enak dan berkasih-kasihan.
45.
Dene gajah
ginetak lir kucing // nadyan mati tata kelahiran // lah eling-elingen tembe //
yen wus Agama Kawruh // ingsun wales wong Islam benjing // sun ajar weruh nalar
// bener lawan luput // pranatane mengku praja // mangan babi kadya Majapahit
// Sultan Demak miharsa.
Karena gajah
di gertak bagaikan kucing // walau dalam tata lahir telah meninggal // ingtlah
di belakang hari // jika Negara berdasarkan ilmu // akan saya balas orang Islam
besok // akan saya ajar untuk memahami nalar // yang benar dan yang salah //
aturan mengatur negara // akan makan babi seperti jaman Majapahit // Sultan
Demak mendengarkan.
46.
Getun jegrek
dangu datan angling // pan rumangsa kaluputanira // denya nurut rembuge // para
Sunan sadarum // mungsuh Ratu lawan sudarmi // punika purwanira // ana papat
kayu // telasih lawan semboja // buru gajah lawan godong gethak kucing // iku
caritanire.
Diam termangu
tidak bergerak // karena merasa kesalahannya // karena mengikuti saran dari //
para Sunan semuanya // Melawan Raja dan juga ayahnya // atulah asal mula // ada
empat tumbuhan // yang bernama Telasih dan Kamboja // Buru Gajah dan daun
Getahk kucing // begitulah ceritanya.
47.
Pan katelah
prapteng jaman mangkin // wit semboja iku wajibira // tinandur kubur manggone
// tlasih karyanipun // karya ngirim kubur wong mati // getak kucing ronira //
yen ginetak mingkub // dapurane buru gajah // yen tinarik witira obah sathithik
// rong mingkup kadi nendra.
Dan terkenal
sampai sekarang // pohon kamboja umumnya // ditanam di kuburan // guna pohon
telasih // untuk mengirim kubur orang meninggal // pohon gethak kucing daunya
// jika di gertak menutup // Sedangkan pohon Buru Gajah // jika ditarik
pohonnya secara pelan // daunya menutup bagaikan tidur.
48.
Sultan demak
gya kondur mring Nagri // analangsa kaluputanira // kadudon laku tindake //
punika purwanipun // ana kayu semboja tlasih// getak kucing kalawan // oyot
gajah buru // jaman Buda durung ana // buru gajah getak kucing dan telasih //
miwah kayu semboja.
Sultan Demak
segera kembali ke keraton // menyesali kesalahannya // terbentut tidakannya
sendiri // itulah asal mula // ada pohon Kamboha Telasih // gethak kucing dan
// akar Buru Gajah // ketika jaman Buda itu belum ada // Pohon Burugajah,
gethak kucing dan telasih // dan juga pohon Kamboja.
49.
Mula adil adat
Ratu Jawi // awit Demak Pajang lan Mataram // ing kartasura watese // tan
nganggo ngowel umur // adil Cina kang dipun irib // krana patokanira // kitab
ingkang ngatur // Sultan Demak iku Cina // awit Demak sapangandap durung salin
// patokan kitab Demak.
Sehingga adil
budaya Raaja Jawa // Sejak jaman Demak, Pajang dan Mataram .. dan juga
Kartasura batasnya // semuanya tidak berumur panjang // karena meniru sistem
Cina // karena yang menjadi patokan // kitab hukum // di Kerajaan Demak itu
bersumber dari Cina // sejak demak dan seterus belum berganti // tetap
menggunakan Kitab buatan Demak.
50.
Sunan Kali
waskitha ing gaib // yen sinemon dinukan dening Hyang // nalangsa kaluputane //
gya ngagem sarwa wulung // beda lawan sanesing Wali // mangangge sarwa seta //
tan rumangsa luput // mung angrasa suci kewala // amung Sunan Kali Pribadi kang
ngerti // sasmita dukaning Hyang.
Sunan kali
bisa membaca berita gaib // jika mendapat amarah Tuhan // sadar akan kesalahannya
// segeralah barganti baju berwarna Wulung // berbeda dengan yang dipakai wali
lainnya // yang berbusana serba putih // karena tidak merasa salah // hanya
merasa bahwa dirinya paling suci // Hanya Sunan Kalijaga saja yang paham //
Sasmita kemarahan Tuhan.
51.
Hanelangsa
tobat mring Hyang Widdi // ing ngapura kaluputanira // orong-orong pasemone //
ing githok prapteng punuk // sineselan tataling jati // punukmu panakena //
sajatining ngelmu // tan susah guru wong Arab // ngelmunira aneng githomu
pribadi // puji thok wujudira.
Menyesal dan
bertobat kepada Tuhan // dan mendapat ampunan Tuhan // Hewan orong-orong
lambangnya // Dari tengkuk sampai punuk // dimasuki sisa kayu jati (Kisah sunan
Kalijaga membuat Tiang masjid dari Tatal – sisa-sisa kayu) // Pusatkanlah
pikiranmu // terhadap ilmu yang sejati // tidak usah berguru kepada Orang Aran
// Ilmu ada di tengkukmu sendiri // puji thok (hanya memuji saja ujudnya.
52.
Dudu puji
karenteging ati // dudu puji kang kawedar lesan // iku wong bodho pujine //
puji jatining kawruh / angawruhi jatining ngurip // urip dadya wayangan //
Dzatira Hyang Agung // manusa wignya punapa // mobah mosik darma lumaku
nglakoni // budi kang ngobahake
Bukan puji
dari keinginan hati // bukan puji yang keluar dari mulut // itu pujinya orang
bodoh // Pujinya puji dari inti ilmu // ilmu tentang inti hidup // hidup
sebagai bayangan // bayangan dari Yang Maha Hidup // Manusia itu bisa apa //
bergerak, berfikir, bekerja, berjalan, menjalankan // semuanya budilah yang
menggerakkan.
53.
Sabda iku
medal saking osik // osik iku medal saking cipta // cipta punika wedale //
punika saking kayun // kayun iku pan saking Budi // budi iku Dzating Hyang //
Ingkang Maha Agung // Agung iku wus samekta // tanpa kurang tanpa wuwuh tanpa
luwih // tan arah tan panggonan.
Kata itu
keluar dari Osik (keinginan) // osik itu keluar dari Cipta // cipta itu berasal
// dari Kayun (hidup)// Kayun itu berasal dari Budi // Budi itu tenpat Dzat
Tuhan // Yang Maha Agung // Agung itu telah siap lengkap // tidak kurang,
tidak ditambah-tambahi tidak berlebihan // tanpa arah dan tanpa tempat.
54.
Mung pituduh
wau Raden Budi // kang katrima muji maring Allah // sinden ledek daru debleng
// di wudar tegesipun // bunder ruwet dipet arungsit // demble dados satunggal //
lamun wus sumurup // tepunge sarak sarengat // lan hakekat ma’rifat yekti //
wus muji tanpa ngucap.
Hanya petunjuk
arahan dari Budi // yang akan diterima ketika memuji Allah // sinden ledek daru
debleng // di urai artinya // bundar ruwet rapat sangat sulit // demble menjadi
satu // jika telah memahami // menyatunya sarak syari’at // dan hakekat
ma’rifat itu berarti // telah memuji tanpa mengucap.
55.
Sarak iku
sarating ngaurip // nampik milih gaota ikhtiar // sarengat sasaringane //
kawruh kang agal alus // tarekate kang nimbang nanting // bener lan luputira //
hakekate wujud // wujut haq karsane sukma // kang ngobahaken kang ngosiken
Raden Budi // wikan tan kasamaran.
Sarak itu
syarat kehidupan // menolak, memilih, gota, ikhtiar // Sya’riat itu untuk menyaring
// ilmu yang kasar dan halus // Tarekat itu untuk menimbang // yang benar dan
yang salah // hakikat itu wujud // wujud hak atas keinginan sukma // yang
menggerakan dan yang membangkitkan itu Budi namanya // paham dan tidak
tercampur keragu-raguan.
56.
Lamun sira iku
wus mangerti // sinden daru demble werdine // wus nyerot kawruhmu dewe //
demblene mundak tuwuk // pangan wohe kawruh lan budi // watake kadi tosan //
linabuh jro latu // sirna brit rupa satunggal // kang amuji kan pinuji badan
katri // demble wujud satunggal.
Jika kau telah
memahami // arti dari Sinden daru demble // berarti sudah bisa menarik keluar
ilmu dari dalam dirimu (sudah tidak membutuhkan guru lagi) // menyatunya
semakin puas // makanan adalah buah dari Ilmu dan budi // sifatnya bagaikan
keris // dibakar dalam api // setelah hilang warna merahnya menjadi rupa satu
// Yang memuji dan yang di puji ketiganya adalah raga // menyatu menjadi wujud
yang satu.
57.
Lamun sira iku
wus ngerti // surasane kang sun tutur ngarsa // iku manajat arane // umpama
nulup manuk mangsa kenaha // nulup amung ngawur // kawruhe janma kang wignya //
nora samar tiningalan mata siji // ing nguteg wijilira.
Jika kau telah
paham // isi dari uraianku di atas // itu munajat namanya // andaikan menembak
burung tidak akan kena // karena menembak dengan ngawur // ilmu manusia yang
ahli // tidak tertipu karena menggunakan mata satu // yang akan keluar ke dalam
otak.
vi.
M I J I L
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Darmagandul
aturira aris // duh sang Maha Yektos // mugi sampun dados dudukane // ingkang
abdi dene kumawani // ngasil kawruh inggil // kang elok kalangkung.
Darmagandul
pelan berkata // wahai yang banyak mengetahi sessuatu // semoga tidak
menjadikan kemarahanmu // Karena hamba dengan beraninya // mengaji ilmu tingkat
tinggi // yang sangat mengagumkan..
2.
Kang kasebut
hikayat kitabi // margane binendon // Adam Kawa ing kalepatane // sami dahar
sengkeran Hyang Widdi // kang dipun wastani // woh wit kajeng kawruh.
Yang tercatat
dalam kitab hikayat // penyebab dihukum // Adam dan Hawa karena kesalahannya //
karena memakan buah larangan Tuhan // yang disebut // buah dari pohon ilmu
keinginan.
3.
Kang tinanem
marang ing Hyang Widdi // tengah taman pirdos // Kitab Arab ing sesebutane //
Adam Kawa margane den usir // saking ing suwargi // kalepatanipun.
Yang ditanam
Tuhan // di tengahtengah taman firdaus // yang disebutkan dalam Kitab Arab //
itu sebagai sebab Adam dan Hawa diusir // dari surga // kesalahannya.
4.
Sami dahar woh
wit kajeng kuldi // sengkeran Hyang Manon // kang tinanem tengah
suwargane // wangsul Kitabipun tiyang Jawi // Kyai kados pundi //
sesebutanipun.
Karena berani
makan buah pohon kajeng kuldi // larangan Tuhan // yang ditanam di tengah surga
// kembali kepada Kitab Jawa // wahai sang Kyai seperti apakah // kisahnya.
5.
Yen Paduka
ngaken Tiyang Jawi // Jawa Jawi ngertos // sanes Jawa ribiriban bae // lamun
ngaken mawi mata siji // sayekti mangerti // carita punika.
Jika Paduka
mengaku orang jawa // jawa jawi asli // bukan jawa yang suka meniru-niru //
jika mengaku menggunakan satu mata // pasti paham // cerita ini.
6.
Sababipun sami
dipun usir // Adam sakaloron // gih punika kang dadi sababe // Kalamwadi anauri
aris // kitabe wong Jawi // tan ana sinebut.
Penyebab
diusirnya // Adam sekalian // itulah yang menjadi penyebabnya // Kalam wadi
menjawab // Kitab Jawa // tidak menyebutkan.
7.
Sun talusur
luhur bangsa Jawi // layang wacan kotong // manikmaya kitab patokane //
anggitira olya bangsa Jawi // sun tambahi malih // wangsite guruku.
Saya telusuri
para leluhur Tanah Jawa // Kitab abcaan kosong // Kitab Manikmaya pedomannya //
karangan auliya bangsa Jawa // saya tambah lagi // pesan guruku.
8.
Pituture Dyan
Budi mring mami // critane mangkono // embuh bener kalawan lupute // hamung pasrah
Hyang kang pasti // nging pandugi mami // bener nora luput.
Nasihan Sang
Budi kepada ku // ceritanya seperti itu // entah benar entah salah // pastinya
hanya pasrah kepada Tuhan // akan tetapi pendapat ku // benar dan tidak salah.
9.
Buku pakem
patokan wong Jawi // Buda wus den obong // alam Sultan Demak pangobonge // pan
ginalih mekruh makewuhi // Agami narpati // manut Sarak Rasul.
Bukan Pakem
pedoman orang Jawa // Buku Buda sudah dibakar // Sultan Demak yang membakarnya
// Jika dipikir menjadi sulit // Agama raja // mengikuti syariat Rasul.
10.
Tekan buku
kang aneng wong cilik // pinundut den obong // pinrih sirna hadat agamane //
mituhua Agama Narpati // manut sarak Nabi // Muhammad linuhung.
Sampai dengan
buku yang berada di rakyat kecil // diambil dan dibakar // agar musnah ajran
agamanya // supaya mengikuti Agama Rarja // mengikuti Syariat Nabi // Muhammad
yang luhur.
11.
Giyat meksa
masesa ngukumi // mring wadya kang mogok // kang tan manut ratu agamane //
jarah rayah binoyong kang estri // wadya lit samya dirih // wasesaning ratu.
Semangat
memaksa, menguasai dan menghukum // kepada warga yang mogok // yang tidak
mengikuti Agama Raja // di jarah hartanya diambil isterinya // rakyat kecil
ketakutan // atas hukuman raja.
12.
Brahalane
samya den buangi // bukune den obong // sipat janma ajungkir irunge // gelem
shalat njengking muji dzikir // pinaringan linggih // anama Kyai Gung.
Semua berhala
dibuang // semua buku di bakar // setiap orang dijungkir hidungnya (sujud) //
bersedia menjalankan shalat menungging, muji dan dzikir // diberi
kedudukan // bernama Kyai Agung.
13.
Pinaringan
Desa kang den nggoni // linuputken pahos // kumaresek wadya ajar ngame //
saking melik ganjaran Narpati // Agama naluri // lebur sirna larut.
Diberi Desa
untuk ditempati // dibebaskan dari pajak // berduyun-duyunlah rakyat untuk
belajar agama // karena mengharapkan pemberian raja // Agama leluhur // hilang
musnah.
14.
Keneng bujuk
saking dalil-dalil // lungguh madhep ngulon // gumarumung gela gelo ngoceh //
dipakani Bismillahi rahim // alkhadulillahi // alip lam dalikul.
Terbujuk oleh
dalil-dalil // duduk menghadap ke barat // menggumam geleng-geleng kepala
berkata-kata // makan basmalah // lafatihah // alif lam mim..
15.
Angombe Kulhu
haklam ya kunil // mendem ngadeg bengok // nekem weteng sraweyan tangane //
wedi bubar becik jungkar-jungkir // ing kalimah kalih // hadune ashadu.
Minum Kulhu
–lamyaakunil // mabuk berdiri berteriak // memeluk perut gerakan tangan
// takut bubar,, lebih baik berjungkir jungkir // di dalam 2 kalimah // shadat.
16.
Kanikmatan
tinggal adat luri // mari mati omong // brahalane binuwangan kabeh // mung
mituhu Agama Narpati // manut sarak Nabi // Muhammad sadarum.
Kenikmatan
meninggal adat leluhur // setelah meninggal berbicara // semua berhala dibuang
// harus mengikuti agama raja // menjalan syariat Nabi // Muhammad semuanya.
17.
Pamrinane
Kanjeng Sunan Kali // aja kongsi pedot // carita luri leluhure // nganggit
ringgit kinarya gantine // kitabe leluri // kang sirna tinunu.
Dalam pikiran Sunan
Kalijaga // jangan sampai putus // cerita leluhur jaman dahulu // menganggit
(merangkai cerita ) wayang sebagai gantinya // kitab leluhur // yang hilang
dibakar.
18.
Panjenengna
Sang Ratu Matawis // amangun cariyos // sajarehe para luhur kabeh // pra
Pujangga kang kinen anganggit // nanging datan sami // kawruh anggitipun.
Beliau sang
Ratu Mentawis // menggubah cerita // sejarah para leluhur semua // Para
Pujangga disuruh menggubah // namun tidak sama // ilmu gubahannya.
19.
Buku-buku kang
ana wong cilik // pinundut wus amoh // nora ana cocog caritane // ndangu wadya
tan ana menangi // kraton gilingwesi // praptane Matarum.
Buku-buku yang
berada di rakayt kecil // ketika diambil sudah rusak // ceritanya tidak ada
yang cocok // bertanya kepada kerabat tidak ada yang mengetahui // cerita
keraton Gilingwesi // sampai dengan kerajaan Mataram.
20.
Buku kraton
Demak Pajang Nagri // kapriksa Sang Katong // kabeh buku Arab aksarane //
Kitab Qur’an Pekih Tajuslatin // Surya Ngalam tuwin // kinarya pikukuh.
Buku kerajaan
Demak dan Pajang // diperiksa sang Sunan // semuanya berhuruf Arab // Kitab
Qur’an, Fikih,, Tajuslatin .// Surya Ngalam itu // dijadikan sebagai pedoman.
21.
Dadya Nata
kawaken ing galih // pamanguning crios // pra Pujangga pra Ngulama kabeh //
kinen nganggit crita Tanah Jawi // sapanemuneki // kawruh anggitipun.
Jadi raja
pikirannya terlalu tua // karangan cerita // para Pujangga para Ulama semua //
disuruh menggubah cerita Tanah Jawa // seketemunya // ilmu karangannya.
22.
Anggitira iku
nora sami // sawijining uwong // pasemone kawruh dewe dewe // mula crita Nagri
Tanah Jawi // tan patokan siji // kaul loro telu.
Karanganya
tidak ada yang sama // setiap pengarang // melambang ilmu sendiri-sendiri //
sehingga cerita Tanah Jawa // tidak berpatokan satu cerita // malah bisa dua
tiga .
23.
Layang
lokapala kang mengeti // yasan saking kraton // nanging embuh bener lan lupute
// de kang nganggit pujangganing Aji // nging panduga mami // bener nora luput.
Layang
Lokapala // buatan keraton // entah benar ataupun salah // karena yang
menggubah adalah pujangga kerajaan // namun pendapat saya // benar dan tidak
salah.
24.
Wayah Adam
putrane Nabi Sis // Sayit Anwar manggon // dinukanan rama lan eyange // wani
mangan woh wit kayu budi // sengkeran Hyang Widdi // neng luhur swarga gung.
Cucu Adam anak
dari Nabi Sis // Sayit Anwar namanya // mendapat amarah kakeknya // berani
makan buah kayu budi // larangan Tuhan // yang berasa di suarga agung.
25.
Ciptanira
nedya ngirib-irib // yasane Hyang Manon // nora nrima amangan uwohe // nora
nrima woh wit kayu kuldi // wohe kayu budi // kang nedya disuwun.
Dalam
pikirannya ingin meniru // buatan Tuhan // tidak hanya ingin makan buahnya//
tidak hanya mau menerima buah kayu budi // namun buah kayu budi // itulah yang
diminta.
26.
Macung dewe
ngawula Hyang Widdi // nora karsa tiron // Agamane Rama lan Eyange // amurwani
sarengat pribadi // murtad sarta nampik // datan arsa nebut.
Minta langsung
kepada Tuhan // tidak mau meniru // Agama ayah dan kakeknya // ingin menggunakan
syariat pribadi // murtad dan menolak // tidak mau menyebut
27.
Nora karsa
Adam Nabi // Kalipah Hyang Manon // wektu iku wong donya sebute // Ya Adamu
Kalipatolehi // Sayit Anwar Nampik // datan arsa nebut.
Tidak mau
mengikuti Nabi Adam // Utusan Tuhan // waktu itu manusia menyebut // Ya Adamu
Kalifatullah // Yayit Anwar menolak // tidak mau menyebut.
28.
Ngaku dudu
anak Adam Esis // wujude Dat ingong // wujud dadi lan dadine dewe // mung
marana wujud Adam Esis // dadi saking Budi // hawane Hyang Agung.
Mengkau bukan
anak Adam Sis // wujud dzat sendiri //jadu wujud jadi sendiri // hanya melihat
wujud Adam Sis // berasal dari Budi // Hawa dari Tuhan.
29.
Temen-temen
den nira ngakoni // anak jali yektos // janma mesti ilang kang nurunke // asal
suwung mulih marang sepi // bali mring asaling // kaelinganipun.
Bersungguh-sungguhlah
ketika kau mengakui // sebetulnya anak jali // manusia pasti akan kehilangan
sejarah yang menurunkannya // berasal dari suwung kembalai menjadi sepi //
kembala kepada asal mulanya // kesadarannya.
30.
Gya tinundung
mring Eyang Sudarmi // kentar ngetan lolos // amung nurut parane sikile //
praptanira ing tanah Dewani // pinanggih Raja Jin // Sang Nuradi Prabu.
Segera diusir
oleh Eyang dan orang tuanya // pergi ke arah timur // hanya mengikuti langkah
kaki // ssampailah di tanah Dewani (jawa) // bertemu dengan raja jin // Prabu
Nurhadi.
31.
Sayit Anwar
dinangu kang dadi // sabab kentar lolos // saking Arab kang dadya purwane //
Sayit Anwar matur mrign Sang Aji // marga den dukani // kang sarta tinundung.
Sayit Anwar
ditanay apa yang menjadi // sebab perginya // dari Arab dia berasal //
Berkatalah sayit Anwar kepadanya // Sebab dimarahi // kemudian di usir.
32.
Mring kang
Rama lan eyangireki // sabab mukir mogok // nora nurut Agama lurine // wani
mangan woh wit kayu kuldi // sengkeran Hyang Widdi // kang aneng swarga gung.
Oleh ayah dan
Eyang // karena mogok // tidak mau mengikuti Agama leluhur // Berani makan buah
pohon Kayu Kuldi // Larangan tuhan // yang berada di suarga Agung.
33.
Gya ing
ngambil mantu mring Sang Aji // sinrahan kadaton // ing Dewani gya ganti parabe
// Sanga Prabu Nur Cahya Dewani // angratoni Ejin // Dewani sadarum.
Segeralah di
angkat menjadi menantu raja jin // di serahi kerajaan // di Dewani (jawa) dan
bergelar // Sang Prabur Nur Cahya Dewani // menjadi raja jin // Dewani (jawa)
semuanya.
34.
Raning Praja
Dewani ginanti // mring Nur Cahya katong // Tanah Jawa punika arane // dene
ingkang jumeneng Narpati // Jawa Jawi ngerti // kawruh Agama Lus. (halus.pen)
Nama Kerajan
Dewani diganti // oleh raja Nur Cahya // menjadi Tanah Jawa namanya .//
sedangkan yang menjadi raja // Jawa Jawi mengeti // Ilmu Agama Yang Halus.
35.
Nganggit
sastra mung salikur iji // sahucaping wong // nora kurang tan luwih // Sastrane
haran Sastra Hendra Prawatadi // kang murwani nganggit // Sang Nur Cahya iku.
Menggubah
sastra sebanyak dua puluh satu buah (huruf Jawa + Huruh Ha Rrahasia) // semua
kata-kata manusia bisa ditampung // tidak kurang dan tidak lebih // Sastranya
bernama Sastra Hendra Prawatadi // yang mengawali menggubah // itulah Sang Nur
Cahya.
36.
Jawa Nguja
Hawa karepaning // Cipta jroning batos // sedya rosa saturun-turune //
hamurwati jumeneng Narpati // Haneng Tanah Jawi // Sang Nurcahya Prabu.
Jawa mengumbar
hawa maksudnya // cipta di dalam batin // nitanya kuat sampai dengan anak
cucunya // mendukung kedudukan raja // di Tanah Jawa // Sang prabu Nurcahya.
37.
Gya puputra
Nurrasa krama Jin // woh Budi binadog // Sang Nurrasa mung siji putrane // Sang
Hyang Wenang woh budi binukti // krama jin sisiwi // Sang Hyang Ning
Kramantuk. (Agar nyambung : Baca Filsafat Wayang di blog ini. Pen).
Mempunyai anak
bernama Nurrasa dan menikah dengan Jin // Buah budi dimakan // Putra Nurrasa
hanya satu // Sang Hayng Wenang// buah budi di makan// menikah dengan jin dan
mempunyai anak // Sang Hyang Wening dan menikah dengan. (Agar nyambung : Baca
Filsafat Wayang di blog ini. Pen)
38.
Putri Keling
mangan woh wit Budi // mung putra sawiyos // Sang Hyang Tunggal iya Jin Garwane
// iya mangsa wit woh kayu budi // Sang Hyang Tunggal siwi // awasta Hyang
Guru.
Putri keling
juga makan buah pohon Budi // hanya punya satu anak // Sang Hyang Tunggal juka
kawin dengan Jin // juga makan buah pohon Budi // Sang Hyang Tunggal berputra
// Sang Hyang Guru.
39.
Ngrebda mendem
woh Budi binukti // angaku Hyang Manon // pan jinurung maring Hyang Ciptane //
sakarsane guru den ideni // kalilan nimbangi // yasane Hyang Agung.
Juga makan
buah pohon budi // mengaku sebagai Hyang Manon (Tuhan) juga dipenuhi oleh Hyang
Ciptanya // Segala kehendaknya dipenuhi // diperkenankan menyamai // kekuasaan
Tuhan.
40.
Pan ayasa
kamulyan jumani // ciptane rinojong // pucak gunung Mahameru kratone //
angakoni purwaning dumadi // medal asal saking // budi hawa napsu.
Kemudian
membuat kemuliaan makluk // keinginanannya didukung // Kerajaannya berada di
Puncak Gunung Mahameru // mengaku sebagai awal segala yang ada // keluar dari
// budi hawa nafsu.
41.
Aran Dewa
ngaku misenani // ngujutken sipat roh // buda budi Agama arane // amangeran
tanpa langkug kesdik // angaku Hyang Widdi // ciptane jinurung.
Mengaku
sebagai Dewa yang berkuasa // mewujudkan sifat roh // Agama Buda Budi namanya
// Tanpa bertuhan tapi lebih wakitha // mengaku sebagai Tuhan // keinginannya
terpenuhi.
42.
Dewa iku
werdine kakalih // dene kang sawiyos // Budi Hawa iku ta jarwane // wadi dawa
tegese kang ngaji // de raning Agami // budi kang wus umum.
Dea itu
bermakna dua // sedang yang pertama // Budi hawa itu maknanya // Wadi dawa itu
artinya bagi yang mengkaji // dalam sebutan Agama –Budi itu sudah umum.
43.
Tegesira
sesebutan Dewi // dewane wong wadon // Wadi wiyar punika tegese // mung sanyari
wadine wong esri // sedeng diwedali // das bocah sagenuk.
Arti sebutan
Dewi // dewanya perempuan // Wadi lebar itu artinya // lebarnya sama dengan
jari rahasia wanita // Muat mengeluarkan // kepala anak sebesar tempat beras.
44.
Lah timbangen
Darmagandul iki // tiga kang cariyos // endi ingkang bener pamangane // kang
tan mangan woh wit kuldi mati // ingkang nora bukti // woh wit kayu kawruh.
Coba kamu
pikir wahai Darmagandul // Tiga cerita // mana yang benar makananya // yang
tidak makan buah pohon kuldi akan mati // yang tidak memakan // buah pohon
kawruh.
45.
Yekti cubluk
kadya kewan daging // ingkang nora badog // woh wit budi lir watu wujude //
nora obah tan osik tan eling // tan wruh alan becik // tanpa hawa napsu.
Pasi bodoh
mirip hewan potong // yang tidak makan // buah pohon budi bagai batu bentuknya
// tidak bergerak, tidak berfikir dan tidak ingat // tidak mengetahui baik
buruk // tanpa hawa nafsu.
46.
Darmagandul
aturira aris // Kyai mangsa borong // timbang kula leres sadayane // mung
senengan kan dipun sungkemi // ing salah satunggil // sampun ngantos luput.
Darmagandul
berkata lembut // Wahai Kyai terserahlah // menurut ku betul semuanya // hanya
kesenangan yang di cari // dari salah satunya // jangan sampai salah.
47.
Lamun seneng
neda woh wit budi // mituruta batos // buda budi rane Agamane // anebuta
Dewa Bataradi // lamun seneng bukti // woh wit kajeng kawruh.
Jika senang
memakan buah pohon budi // ikutilah batin // buda buda nama agamanya //
menyebut Dewa Bathara // jika senang makan // buha pohon kajeng kawruh.
48.
Anebuta Asmane
Jeng Nabi // Ngisa kang kinahot // mituruta Landa Agamane // lamun seneng neda
woh wit kuldi // nebuta Jeng Nabi // Muhammad ing Ngarbun.
Sebutlah nama
Nabi // Isa yang berkuasa // ikutilah Belanda Agamanya // jika senang makan
buah pohon Kuldi // menyebut Jeng Nabi // Muhammad di Arab.
49.
Lamun seneng
ron kawruh ron budi // anembaha pikkong // mituruta Cina Agamane // manut sarak
Licibin lan Singsin // ing salah satunggil // sampun ngantos luput.
Jika senang
daun kawruh dan daun budi // menyembahlah Pik Kong // ikutlah cina agamanya //
ikut sarak Li Cibin dan Sing Sin // pilih salah satunya // jangan sampai salah.
50.
Wajibipun wong
gesang puniki // tri samya binadog // woh wit budi kelingan wastane / woh wit
kawruh wrin ala lan becik // dene ingkang katri // woh kang sipat thukul,
Kewajiban
manusia hidup adalah // ketiga agar dimakan // Buah pohon Budi
Eling/Ingat/Sadar artinya // buha pohon kawruh mengetahui baik dan jahat //
sedangkan yang ketiga // buah dari yang bersifat tumbuh.
51.
Kang tan neda
wohing kajeng katri // sayektine pengong // kadi sela punika gesange // datan
obah tan osik tan eling // tan wruh ala becik // tanpa hawa napsu.
Yang tidak
makan buah ketiga pohon tersebut // sesungguhnya gila // hidupnya seperti batu
// tak bergerak, tak berfikir, tiada ingat apa-apa // tidak mengetahui baik dan
buruk // tanpa hawa nafsu.
52.
Utamine tiyang
gesang niki // manut alam mawon // dados boten siya mring uripe // yen kalipah
dahar woh wit budi // inggih tumut bukti // woh budi kang tuwuk.
Yang utama
bagi manusia hidup itu // ikuti alam saja // sehingga tidak tersiksa hidupnya
// jika penguasa makan buah pohon budi // ikutlah memakannya // buah budi
sampai puas.
53.
Yen kalipah
dahar woh wit kuldi // inggih nderek mbadog // woh wit kuldi kang kebak wetenge
// yan kalipah woh kawruh binukti // inggih tumut bukti // woh kawruh kang
tuwuk.
Jika penguasa
makan buah pohon kuldi // juga ikutilah makan // buah pohon kuldi sampai
kenyang // jika pengausa makan buah kawruh // ikuti juga // makan buah kawruh
sampai puas.
54.
Alam niku
kalipatolahi // dahar uwoh kawroh // inggih nderek neda saangsale // nut
kalipah agami anepsir // leres tuwin sisip // tanggunganing ratu.
Alam itu
pemimpin // makan buah kawruh // ikutilah makan sesuai yang didapatkan //
mengikuti pemimpin agama // betul ataupun salah // adalah tanggungan raja.
55.
Mila ratu
mangke wus gelari // mring wadya tuwa nom // kinen bukti kawruh
sahangsale // kinen wikan bener tuwin sisip // sadaya nagari // sakolah
pinanggung.
Karena raja
sekarang telah memerintahan // kepada warga tua ataupun muda // disuruh mencari
ilmu sebisanya // disuruh mengetahui benar dan salah // semua negara // Sekolah
ditanggung.
56.
Upamine boten
tumut bukti // woh wit kajeng kawroh // manut Nabi Ngisa agamane // tanda janma
datan wikan ing wit // kang uninga tuwin // nut agama ratu.
Jika tidak
ikut makan // buah pohon kajengkawruh // ikutilah nabi Isa agamanya // itu
tanda manusia yang tidak mengetahui pohon // yang mengetahui dan // ikut agama
raja.
57.
Kang tan manut
agama narpati // tiyang mateng mogol // boten mateng ing jaba jerone // manut
ratu amung murih asil // ing batos macicil // sanes idepipun.
Yang tidak
mengikuti agama raja // orang setengah matang // tidak matang luar dan dalamnya
// ikut raja hanya mengharapkan hasil // dalam hatinya melotot // karena bukan
keyakinannya.
58.
Mendem denya
olah sirig-sirig // nglirik ngidul ngalor // angalonda iang lahir batine // ora
manut agama Narpati // duk Jeng Ngisa Nabi // pada woh wit kawruh
Gila dunia
ikut-ikutan // melirik ke selatan dan utara // tidak sama lahir batinnya // tidak
menurut agama raja // Ketika Nabi Isa // makan buah pohon kawruh.
59.
Nora anut
agama naluri // woh budi binadog // mung netepi wong Jawa jawane // boten nami
Jawa Jawi ngreti // yen Jawi mangerti nut Gama Ratu.
Tidak menurut
agama leluhur // buah budi dimakan // hanya mengikuti orang jawa asli // bukan
nama Jawa Jawi mengerti // jika Jawi yang telah paham akan mengikuti agama
raja.
60.
Mesthi ngerti
lelakoning ngurip // manut alam mawon // wong tan manut Agama Ratune // kadya
mina medal saking warih // woh tan nempel nguwit // glundung tanap dunung.
Pasti tahu
cerita hidup // ikutilah lingkungan saja // orang yang tidak mengikuti agama
raja // bagaikan ikan keluar dari air // buah yang tidak menempel di pohon //
bertebran tanpa tempat.
61.
Amung dados
pakaning jomani // uripe kalorop // tiang jawi neng Jawi lahire // nginum
neda toya Tanah Jawi // toya Tanah Jawi // ginilut kang lembut.
Hanya menjadi
makanan api // hidupnya terbawa // orang jawa lahir di jawa // makan minum air
tanah jawa // air tanah jawa // olahlah dengan lembut.
62.
Awit kawruh
pusaka naluri // kulina binadog // ngertos ngangge miwah panginume //
leres lepat wus bisa ngalami // kedah aniwasi // sampun untungipun.
Sebab ilmu
pusaka leluhur // biasa dimakan // mengerti ketika menggunakan danjuga
meminumnya // benar salah telah bisa mengalaminya // bisa membuat celaka //
sudah beruntung.
63.
Nadyan lepat
tan lepat pribadi // lepat saking babon // anyungkemi agama luluhure// run
tumurn langkung sewu warsi // nadyan tekeng sisip // Alalh paring maklum.
Jika salah
tidak salah sendirian // salah dari asalnya // melestarikan agama leluhur
// turun temurun lebih seribu tahun // jika sampai salah // Allah sangat paham.
64.
Ratu landi
inggih nempel landi // adat caraning wong // tata praja miwah agamane // dados
uwoh tumempel ing uwit // pikukuhing ngurip // tanggunganing ratu.
Ratu Belanda
juga menempel di Belanda // adat budayanya // tata negara dan agamanya //
itulah buah menempel di pohon // pedoman hidup // tanggungan raja.
65.
Nadyan neda
kawruh warni kalih // leres lahir batos // manut luri kalawan ratune //
luri wenang mulang mituturi // Ratu langkung wajib // kedah muruk ngukum.
Jika makan
ilmu dua macam // benar lahir dan batin // menurut leluhur dan rajanya //
leluhur wenang mengajar dan menasihati // raja lebih wajib // harus mengajar
dan menghukum.
66.
Yen miturut
agamaning Wali // minggata sing adoh // marang Ngarab kumpula bangsane // yen
miturut prentahing Narpati // Sultan Demak nagri // lumebuwa kubur.
Jika mengikuti
agama wali // pergilah yang jauh // ke negara Arab berkumpul sesama bangsanya
// jika mengikuti perintah raja // Sultan Demak // masuklah maakam.
67.
Tata Praja
tataning Agami // luri lawan katong // wong Ngulama puniku wastane //
salewengan embuh kang pinikir // lahir batin sisip // pantes manggih ukum.
Tata negara
tata agama // leluhur dan raja // Ulama itu disebut // tidak tetap jalan
pikirannya entah apa yang dipikir // lahir batin salah // pantaslah dihukum.
68.
Tiang Jawi
ngangge ngelmu Ngarbi // dados Jawi bodo // Jawan Ngarab ribiriban bae //
wangun rusak engetane salin // iku nami kapir // lahir batinipun.
Oran jawa
menggunkan ilmu Arab // akan menjadi jawa bodoh // Jawan Arab hanya meniru-niru
saja // badan rusak pikiran ganti // itulah kafir // lahir batinnya.
69.
Tiang Jawi
neda kawruh Ngarbi // sayektine umor // awit sanes wadah lan isine // sabab
sanes kawruh saking luri // kathah salah ngerti // paned panginum.
Orang jawa
memakan ilmu Arab // pasti umor // bukan wadah dan isinya // sebab bukan ilmu
dari leluhur // banyak yang tidak paham // paned meminumnya.
70.
Lepat-lepat
tambah damel sakit // panedane kledok // angalonda ing lahir batine // wiji
jati nempel kajeng ringin // boten dados ringin // inggih thukulipun.
Salah-salah
bisa menjadi penyakit // makannya kledok // kosong lahir batinnya // biji pohon
jati menempel di pohon beringin // tidak akan menjadi pohon beringin // jika
tumbuh.
71.
Sayektine
thukul kajeng jati // jangleng delog-delog // wiji jawi gih jawi thukule //
sampun dasar jawi thukul santri // sami salah warni // pantun thukul
ketun.
Pasti akn
tumbuh menjadi pohon jati // keget terkesima // bija jawa juga jawa tumbuhnya
// jangan dasar jawi tumbuh santri // akan menjadi salah warna // padi tumbuh
rumput.
72.
Suksma Jawi
tuwuh nutpah Jawi // hajwa nganti kledok // Jawi lebet tetepa jawane // tiang
Jawi tumut sarak Ngarbi // yen santuna nami // mriji randa nunut.
Sukma Jawi
tumbuh menjadi Nutfah jawi // jangan sampai salah // Jawi di dalam tetap jawa
// orang jawa ikut budaya Arab // walau berganti nama // bagaikan randa nunut.
73.
Boten kenging
yen dadosa wiji // mung jagi dinaplok // den sirnaken nama lan wujude // sampun
ngantos amanjangken wiji // mindak angregeti // tekat kanti luput.
Tidak akan
bisa menjadi biji // hanya jagi dinaplok // di sirnakan nama dan ujudnya //
jangan sampai memanjangkan biji // bisa mengotori // cita-cita menjadi salah.
vii.
KINANTHI
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Ki Darmagandul
umatur // bedanipun kados pundi // tiyang Agama Muhammad // lan sanesipun Agami
// Ki Kalamwadi ngandika // lah iku kang mratandani.
Darma Gandul
berkata // apa bedanya // orang beragama Muhammad // dan aama lainnya // Ki
Kalamwadi berkata // itu yang menjadi tanda adalah
2.
Mungguh tata
lahiripun // ningali wujuding jinis // Ngarab Agama Muhammad // Agama Ngisa
walandi // Cina Agama Brahala // Wong Jawa Agama Budi.
Jika dilihat
dari lahirnya // lihatlah wujud dan jenis // Arab Agama Muhammad // Belanda
Agama Isa // Cina Agama Berhala // sedang orang Jawa Agama Budi.
3.
Manusa akeh
kaliru // mrang sasmitaning Widdi // kinen muji ring Agama // muji Agama tumbas
keris // dadi Agamane rusak // sabab mangeran ing wesi.
Manusia banyak
yang salah // dalam membaca isyarah Tuhan // Dikira disuruh memuji Agama //
Jika memuji agama, beli saja keris // itu merusak agama // sebab menuhankan
keris.
4.
Kinira ngurip
iku // tambah kibir lahir batin // lali mring Pangeranira // amaro ciptaning
batin// keneng gelaring rurupan // kang tanpa nyawa binatin.
Justru
berekibat // sombong lahir batin // lupa pada Tuhannya // pikiriannya mendua //
tertipu oleh segala ujud dunia // yang tanpa nyawa malah diyakini.
5.
Agama Jawa
tumurun // agamane buda budi // iku AGAMA
MA’RIFAT // macung dewe mring Hyang Widdi // ganti Agama Tarekat // Agamen wong Ngarbi.
Agama yang
turun di Jawa // Agama Buda Budi // Itu adalah Agama Ma’rifat // Langusng
datang sendiri kepada Tuhan // Sedangkan Agama Tarekat // itu Agama milik orang
Arab.
6.
Tegese tarekat iku // tarek taken ngasil lalis // tegese Agama Ngarab //
ngarab harab ngirib irib // bener lawan luput ira // rebut lan ujaring dalil.
Arti tarikat
itu // hanya mencari keuntungan saja // Arta Agama Arab // hanya meniru-niru
saja // baik yang benar maupun yang salah // berebut kebenaran dan berebut
dalil.
7.
Kang rusak
Agamanipun // pasthi rusak kang pinaggih // pasthi rusak kawruhira //
minggrang-minggring mring pepati // mungguh tata batinira // iku ingkang
mratandani.
Yang agamanya
rusak // rusak pula yang didapat // rusak juga ilmunya // takut pada kematian
// dalam hatinya // itulah tandanya.
8.
Ing lawang
suwarganipun // ana tanda tulis muni // hula ila hai lolah// Muhammad
Rasulullihi // punika pratandanira // Agama Muhammad nabi.
Di pintu Surga
// ada tanda berupa tulisan // Syahadat /// itulah tandanya // Agama Nabi
Muhammad.
9.
Tegese ing
lesanipun // sebute kang metu lathi // lawan kang kasebut ngrasa // apan
tutukireng janmi // iku lawanging suwarga // dalane sadaya mukti.
Arti perkataan
// kata yang keluar dari mulut // dan seperti telah disebut di depan // bahwa
mulut manusia // itulah pintu surga // jalan keselamatan.
10.
Yen liyane
umat Rasul // lawang swarga nora muni // lapal kang kasebut ngarsa // karana
seje agami // ing lawang suwarganira // aciri tulis pribadi.
Jika selain
umat Rasulu // pintu surga tidak berbunyi // lapal yang telah disebut di depan
// karena beda agama // pintu surgamu // ada tulisan pribadi.
11.
Manut ing
Agamanipun // sebute kang metu lathi // wong Jawa Dewa Bathara // Ngisa roh
olah Walandi // Cina Agama Brahala // dika twapekong pinuji.
Menurut
Agamanya masing-masing // sebutan yang keluar dari mulut // Orang jawa menyebut
Dewa Bathara (Arti Dewa telah dijelaskan di depan) // Isa rohulah Belanda //
Cina Agama Berhala // twapekong yang dipuji.
12.
Tegese manut
luhuripun // Agama miturut luri // nadyan gundul nganggo surban // yen lesan
tan bisa muni // lapal kang kasebut ngarsa // dudu umat Rasul Nabi.
Artinya
mengikuti leluhurnya // Agama leluhur // meski gundul bersurban // jika mulut
tidak bisa berkta // lafal yang telah tersebut // bukan umat Rasul Nabi.
13.
Ing mangsa iki
sun bingung // tumingal wujuding jinis // janmestri nganggo mukena // pangakune
santri estri // manglong lawang ngawe bedang // ngajak brandon ngadu wadi.
Di jaman
sekarang saya bingung // melihat manusia dari jenis // perempuan yang memakai
mukena // mengaku santri wanita // mengintip di pintu memanggil laki-laki //
mengajak bertengkar mengadu wadi.
14.
Kakung surbane
sagenuk // klambi jobah kalung tasbih // mider gawa mata gelap // Ya Allah Kang
Maha Tinggi // muga raja netepana // adat panganggone jinis.
Yang laki-laki
bersurban besar // berjubah berkalung tasbih // berkeliling mata tertutup // ya
Allah Yang Maha Tinggi // semoga penguasa menetapkan // budaya pakaian tiap
bangsa.
15.
Yen nyata wong
Jawa tuhu // manganggowa cara jawi // tanda gawa mata terang // wong Jawa
manganggo Ngarbi // iku gawa mata gelap // den anggo tur den kukuhi.
Jika
betul-betul oang Jawa // Berpakaianlah cara jawa // itu indah dipandang mata //
orang jawa berpakaian Arab // itu kurang sedap didpandang // di pakai dan
dikuasai.
16.
Gelap tata
ngadatipun // raga wujudira Jawi // amet tataning wong Ngarab // dudu
tataning wong Jawi // puniku tata silihan // ditutup panganggo Ngarbi.
Merusak budaya
// raga model jawa // memakai budaya Arab // yang bukan budaya jawa // itu
budaya pinjaman // memakai pakaian Arab.
17.
Watir den
tapeke iku // mring jalma kang ahli budi // Jawa nganggo cara landa // punika
mundak utami // sanadyan gelap teranga // manut agama narpati.
Kuatir den
tapeke itu // olah manusia ahli budi // orang jawa berpakaian model Belanda //
itu lebih baik // walaupun salah dan benrnya // mengikuti aturan hukum raja.
18.
Manusa kang
sanget pengung // darbe duwit sewu ringgit // ginawa tuku sawarga // marang
Mekkah munggah kaji // sangu pambayaren kontan // suwargane tampa mbenjing.
Orang yang
sangat bodoh // mempunyai uang seribu ringgit // dipergunakan membeli surga //
pergi ke Mekkah naik Haji // dibayar dengan kontan // surganya diterima besok
hari.
19.
Nang kerat
benjing yen lampus // iku janma tanpa budi // yen cidra nagih mring sapa //
tanda tangan tan nampani // saking Allahu tangala // atobat lamun pinikir.
Di akherat
jika sudah meninggal // itu manusia tanpa budi // jika bohong menagih pada siapa
// Tanda terima tidak memiliki // dari Allahu ta’ala // itu tidak masuk akal.
20.
Ki Darmagandul
umatur // omonge Muhammad murid // miturut ing kitabira // ingkang saking
Ngarab nagri // sinten janma kang ngarasa // kakbatollah Mekkah Nagri.
Darmagandul
berkata // Kata murid Muhammad // berdasar kitabnya // kitab dari Arab // siapa
saja orang yang mencium // Ka’bah di negri Mekkah.
21.
Sirna dosane
kang sampun // yen pejah munggah suwargi // Ki Kalamwadi anyentak // iku wong
dinadung demit // ngendi ana bangsa sela // nyirnaken dosane jalmi.
Hilang dosanya
// jika meninggal masuk surga // Kalamwadi berkata keras // Itu orang yang
ditipu demit // Mana ada dari jenis batu // bisa menghilangkan dosa
manusia.
22.
Iku jalma mata
pitu // nora nganggo mata siji // matane sanga lapisan //abalero lamun ningali
// samar kalingan papadang // kasasar manembah curi //
Itu manusia
bermata tujuh // tidak menggunakan mata hati // matanya sembilan bohong semua
// salah lihat jika melihat // tidak jelas tetutup terang // sesat menyembah
batu.
23.
Dadi janma
tanpa kusur // kabujuk rembuging santri // kang bisa nyirnaken dosa // tirta
tarekat sucining// karya adus ing manusa // bisa bersih lahir batin.
Jadi manusia
tanpa kusur // tertipu apa kata santri // yang bisa menghapus dosa // Air
tarekat yang suci // digunakan mandi manusia // itu bisa membersihkan lahir
batin.
24.
Manusa ingkang
wus lampus // tan bisa munggah suwargi // manusa kang taksih gesang // tan arsa
munggah suwargi // nanging ta suwarganira // minggah lesaning wong urip.
Manusia yang
telah meninggal // tidak bisa masuk surga // manusia yang masih hidup // tidak
mau masuk surga // namun surga mu itu // ada di mulut manusia.
25.
Kebo sapi
jaran wedus // suwargane den unggahi // pinangan den idak-idak // lamun manusa
kang ngerti // suwarganira rinengga // kasudi wadahe bersih.
Kerbau sapi
kuda dan kambing // Surganya dinaiki // dimakan di injak-injak // jika manusia
yang telah paham // surganya akan dihias // dirawat tempatnya biar
bersih.
26.
Kalamun manusa
tuhu // tan melik munggah suwargi // nama nikmat lan kamulyan // puniku dipun
ulati // punjula samining jalma // aja thukul dadi kuli.
Jika
benar-benar manusia // tidak ingin masuk surga // yang namanya nikmat dan
kemulian // itulah yang dicari // bisa mencapai derajat lebih tinggi
dibanding sesamanya // janganlah hanya menjadi kuli.
27.
Duweya nama
misuwur // sinebut priyayi inggil // nikmata badan lan manah // muliha kadya
ing nguni // kadi duk neng alam samar // tan duwe susah prihatin.
Milikilah nama
yang baik // yang disebut priyayi tinggi // merasakan nikmat badan dan hati //
kembali seperti awalnya // ketika berada di alam samar // tidak mempunyai rasa
sedih dan prihatin.
28.
Manusa kang
tanpa jantung // muji dzikir rina wengi // marang Allahu tangala // anyuwun
munggah suwargi // iku janma tanpa mata // trima mangan godong kuldi.
Manusia yang
tanpa jantung // muji dzikir siang malam // memuji Allahu ta’ala // momohon
bisa masuk surga // itu manusia tidak bermata // Cuma makan daun kuldi..
29.
Lali yen
tinitah luhur // punjul samining ngurip // suwargane ing ngingahan // pinangan
sarwi lumaris // brangkang tengah ara-ara // ngombe uyuh ngambus jari.
Lupa jika
dicipta luhur // derajat paling tinggi di antara makhluk // surganya dinaiki //
diberi makan sambil berjalan // merangkak di tengah lapangan // minum kencing
mencium jari.
30.
Ya iku
ganjaranipun // wong kang karem mangan kuldi // manut makam Rosulullah // ing
nginggahaken suwargi // pinaringan nama besar // kasebut sang Raja Sugih.
Itulah balasannya
// orang yang suka makan kuldi // mengikuti rasulullah yang ada di dalam kubur
(bukan mengikuti Nabinya) // dinaikan ke dalam surga (kandang) // diberi nama
besar // yang disebut Raja Kaya (Kerbau sapi dll.. iru orang jawa menyebutnya
Raja Kaya).
31.
Ingkang
mungguh kaya ingsun // duwe duwit sewu ringgit // sun karya tuku suwarga //
rong ringgit dalem sehari // dadi raja jroning wisma // apa sakarepmu dadi.
Jika menurut
saya // punya uang seribu ringgit // saya gunakan untuk membeli surga // dua ringgit
tiap hari // jadi raja dalam rumah // apa yang dikehendaki terwujud.
32.
Mula sun
resiki iku // lawang swargaku kang resik // sun rengga tekat hutama // supaya
aja ngribeti // sakarat mati neng donya // rahayuwa lahir batin.
Sehingga saya
bersihkan // pintu surgaku hingga besih // saya hias cita-cita luhur // supaya
tidak menjadi penghalang // ketika akan meninggal dunia // selmatlah lahir
batin.
33.
Lawang
suwargaku iku // pancatan harja bilahi // yen becik narik raharja // yen ala
narik bilahi // mulane wajib sun jaga // ngucap kang ngati-hati.
Pintu surgaku
ini // penyebab selamat dan celaka // jika baik akan selamat // jika buruk akan
celaka // makanya wajib saya jaga // berkata dengan hati-hati.
34.
Supaya nemu
rahayu // slameta lahir batin // yen ala pangucapira // wus pasthi manjing
jumani // yen becik pangucapira // tan pegat ganjaran mintir.
Agar mendapat
keselamatan // selamat lahir batin // jika buruk ucapanmu // pastilah masuk
neraka // jika baik ucapannya // tidak akan putus mendapatkan anugerah.
viii.
MEGATRUH
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Darmagandul
manembah alon umatur // mugi kyai ampun runtik // kamipurun kula matur //
panjenenganipun kyai // kawula ngasil pitakon.
Darmagandul
sambil menyembah berkata // semoga Kyai tidak marah // atas segala pertanyaan
saya // kepada paduka kyai // saya mohon bertanya
2.
Tiyang donya
namun satunggal wujudipun // nanging warninipun kalih // amung estri lawan jalu
// sami turun Adam Nabi // pikukuh babon sawiyos.
Manusia di
dunia hanya satu ujudnya // dan ada dua jenis // wanita dan laki-laki //
semuanya adalah keturunan Nabi Adam // berasal dari satu aturan hukum.
3.
Sastranipun
seratanipun wong agung // tapak hiyangipun sami // sami gadah tangan suku //
netra grana karna lathi // gadah kalam dharmagandul.
Kitabnya
ditulis oleh orang besar // model bodinya sama // sama-sama mempunyai tangan
kaki // mata hidung dan mulut // mempunyai kitab Dharmagandul (Pedoman hidup
masing-masing).
4.
Yen wong estri
aneng perji wadosipun // niku pratandane sami // manusa donya sadarum // wujude
mung kalih warni // sajatine mung sawiyos.
Jika wanita
ada pada perji kelemahannya // itu tandanya sama // semua manusia di dunia //
ujudnya dua macam // aslinya hanya satu.
5.
Kathahipun
sagulma tan kirang langkung // karana adeging wilis // sagulma pathokanipun //
pangkat rolas wangsul siji // sadosin etung siji wong.
Banayaknya
satu gulma tidak kurang tidak lebih // karena berdirinya wilis // satu gulma
pedomannya // berasal duabellas kembali menjadi satu // duabelas hitungan dalam
tiap satu manusia.
6.
Egul iku
tegese ageng pinunjul // manusa ingkang mangerti // rurupan donya sadarum //
kang ageng inggil pribadi // mung siji kang bangsa uwong.
Egul itu
artinya ageng (besar) pinunjul (mempunyai kelebihan) // manusia yang telah
paham // segala rupa yang ada di dunia // yang besar tinggi yang sendiri //
hanya satulah yang dilakukan.
7.
Kang tineda
woh kuldi budi lan kawruh // sami kyai lawan mami // kang bedha nugrahanipun //
paparingan Hyang Widdi // pangkat luhur madya asor.
Memakan buah
kuldi budi dan kawruh // sama seperti kyai dan saya // yang membedakan hanyalah
nasib // pemberian dari Tuhan // pangkat tinggi, sedang dan rendah.
8.
Sabab napa
sastra jinis bangsanipun // corakipun boten sami // beda-beda lampahipun //
Jawi Landi Cina Ngarbin // ngiwa nengen lan mengisor.
Apakah
sebabnya jenis ilmu tiap bangsa // tulisannya tidak sama // berbeda-beda
arahnya // Jawa Belanda Cina dan Arab // ke kanan ke kiri dan ke bawah.
9.
Carakane boten
sami katahipun // beda-beda ingkang warni // kang kangge pikukuhe buku // Jawi
Landi Cina Ngarbi // tan nganggo sastra sawiyos.
Jumlah
hurufnya tidak sama // dan berbeda-beda modelnya // untuk digunakan membuat
buku aturan hukum // Jawa Belanda Cina dan Arab // tidak menggunakan satu jenis
huruf saja.
10.
Kalamwadi
hangandika manis harum // yen ta sira takon bab iki // hingsun dewe tan sumurup
// sun matur Rahaden budi // kang nglimput tunggal lan ingong.
Kalamwadi
menjawab dengan manis // jika kamu bertanya masalah ini // saya sendiri pun
tidak tahu // saya akan bertanya kepada Budi // yang berada dan menyatu di
dalam diriku.
11,
Mula sastra
hing dunyo bedha puniku // karsane Hyang Maha Sukci // manusa donya sadarum //
kabeh padha dililani // mangan woh budi woh kawruh.
Mengapa huruf
yang ada di dunia beda itu karena // Kehendak Yang Maha Suci // semua manusia
di dunia // semuanya diberi kebebasan // makan buah budi dan kawruh.
12
Kaparingn
wahyu kahengetanipun // methik woh kawruh woh budi // sadungkape gone gayuh //
manusa sawiji-wiji // woh wit budi win kawruh.
Dan diberi
wahyu kesadaran // untuk mengambil buah kawruh dan buah budi // sesuai
kemampunyan dalam berusaha // bagi tiap-tiapa diri // untuk memakan buah pohon
Budi dan kawruh.
13.
Pan kinarya
gunggungan ringkesipun // sastra tulisan Hyang Widdi // kang sagulma kathahipun
// riningkes kantun sakethi // mrih janma pada mangertos.
Untuk
digunakan meringkas // ilmu dari Tuhan // yang jumlah satu gulma // diringkas
menjadi sepuluh ribu // agar manusia bisa memahami.
14.
Yen nganggowa
sastra tulisan Hyang Agung // sastrane nglimput jro warni // kehing sastra
manut wujud // aranira sastra hurip // manusa tan dungkap gayuh.
Jika
menggunakan ilmu tulisan Tuhan // Ilmunya bersembunyi di dalam warna // jumlah
banyaknya sastra mengikuti wujud // yang di sebut sastra kehidupan // manusia
tidak akan bisa menggapainya.
15.
Olya Nabi tan
kadugan hing panggayuh // woh wit kawruh woh wit budi // tinandanan sipat wujud
// cinorek hing dluwang mangsi // mrih kena dinulu hing wong.
Auliya dan
Nabi yang bertugas untuk menggapainya // Buah pohon kawruh dan buah pohon budi
// yang ditandai dengan sifat wujud // ditulis di kertas menggunakan tinta //
agar supaya bisa dilihat oleh manusia.
16.
Aran dalil iku
medal mangunipun // tegesira mangsi mangsit // yen dluwang katrapan hiku //
hing mangsi wijil .. dadi mangsi mangan kawruh.
Disebut dalil
karena keluar modelnya // sedangkan mangsi (tinta) itu wansit (ilmu) // jika
kerta terkena olehnya // dari mangsi yang keluar // akan menjadi mangsi makan ilmu.
17.
Haran kalam
gawa halam hisi kawruh // sastra angka warni-warni // paparingira Hyang Agung
// iku wajib dipun bukti .. mrih sugih heling mangertos.
Disebut kalam
(bahasa) membawa halaman yang berisi ilmu // model tulisan dan angka itu
bermacam-macam // itu pemeberian Tuhan // iku wajib dipelajari // agar banyak
ingatnya dan pemahamannya.
18.
Krana janma
kang tan ngerti sastra iku // paparingira Hyang Widdi // sathithik
manganing kawruh // krana nora ngerti wangsit // kang tumrap ing dluwang kono.
Karena manusia
yang tidak mengerti ilmu // dari pemberian Tuhan // akan sedikit makan ilmu //
karena tidak mengerti yang terkandung // yang ada di atas kertas yang tertulis.
19.
Olya cina Kong
Hucu Komandanipun // sastra tulisan Hyang Widdi // kehing sastra manut wujud //
kang siku tan bisa sami // sastra kurang muni pelo.
Ulama Cina
Kong Hucu Komandannya // untuk menulis ilmu Tuhan // Jumlah huru mengikuti
wujud (Huruf cina meniru bentuk benda yang ada di alam) // yang siku tidak bisa
sama // hurufnya kurang bisa berbunyi pelo (tidak jelas).
20.
Olya Nabi ing
bangsa sadayanipun // nganggit sastra di patoki // mantep cacah telung puluh //
kurang luwih jangkep muni // abot entheng ngeses ngorok.
Ulama nabi dan
bangsanya // membuat huruf dibatasi // semuanya berjumlah tiga puluh (Huruf
hijaiyah 30 buah) // lebih dan kurangnya bunyinya lengkap // berat ringan
mendesisi dan mendengkur.
21.
Sastraning
Hyang lan sabda panuratipun // dadine wujud pribadi // mila cetha ungelipun //
sastra beda nora sami // nora dompo nora pele.
Penulisan
huruf dan sabda Tuhan // terjadi dengan sendirinya // sehingga jelas bunyinya
// hurufnya berbeda dan tidak sama // tidak gandeng dan tidak terpisah.
22.
Kawruh iki
raras driya kitabipun // tholat-tholit dadi athik // sun turut rasaning tembung
// kalawan lemesing dongding // embuh temen embuh goroh.
Ilmu ini
bersumber dari pikiran sebagai kitabnya // Thoalt-thalit menjadi athik // saya
ikuti dari rasanya kalimat // dan juga halus dongding iramanya // entah benar
entah salah.
23.
Nalar iki lah
timbangen Darmagandul// endi ingkang luwih inggil // anggite olya sadarum //
iku ingkang mratandani // olya budi luhur asor.
Penjelasan ini
silahkau pertimbangkan wahai Darmagandul // manakah yang lebih tinggi //
gubahan para ahli ilmu semuanya // intu yang menunjukan // mana ahli ilmu yang
tinggi dan yang rendah.
24.
Darmagandul
alon denita umatur // panimbang kawula kyahi // gih leres sadayanipun // angger
medal saking budi // tan wonten lepat sawiyos.
Darmagandul
pelan berkata // menurut pendapatku wahai Kyai // benar semuanya // jika
bersumber dari budi // tidak ada satupun yang salah.
25.
Kaotipun budi
andap budi luhur // kang nganggit sastra sakedik // ringkes jangkep ungelipun
// punika kang mratandani // olya budi luhur yektos.
Yang
menunjukan budi rendah dan budi tinggi // adalah yang jumlah hurufnya sedikit
// ringkas namun lengkap bunyinya // itu sebagai tanda // ahli ilmu tinggi yang
sebenarnya.
26.
Ingakng
nganggit sastra mawi kirang langkung // olya madya ingkang budi // kang nganggit
sastra beribu // kirang langkung ingkang ugi // tanda budi olya asor.
Yang
menciptakan huruf dengan kurang lebih // ahli ilmu tingkat tengah budinya //
yang mencipta huruf banyak // kurang lebihnya // pertandan ihli ilmu tingkat
rendah.
27.
Yen sira yun
miyat tulisan Hyang agung // ngangya mata siji batin // sastra tulisan Hyang
Agung // tan kena sira tingali // lan mata loro melolo.
Jika engkau
ingin mengetahui tulisan Tuhan // gunakanlah mata satu yaitu mata batin //
huruf ciptaan Tuhan // tidak bisa kamu lihat // jika menggunakan mata lahir.
28.
Yen mripatmu
loro sira karya dulu // ana Allah sipat kalih // mangka anane Hyang Agung //
tan kena sira tingali // ora ana Allah loro.
Jika kamu
menggunakan dua mata untuk melihat // akan melihat tuhan dengan dua sifat //
padahal Tuhan itu tidak bisa kamu lihat //Tidak ada Allah itu dua.
29.
Mung datira
anglimput sakehing wujud // yen dinulu mata siji // bener terang paningalmu //
tan maro ciptamu batin // wus geleng tinggal sawiyos.
Sedangkan Dzat
tuhan menguasai semua wujud // jika dilihat dengan mata batin // akan jelasa
penglihatanmu // cipta batin tidak akan mendua // sudah julas hanyalah satu.
30.
Karya samar
mata semar karya dulu // dadya tan sulaya warni // karya samar karya dulu //
lan mata loro mecicil // sinigeg pucung gumantos.
Jika matanya
samar akan meliha hal samar // akan menyebabkan berbeda warna // jika melihat
dengan mata samar // jika menggunakan dua mata // berhenti masuk tembang
pucung.
ix.
PUCUNG
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Kalamwadi
pinarak neng depok dukuh // lawan garwanira // nama Endang Perjiwati // emban
kali Darmagandul datan tebah.
Kalamwadi
sedang duduk di rumahnya // dengan isterinya // yang bernama Endangn Perjiwati
// dua dayang dan Darmagandul tidak ketinggalan.
2.
Kalamwadi
angandika manis harum // marang garwanira // heh renganta sira yayi // ingsun
iki tetep lakimu sejatya.
Kalamwadi
berkata pelan // kepada isterinya // wahai kau dengarkan adinda // saya ini
tetap suamimu yang sejati.
3.
Ingsun wajib
mulang muruk mring sireku // yayi piyarsakna // pitutur kasidan jati // yen tan
mulang tinggal wajib aran lanang.
Saya wajib
mengajar ilmu kepada dirimu // Adinda dengarkanlah // nasihat tentang ilmu
sejati // jika saya tidak mengajarimu sama saja saya meninggalkan
kewajiban sebagai laki-laki.
4.
Anetepi
ngahabi marang wujudmu // ngibarate wisma // nadyan wus bener wus becik // hiku
isih didandani saben dina.
Menjalankan
dan menjaga dirimu // ibarat rumah // meski sudah benar dan baik // itu masih
di jaga tiap hari.
5.
Rehne ingsun
wus tinitah janma cubluk // yayi sun tan bisa // amulang kawruh kang dakik //
ingsun takon marang raganta priyangga.
Karena saya
dicipta sebagai manusia yang bodoh // adindaku, saya tidak bisa // mengajrkan
ilmu yang tinggi // saya hanya bertanya pada raga dirimu.
6.
Sayektine
ragamu bisa sumahur // ing kono wus ana // sasmitanira Hyang Widdi // paring
wulang tan kawedar malang lesan.
Sesungguhnya
ragamu bisa menjawabnya // di situ sudah ada // ilmu pemberian Tuhan // yang
telah memberi ajaran yang tidak di keluarkan melalui mulut.
7.
Mung sasmita
kang tinulis ing badanmu // kang kiwa sadaya // arane hawa pangerti //
pangertine dadi wulang sadayanta.
Hanya lambang
yang tertulis di badanmu // sebelah kiri semuanya // disebut petunjuk hawa //
pengertiannya menjadi ajaran semuanya.
8.
Aran
kiwa wujude ragamu iku // hawa katingalan dene ta maknane iki // wawadah
punika ing tegesira.
Disebut kiri
di badanmu itu // hawa yang terlihat, sedangkan maksudnya // sebagai wadah itu
maksudnya.
9.
Raganira yayi
ibarate prahu // tiange wong lanang // prahune iku wong estri // aran huwong
mung ngelowong dadi wadah.
Ragamu
Adindaku, itu ibarat perahu // tiangnya adalah orang laki-laki // yang menjadi
perahu itu wanita // disebut huwong (orang) karena kosong hanya untuk tempat.
10.
Isinipun mung
telung prakara iku // kari kari titis arannya // dakar kenceng paring picis //
yen wus isi telu iku ora goyang.
Yang berisi
tiga maam // kari-kari titis sebutannya // Dakar kencang memberi uang // jika
sudah berisi tiga maka tidak akan goyang.
11.
Yen wus isi
dakar kenceng bojo bagus // pari iku pangan // picise puniku duwit // yen wus
isi momongan telu wus pepak.
Jika sudah
berisi dakar kencang, suami ganteng // padi makanan // picis itu uang // jika
sudah berisi tiga muatan itu sudah lengkap.
12.
Nora goyang
sayektine tetep pikirmu // yen wus duwe dakar // duwe pari duwe duwit //
sakarepmu iku katekan sadaya.
Tidak akan
goyang dan akan tetap pikiranmu // jika sudah punya dakar yang kokoh // punya
bahan makanan dan punya uang // segala keinginanmu akan tercapai.
13.
Lamun ingsun
tan bisa mengkoni iku // momotan katrinya // wus pasthi sira nyidrani //
ngupaya momotan ingakng kulina.
Jika saya
tidak bis memenuhi itus emua // atas tiga muatan itu // sudah pasti kau akan
selingkuh // akan mencari muatan yang tidak ada.
14.
Rumangsaha
kalamun apes duwekmu // gel ugel artinya // tukar padu saben ari // nora pegat
yen isih pada trisnanya.
Merasalah bila
milikmu itu sial // Ugel-ugek (pergelangan tanagn) // bertengkar tiap hari //
tidak akan berpisah jika masih sama-sama cinta.
15.
Epek-epek
puniku pasemonipun // ngempek-empek nama // mulane yen estri laki // nama ilang
mlebu namane wong lanang.
Epek-epek
(telapak tangan) itu bermakna // hanya menitipkan nama // makanya jika wanita
menikah // namanya akan hilang dan masuk kedalam nama suaminya.
16.
Iya iku
warangka manjing ing duwung // rangkane wanita // duwunge namaning laki // yen
wanita tetep wadahe wong lanang.
Itulah
maksudnya Warangka (sarung keris) masuk ke dalam keris // rangkanya itu wanita
// kerinya itu nama laki-laki // jika wanita tetap sebagai wadah laki-laki.
17.
Ing namane
wanita nora kasebut // mung namane priya // kang misuwur manca nagri // rajah
iku lakimu anggepen Raja.
Sehingga nama
wanita tidak akan disebut // hanya nama suaminya // yang terkenal sampai ke
luar negeri // rajah (garis tangan) angaplah suamimu itu raja.
18.
Driji iku
iderana ing jiwamu // pager kautaman // kuku kukuh ngreksa wadi // aja gampang
wani ngramus godong lingga.
Jari itu
lingkarilah jiwamu // dengan pagar keutamaan // kuku itu yang kuat menjaga
wadimu // jangan mudah meremas daun lingga.
19.
Jempol empol
iku makna gampang gemuh // yen sira kinarsan // mring laki kang gampang gampil
// dipun gelis rebah lir empoling klapa.
Ibu jari itu
yang mudah untuk bersegera // jika engkau dikehendaki // oleh suamimu segeralah
dengan mduah // cepatlah berbaring bakaikan pangkal daun kelapa.
20.
Pramulane ing
ngaran driji panuduh // sira mituruta // satuduh tuture laki // ran panunggul
pakaryane laki nira.
Disebut jari
telunjuk // kau ikuti // segala nasihat suamimu // disebut jari tengah bahwa
pekerjaan suamimu.
21,
Unggulena
mring berkat mupangatipun // mula ingaranan // dariji manis puniki // ulatira
ingkang manis lawan lajer.
Unggulkan
kepada berkah dan mafaatnya // sehingga disebut // jari manis itu // sikapmu
yang manis kepada suamimu.
22.
Aran jenthik
sumurupa kuwasamu // sajenthiking priya // sapara limaning laki // mula sira
den setya rila ing driya.
Disebut jari
kelingking ketahuilah bawa kekuasaanmu // sebessar jari kelingking laki-laki //
makanya kau harus setia ikhlas di dalam hatimu.
24.
Lamun sira
netepi pitutur ngayun // ran estri utama // utama rupane becik // rukun seneng
denira karon asmara.
Jika kemu
menjalankan nasihat tersebut // kau disebut wanita utama // utama dan cantik //
rukun senang keduanya dalam olah asmara.
x. ASMARADANA
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Kalamwadi
ngandika ris // yayi sun tuturi sira // pikukuhe wong jejodohan // laki rabi
aneng donya // poma sira estokna // ing lahir batin den terus // aja nalar
ambelasar.
Kalamwadi
berkata dengan halus // adinda kau ku nasehati // pedoman berumah tangga //
dalam pernikahan di dunia // sungguh kau jalankanlah // dari lahir sampai batin
// jangan punya pikrian yang macam-macam.
2.
Pikukuhing
laki rabi // dudu brana dudu rupa // hamung eling pikukuhe // kena pisan luput
pisan // yen gampang luwih gampang // yen angel-engel kalangkung// tan kena
tinambak harta.
Pedoman
berumah tangga // bukan harta bukan rupa // hanya ingat sebagai pedomannya //
sekali benar atau sekali salah // jika mudah itu lebih mudah // jika sulit itu
tereamat sulit // tidak bisa ditebus dengan harta.
3.
Tan kena
tinambak warni // ugere wong palakrama // temen eling pikukuhe // eling kawaseseng
priya // nora kena sembrana // kurang titi temenipun// yeku luput
ngambra-ambra.
Tidak bisa
ditebus rupa // pegangan dalam rumah tangga // benar dan ingat sebagai pedoman
// ingat bahwa sudah dikuasi laki-laki // tidak boleh sembarangan // jika kurang
hati hati // akan salah dan semakin salah.
4.
Ambuwang
ugering ngurip // lali lamun kawasesa // ing priya jenenging wadon // titi
eling katemenan // tumanem aneng manah // lamun ilang temenipun // ilang
namaning ngakrama.
Membuang
aturan hidup // lupa jika sudah dikuasai // oleh laki-laki sedangkan wanita itu
// harus teliti ingat pada kesetiaan // tanamlah dalam hati // jika hilang
kesetiaannya // hilang namanya pernikahan.
5.
Kang aran
cidra ing laki // tan ngemungken laku zina // yen cidra lahir batine // iku wus
prasasat zina // lahir batin duraka // estokna pituturingsun // den eling aja
sembrana.
Yang disebut
berkhianat kepada laki-laki // bukan hanya melakukan zina // jika berkhinat
lahir dan batinnya // itu sudah sama dengan zina // lahir batin durhaka //
jalankanlah nasihatku // ingatlah selalu dan jangan sembarangan.
6.
Wong lali
rehnig akrami // lali winasesa ing priya // ing ngaran pedot kramane //
nyandang dosa rong prakara // siji dosa mring priya // kaping pindo dosanipun
// marang Allahu tangala.
Orang yang
lupa pernikahannya // lupa telah dikuasai laki-laki // itu disebut putus
pernikahannya // itu mendapat dosa dua macam // satu dosa pada laki-laki //
yang kedua berdosa kepada // Allahu ta’ala.
7.
Dosa lahir
dosa batin // hati ugering manusa // yeng tan pinantheng atine // eling
jenenging manusa // yen manusane rusak // amung salah kang tinemu // tangeh
manggiha raharja.
Dosa lahir
dosa batin // hatilah pegangan manusia // jika tidak dijaga hatinya // akan
ingatlah manusia itu // jika hatinya rusak // hanya salah yang didapat // tidak
mungkin akan selamat.
8.
Badan iku mung
sadarmi // nglakoni osiking manah // yen ati ilang osike // rusak lahir
batinira // ati ratuning badan // eling nugraha Hyang Agung // kang tumiba ing
kawula.
Raga itu hanya
sebatas // menjalankan gerak hati // jika hati hilang keinginannya // akan
rusak lahir batinnya // hati adalah Raja bagi badan // ingat akan anugerah
Tuhan // yang diberikan kepada umat.
9.
Pasemone wong
ngaurip // denira apalakrama // ngibarate prau gedhe // kang lanang lakuning
satang // wadon kemudinira // nadyan bener satangipun // lamun kemudine salah.
Gmbaran hidup
manusia // dalam berumah tangga // ibarat perahu besar // yang laki-laki yang
mendayung // wanita yang mengemudikan // walau benar mendayungnya // jika salah
mengemudikannya.
10.
Yen bener kang
ngemudeni // asalah panyatangira // palwa tan kenceng lakune // luput-luput
katiwasan // lakune tanpa sedya // datan tumeka ing purug // karana sulayeng
karsa.
Jika benar
yang mengemudikan // salah mendayungnya // prahu tidak akan cepat jalannya //
salah-salah bisa celaka // jalannya pun tanpa tujuan // tidak akan sampai ke
tujuan // karena berbeda keinginan.
11.
Yen rosa
ingkang nyatangi // lan bener kemudinira // palwa akenceng lakune // saparen
tamtu teka // sebab wus nunggal karsa // mulane wajib arukun // tut runtut
apalakrama.
Jika kuat
mendayung // dan benra kemudinya // perahu akan cepat jalannya // kemanapun
perginya pasti akan sampai // sebab sudah sama keinginannya // makanya rukun
itu wajib // menurut bersama dalam hidup berumah tangga.
12
Dununge rukun
puniki // akarya harjaning janma // lan nagara saisine // lawan sun tuturi sira
// dalaning karusakan // iku papat kathahipun // dalaning mulya sakawan.
Tempatnya
rukun itu // membuat keselamatan manusia // dan negara seisinya // dan juga kau
ku nasehati // dalan menuju kehancuaran // itu empat macam // jalan keselamatan
juga empat.
13.
Dingin mulya
saking nami // pindo mulya saking donya // ping telu saking ngelmune // papat
mulya saking wignya // iku lamun sepiya // salah siji saka iku // pasti siya
marang raga.
Yang pertama
mulia nama // mulia karena harta // ketiga mulia dari ilmu // keempat mulia
karena mempunyai banyak keahlian. // itu jika kurang // salah satu dari itu //
pasti akan menyia-nyiakan raga.
14.
Kang mulya
anama priyayi // mulya dunya sugih harta // kang ngelmu akeh kawruhe //
dene mulya saking wignya // ingkang sugih kabisan // ing ngendi
satibanipun // sayektine darbe rega.
Yang mulia
adalah nama laki-laki // mulia dunia itu banyak harta // mulia ilmu itu banyak
ilmunya // mulya dari keahlian itu // punya banyak keahlian// dimanapun
tempatnya // pasti punya harga.
15.
Ran rusak
patang prakawis // dingin rusak atinira // kapindo rusak badane // telu rusak
saking nama // bodo kaping sekawan // ana dene dunungipun // kang rusak ati
punika.
Yang disebut
rusak itu empat macam // yang pertama rusak hatinya // ke dua rusak badannya//
ke tiga rusak namanya // ke empat bodoh // sedangkan yang disebut // rusak
hatinya adalah.
16.
Iku wong kang
sedih pikir // rusak awak iku lara // rusak nama ora duwe // rusak bodo cupet
manah // yen janma kurang nalar // wus pasthi dadi wahelul li kuli amukl cina.
Orang sedih
pikirannya // rusak badan itu sakit // rusak nama itu miskin // rusao bodoh itu
sempit hati // jima manusia kurang nalarnya // sudah pasti podoh jadi kulinya
orang cina.
17.
Nugrahanira
Hyang Widdi // ingkang katrap ing kawula // warsa seneng samurwate // darajat
nama wang barang // ngelmu lawan kawignyan // jurung waras senengipun //
nugraha marang utama.
Anugrah Tuhan
// yang diberikan kepada umat // warsa senang secukupnya // derajat nama
dan uang dan barang // ilmu dan keahlian // mendukung kesehatan dan
kesenangannya // nugraha kepada keutamaan.
18.
Wong urip neng
donya iki // awit lahir prapteng lena // kang rinenbut mung namane // duweya
nama utama // pinunjul ing sasama // kang wus duwe nama luhur // linebokaken
ing kandang.
Hidup id dunia
// sejak lahir sampai mati // yang diperjuangkan hanya nama // milikilah nama
yang baik // meleihi sesamanya // yang sudah mempunyai nama baik // jagalah .
19.
Saben dina di
gebugi // lan pinangan iwak ira // sarta pinurih gawene // punika sababe apa //
jeneng sahijab-hijab // luhure sebutanipun //dumunung nang raja kaya.
Tiap hari
dipukuli // dan dimakan dagingnya // serta diambil tenaganya // apakah sebabny
itu // nama sahijab-hijab // luhur sebutannya // itu ada di Raja Kaya (Kerbau,
sapi dsb).
20.
Pasemone wong
ngaurip // rugi lawan untungira // ngibratipun kakayon // saben dina rone
rentah // pupuse saya tambah // iku tanda saksinipun // Allah sipat adil murah.
Ibarat oang
hidup // untung dan ruginya // ibaratnya tumbuhan // tiap hari gugur daunya //
semakin bersemi banyak // itu tanda sakdi bahwa // Allah bersifat Adil dan Maha
Murah.
21
Lamun wus
tinakdir mati // ron rentah pupus tan tambah // apa kang cinatur maneh // pan
namung tunggal lan nama // iku satuhu nira // kinarya kupiya pungkur //
kanthine kawruh kang nyata.
Jika sudah
ditakdirkan mati // daun berguguran tunas tidak akan tumbuh // apa yang bisa
dikatakan lagi // hanya menyatu dengan nama // itulah artinya // digunakan
sebagai pelajaran // dengan ilmu yang utama.
xi.
KINANTHI
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Ki Darmagandul
umatur // mugi Kyai sampun runtik // kawula nyuwun tatanya // paduka tiyang
nagari // tilase pernah kratonira Sri Jayabaya ing nguni.
Ki Darma
gandul berkata // Semoga Kyai tidak bosan // hamba mohon bertanya // dia yang
pernah bertempat di // bekas kerajaan milik Sri Jaya Baya di masa lalu.
2.
Ing Kediri
ratu Agung // kang mashur prapteng samangkin // menggah pernah tilasira
// sapunika ingkang pundi // Ki Kalamwadi ngandika // yen sira takon bab iki.
Raja besar di
Kediri // yang terkenal sampai sekarang // bahwa tempat petilasannya //
sekarang ada dimana // Kalamwadi menjawab // jika kamu bertanya tentang ini.
3.
Iku dawa
critanipun // sun pethik kawruh sathithik // dununging karatonira // Sri
Narpati Kediri // Maha Prabu Jayabaya // sawetaning Brantas kali.
Itu panjang
ceritanya // saya ambil sedikit saja // tempat kerajaannya // Raja Kediri //
Maha Prabu Jayabaya // di sebelah timur sungai Brantas.
4.
Dene Kediri
punika // sakulone Brantas kali // sawetane Wilis harga // sakidul kulone loji
// sawetane Klothok Desa // Kono ana bata putih.
Sedangkan
Kediri berada // di sebelah Barat sungai brantas // di sebelah timur Gunung
Wilis // Di sebelah barat Loji // di sebelah timur Desa Klotok // di situ ada
batu bata putih.
5.
Iku
patilasanipun // Sri Pujaningrat Kediri // dene patilasanira // Sri Jayabaya
Kediri // kang aran kutha ing Dhaha // aran Desa Menang nenggih.
Itulah
bekasnya // Keraton kerajaan Kediri // sedang peninggalan dari // Sri Jayabaya
Kediri // yang disebut Kota Dhaha // bernama Desa Pamenang.
6.
Melu papar
distrikipun // tilas karaton tan katawis // sabab kahurugan lemah // pasir
lahar Kelud hardi // kabeh patilasan sirna // kaurug lemah pasir.
Ikut Kota
Papar // bekas kerajaan tidak terlihat // sebab terurug tanah // pasir
lahar gunung Kelud // semua peninggalannya hilang // terpendam pasir.
7.
Pasanggrahan
wana catur // lan taman Bagenda Wati // sarta pasanggrahan lawan // kadatonira
sang putri // Nimas Ratu Pagrdongan// mung aran Desa maksih.
Pasanggrahan
Wana Catur // dan Taman Bagenda Wati // dan juga Pesanggrahan // keraton sang
putri // Nimas Ratu Pagedongan // menjadi nama desa.
8.
Ingkang isih
wujudipun // yasane sri Narapati // kang sun wruhi amung papat // Candi prunggu
tegal wangi // lor wetan Desa Mamenang // telu reca batu nyahi.
Yang masih ada
ujudnya // buatan Raja // yang saya ketahui itu ada empat // Candi perunggu
tegalwangi // Disebelah Timur laut Desa Pamenang // tiga arca batu Nyai
9.
Dina nyahen
wastanipun // duwure sawelas kaki // madep ngulon jengkeng lenggah //
gedene putering diri // ing prenah bangkekanira // putere sawelas kaki.
Dina Nyahen
namanya // tingginya sebelas kaki // duduk menghadap ke barat //besar lingkaran
badan // di pinggangnya // sebesar sebelas kaki
10.
Lengen ingkang
tengen putung // ingsun takon Kyai Budi // ingkang nyempal Sunan Benang
// duk kala Nagri Kediri // mriksani sadaya reca // yasane wong Buda Budi.
Lengan sebelah
kanan putus // Saya bertanya pada Budi di diriku // yang memutukan itu Sunan
Benang // Ketika pergi ke Kediri // untuk melihat semua arca // butan orang
Buda budi.
11.
Upama den liha
iku // saking pernah gone lami // wong astha tus tan kawawa // yen nora lawan
piranti // papat reca rupa buda // awak siji sirah kalih.
Andaikan
dipindahkan // dari tempatnya sekrang // delapan ratus orang tidak akan kuat //
jika tidak menggunakan alat // empat arca Budha // satu badan dua kepala.
12.
Ungkur-ungkuran
dahulu // ing desa bogem den goni // melu distrik Sukareja // ingsun takon Kyai
Budi // mulane Sri Jayabaya // iyasa reca puniki.
Saling
membelakangi // tempatnya di Desa Bogem // ikut wilayah Sukareja // saya
bertanya pada budi ku sendiri // mengapa Sri Jayabaya // membuat arca ini.
13.
Lah mangkene
critanipun // Ratu estri aran Nyahi // ing Lodaya asalira // angunggah-unggahi
sang Aji // durung katur Sri Narendra // rinampok ing wadya alit.
Beginilah
ceritanya // Ratu Wanita bernama Nyahi // berasal dari Lodaya // ingin melamar
sang Raja Kediri // belum sampai bertemu Raja // dikeroyok rakyat jelata.
14.
Wusing buta
nyahi ambruk // ananging durung ngemasi // tinakonan sedyanira // praptane
Dhaha Nagri // buta Nyahi apratela // kadya kasebut ngarsi.
Akhurnya
raksasa Nyahi rebah // namun belum meninggal // ditanyakan tujuannya // datang
ke Ngegri Dhaha // Buta Nyahi menjawab // seperti tersebut di atas.
15.
Ature katur
Sang Prabu // tandya miyos Sri Bupati // mriksani putri raseksa // dinangu
matur sang putri // nama sedya lan pinangka // ngandika Sri Narapati.
Kemudian
omongannya disampaikan kepada Raja // Segeralah Raja berangkat // melihat
raksasa wanita // ditanya berkatalah dia // nama dan tujuannya //
berkatalah Raja.
16.
Heh ta buta
wruhanmu // karsane Dewa kang luwih // ingsun dudu jodonira // nanging sira sun
tuturi // ing benjang sapungkuringwang // kulon kene ana Haji.
Wahai raksasa
ketahuilah // atas kehendak Tuhan // saya bukan jodohmu // namun kau kuberi
tahu // besok setelah saya tiada // sebelah barat dari siji ada raja.
17.
Ing Prambanan
pradanipun // karsaning dewa linuwih // iku jatukramanira // ananging rupaha
janmi // aranira Rara Djungrang // nulya buta nyahi mati.
Bertempat di
Prambanan // atas kehendak Tuhan // itulah jodohmu // namun kau akan berubah //
namamu Rara Jongrang // kemudian Nyahi raksasa mati.
18.
Lah punika
purwanipun // Jawa na sebutan Nyai // malah luhur kang anganggya //besuk dina
wuri-wuri // dene ingkang duwe aran // buta geng punjul sasami.
Itulah asal
ceritanya // di Jawa ada sebutan Nyai // justru dipakai oleh para luhur //
besok di belakang hari // sedangkan yang mempunyai nama // Raksasa besar
melebihi manusia.
19.
Gya Sang Prabu
paring dawuh // Heh wadyaningsun gedhe cilik // pada sira ngarananan // gone
buta mati iki // desa lumuru ranira // katelah prapta samangkin.
Segera sang
raja memberi perintah // Wahai rakyatku besar kecil // kalian berilah nama //
tempat raksasa meninggal ini // Desa Lumuru namanya // tekenal sampai sekrang.
20.
Tan lama
antaranipun // Sang Prabu iyasa malih // reca Kuda lalagaran // das loro dipun
ubengi // laren kanan keringira // ing Desa Bogem den goni.
Tidak lama
kemudian // sang raja membuat lagi // acra kuda kosongan // berkepala dua dan
dilingkari // anak kecil di kanan kirinya // di Desa bogem tempatnya.
21.
Patihira Sanga
Prabu // Buta Locaya kakalih // lan senapati ngayuda // Tunjungwulung ingakng
Nami // kalih sareng atur sembah // matur mring Sri Narapati.
Patih sang
raja // yang bernama Buta Locaya berdua // dengan panglima perang // yang
bernama Tunggulwulung// keduanya menghaturkan sembah // berkata kepada Rajanya.
22.
Duh Pukulun
Maha Prabu // kang abdi sru kumawani // matur ing paduka Nata // kang abdi
nyuwun pangarti // kang dados karsa Narendra // iyasa reca puniki.
Wahai Tuan
Raja // hamba memberanikan diri // menyampaikan kepada paduka raja // hamba
mohon penjelasan // apa yang menjadi kehendak raja // membuat arca ini.
23.
Awujud kuda
dahulu // awak siji sirah kalih // lagaran tan mawi kapa // wonten Dusun Bogem
ngriki // kanan kering ing ngideran // jagang larene prayogi.
Berupa arca
kuda // satu badan dua kepala // kosongan tidak memakai pakaian kuda // di Desa
Bogem ini // kanan kirinya di kelilingi // anak-anak kecil.
24.
Punapa ing
wadosipun // kang dados karsa Narpati // akarya susahing wadya // angandika Sri
Narapati // heh wong loro wruhanira // sun yasa reca puniki.
Apakah
maksudnya // yang diinginkan raja // sehingga membuat susah rakyat //
Berkatalah tuan raja // wahai kalian berdua ketahuilah // ssaya membuat arca
ini.
25.
Sun karya
pralambangipun // pasemon ing wuri-wuri // sapa janma ningalana // wujude reca
puniki // nuli pada sumurupa // tekate janma pawestri.
Saya jadikan
ibarat // menggambarkan di belakang hari // siapapun yang melihat arca ini //
maka ketahuilah // bahwa yang ada di dalam pikiran wanita.
26.
Tanah Jawa iku
besuk // yen wus alam Nusasrenggi // tegesira bogem wadah // barang retna
ingkang adi // wujude manusa kenya // iku wadah bangsa wadi.
Tanah jawa
besok // jika sudah masuk di jaman Nusasrenggi // arti Bogem itu tempat //
Barang retna yang bagus // berujud wanita perawan // itu tempat barang wadi.
27.
Tegesira laren
iku // kang ngideri reca iki // tegese kuda sengkeran // wujude manusa estri //
ngibarat kuda sengkeran // awak siji sirah kalih.
Arti anak-anak
// yang memutari arca // artinya kuda simpanan // yaitu wanita muda //
diibaratkan kuda simpanan // badan satu kepala dua.
28.
Puniku
pasemonipun // adate wong estri benjang // amaro ciptanign driya // mawas
ngarso toleh wuri // nadyan rineksa jinaga // ing wuri pasti nyidrani.
Itulah
maksudnya // pada umumnya di belakang hari wanita itu // pikirannya mendua //
melihat ke depan menengok ke belakang // walaupun di jaga di rawat // di
belakang akan menghianati.
29.
Tegese lagaran
iku // tunggangan tanpa piranti // ing besuk lumrahing janma // laki rabi tanpa
idi // ing Raja myang yayah rena // purwa lagaran rumiyin.
Arti tidak
memakai pakaian itu // Kendaraan tanpa alat // besok pada umunya manusia //
menikah tanpa ijin // kepada penguasa dan orang tua // akan melakukan lebih
dulu.
30.
Lamun enak
sirigipun // lestari kinarya rabi // yen tan eca medarira // nora sida dipun
kawin // puniku pasemonira // reca kuda Bogem desi.
Jika enak
sirig-nya // diteruskan hingga menikah // jika tidak enak medarira // tidak
jadi dinikah // itulah ibaratnnya // acra kuda Bogem desi.
31.
Ana dene candi
iku // karsane Sri Narapati // sadian kinarya bakar // dasih ingkang pada mati
// layone pinurih sirna // ulihira samar sepi.
Sedangkan
bangunan candi // kehendak raja // disediakan untuk tempat pembakaran // rakyat
yang meninggal dunia // agar jasadnya sirna // kembali di alam sepi.
32
Halal ora
mulih suwung // aneng dunya diratoni // ulihe marang klanggengan // Sang Ratu
melu ngurmati // iku adat Ratu kuna // pamintanira ing nguni.
Halal
kembalinya tidak kosong // di dunia di kuasai // kembali ke alam kelanggengan
// Sang Raja ikut menghormati // itu budaya raja dahulu // atas permintaan raja
33.
Marang ing
Hyang Maha Agung // nulya karsanya Narpati // iyasa candi tumangan // sadian
ambesmi jisim // kadya adat cara kuna // krana raganipun nguni.
Kepda Tuhan
yang Maha Agung // Kemudian sang raja berniat // membuat candi Tumangan //
untuk temepat pembakran mayat // seperti budaya lama // karena raganya ada
jaman dahulu
34.
Ana dalang
purwanipun // aja suwe kaya iki // wujud rupa tanpa nyawa // muliha asale lami
// marang ajal kahelingan // sumaksane Sri Bupati.
Asal ceita ada
seorng dalang // jangan lama-lama seperti ini // berujud rupa tanpa nyawa //
kembalilah ke asal mulanya // ingat kepada kematian // setelah Sang Raja Mukas.
35.
Patih sarta
Tunggul wulung // tiga ingkang putra putri // Nimas Ratu Pagedongan // kinarya
Ratuning demit // sagara kidul sadaya // nama ratu Hangin-nangin.
Kedua patinya
dan Tunggulwulung // yang ketiga adalah putrinya // Nimas Ratu Pagedongan
// menjadi raja jin // jin laut selatan semua // bernama Ratu Angin-angin.
36.
Ana kasihe
sang prabu // aran Kramatruna nyahi // pinarah sendangn kalasan // katelah
prapta samangkin // anetepi dawuh nata // sawuse tri atus warsi.
Atas sayangnya
sang raja // yang bernama Nyai Kramatruna // bertempat di Sedang Kalasan // sampai
sekarang // karena menjalankan perintah raja // setelah tiga ratus tahun.
37.
Atmaja
Prambanan Prabu // Lembuwerdadu wewangi // alias Sang Pujaningrat // jumeneng
Nata Kediri // ngedaton kulon bangawan // ing ngaran nagri Kediri.
Putra Raja
Prambanan // Lembuwerdadu wewangi // alias Sang Pujaningrat // menjadi raja
Kediri // Tempat kerajaannya di sebelah barat Kediri // disebut Kerajaan
Kediri.
38.
Kediriku
tegesipun // wadon datan nggarap sari // diri gumede ambegaya // tegese wong
ambeg inggil // dene ingkang paring aran // Retna Dewi Kilisuci.
Kediri itu
artinya // perempuan tidak datang bulan // badannya tinggi besar // artinya
orang yang tinggi besar // sedangkan yang memberi nama Ratna Dewi Kilisuci.
39.
Tinampeken
adatipun // Retna Dewi Kilisuci // sabab Kilisuci wadat // wadon datan garap
sari // nyawabana marang praja // ajwa keh rahe kang mijil.
Disamakan
dengan keadaan // Ratna Dewi Kilisuci // sebab sang dewi juga wadat // yaitu
wanita tidak pernah datang bulan // membawa berkah pada kerajaan // jangan
sampai banyak darah tertumpah.
40.
Mula Kediri
puniku // ing nguni nagri pawestri // lamun nglurug asring menang // kasor lan
den lurugi // lan adatireng wanita // akeh ombak ambeg inggil.
Sehingga
Kediri adalah // pada jaman dahulu disebut Kerajaan wanita // jika berperang
sering menang // kalah jika diserang // dan biasanya wanita Kediri itu //
rambut berombak tinggi besar.
41.
Kasawaban
adatipun // Retna Dewi Kilisuci // kadange tuwa Sang Nata // kang martapa suku
ngardi // Wilis sela manglong guwa // purwane guwa puniki.
Terbawa oleh
keadaan // Ratna Dewi Kilisuci // sedang kakaknya // bertapa di kaki gunung //
gunung Wilis bertempat di Gua Sela Mangleng // itulah awal ceritanya.
42.
Yasane
atmajeng wiku // Klana Sewandana Aji // anglamar Putri Sang Nata // Nama Dewi
Sekartaji // iya ran Candrakirana // TAMAT KANG CARITA IKI.
Buatan anak
sang wiku // bernama Raja Klana Sewandana // melamar putri sang raja // bernama
Dewi Sekartaji // nama lainnya Dewi Candrakirana // TAMATLAH CERITA INI.
Sepanjang //
Sidoarjo // 23 Januari 2014.
http://bukuj.blogspot.co.id/2014/01/sastra-jawa-paling-fenomenal-serat.html
2 Komentar untuk "Serat Darmo gandul"
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
https://www.youtube.com/watch?v=A6aUtOMb2ZI