Candi Prambanan II
Pada dinding tubuh candi Siwa ini terdapat relief dewa-dewa penjaga 8 mata angin (Astadikpalaka), yang candi-candinya ada di halaman I tersebut terdahulu.
Salah satu dewa Astadikpalaka, yaitu Kuwera dengan empat pengiringnya Peripih adalah prana-pratistha
Perlu dikemukakan disini bahwa candi-candi Hindu pada umumnya mempunyai pendaman berupa peripih yang diletakkan di dalam sumuran yang ada di bawah lapik arca pada bilik utama. Candi Siwa sumurannya sedalam 13 meter. Ketika sumuran candi Siwa digali, sedalam 5,75 meter terdapat peti tempat peripih dari batu berisi manik-manik tercampur arang dan tulang2 binatang yang dipakai upacara yaitu kambing dan ayam, batu2 akik, inskripsi dan sebagainya. Peripih merupakan prana.pratistha, yaitu memberi “kekuatan hidup” pada bangunan candi tersebut, sehingga layak menjadi dewagrha (rumah dewa). Di samping di sumuran ada pula peripih di bagian2 candi lainnya, mungkin seperti halnya di Bali, penanaman peripih diadakan dua kali, yaitu sebelum bangunan didirikan dan sesudah bangunan selesai untuk diresmikan.
Candi-candi di kompleks Prambanan baik yang di halaman I maupun ke II mempunyai struktur yang mirip dengan struktur candi Siwa, namun dalam ukuran kecil, dan hanya memiliki satu bilik saja.
Candi Brahma
Candi Brahma
Candi Brahma terletak di sebelah selatan candi Siwa. Ukuran tidak sebesar candi Siwa, berdenah bujur sangkar 20x20 meter dan tinggi 33 meter. Hanya mempunyai satu ruangan, yaitu ruangan utama (garbhagrha) yang berisi arca dewa Brahma bertangan 4 dan berkepala 4 pula, berdiri di atas lapik yoni . Pada bagian dinding kaki candi terdapat panil-panil motif Prambanan indah dan kaya variasi tokoh2 pengapit kalpawrksa. Di bagian luar pagar langkan terdapat tokoh2 berjenggot, memakai sirascakra duduk bersila dan tangan dalam berbagai sikap. Bagian atas pagar langkan dihias dengan amalaka tinggi, besar2 ukurannya berjumalh 72 buah, yang menambah keindahan candi. Sementara itu pada bagian dalam pagar langkan terdapat relief lanjutan cerita Ramayana yang terpahat di candi Siwa. Adapun adegan2nya mulai dari sisi timur secara singkat sebagai berikut:
Relief diawali oleh Rama dan Laksmana dan para dewa, apsari dan penghuni kahyangan lainnya bergembira dengan berhasilnya Rama sampai ke gunung Suwela di Alengka. Demikian pula para kera menikmati keindahan dan buah2an gunung Suwela (1-2).
Rawana berkepala 10 duduk berhadapan dengan seekor kera, yaitu Anggada yang bertindak sebagai utusan Rama, mengingatkan agar Rawana segera mengembalikan Sita. Di antara Rawana dan Anggada terdapat periuk besar dan terlihat Rawana mengacungkan jempol mempersilahkan menyantap suguhan (3). Mulailah peperangan dan banyak bala tentara yang gugur (4-9).
Kumbakarna gugur
Juga termasuk Kumbhakarna dan Rawana sendiri (10-12).
Tidak diceritakan Rama dan Sita bertemu kembali, karena adegan2 selanjutnya menggambarkan bisikan2 sumbang tentang kesucian Sita setelah sekian lama ditawan oleh Rawana (13-16).
Sita terpaksa dibuang ke hutan, dan tinggal di pertapaan pendeta Wiswamitra (17-20).
Di pertapaan Sita melahirkan seorang anak (18), kemudian terdapat adegan orang2 yang berpakaian indah2 dengan muka ceria (19), Sita digambarkan memetik bunga dan buah2an (20). Namun setelah itu tiba2 tidak hanya satu tetapi dua anak laki2 dalam berbagai adegan, berburu di hutan, menghadap sang rsi, bertempur melawan rasaksa, serta hadir pada suatu pertemuan. Dalam cerita Ramayana di India karangan Valmiki, diceritakan Siwa melahirkan dua putera yang diberi nama Kusa dan Lava. Namun dalam panil 18 terdapat adegan Sita melahirkan hanya terlihat satu bayi, entah mengapa yang satu lagi tidak diperlihatkan. Adegan dua anak laki2 hadir di suatu pertemuan, mungkin menggambarkan kedua anak itu datang ke istana ayahnya sebagai penyanyi pada suatu pesta besar. Mereka menyanyikan riwayat Rama dan Sita. Adegan yang digambarkan di candi Brahma diakhiri dengan Sita yang ditelan bumi dan Rama sangat menyesal akan tindakannya terhadap Sita, tetapi tidak dapat berbuat apa pun.
Relief tokoh berjenggot pada dinding luar Candi Brahma
Dinding tubuh candi Brahma, tidak dihias dengan relief Astadikpalaka seperti halnya candi Siwa, tetapi dihias relief manusia berjenggot pula. Dalam setiap relung/panil terdapat tiga tokoh berjenggot, yang ditengah duduk bersila, bertangan dua, dengan berbagai sikap, digambarkan duduk diapit tokoh2 lain. Tokoh2 berjenggot tersebut haruslah seorang tokoh dewa, karena memakai jatamakuta (rambut uang dipilin menjadi mahkota), dan diberi tanda kesucian (prabha) di sekitar kepalanya. Siapakah mereka belum jelas, namun ada yang berpendapat mereka adalah tokoh rsi dalam mitologi Hindu yang berjumlah tujuh (Saptarsi). Mereka muncul setiap manwantara, yaitu pembagian dari kalpa atau siklus penciptaan-penghancuran dunia (pralaya). Satu kalpa terdiri dari 14 manwantara. Walaupun jumlahnya selalu tujuh, namun tokoh resinya setiap manwantara berbeda2. Saat sekarang Saptarsi yang muncul adalah Kasyapa, Atri, Wasistha, Wiswamitra, Gautama, Jamadagni, dan Bharadwaja. Para resi mitos ini dianggap sebagai “anak2 dewa Brahma”
Candi Wisnu
Candi Wisnu terletak di sebelah kanan candi Siwa, dan strukturnya sama dengan candi Brahma, hanya saja di dalam ruang utama (garbhagrha) terdapat arca Wisnu setinggi 2,27 meter, bertangan empat, memegang gadha, segitiga (?), cakra dan sangkha bersayap. Bagian kaki candi dihias oleh motif Prambanan berjumah 16 buah, namun di antaranya ada yang tidak memakai singa di relung.
Relief tokoh laki-laki diapit oleh sepasang wanita dalam berbagai sikap
Bagian luar pagar langkan dihias oleh tokoh yang duduk di atas lapik berhias, dengan tangan dalam berbagai sikap, memakai jatamakuta, masing2 diapit oleh dua wanita. Siapakah tokoh tersebut, mungkin dewa Wisnu yang diapit oleh Sri dan Laksmi. Di bagian dalam pagar langkan terdapat relief cerita, yang diidentifikasi oleh Prof. Dr Poerbotjaroko (1915) sebagai cerita Kresnayana, dan Van Stein Callenfels mengenal beberapa adegan, di antaranya adegan Kresna ketika masih kecil sangat nakal, dan diikat di sebuah lesung oleh ibu angkatnya. Namun Kresna masih bisa berjalan menyeret lesung batu, sehingga banyak pohon tumbang olehnya. Dengan berjalan mengkanankan candi (mapradaksina), urutan adegan2nya secara singkat sebagai berikut:
Menurut ramalan raja Kamsa akan dibunuh oleh anak2 Dewaki, sehingga Kamsa menyuruh bunuh anak2 Dewaki. Namun ada dua anak yang lolos dari maut, yaitu Balarama dan Kresna karena ditukar dengan bayi lain (1-4).
Mereka dibesarkan oleh ibu angkat mereka bernama Yasoda dan hidup di antara para gembala. Karena kenakalannya, Kresna pernah diikat di lesung batu oleh ibu angkatnya, namun Yasoda kesukaran mencari tali pengikat, karena talinya selalu kurang panjang. Kresna dapat berjalan menyeret lesung, dan ketika melewati pohon2 sehingga pohon2 tersebut tumbang (5). Raksasi bernama Putana mencoba menyusui Kresna dan Balarama dengan air susunya yang beracun. Tetapi oleh Kresna diisap sedemikian kerasnya, sehingga Putana mati (6).
Kresna membela teman2 gembalanya, dengan membunuh rasaksa yang berwujud banteng, seekor ular besar dan seekor keledai (7-9).
Balarama yang bersenjatakan bajak dan Kresna terus berperang melawan rasaksa-rasaksa (10-14).
Adegan-adegan berikutnya sulit dikenali, kecuali satu adegan Kresna pergi ke tempat Kamsa dengan membawa busur yang besar (29).
Candi Wahana dan candi A dan B
Di hadapan ketiga candi tersebut di atas, terdapat tiga candi lebih kecil ukurannya, berderet, dan semula ketiganya disebut sebagai candi Wahana. Candi yang berhadapan dengan candi Siwa memang dapat disebut candi Wahana, karena berisi arca Nandi berukuran panjang tubuh dua meter, yang berbaring di tengah bilik, kemudian 2 arca lainnya Candra dan Surya. Arca Surya naik kereta ditarik oleh 7 ekor kuda, bertangan dua, memegang bunga teratai di depan dada. Arca Candra naik kereta ditarik oleh 10 ekor kuda, tangan kanan memegang Soma dan tangan kiri memegang pataka (bendera).
Dua candi yang berhadapan dengan candi Wisnu dan candi Brahma tidak bisa disebut candi Wahana (Wahana berarti “kendaraan”), karena baik arca Angsa (wahana dewa Brahma) maupuin arca Garuda (wahana dewa Wisnu) tidak pernah ditemukan di candi2 tersebut. Pada candi yang berhadapan dengan candi Wisnu bahkan ditemukan sebuah arca Siwa dalam ukuran kecil, sedangkan sebuah arca Garuda dari desa Telaga Lor ada yang menempatkan di candi ini. Oleh karena itu candi yang ada di depan candi Wisnu ini dinamakan candi A (bukan candi Garuda), dan candi yang berhadapan dengan candi Brahma disebut candi B.
Candi Perwara di Halaman II
Pada halaman ke II ini terdapat 224 buah candi perwara yang tersusun dalam empat baris, namun batu2nya telah banyak yang hilang sehingga banyak candi perwara yang tidak mungkin dipugar lagi. Halaman ke II ini tanahnya miring, sehingga terdapat penjenjangan keletakan baris2 tersebut.
Penempatan candi induk di tengah2 dan dikelilingi oleh candi Perwara merupakan kebiasaan yang dijumpai pada candi-candi Klasik Tua di Jawa Tengah. Candi Kalasan, candi Lumbung, candi Sewu, candi Plaosan Lor dan sebagainya, dikelilingi oleh sejumlah candi Perwara. Sistim tata letak percandian semacam ini tidak kita jumpai pada candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur. Misalnya pada candi Tegawangi, candi Panataran, candi Perwara atau candi-candi yang lebih kecil ukurannya di tempatkan di halaman depan, sedangkan candi induknya di halaman belakang candi-candi Perwara tersebut.
Terdapat kemungkinan bahwa candi-candi Perwara ini didirikan oleh para pemberi wakaf (anumodha) seperti halnya dengan candi-candi Perwara di candi Plaosan Lor. Namun perbedaannya, candi-candi Perwara di Plaosan Lor mencantumkan nama-nama si pemberi wakaf, sedangkan di candi Prambanan tidak. Misalnya di candi Plaosan Lor menyebut “anumodha rakai pikatan”, “anumodha rakai gurunwangi” dan sebagainya.
Bilamana candi Prambanan didirikan, J.G. de Casparis, seorang ahli Epigrafi Jawa Kuna memperkirakan pada abad IX. Pendapatnya ini berdasarkan sebuah prasasti Siwagrha yang berasal dari tahun 778 Saka atau 856 Masehi. Pada prasasti itu disebut suatu gugusan candi yang ditahbiskan pada waktu pemerintahan Rakai Pikatan, seorang raja dari wangsa Sanjaya.
Candi Prambanan adalah candi Saiwa, hal ini jelas terlihat pada ukuran candi Siwa yang jauh lebih besar dari candi-candi Brahma atau Wisnu, serta berada di pusat kompleks percandian. Agama Siwa sudah dikenal di Jawa Tengah pada sekitar abad VII Masehi dengan adanya suatu prasasti Sojomerto yang berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuna, menyebut Dapunta Selendra yang beragama Siwa. Setelah prasasti Sojomerto, ada prasasti yang sangat penting dalam pemberitaan agama Siwa, yaitu prasasti Canggal dari tahun 732 Masehi dan menyebut nama raja Sanjaya, anak Sanna. Prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berhuruf Pallawa, yang menyebut pendirian sebuah lingga di bukit Sthirangga, untuk kebahagiaan rakyat (Sanjaya). Kemudian 5 bait berikutnya berisi puji2an untuk dewa Siwa, Wisnu dan Brahma, namun puji2an untuk Siwa disebut dalam 3 bait, sedangkan Wisnu dan Brahma, masing2 dalam 1 bait. Siwa dalam prasasti itu disebut bermata tiga, mempunyai 8 tubuh (astatanu) dan dipuja oleh para Yogin. Dengan menyebut 8 tubuh Siwa, berarti Siwa sebagai dewa tertinggi berada dimana2 di seluruh alam semesta, karena 8 tubuh ini adalah matahari, bulan, Yajamana (manusia), 5 mahabhuta yaitu air, api, tanah, udara, angin.
Pada tahun 1991 ketika diadakan pemugaran candi A dan candi B, telah ditemukan peripih di sumuran candi B yang menyebut dewa-dewi dasa lokapala (penjaga 10 mata angin), menyebut ajaran dalam agama Hindu yang penting bagi mereka yang menghendaki moksa, yaitu ajaran “dharma” yang dalam agama Hindu berarti “kewajiban semua mahluk”, “wairajya” adalah latihan untuk melenyapkan ke-aku-an ( ahamkara) dan “jnana” adalah pengetahuan suci untuk melenyapkan kebodohan (awidya), sehingga tercapailah moksa, yaitu bersatunya Atman dan Brahman yang diidentifikasikan dengan Siwa dalam agama Hindu-Siwa. Kemudian inskripsi tersebut menyebut kalimat om pascima gatra ya namah, yang berarti “Hormat kepada (bayangan) tubuh penguasa barat” dan penguasa barat disini adalah Siwa Mahadewa, karena apabila kita melihat susunan dewa-dewa Nawasanga (9 wujud Siwa), Mahadewa adalah penguasa sebelah barat. Sementara itu arca dewa Siwa Mahadewa ada di ruang tersuci (garbhagrha) candi Siwa.
Candi Negara atau Kerajaan Mataram Kuno
Dari data artefaktual maupun prasasti, candi Prambanan adalah candi untuk pemujaan dewa Siwa, namun yang mengherankan adalah mengapa relief cerita bukan cerita tentang Siwa, melainkan tentang dewa Wisnu. Wisnu dalam agama Hindu adalah dewa pelindung manusia, dan di Jawa khususnya Wisnu dipuja oleh para raja dan para pahlawan. Raja memuja Wisnu, karena dewa tersebut telah mengajarkan niti atau sikap raja yang berjumlah 8 dalam Ramayana kepada Bharata, dan di Jawa ajaran tersebut dikenal sebagai astabrata. Oleh karena itu dewa Wisnu selalu menjadi istadewata (dewa pelindung) raja2, walaupun raja tersebut beragama Siwa. Dengan dipahatnya cerita2 tentang Wisnu, serta memperhatikan gugusan candi Prambanan yang sangat besar, penulis berpendapat bahwa candi Prambanan adalah candi negara atau candi kerajaan Mataram Kuna. Memang pada masa Mataram Kuna ada 2 wangsa raja, yaitu wangsa Sailendra yang beagama Buddha dan wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Siwa. Namun terjadilah pernikahan antara Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya dengan Pramodhawardhani puteri wangsa Sailendra yang beragama Buddha, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa candi negara bersifat agama Siwa.
Perlu penulis kemukakan disini, bahwa beberapa ratus tahun kemudian, yaitu pada masa kerajaan Majapahit, kejadian itu terulang lagi, yaitu candi negara (kerajaan) Majapahit yaitu candi Panataran diberi relief cerita Ramayana dan Kresnayana pada dinding candi induknya.
JagadKejawen,
Prof. DR. Hariani Santiko
http://jagadkejawen.com/id/candi-dan-tempat-suci-kuno/candi-prambanan2
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Candi Prambanan II"