PERKEMBANGAN PAGUYUBAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA “WASPODO” DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 1983-2006
endah, kurniawati (2010) PERKEMBANGAN PAGUYUBAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA “WASPODO” DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 1983-2006. Undergraduate thesis, ilmu sejarah.
endah, kurniawati (2010) PERKEMBANGAN PAGUYUBAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA “WASPODO” DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 1983-2006. Undergraduate thesis, ilmu sejarah.
Abstract
INTISARI Skripsi ini berjudul “Perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan ”Waspodo” di Kabupaten Wonogiri Tahun 1983-2006”. Pokok pembahasan dalam skripsi ini adalah Perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan ”Waspodo” di Kabupaten Wonogiri dari tahun 1983 sampai tahun 2006. Penulis berusaha menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan Paguyuban, seperti riwayat hidup pendiri, inti ajaran ”Waspodo”, perkembangan Paguyuban yang menyangkut struktur organisasi ”Waspodo”, aktivitas ”Waspodo” di Kabupaten Wonogiri, motivasi masyarakat masuk keanggotaan ”Waspodo”, serta aktifitas dan peranan Paguyuban ”Waspodo” terhadap masyarakat sekitar. Kebatinan merupakan suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Ajaran kebatinan biasa disebut Kejawen. Namun ada yang membedakan kejawen dengan aliran Kepercayaan. Aliran Kebatinan/Kepercayaan secara umum dapat dikatakan sebagai kepercayaan masyarakat Jawa atau kejawen yang sudah beridentitas. Dikatakan beridentitas karena dalam aliran kepercayaan sudah menyusun ajarannya secara spesifik dan mempunyai guru atau pemimpin atau bahkan telah memiliki organisasi. Kejawen atau kepercayaan masyarakat Jawa yang belum beridentitas belum atau tidak dapat ditunjuk siapa gurunya dan kitab sucinya secara tertentu, karena aliran Kejawen terserak-serak dalam literatur kuno dan dalam mitos-mitos yang hidup dan berkembang di masyarakat. Aliran Kepercayaan tampil ke permukaan sebagai bagian dari gerakan revolusi Indonesia dibidang moral spiritual. Salah satu aliran Kepercayaan yang muncul adalah Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” dengan inti ajaran mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemunculan banyak aliran Kepercayaan adalah salah satu bentuk upaya kritik terhadap berbagai arus kebudayaan baru yang masuk dan tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat sehingga mereka kembali pada kebudayaan asli Jawa. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana sejarah awal munculnya Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Wonogiri ? (2) Bagaimana perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Wonogiri tahun 1983-2006? (3) Bagaimana pengaruh Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” terhadap masyarakat di Kabupaten Wonogiri?. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui sejarah awal munculnya organisasi “Waspodo” (2) Untuk mengetahui perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Wonogiri tahun 1983-2006. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Langkah- langkah dalam metode sejarah adalah (1) heuristik yaitu tahap pengumpulan data (2) Kritik sumber yaitu penilaian terhadap data sejarah (3) Interpretasi adalah tahap penyatuan dari fakta dan data sejarah yang diperoleh (4) Historiografi adalah penyajian sebuah cerita sejarah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, sejarah awal munculnya Paguyuban “Waspodo” di Wonogiri diawali dengan tumbuhnya kebudayaan spritual sejak jaman prasejarah yaitu adanya kebudayaan animisme dan dinamisme. Memasuki jaman sejarah kebudayaan animisme dan dinamisme digantikan dengan kebudayaan baru yaitu Hindu-Budha, Islam,dan Kolonial. Arus kebudayaan baru yang masuk sangat cepat diiringi dengan adanya kelelahan dalam revolusi kemerdekaan dan krisis ekonomi yang berkepanjangan maka banyak kelompok masyarakat yang ingin kembali pada budaya asli. Kedua, ajaran “Waspodo” pertama kali dikenalkan oleh Hadi Soetiyono di Desa Ngarjosari, Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri dan berkembang menjadi sebuah paguyuban dan didukung oleh manejemen organisasi yang semakin baik sehingga dapat membuktikan bahwa ajaran “Waspodo” bisa diterima oleh masyarakat. Ketiga, Paguyuban “Waspodo” yang terdiri dari para warga penghayat dalam interaksinya dengan masyarakat mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama pada hakikatnya justru memperkaya khasanah budaya bangsa. Salah satu wujud budaya Indonesia tersebut adalah budaya spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang pada dasarnya adalah warisan leluhur budaya bangsa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu aspek warisan budaya bangsa (budaya spiritual) secara realistis masih hidup dan berkembang serta dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Budaya spiritual yang ada dalam berbagai aliran kebatinan, kejiwaan, maupun kerohanian merupakan bentuk usaha manusia menuju integrasi kembali dari nilai-nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Kehidupan moderen membuat manusia tertekan jiwanya, menuntut kesibukan besar tanpa mempedulikan nilai-nilai manusiawi. Akibatnya manusia menjadi terasing dalam struktur rohani asasinya dan membutakan rasa, emosi, simpati yang ada pada diri manusia. Seluruh kemudaratan peradaban sekarang dengan ekses-ekses negatifnya dicerminkan secara positif dalam kebatinan, sehingga dapat dikatakan bahwa kelahiran berbagai aliran kebatinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan bentuk kritik terhadap berbagai macam perubahan di masa sekarang. Kebatinan dapat menyelamatkan unsur berharga dari tradisinya. Mengenai adanya gerakan kebatinan ini merupakan protes melawan kekosongan hidup dan kepalsuan jiwa dan mencari kekayaan rohani dan batin.
Kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang di setiap etnis, suku, marga, desa merupakan kebudayaan lokal yang dapat memberikan dan mencerminkan ciri bagi daerah setempat. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat dengan unsur-unsur yang melekat di dalamnya terkandung nilai-nilai peradaban manusia, dapat menjadi pendukung upaya pembentukan kepribadian dan jatidiri bangsa. Sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal, kepercayaan masyarakat dapat menjadi perekat bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat Wonogiri merupakan masyarakat yang menekuni budaya kejawen secara mendalam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat Wonogiri yang masih banyak melakukan serangkaian upacara selametan, memberi sajian pada waktu dan tempat tertentu serta berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat. Kejawen menurut Niels Mulder merupakan kelengkapan diri dari setiap individu Jawa, karena di dalamnya berisikan kosmologi, mitologi dan perangkat konsepsi mistik yang secara keseluruhan menimbulkan antropologi Jawa sendiri, yaitu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakatnya. Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan budaya Jawa secara baik dan dapat mengungkapkannya dengan menaruh perhatian dan mampu melaksanakan setiap ketentuan tatanannya. Hal itu dikarenakan ajaran kejawen yang penuh dengan simbolisme telah merasuk dalam angan-angan dan perenungan masyarakat Wonogiri.
Paguyuban penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ”Waspodo” didirikan di Wonogiri pada malam Minggu Wage, 21 Desember 1963, dan merupakan satu-satunya Organisasi Penghayat Kepercayaan yang berpusat di Wonogiri. Penghayat adalah penganut yang melaksanakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran yang utuh hingga kedalaman batin, jiwa dan rohani.
Paguyuban ”Waspodo” mengajarkan kawruh (ajaran) budi luhur. ”Waspodo” sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang berarti ”Awas Tanggap dan Berhati-hati.” Dalam Kitab Maha Tunggal, ”Waspodo” merupakan sebutan bagi Pituduhing Pangeran (wangsit) yang salah satu isinya ”Aku Nunggang Rasa Ngadhep Urip.”
Paguyuban penghayat Kepercayaan ”Waspodo” didirikan dengan tujuan: (1) Kembali mengingat asal-usul manusia, dari awal manusia tercipta dari Pangeran (Sang Khalik) sampai kembali kepada Pangeran. (2) Memelihara keturunan dan menghormati orang tua sehingga bisa tertata hidupnya dan tercapai apa keinginannya, manusia harus bertindak yang baik dan berlandaskan budi luhur. (3) Memelihara naluri dalam kehidupan sampai datangnya kematian dan kembali kepada Sang Khalik .
Hadi Suyitono (alm) menerima wewarah pertama kali pada tanggal 27 Maret 1963. Pada malam Minggu Wage tanggal 29 Rejeb 1898 atau bertepatan tanggal 13 Nopember 1966, Hadi Soetiyono mendapat petunjuk (perintah) untuk menulis sebuah buku tuntunan spiritual yang disebut “Maha Tunggal”, yang berisi 90 ayat. Penulisannya dilaksanakan tiap 35 hari sekali, dengan huruf Jawa, sehingga buku tersebut baru terselesaikan pada tanggal 1 Syawal 1900 atau tepatnya tanggal 12 Februari 1969. Pada tanggal 31 Desember 1983, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Waspodo” mendapat pengesahan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai tahun 2006, warga (anggota) Waspada mencapai 745 orang dan menyebar di seluruh Indonesia.
Dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” seringkali mengadakan pengobatan dan memberikan pertolongan bagi orang yang membutuhkan. Seringkali rumah Suyud, sebagai sesepuh “Waspodo” didatangi orang-orang tertentu yang meminta wewarah. Paguyuban “Waspodo” juga sering mengadakan acara bakti sosial untuk menolong korban bencana alam, yaitu dengan menggalang dana ataupun sumbangan berupa baju bekas layak pakai. Pada malam 1 Suro yang bertepatan dengan tanggal 26 Januari 2008, dalam rangka Gelar Wisata Budaya, para warga “Waspodo” bekerjasama dengan Sub Dinas Pariwisata Wonogiri mengadakan Pagelaran Wayang Kulit dengan dalang terkenal, Ki Sujiwo Tejo. Acara ini sekaligus menunjukkan eksistensi Paguyuban “Waspodo” yang diakui oleh Pemerintah dan segenap masyarakat di Wonogiri.
Kegiatan spiritual yang diadakan Paguyuban “Waspodo” adalah melaksanakan penghayatan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penghayatan bagi warga “Waspodo” disebut manembah. Manembah merupakan cara untuk berbakti (menyembah) kepada sang Khalik. Dalam melakukan manembah, para anggota “Waspodo” harus duduk bersila, mengheningkan cipta sambil mengucapkan sambat. Sambat tersebut bertujuan menghaturkan terima kasih kepada Allah yang Maha Pencipta untuk segala pemberian dan keselamatan yang terjadi atas kehendak-Nya. Penghayatan pribadi (manembah) wajib dilakukan setiap hari yaitu antara pukul 19.00 atau 7 petanf dengan mengucapkan “Kawula manunggal nyuwun slamet” . Selain itu setiap malam Minggu Wage, para anggota “Waspodo” mengadakan pertemuan (kebaktian/sarasehan). Pertemuan diadakan di tempat salah satu anggota “Waspodo” yang telah disepakati. Para anggota “Waspodo” biasanya menawarkan diri untuk tempatnya dijadikan pertemuan. Pertemuan yang diadakan setiap 35 hari sekali ini bertujuan untuk manembah bersama sebagai kontrol terhadap ajaran yang telah diajarkan, juga sebagai forum tanya jawab para anggota “Waspodo” mengenai kawruh “Waspodo” yang belum dimengerti.
Paguyuban “Waspodo” merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Wonogiri. Selain Paguyuban “Waspodo”, terdapat Organisasi Pangestu, Sapto Darmo, Sumarah, dan lain sebagainya yang pengikutnya menyebar di seluruh pelosok Kabupaten Wonogiri. Menurut Koentjaraningrat, banyaknya pengikut aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME karena sikap dan pembawaan orang Jawa yang suka mengadakan orientasi, maka banyak timbul aliran-aliran kebatinan yang dapat dilihat bentuk dan sifatnya. Hampir semua gerakan kebatinan bertujuan untuk menuju kesempurnaan hidup manusia. Paguyuban “Waspodo” termasuk dalam aliran kepercayaan yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan Tuhan.
Kemunculan banyak aliran kebatinan di Wonogiri menggambarkan bahwa begitu banyak keanekaragaman budaya spiritual yang ada di tanah air. Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” yang merupakan salah satu aliran kepercayaan di Wonogiri mempunyai sejarah menarik dari awal pendirian, ajaran dan perkembangan organisasinya. Kondisi ini layak digali untuk memperkaya khasanah budaya Indonesia.
Bertolak dari latar belakang dan masalah tersebut maka penulis akan mengangkat aliran Kepercayaan tersebut dalam skripsi, dengan judul, "Perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” Di Kabupaten Wonogiri Tahun 1983-2006". Permasalahan yang akan diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana sejarah munculnya Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Kabupaten Wonogiri?
2. Bagaimana perkembangan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Paguyuban “Waspodo”?
3. Bagaimana pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dengan berdirinya Paguyuban Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME “Waspodo” di Wonogiri terhadap kehidupan masyarakat penganut dan masyarakat di sekitarnya?
B. Ruang Lingkup
Setiap penulisan sejarah memerlukan pembatasan dalam topik yang akan dibahas agar diperoleh suatu kejelasan dalam pembahasan. Menurut Taufik Abdullah, penentuan ruang lingkup yang terbatas dari suatu studi sejarah bukan saja lebih praktis dan lebih mempunyai kepentingan untuk mengkaji secara empiris, tetapi secara metodologis lebih bisa dipertanggungjawabkan.
1. Ruang Lingkup Temporal
Skripsi ini mengambil lingkup temporal mulai tahun 1983 dengan pertimbangan bahwa pada tahun tersebut Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Waspodo” mendapat pengesahan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan di Jakarta sebagai salah satu Organisasi Penghayat yang ada di Indonesia. Akhir batasan di ambil tahun 2006 karena berdasarkan Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas melakukan pembinaan terhadap aliran-aliran Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi berada di bawah Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Seiring perkembangan dan perubahan struktur organisasi tersebut, Paguyuban “Waspodo” harus mendaftar ulang ke direktorat baru yaitu Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan pengesahan kembali pada tahun 2006. Selain itu pada tahun tersebut Paguyuban “Waspodo” mengalami perkembangan baik dari struktur organisasi, inventarisasi ajaran “Waspodo” sampai perkembangan Mirasa Sama yaitu orang yang tertarik mempelajari ajaran “Waspodo”.
2. Ruang Lingkup Spasial
Secara teoritis, skripsi ini termasuk dalam kategori sejarah sosial budaya. Hal tersebut berdasarkan pada pembahasan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai perkembangan suatu aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalankan aktivitas budaya spiritualnya dan pola adaptasi yang dilakukan oleh organisasi tersebut untuk menjaga eksistensinya dalam masyarakat yaitu dalam wujud Paguyuban “Waspodo” yang berbudaya spiritual berupa kebatinan. Pengambilan scope spasial di Kabupaten Wonogiri karena berbagai alasan yang antara lain karena di daerah ini Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” berdiri. Di samping itu Kabupaten Wonogiri juga merupakan daerah yang dekat dengan Surakarta, yang merupakan bekas pusat pemerintahan kerajaan di Jawa yang dengan demikian kota Surakarta menjadi tempat kebudayaan aliran kepercayaan hidup subur sejak dulu.
C. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka sangat diperlukan dalam penulisan skripsi. Tinjauan Pustaka diperlukan untuk membandingkan hasil-hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu, dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Tinjauan Pustaka juga berguna untuk mempertajam analisis dengan membandingkan konsep-konsep dalam buku-buku tersebut dengan karya-karya lain serta data yang relevan dengan tema skripsi ini.
Buku pertama adalah karya Simuh yang berjudul Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Buku ini berupaya untuk melacak kembali hakikat Sufisme Jawa yang rumit. Begitu banyak unsur-unsur yang saling menjalin, menyatu secara sinkretik, dengan kepekatan yang tinggi. Perjalanan melacak kembali hakikat Sufisme Jawa mengharuskan kita untuk menggali akar-akar Sufisme Islam (tasawuf) dan akar-akar dari mistik Hindu-Buddha yang kedatangannya di Jawa telah begitu menyejarah. Keduanya merupakan unsur Sufisme Jawa, yang jejak-jejaknya cukup jelas.
Simuh, sebagai ahli ilmu tasawuf yang sekaligus ahli Kejawen telah berupaya keras melacak hakikat Sufisme Jawa tersebut. Buku ini dapat dipergunakan sebagai bahan yang cukup memadai guna penelitian skripsi ini. Sebab Simuh relatif telah dapat memetakan persoalan kebudayaan Jawa, terutama menyangkut segi-segi konsep batiniahnya. Buku ini juga berguna karena mengandung hal-hal yang cukup penting dan aktual mengenai ilmu tasawuf, mistik dan Sufisme Jawa sehingga dapat digunakan sebagai gerbang pengetahuan.
Buku kedua adalah Orang Jawa Memaknai Agama. Buku karya penulisan dari M. Soehadha ini menjelaskan mengenai kebatinan dan praktiknya sebagai suatu pandangan hidup orang Jawa yang terkadang mengandung pengertian sebagai agama bagi orang Jawa. Buku ini membahas salah satu fenomena kehidupan religius dari sebagian masyarakat Jawa, yaitu keikutsertaan para pengikut agama-agama yang sudah memiliki ajaran-ajaran mistis tersendiri ke dalam perkumpulan Pangestu. Buku ini juga membahas tentang motivasi orang-orang ’saleh’ mengikuti Pangestu, serta bagaimana mereka memberikan makna atas ajaran dan ritual mistisisme Pangestu yang mereka praktikan itu. Kajian antropologi dalam buku ini ingin memberikan sajian deskriptif dan analitis kepada pembaca dalam rangka mengetahui dan memahami alasan para penganut agama mengikuti Pangestu, serta memahami makna dan ritual mistisisme Pangestu bagi para penganut agama. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memahami wilayah dunia batin (dunia mistisisme Jawa) yang antara lain mengetahui mengapa dunia kejawen masih tetap eksis, bahkan berkembang terus dengan beragam aliran, meski banyak pandangan miring dari masyarakat luas. Dalam buku ini dijelaskan bahwa mistisisme terus berkembang, karena pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang asal-muasal dunia dan manusia serta tujuannya (sangkan paraning dumadi), mengapa manusia mati, mengapa manusia dapat berhasil dan gagal, tidak dapat dipecahkan melalui penjelasan ilmu pengetahuan semata. Dalam kondisi ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan penjelasan tentang keberadaan manusia dan dunia, serta kegagalan dan keberhasilan dalam kehidupan manusia, maka praktik mistisisme sebagai salah satu cara penghayatan agama atau keyakinan sering kali dianggap sebagai jalan yang dapat memberi penjelasan sekaligus pemecahan terhadap persoalan hidup manusia. Di masyarakat Jawa praktik mistisisme lazim disebut sebagai laku batin. Laku batin pada sebagian masyarakat Jawa, biasa dilakukan melalui ritual perorangan maupun kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan. Buku ini membantu penulis dalam menyusun kerangka penulisan mengenai aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mulai dari riwayat pendiri, isi ajaran dan struktur organisasi.
Buku ketiga adalah karya Ridin Sofyan yang berjudul Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan. Buku ini secara lengkap mengupas tentang asal-usul ajaran aliran Kebatinan, keberadaannya secara yuridis, pembinaannya serta prospeknya pada masa yang akan datang, tetapi juga titik temu antara ajaran Kebatinan dengan tasawuf. Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk menambah bahan bacaan tentang aliran Kebatinan, dengan harapan para pembaca dapat memahami berbagai seluk-beluk yang berkaitan dengan keberadaannya. Harus diakui bahwa perkembangan serta pembinaan aliran Kebatinan serta pembinaan terhadap aliran Kebatinan pada akhir-akhir ini mengalami kemajuan sebagai pertanda minat terhadap aliran ini di kalangan masyarakat semakin besar. Perkembangan itu menunjukkan semakin bertambahnya krisis rohani yang selama ini terlepas dari perhatian agama-agama yang ada, oleh karena apa yang orang cari dalam aliran Kebatinan seharusnya dapat ditemukan pada berbagai dimensi ajaran agama. Karena itu penyajian tentang ajaran-ajaran Kebatinan pada buku ini diharapkan tidak saja menjadi tambahan pengetahuan tetapi juga akan merupakan bahan untuk introspeksi bagi umat beragama tentang keberadaan dan peran agama dalam kehidupan masyarakat kita.
Buku ini membantu penulis dalam menelaah kondisi anggota Paguyuban ”Waspodo” yang sebagian besar anggota merupakan pemeluk Agama Islam yang kadang-kadang masih aktif dalam menjalankan tuntunan agamanya. Walaupun begitu mereka sangat yakin dengan adanya Allah seperti halnya orang muslim pada umumnya mereka percaya bahwa Muhammad adalah nabi-Nya. Mereka menyadari bahwa orang yang baik hidupnya akan masuk surga, dan orang yang banyak dosanya akan masuk neraka. Mereka juga ikut merayakan hari-hari besar Islam walaupun dengan cara mengadakan kenduri atau selametan. Selain itu mereka masih tetap pula percaya pada makhluk-makhluk gaib, percaya pada kekuatan-kekuatan magis dan sakti, banyak menjalankan berbagai macam ritus dan upacara yang tidak berkaitan dengan ajaran Islam.
Mereka punya cara tersendiri dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang bisa mencapai tataran ”manunggaling kawula gusti”, tidak lagi melaksanakan syariat agama. Meskipun demikian ia juga menjalankan budaya spiritual dengan tergabung dengan aliran kebatinan seperti Paguyuban ”Waspodo” dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu laku hidup yang diikuti oleh raganya, menuju hidup Tuhan YME yang menghidupi alam semesta, yang dilakukan setiap saat. Budaya spiritual seperti ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa yang memegang teguh pada tradisi leluhurnya.
D. Kerangka Teoretis dan Pendekatan
Skripsi ini bertujuan untuk menelaah tentang perkembangan organisasi aliran kebatinan atau aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yaitu Paguyuban ”Waspodo”, yang merupakan aliran kepercayaan yang lahir di Wonogiri mulai dari berdirinya yaitu dari tahun 1983 hingga berkembang dan bertahan sampai saat ini.
Pengertian kebatinan atau aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara umum adalah mistik Jawa. Batin berasal dari bahasa Arab, batin yang berarti sebelah dalam, inti, di dalam hati, tersembunyi, dan misterius. Menurut Geertz, batin berarti dunia dalam pengalaman manusia. Geertz menganalisis mistik Jawa sebagai ungkapan gaya hidup orang Jawa yang halus yang mengandung sifat empiris.
Pada dasarnya kebatinan adalah mistik murni yang membuka pengetahuan langsung dan pengalaman setiap individu dengan Tuhan. Sementara itu metode yang dipergunakan adalah menyerahkan diri sambil bersujud atau berdiri dengan tenang. Untuk penganut latihan kejiwaan harus menyempurnakan serah dirinya serta pasrah dan melatih rasa dan jiwanya agar dapat mencapai jalan menuju ketentraman jiwa kepada ke-Esaan Tuhan.
Praktik kebatinan merupakan usaha pribadi seseorang yang ingin manunggal kembali dengan asal-usulnya, berniat untuk menyingkapkan rahasia atau terbebas sama sekali dari ikatan-ikatan duniawi. Usaha untuk mencapai panunggalan hanya dapat dicapai dengan sumber pengetahuan atau pemikiran hakiki tentang kebatinan. Pengetahuan ini tercapai oleh rasa, bukan oleh rasio. Perjalanan mistik menuju panunggalan sering digambarkan melalui empat tahap, mulai dari luar terus ke dalam. Tahap mistik yang pertama adalah sarengat. Sarengat mengandung pengertian menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Bagi kelompok abangan, tahap mistik ini dijalankan dengan cara menghormati, menghargai dan menaati orang tua, guru atau pemimpin laku ini dilakukan dengan kesadaran bahwa menghormati mereka berarti mereka berarti merupakan penghormatan terhadap Tuhan, sebab menurut konsepsi abangan, mereka adalah wakil-wakil Tuhan di dunia. Selain itu kaum abangan juga menekankan untuk menghormati aturan-aturan sosial, dan kesadaran hormat kepada tatanan kosmos.
Tahap mistik kedua adalah tarekat. Tarekat merupakan kesadaran tentang hakikat tingkah laku pada sarengat harus diisyafi lebih dalam dan ditingkatkan. Misalnya, doa-doa ritual disertai dengan usaha-usaha yang luhur dan suci dari dalam lubuk batin manusia.
Tahap ketiga adalah hakikat yaitu tahap menuju kebenaran. Tahap ini merupakan pengembangan mengenai kesadaran akan hakekat doa dan pelayanan kepada Tuhan, sehingga akan muncul pemahaman mendalam, bahwa satu-satunya cara bagi siapa saja yang ada, untuk mencapai panunggalan adalah menjadi abdi Tuhan dan menjadi bagian yang tergantung dari tatanan kosmos.
Tahap keempat adalah ma’rifat yaitu terciptanya kondisi jumbuhing kawula lan Gusti. Setelah mencapai tahap ini, jiwa seseorang akan terpadu dengan jiwa semesta dan tindakan seseorang semata-mata telah menjadi laku, kehidupan seseorang menjadi doa terus-menerus kepada Tuhan.
Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada umumnya mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhannya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan sesama ciptaanNya, baik itu alam, flora maupun fauna. Dalam hubungan dengan Tuhan, diajarkan bagaimana manusia mengenal, mempercayai dan menghayati keberadaan Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Bagaimana harus berhubungan dengan-Nya, dari mana manusia dan makhluk-makhluk lainnya berasal, di mana mereka hidup, dan kemana akan pergi akan pergi sesudah hidup di dunia ini. Dalam bahasa Jawa, ajaran ini berusaha menembus ”sangkan paraning dumadi,” atau ajaran metafisika.
Perkembangan berkaitan dengan pertumbuhan dan perluasan. Secara tidak langsung istilah perkembangan juga mempunyai konotasi waktu, artinya perkembangan dipahami dengan istilah yang mengandung dengan fakta sosial yang satu dengan fakta sosial lain yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Kaitan secara kronologis tersebut menggambarkan terjadinya hubungan kausatif atau hubungan sebab akibat. Hal tersebut adalah peristiwa terdahulu yang merupakan penyebab terjadinya peristiwa sesudahnya. Perkembangan juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkembang dari kecil menjadi besar dan maju.
Perkembangan suatu organisasi memerlukan proses adaptasi agar keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat, salah satunya adalah adaptasi budaya. Perkembangan Paguyuban ”Waspodo” dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagian dari adaptasi Paguyuban ”Waspodo” dipengaruhi oleh tokoh pemimpinnya. Menurut Soerjono Soekanto, kepemimpinan merupakan kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang-orang tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Pemimpin yang kharismatik adalah pemimpin yang dianggap memiliki kekuatan, yang gaib atau sakti, yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Semula Pendiri Paguyuban ”Waspodo”, Hadi Sutiyono hanyalah Kepala Sekolah SD di Tirtomoyo yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Kemudian Hadi Sutiyono mengalami pengalaman spiritual hingga menyebabkan dirinya mendirikan Paguyuban ”Waspodo”. Pengalaman yang dialami Hadi Sutiyono (alm) serta kawruh dan wewarah ”Waspodo” yang mengutamakan kebersihan batin sebagai jalan dalam menghadapi persoalan hidup membuat banyak orang yang mengalami persoalan yang sama tertarik untuk ikut masuk ke Paguyuban ”Waspodo” dengan tujuan belajar manembah demi mendapatkan ketentraman hidupnya.
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan Paguyuban ”Waspodo” adalah pandangan hidup orang Jawa. Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat pada adat istiadat warisan nenek moyang serta selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Pandangan hidup orang Jawa ini masih melekat pada masyarakat Wonogiri, sehingga tidak sulit bagi masyarakat Wonogiri untuk menerima ajaran Paguyuban ”Waspodo”.
Ajaran dari Paguyuban Penghayat Kepercayaan ”Waspodo” juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan Paguyuban tersebut. Ajaran ”Waspodo” merupakan ajaran tentang budi luhur. Pitudhuhing Pangeran yang berupa wewarah-wewarah terhimpun menjadi Buku Tuntunan Spiritual Kitab Suci ”Maha Tunggal” yang terdiri dari 90 ayat dan berisi mengenai ajaran-ajaran bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupan sesuai janjining urip yang diterima sewaktu manusia masih berada di alam kandungan. Buku Suci ”Maha Tunggal” menjadi pedoman ajaran Waspodo untuk mencapai ”budi luhur”, di dalam Buku Suci tersebut diberikan pula petunjuk-petunjuk bagaimana kita berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita nantinya selesai tugas di dunia bisa kembali kepada Tuhan YME dan selama hidup di dunia agar selalu mendapatkan perlindungan-Nya, diberikan ketentraman lahir dan batin.
Pendekatan mengenai masyarakat penghayat kepercayaan ”Waspodo” beserta perkembangannya proses kehadiran di Indonesia saja, tetapi juga sebagai suatu sistem interaksi yang didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma tertentu yang melebur ke dalam kehidupan sosial masyarakat anggota Paguyuban ”Waspodo”. Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai perkembangan ”Waspodo”, deskripsi historis saja tidak cukup, diperlukan bantuan analisa dari berbagai disiplin ilmu sosial yang lain. Seperti apa yang dikatakan Sartono Kartodirjo perlu menggunakan pendekatan multidimensional agar dapat menambah sensitivitas terhadap permasalahan, memperkuat konseptualisasi dan analisa serta meningkatkan kemampuan untuk mengumpulkan data, sehingga dapat menghasilkan keterangan yang lebih realistis. Dalam penulisan ini, penulis mempergunakan analisa sosiologi termasuk analisa anthropologi dan analisa historis dalam kegiatan urutan peristiwa.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam mempelajari manusia, masyarakat dan kebudayaan, khususnya aliran kepercayaan diperlukan pendekatan sosiologi. Disiplin ilmu yang dapat mengungkapkan dan sekaligus mampu menjelaskan permasalahan dalam penulisan ini adalah sosiologi agama. Pendekatan sosiologi agama merupakan konsep pemahaman sosial atas agama yang tidak dilihat dari perwahyuan melainkan dari ekspresi atau pengalaman. Seseorang yang beriman dengan mendekatkan diri kepada Tuhan YME dengan jalan berdoa, renungan, matiraga, cita kepada sesama, mengekang nafsu duniawi, akan memperoleh pengalaman rohani yang otentik. Hal ini kadang dianggap sebagai seruan yang berasal dari Tuhan. Agama dipandang sebagai institusi yang bertugas mengarahkan masyarakat agar berfungsi baik.
Agama merupakan bentuk perilaku yang dilembagakan yang berada diantara lembaga sosial lainnya. Demikian juga aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu bentuk perilaku masyarakat yang dilembagakan. Aliran kepercayaan juga mempunyai fungsi yang hampir sama dengan agama yaitu memegang kunci yang penting untuk menjawab kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai duniawi, tetapi hanya dengan sesuatu yang ada di luar empiris kita. Orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap narima yaitu menyerahkan diri kepada takdir Tuhan. Agama menawarkan suatu hubungan transendental (hubungan langsung dengan Tuhan) melalui ritual pemujaan dan upacara ibadah, karena hal ini memberikan dasar emosional dari rasa aman dan identitas yang lebih kuat di tengah kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.
Sedangkan ilmu anthropologi dalam arti yang seluas-luasnya mempelajari makhluk manusia, dengan memperhatikan lima masalah, yaitu mulai dari masalah sejarah terjadinya manusia dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis sampai masalah kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dan suku-suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi di sepanjang jaman.
Sesuai dengan topik yang akan dibahas penulis, maka penulis memakai pendekatan antropologi, khususnya antropologi sosial. Sedangkan tema penulisan merupakan bagian dari pokok-pokok anthropologi sosial, yaitu sistem religi dan kehidupan sosial. Sistem religi dan kehidupan sosial masyarakat penghayat kepercayaan sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Dalam kehidupan sosial masyarakat, orang-orang Jawa memiliki sikap batin yang sangat khas yang membedakan sikap orang Jawa dengan suku-suku lain di Indonesia. Sikap batin yang menjadi ciri khas orang Jawa ini disebut dengan etika Jawa meliputi beberapa sikap (pokok) didalamnya yaitu hawa nafsu, egoisme (pamrih), nrima, ikhlas, jujur (temen), bersahaja (prasaja), tenggang rasa (tepa selira). Masyarakat Wonogiri yang bercorak agraris masih sangat lekat dengan etika Jawa tersebut. Selain itu masyarakat Wonogiri, masih sangat memegang teguh tradisi warisan nenek moyang atau tradisi kejawen yang menunjukkan eksistensi kebudayaan Jawa. Di Kabupaten Wonogiri, tradisi kejawen masih banyak terdapat dalam prosesi ritual pernikahan, ritual nyadran, ritual bulan sura, dan ritual selametan yang bertujuan untuk memelihara hubungan keselarasan dan keselamatan dengan alam. Dengan pola kepercayaan seperti itu, bukan berarti masyarakat Wonogiri telah meninggalkan jejak-jejak keagamaannya. Akan tetapi pola semacam itu sudah merupakan warisan budaya leluhur yang sempat disosialisasikan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain hal-hal yang telah diungkapkan di atas, secara anthropologis, penelitian ini memberikan sajian deskriptif dan analitis dalam rangka mengetahui dan memahami alasan para penganut agama mengikuti ”Waspodo”, serta memahami makna dari ajaran-ajaran dan ritual ”Waspodo” yang masih menggunakan ”uba rampe” yang memiliki makna tertentu dalam setiap pelaksanaannya.
E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
Sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah dengan tujuan agar dapat menghasilkan karya sejarah yang objektif. Metode ini merupakan prosedur analitis yang ditempuh sejarawan untuk menganalisis kesaksian yang ada, yakni fakta sejarah sebagai bukti yang dapat dipercaya mengenai masa lalu manusia.
Metode penelitian sejarah meliputi empat tahapan, yaitu:
1. Tahap pengumpulan data (heuristik)
Tahapan heuristik adalah usaha pencarian dan penemuan sumber informasi atau data yang diperlukan dalam penulisan. Sumber yang dicari adalah sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan.
a. Sumber primer.
Sumber primer merupakan sumber terpenting dalam bebagai penelitian sejarah. Sumber primer adalah sumber yang berasal dari saksi hidup yang mengalami atau ikut dalam peristiwa atau kejadian. Sumber primer dapat diperoleh dari arsip atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sumber primer memberikan kesaksian yang mempunyai validitas, kredibilitas dan otentisitas pada informasinya.
Ada pun sumber primer tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang berasal dari pengurus Paguyuban “Waspodo”. Misalnya Kitab Suci “Maha Tunggal” yang digunakan oleh anggota “Waspodo” sebagai pedoman hidup, wewarah Madurasa yang berisi mengenai penjabaran dari Kitab Suci “Maha Tunggal” juga sangat penting untuk digunakan dalam menelaah ajaran tentang “Waspodo”. Selain itu penulis juga menggunakan Anggaran Dasar Dan Rumah Tangga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “WASPODO” tahun 1986 dan tahun 2006 dan yang terakhir, Tanda Inventarisasi Pengesahan Waspada, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa No. 1.296/ F.6/N. 1.1/2006.
b). Sumber sekunder
Sumber sekunder digunakan untuk melengkapi data yang tidak ditemukan dari sumber primer. Sumber sekunder digunakan sebagai bahan pembanding yang akan memperkuat dan melengkapi kekuarangan informasi dari sumber primer. Sumber tersebut antara lain artikel, buku-buku, laporan-laporan penelitian dan karya ilmiah, seperti skripsi dan tesis yang berhubungan dengan penelitian.
Sumber sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari telaah pustaka di Perpustakaan Lembaga Penelitian Univesitas Diponegoro, Perpustakaan Wilayah Propinsi Semarang, Perpustakaan Widya Puraya, dan Perpustakaan Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sejarah, Univesitas Diponegoro.
c). Sumber Lisan
Selain pengumpulan sumber tertulis, dilakukan juga pengumpulan sumber lisan (oral history). Sumber ini memberikan informasi kemungkinan yang tidak terbatas dan untuk memperolah data lebih representatif yang tidak ditemukan dalam sumber tertulis. Oral history dilakukan dengan pelaku dan orang-orang yang menjadi saksi dengan permasalahan dalam skripsi ini.
Oral History dilakukan dengan metode wawancara, yaitu suatu metode untuk mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada informan, dalam hal ini yang ada kaitannya dengan Paguyuban “Waspodo”. Sumber lisan banyak memberikan keterangan penting sebagai salah satu sumber primer karena sumber tertulis sangat terbatas. Kelemahannya, ada bagian tertentu yang menjadi rahasia Paguyuban yang tabu untuk disebarluaskan pada khalayak umum. Dari sumber-sumber yang lain, diperoleh suatu keberpihakan masing-masing institusi dalam setiap pernyataan yang dikeluarkan. Dalam pemilihan informan, selain anggota biasa, kita harus mendapatkan tokoh kunci atau key person, karena tokoh semacam ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan tingkah laku para anggotanya.
Hasil dari wawancara ini tidak dapat begitu saja dipakai sebagai suatu tulisan, karena adanya subjektifitas dari informan. Hasil wawancara ini hanya digunakan sebagai menunjang atau pembantu observasi.
2. Tahap Penilaian Data atau Kritik.
Tahap Penilaian Data atau Kritik merupakan kegiatan pengujian terhadap sumber baik secara ekstern ataupun intern. Pada tahap kritik, dilakukan pengujian terhadap sumber yang ditemukan untuk memperoleh data-data yang otentik dan kredibel. Kritik ekstern adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui asli atau tidaknya sebuah sumber (uji auntentitas), sedangkan kritik intern adalah kritik yang dilakukan untuk menguji kredibilitas suatu sumber apakah pernyataan yang diperoleh sungguh-sungguh dapat dipercaya kebenarannya. Penulis telah melakukan kritik ekstern. Kritik ekstern dan intern juga dilakukan dalam proses wawancara pada informan. Penulis menyeleksi informan yang benar-benar mengerti dan berkaitan dengan penulisan yang akan disusun oleh penulis, yaitu kalangan sesepuh ”Waspodo”, pengurus ”Waspodo” serta para warga/anggota ”Waspodo”. Selain itu, dalam kritik intern ini yang harus diketahui adalah identitas pengarang atau instansi terkait yang mengeluarkan dokumen meliputi kepribadian, latar belakang pengarang atau penulis atau sumber tersebut ditulis untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
3. Tahapan penafsiran fakta atau intepretasi.
Intepretasi fakta yang bertujuan untuk membuat hubungan dan merangkaikan fakta sejarah masa lalu agar dapat diungkap secara kronologis. Dalam proses interpretasi tidak semua fakta dapat dimasukkan tetapi harus dipilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang akan disusun. Penafsiran fakta yang sudah terklarifikasi perlu dilakukan untuk mendapatkan alur cerita yang sistematis agar dapat diceritakan kembali. Dalam tahap ini imaginasi sejarawan sangat diperlukan dalam rangka merekatkan fakta yang telah ditafsirkan dan kemudian disintesa dalam bentuk kata-kata atau kalimat sehingga dapat dimengerti.
4. Tahapan penyajian atau historiografi.
Historiografi yaitu penulisan sejarah dengan tujuan merekonstruksi kembali keseluruhan peristiwa masa lampau berdasarkan fakta-fakta yang telah didapat dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar agar komunikatif dan mudah dipahami oleh pembaca. Proses penafsiran dan penyusunan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah sejarah yang sesungguhnya menyangkut seleksi. Tidak semua fakta dapat diinterpretasikan dalam bentuk tulisan, hanya yang relevan saja yang dapat dimasukkan sehingga tulisan tersebut menjadi kritis analitis dan bersifat ilmiah.
F. Sistematika
Dalam memudahkan penguraian untuk penulisan skripsi ini maka skripsi ini disusun secara sistematis dalam bab-bab yang semuanya terbagi dalam lima bab.
Bab I, berisi Pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu latar belakang dan permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan sumber, dan sistematika.
Bab II, berisi faktor-faktor pendukung perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME di Kabupaten Wonogiri. Faktor-faktor pendukung perkembangan tersebut ditinjau dari kondisi geografis Kabupaten Wonogiri, kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Wonogiri.
Bab III, diuraikan tentang berdirinya Paguyuban “Waspodo”. Pembahasan berisi mengenai sejarah munculnya aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan gambaran Paguyuban “Waspodo” yang meliputi riwayat hidup pendirinya, ajaran “Waspodo”, Konsep “Waspodo” tentang Tuhan, Manusia, Alam Semesta dan Kesempurnaan.
Pada Bab selanjutnya, yaitu Bab IV menguraikan tentang perkembangan Paguyuban “Waspodo” di wilayah Wonogiri, kelembagaan Paguyuban “Waspodo” di Wonogiri juga menguraikan aktivitas Paguyuban “Waspodo” di Kabupaten Wonogiri. Pada pembahasan terakhir disajikan uraian mengenai Aktivitas dan Peranan Paguyuban “Waspodo” dalam Kehidupan Masyarakat di Kabupaten Wonogiri.
Bab V atau bab terakhir, berisi kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya yang merupakan jawaban dari seluruh permasalahan yang menjadi topik dari penulisan skripsi ini.
INTISARI Skripsi ini berjudul “Perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan ”Waspodo” di Kabupaten Wonogiri Tahun 1983-2006”. Pokok pembahasan dalam skripsi ini adalah Perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan ”Waspodo” di Kabupaten Wonogiri dari tahun 1983 sampai tahun 2006. Penulis berusaha menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan Paguyuban, seperti riwayat hidup pendiri, inti ajaran ”Waspodo”, perkembangan Paguyuban yang menyangkut struktur organisasi ”Waspodo”, aktivitas ”Waspodo” di Kabupaten Wonogiri, motivasi masyarakat masuk keanggotaan ”Waspodo”, serta aktifitas dan peranan Paguyuban ”Waspodo” terhadap masyarakat sekitar. Kebatinan merupakan suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Ajaran kebatinan biasa disebut Kejawen. Namun ada yang membedakan kejawen dengan aliran Kepercayaan. Aliran Kebatinan/Kepercayaan secara umum dapat dikatakan sebagai kepercayaan masyarakat Jawa atau kejawen yang sudah beridentitas. Dikatakan beridentitas karena dalam aliran kepercayaan sudah menyusun ajarannya secara spesifik dan mempunyai guru atau pemimpin atau bahkan telah memiliki organisasi. Kejawen atau kepercayaan masyarakat Jawa yang belum beridentitas belum atau tidak dapat ditunjuk siapa gurunya dan kitab sucinya secara tertentu, karena aliran Kejawen terserak-serak dalam literatur kuno dan dalam mitos-mitos yang hidup dan berkembang di masyarakat. Aliran Kepercayaan tampil ke permukaan sebagai bagian dari gerakan revolusi Indonesia dibidang moral spiritual. Salah satu aliran Kepercayaan yang muncul adalah Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” dengan inti ajaran mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemunculan banyak aliran Kepercayaan adalah salah satu bentuk upaya kritik terhadap berbagai arus kebudayaan baru yang masuk dan tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat sehingga mereka kembali pada kebudayaan asli Jawa. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana sejarah awal munculnya Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Wonogiri ? (2) Bagaimana perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Wonogiri tahun 1983-2006? (3) Bagaimana pengaruh Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” terhadap masyarakat di Kabupaten Wonogiri?. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui sejarah awal munculnya organisasi “Waspodo” (2) Untuk mengetahui perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Wonogiri tahun 1983-2006. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Langkah- langkah dalam metode sejarah adalah (1) heuristik yaitu tahap pengumpulan data (2) Kritik sumber yaitu penilaian terhadap data sejarah (3) Interpretasi adalah tahap penyatuan dari fakta dan data sejarah yang diperoleh (4) Historiografi adalah penyajian sebuah cerita sejarah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, sejarah awal munculnya Paguyuban “Waspodo” di Wonogiri diawali dengan tumbuhnya kebudayaan spritual sejak jaman prasejarah yaitu adanya kebudayaan animisme dan dinamisme. Memasuki jaman sejarah kebudayaan animisme dan dinamisme digantikan dengan kebudayaan baru yaitu Hindu-Budha, Islam,dan Kolonial. Arus kebudayaan baru yang masuk sangat cepat diiringi dengan adanya kelelahan dalam revolusi kemerdekaan dan krisis ekonomi yang berkepanjangan maka banyak kelompok masyarakat yang ingin kembali pada budaya asli. Kedua, ajaran “Waspodo” pertama kali dikenalkan oleh Hadi Soetiyono di Desa Ngarjosari, Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri dan berkembang menjadi sebuah paguyuban dan didukung oleh manejemen organisasi yang semakin baik sehingga dapat membuktikan bahwa ajaran “Waspodo” bisa diterima oleh masyarakat. Ketiga, Paguyuban “Waspodo” yang terdiri dari para warga penghayat dalam interaksinya dengan masyarakat mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama pada hakikatnya justru memperkaya khasanah budaya bangsa. Salah satu wujud budaya Indonesia tersebut adalah budaya spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang pada dasarnya adalah warisan leluhur budaya bangsa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu aspek warisan budaya bangsa (budaya spiritual) secara realistis masih hidup dan berkembang serta dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Budaya spiritual yang ada dalam berbagai aliran kebatinan, kejiwaan, maupun kerohanian merupakan bentuk usaha manusia menuju integrasi kembali dari nilai-nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Kehidupan moderen membuat manusia tertekan jiwanya, menuntut kesibukan besar tanpa mempedulikan nilai-nilai manusiawi. Akibatnya manusia menjadi terasing dalam struktur rohani asasinya dan membutakan rasa, emosi, simpati yang ada pada diri manusia. Seluruh kemudaratan peradaban sekarang dengan ekses-ekses negatifnya dicerminkan secara positif dalam kebatinan, sehingga dapat dikatakan bahwa kelahiran berbagai aliran kebatinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan bentuk kritik terhadap berbagai macam perubahan di masa sekarang. Kebatinan dapat menyelamatkan unsur berharga dari tradisinya. Mengenai adanya gerakan kebatinan ini merupakan protes melawan kekosongan hidup dan kepalsuan jiwa dan mencari kekayaan rohani dan batin.
Kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang di setiap etnis, suku, marga, desa merupakan kebudayaan lokal yang dapat memberikan dan mencerminkan ciri bagi daerah setempat. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat dengan unsur-unsur yang melekat di dalamnya terkandung nilai-nilai peradaban manusia, dapat menjadi pendukung upaya pembentukan kepribadian dan jatidiri bangsa. Sebagai salah satu unsur kebudayaan lokal, kepercayaan masyarakat dapat menjadi perekat bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat Wonogiri merupakan masyarakat yang menekuni budaya kejawen secara mendalam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat Wonogiri yang masih banyak melakukan serangkaian upacara selametan, memberi sajian pada waktu dan tempat tertentu serta berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat. Kejawen menurut Niels Mulder merupakan kelengkapan diri dari setiap individu Jawa, karena di dalamnya berisikan kosmologi, mitologi dan perangkat konsepsi mistik yang secara keseluruhan menimbulkan antropologi Jawa sendiri, yaitu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakatnya. Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan budaya Jawa secara baik dan dapat mengungkapkannya dengan menaruh perhatian dan mampu melaksanakan setiap ketentuan tatanannya. Hal itu dikarenakan ajaran kejawen yang penuh dengan simbolisme telah merasuk dalam angan-angan dan perenungan masyarakat Wonogiri.
Paguyuban penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ”Waspodo” didirikan di Wonogiri pada malam Minggu Wage, 21 Desember 1963, dan merupakan satu-satunya Organisasi Penghayat Kepercayaan yang berpusat di Wonogiri. Penghayat adalah penganut yang melaksanakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran yang utuh hingga kedalaman batin, jiwa dan rohani.
Paguyuban ”Waspodo” mengajarkan kawruh (ajaran) budi luhur. ”Waspodo” sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang berarti ”Awas Tanggap dan Berhati-hati.” Dalam Kitab Maha Tunggal, ”Waspodo” merupakan sebutan bagi Pituduhing Pangeran (wangsit) yang salah satu isinya ”Aku Nunggang Rasa Ngadhep Urip.”
Paguyuban penghayat Kepercayaan ”Waspodo” didirikan dengan tujuan: (1) Kembali mengingat asal-usul manusia, dari awal manusia tercipta dari Pangeran (Sang Khalik) sampai kembali kepada Pangeran. (2) Memelihara keturunan dan menghormati orang tua sehingga bisa tertata hidupnya dan tercapai apa keinginannya, manusia harus bertindak yang baik dan berlandaskan budi luhur. (3) Memelihara naluri dalam kehidupan sampai datangnya kematian dan kembali kepada Sang Khalik .
Hadi Suyitono (alm) menerima wewarah pertama kali pada tanggal 27 Maret 1963. Pada malam Minggu Wage tanggal 29 Rejeb 1898 atau bertepatan tanggal 13 Nopember 1966, Hadi Soetiyono mendapat petunjuk (perintah) untuk menulis sebuah buku tuntunan spiritual yang disebut “Maha Tunggal”, yang berisi 90 ayat. Penulisannya dilaksanakan tiap 35 hari sekali, dengan huruf Jawa, sehingga buku tersebut baru terselesaikan pada tanggal 1 Syawal 1900 atau tepatnya tanggal 12 Februari 1969. Pada tanggal 31 Desember 1983, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Waspodo” mendapat pengesahan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai tahun 2006, warga (anggota) Waspada mencapai 745 orang dan menyebar di seluruh Indonesia.
Dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” seringkali mengadakan pengobatan dan memberikan pertolongan bagi orang yang membutuhkan. Seringkali rumah Suyud, sebagai sesepuh “Waspodo” didatangi orang-orang tertentu yang meminta wewarah. Paguyuban “Waspodo” juga sering mengadakan acara bakti sosial untuk menolong korban bencana alam, yaitu dengan menggalang dana ataupun sumbangan berupa baju bekas layak pakai. Pada malam 1 Suro yang bertepatan dengan tanggal 26 Januari 2008, dalam rangka Gelar Wisata Budaya, para warga “Waspodo” bekerjasama dengan Sub Dinas Pariwisata Wonogiri mengadakan Pagelaran Wayang Kulit dengan dalang terkenal, Ki Sujiwo Tejo. Acara ini sekaligus menunjukkan eksistensi Paguyuban “Waspodo” yang diakui oleh Pemerintah dan segenap masyarakat di Wonogiri.
Kegiatan spiritual yang diadakan Paguyuban “Waspodo” adalah melaksanakan penghayatan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penghayatan bagi warga “Waspodo” disebut manembah. Manembah merupakan cara untuk berbakti (menyembah) kepada sang Khalik. Dalam melakukan manembah, para anggota “Waspodo” harus duduk bersila, mengheningkan cipta sambil mengucapkan sambat. Sambat tersebut bertujuan menghaturkan terima kasih kepada Allah yang Maha Pencipta untuk segala pemberian dan keselamatan yang terjadi atas kehendak-Nya. Penghayatan pribadi (manembah) wajib dilakukan setiap hari yaitu antara pukul 19.00 atau 7 petanf dengan mengucapkan “Kawula manunggal nyuwun slamet” . Selain itu setiap malam Minggu Wage, para anggota “Waspodo” mengadakan pertemuan (kebaktian/sarasehan). Pertemuan diadakan di tempat salah satu anggota “Waspodo” yang telah disepakati. Para anggota “Waspodo” biasanya menawarkan diri untuk tempatnya dijadikan pertemuan. Pertemuan yang diadakan setiap 35 hari sekali ini bertujuan untuk manembah bersama sebagai kontrol terhadap ajaran yang telah diajarkan, juga sebagai forum tanya jawab para anggota “Waspodo” mengenai kawruh “Waspodo” yang belum dimengerti.
Paguyuban “Waspodo” merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Wonogiri. Selain Paguyuban “Waspodo”, terdapat Organisasi Pangestu, Sapto Darmo, Sumarah, dan lain sebagainya yang pengikutnya menyebar di seluruh pelosok Kabupaten Wonogiri. Menurut Koentjaraningrat, banyaknya pengikut aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME karena sikap dan pembawaan orang Jawa yang suka mengadakan orientasi, maka banyak timbul aliran-aliran kebatinan yang dapat dilihat bentuk dan sifatnya. Hampir semua gerakan kebatinan bertujuan untuk menuju kesempurnaan hidup manusia. Paguyuban “Waspodo” termasuk dalam aliran kepercayaan yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan Tuhan.
Kemunculan banyak aliran kebatinan di Wonogiri menggambarkan bahwa begitu banyak keanekaragaman budaya spiritual yang ada di tanah air. Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” yang merupakan salah satu aliran kepercayaan di Wonogiri mempunyai sejarah menarik dari awal pendirian, ajaran dan perkembangan organisasinya. Kondisi ini layak digali untuk memperkaya khasanah budaya Indonesia.
Bertolak dari latar belakang dan masalah tersebut maka penulis akan mengangkat aliran Kepercayaan tersebut dalam skripsi, dengan judul, "Perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” Di Kabupaten Wonogiri Tahun 1983-2006". Permasalahan yang akan diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana sejarah munculnya Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” di Kabupaten Wonogiri?
2. Bagaimana perkembangan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Paguyuban “Waspodo”?
3. Bagaimana pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dengan berdirinya Paguyuban Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME “Waspodo” di Wonogiri terhadap kehidupan masyarakat penganut dan masyarakat di sekitarnya?
B. Ruang Lingkup
Setiap penulisan sejarah memerlukan pembatasan dalam topik yang akan dibahas agar diperoleh suatu kejelasan dalam pembahasan. Menurut Taufik Abdullah, penentuan ruang lingkup yang terbatas dari suatu studi sejarah bukan saja lebih praktis dan lebih mempunyai kepentingan untuk mengkaji secara empiris, tetapi secara metodologis lebih bisa dipertanggungjawabkan.
1. Ruang Lingkup Temporal
Skripsi ini mengambil lingkup temporal mulai tahun 1983 dengan pertimbangan bahwa pada tahun tersebut Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Waspodo” mendapat pengesahan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan di Jakarta sebagai salah satu Organisasi Penghayat yang ada di Indonesia. Akhir batasan di ambil tahun 2006 karena berdasarkan Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas melakukan pembinaan terhadap aliran-aliran Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi berada di bawah Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Seiring perkembangan dan perubahan struktur organisasi tersebut, Paguyuban “Waspodo” harus mendaftar ulang ke direktorat baru yaitu Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan pengesahan kembali pada tahun 2006. Selain itu pada tahun tersebut Paguyuban “Waspodo” mengalami perkembangan baik dari struktur organisasi, inventarisasi ajaran “Waspodo” sampai perkembangan Mirasa Sama yaitu orang yang tertarik mempelajari ajaran “Waspodo”.
2. Ruang Lingkup Spasial
Secara teoritis, skripsi ini termasuk dalam kategori sejarah sosial budaya. Hal tersebut berdasarkan pada pembahasan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai perkembangan suatu aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalankan aktivitas budaya spiritualnya dan pola adaptasi yang dilakukan oleh organisasi tersebut untuk menjaga eksistensinya dalam masyarakat yaitu dalam wujud Paguyuban “Waspodo” yang berbudaya spiritual berupa kebatinan. Pengambilan scope spasial di Kabupaten Wonogiri karena berbagai alasan yang antara lain karena di daerah ini Paguyuban Penghayat Kepercayaan “Waspodo” berdiri. Di samping itu Kabupaten Wonogiri juga merupakan daerah yang dekat dengan Surakarta, yang merupakan bekas pusat pemerintahan kerajaan di Jawa yang dengan demikian kota Surakarta menjadi tempat kebudayaan aliran kepercayaan hidup subur sejak dulu.
C. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka sangat diperlukan dalam penulisan skripsi. Tinjauan Pustaka diperlukan untuk membandingkan hasil-hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu, dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Tinjauan Pustaka juga berguna untuk mempertajam analisis dengan membandingkan konsep-konsep dalam buku-buku tersebut dengan karya-karya lain serta data yang relevan dengan tema skripsi ini.
Buku pertama adalah karya Simuh yang berjudul Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Buku ini berupaya untuk melacak kembali hakikat Sufisme Jawa yang rumit. Begitu banyak unsur-unsur yang saling menjalin, menyatu secara sinkretik, dengan kepekatan yang tinggi. Perjalanan melacak kembali hakikat Sufisme Jawa mengharuskan kita untuk menggali akar-akar Sufisme Islam (tasawuf) dan akar-akar dari mistik Hindu-Buddha yang kedatangannya di Jawa telah begitu menyejarah. Keduanya merupakan unsur Sufisme Jawa, yang jejak-jejaknya cukup jelas.
Simuh, sebagai ahli ilmu tasawuf yang sekaligus ahli Kejawen telah berupaya keras melacak hakikat Sufisme Jawa tersebut. Buku ini dapat dipergunakan sebagai bahan yang cukup memadai guna penelitian skripsi ini. Sebab Simuh relatif telah dapat memetakan persoalan kebudayaan Jawa, terutama menyangkut segi-segi konsep batiniahnya. Buku ini juga berguna karena mengandung hal-hal yang cukup penting dan aktual mengenai ilmu tasawuf, mistik dan Sufisme Jawa sehingga dapat digunakan sebagai gerbang pengetahuan.
Buku kedua adalah Orang Jawa Memaknai Agama. Buku karya penulisan dari M. Soehadha ini menjelaskan mengenai kebatinan dan praktiknya sebagai suatu pandangan hidup orang Jawa yang terkadang mengandung pengertian sebagai agama bagi orang Jawa. Buku ini membahas salah satu fenomena kehidupan religius dari sebagian masyarakat Jawa, yaitu keikutsertaan para pengikut agama-agama yang sudah memiliki ajaran-ajaran mistis tersendiri ke dalam perkumpulan Pangestu. Buku ini juga membahas tentang motivasi orang-orang ’saleh’ mengikuti Pangestu, serta bagaimana mereka memberikan makna atas ajaran dan ritual mistisisme Pangestu yang mereka praktikan itu. Kajian antropologi dalam buku ini ingin memberikan sajian deskriptif dan analitis kepada pembaca dalam rangka mengetahui dan memahami alasan para penganut agama mengikuti Pangestu, serta memahami makna dan ritual mistisisme Pangestu bagi para penganut agama. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memahami wilayah dunia batin (dunia mistisisme Jawa) yang antara lain mengetahui mengapa dunia kejawen masih tetap eksis, bahkan berkembang terus dengan beragam aliran, meski banyak pandangan miring dari masyarakat luas. Dalam buku ini dijelaskan bahwa mistisisme terus berkembang, karena pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang asal-muasal dunia dan manusia serta tujuannya (sangkan paraning dumadi), mengapa manusia mati, mengapa manusia dapat berhasil dan gagal, tidak dapat dipecahkan melalui penjelasan ilmu pengetahuan semata. Dalam kondisi ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan penjelasan tentang keberadaan manusia dan dunia, serta kegagalan dan keberhasilan dalam kehidupan manusia, maka praktik mistisisme sebagai salah satu cara penghayatan agama atau keyakinan sering kali dianggap sebagai jalan yang dapat memberi penjelasan sekaligus pemecahan terhadap persoalan hidup manusia. Di masyarakat Jawa praktik mistisisme lazim disebut sebagai laku batin. Laku batin pada sebagian masyarakat Jawa, biasa dilakukan melalui ritual perorangan maupun kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan. Buku ini membantu penulis dalam menyusun kerangka penulisan mengenai aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mulai dari riwayat pendiri, isi ajaran dan struktur organisasi.
Buku ketiga adalah karya Ridin Sofyan yang berjudul Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan. Buku ini secara lengkap mengupas tentang asal-usul ajaran aliran Kebatinan, keberadaannya secara yuridis, pembinaannya serta prospeknya pada masa yang akan datang, tetapi juga titik temu antara ajaran Kebatinan dengan tasawuf. Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk menambah bahan bacaan tentang aliran Kebatinan, dengan harapan para pembaca dapat memahami berbagai seluk-beluk yang berkaitan dengan keberadaannya. Harus diakui bahwa perkembangan serta pembinaan aliran Kebatinan serta pembinaan terhadap aliran Kebatinan pada akhir-akhir ini mengalami kemajuan sebagai pertanda minat terhadap aliran ini di kalangan masyarakat semakin besar. Perkembangan itu menunjukkan semakin bertambahnya krisis rohani yang selama ini terlepas dari perhatian agama-agama yang ada, oleh karena apa yang orang cari dalam aliran Kebatinan seharusnya dapat ditemukan pada berbagai dimensi ajaran agama. Karena itu penyajian tentang ajaran-ajaran Kebatinan pada buku ini diharapkan tidak saja menjadi tambahan pengetahuan tetapi juga akan merupakan bahan untuk introspeksi bagi umat beragama tentang keberadaan dan peran agama dalam kehidupan masyarakat kita.
Buku ini membantu penulis dalam menelaah kondisi anggota Paguyuban ”Waspodo” yang sebagian besar anggota merupakan pemeluk Agama Islam yang kadang-kadang masih aktif dalam menjalankan tuntunan agamanya. Walaupun begitu mereka sangat yakin dengan adanya Allah seperti halnya orang muslim pada umumnya mereka percaya bahwa Muhammad adalah nabi-Nya. Mereka menyadari bahwa orang yang baik hidupnya akan masuk surga, dan orang yang banyak dosanya akan masuk neraka. Mereka juga ikut merayakan hari-hari besar Islam walaupun dengan cara mengadakan kenduri atau selametan. Selain itu mereka masih tetap pula percaya pada makhluk-makhluk gaib, percaya pada kekuatan-kekuatan magis dan sakti, banyak menjalankan berbagai macam ritus dan upacara yang tidak berkaitan dengan ajaran Islam.
Mereka punya cara tersendiri dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang bisa mencapai tataran ”manunggaling kawula gusti”, tidak lagi melaksanakan syariat agama. Meskipun demikian ia juga menjalankan budaya spiritual dengan tergabung dengan aliran kebatinan seperti Paguyuban ”Waspodo” dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu laku hidup yang diikuti oleh raganya, menuju hidup Tuhan YME yang menghidupi alam semesta, yang dilakukan setiap saat. Budaya spiritual seperti ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa yang memegang teguh pada tradisi leluhurnya.
D. Kerangka Teoretis dan Pendekatan
Skripsi ini bertujuan untuk menelaah tentang perkembangan organisasi aliran kebatinan atau aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yaitu Paguyuban ”Waspodo”, yang merupakan aliran kepercayaan yang lahir di Wonogiri mulai dari berdirinya yaitu dari tahun 1983 hingga berkembang dan bertahan sampai saat ini.
Pengertian kebatinan atau aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara umum adalah mistik Jawa. Batin berasal dari bahasa Arab, batin yang berarti sebelah dalam, inti, di dalam hati, tersembunyi, dan misterius. Menurut Geertz, batin berarti dunia dalam pengalaman manusia. Geertz menganalisis mistik Jawa sebagai ungkapan gaya hidup orang Jawa yang halus yang mengandung sifat empiris.
Pada dasarnya kebatinan adalah mistik murni yang membuka pengetahuan langsung dan pengalaman setiap individu dengan Tuhan. Sementara itu metode yang dipergunakan adalah menyerahkan diri sambil bersujud atau berdiri dengan tenang. Untuk penganut latihan kejiwaan harus menyempurnakan serah dirinya serta pasrah dan melatih rasa dan jiwanya agar dapat mencapai jalan menuju ketentraman jiwa kepada ke-Esaan Tuhan.
Praktik kebatinan merupakan usaha pribadi seseorang yang ingin manunggal kembali dengan asal-usulnya, berniat untuk menyingkapkan rahasia atau terbebas sama sekali dari ikatan-ikatan duniawi. Usaha untuk mencapai panunggalan hanya dapat dicapai dengan sumber pengetahuan atau pemikiran hakiki tentang kebatinan. Pengetahuan ini tercapai oleh rasa, bukan oleh rasio. Perjalanan mistik menuju panunggalan sering digambarkan melalui empat tahap, mulai dari luar terus ke dalam. Tahap mistik yang pertama adalah sarengat. Sarengat mengandung pengertian menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Bagi kelompok abangan, tahap mistik ini dijalankan dengan cara menghormati, menghargai dan menaati orang tua, guru atau pemimpin laku ini dilakukan dengan kesadaran bahwa menghormati mereka berarti mereka berarti merupakan penghormatan terhadap Tuhan, sebab menurut konsepsi abangan, mereka adalah wakil-wakil Tuhan di dunia. Selain itu kaum abangan juga menekankan untuk menghormati aturan-aturan sosial, dan kesadaran hormat kepada tatanan kosmos.
Tahap mistik kedua adalah tarekat. Tarekat merupakan kesadaran tentang hakikat tingkah laku pada sarengat harus diisyafi lebih dalam dan ditingkatkan. Misalnya, doa-doa ritual disertai dengan usaha-usaha yang luhur dan suci dari dalam lubuk batin manusia.
Tahap ketiga adalah hakikat yaitu tahap menuju kebenaran. Tahap ini merupakan pengembangan mengenai kesadaran akan hakekat doa dan pelayanan kepada Tuhan, sehingga akan muncul pemahaman mendalam, bahwa satu-satunya cara bagi siapa saja yang ada, untuk mencapai panunggalan adalah menjadi abdi Tuhan dan menjadi bagian yang tergantung dari tatanan kosmos.
Tahap keempat adalah ma’rifat yaitu terciptanya kondisi jumbuhing kawula lan Gusti. Setelah mencapai tahap ini, jiwa seseorang akan terpadu dengan jiwa semesta dan tindakan seseorang semata-mata telah menjadi laku, kehidupan seseorang menjadi doa terus-menerus kepada Tuhan.
Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada umumnya mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhannya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan sesama ciptaanNya, baik itu alam, flora maupun fauna. Dalam hubungan dengan Tuhan, diajarkan bagaimana manusia mengenal, mempercayai dan menghayati keberadaan Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Bagaimana harus berhubungan dengan-Nya, dari mana manusia dan makhluk-makhluk lainnya berasal, di mana mereka hidup, dan kemana akan pergi akan pergi sesudah hidup di dunia ini. Dalam bahasa Jawa, ajaran ini berusaha menembus ”sangkan paraning dumadi,” atau ajaran metafisika.
Perkembangan berkaitan dengan pertumbuhan dan perluasan. Secara tidak langsung istilah perkembangan juga mempunyai konotasi waktu, artinya perkembangan dipahami dengan istilah yang mengandung dengan fakta sosial yang satu dengan fakta sosial lain yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Kaitan secara kronologis tersebut menggambarkan terjadinya hubungan kausatif atau hubungan sebab akibat. Hal tersebut adalah peristiwa terdahulu yang merupakan penyebab terjadinya peristiwa sesudahnya. Perkembangan juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkembang dari kecil menjadi besar dan maju.
Perkembangan suatu organisasi memerlukan proses adaptasi agar keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat, salah satunya adalah adaptasi budaya. Perkembangan Paguyuban ”Waspodo” dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagian dari adaptasi Paguyuban ”Waspodo” dipengaruhi oleh tokoh pemimpinnya. Menurut Soerjono Soekanto, kepemimpinan merupakan kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang-orang tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Pemimpin yang kharismatik adalah pemimpin yang dianggap memiliki kekuatan, yang gaib atau sakti, yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Semula Pendiri Paguyuban ”Waspodo”, Hadi Sutiyono hanyalah Kepala Sekolah SD di Tirtomoyo yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Kemudian Hadi Sutiyono mengalami pengalaman spiritual hingga menyebabkan dirinya mendirikan Paguyuban ”Waspodo”. Pengalaman yang dialami Hadi Sutiyono (alm) serta kawruh dan wewarah ”Waspodo” yang mengutamakan kebersihan batin sebagai jalan dalam menghadapi persoalan hidup membuat banyak orang yang mengalami persoalan yang sama tertarik untuk ikut masuk ke Paguyuban ”Waspodo” dengan tujuan belajar manembah demi mendapatkan ketentraman hidupnya.
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan Paguyuban ”Waspodo” adalah pandangan hidup orang Jawa. Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat pada adat istiadat warisan nenek moyang serta selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Pandangan hidup orang Jawa ini masih melekat pada masyarakat Wonogiri, sehingga tidak sulit bagi masyarakat Wonogiri untuk menerima ajaran Paguyuban ”Waspodo”.
Ajaran dari Paguyuban Penghayat Kepercayaan ”Waspodo” juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan Paguyuban tersebut. Ajaran ”Waspodo” merupakan ajaran tentang budi luhur. Pitudhuhing Pangeran yang berupa wewarah-wewarah terhimpun menjadi Buku Tuntunan Spiritual Kitab Suci ”Maha Tunggal” yang terdiri dari 90 ayat dan berisi mengenai ajaran-ajaran bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupan sesuai janjining urip yang diterima sewaktu manusia masih berada di alam kandungan. Buku Suci ”Maha Tunggal” menjadi pedoman ajaran Waspodo untuk mencapai ”budi luhur”, di dalam Buku Suci tersebut diberikan pula petunjuk-petunjuk bagaimana kita berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita nantinya selesai tugas di dunia bisa kembali kepada Tuhan YME dan selama hidup di dunia agar selalu mendapatkan perlindungan-Nya, diberikan ketentraman lahir dan batin.
Pendekatan mengenai masyarakat penghayat kepercayaan ”Waspodo” beserta perkembangannya proses kehadiran di Indonesia saja, tetapi juga sebagai suatu sistem interaksi yang didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma tertentu yang melebur ke dalam kehidupan sosial masyarakat anggota Paguyuban ”Waspodo”. Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai perkembangan ”Waspodo”, deskripsi historis saja tidak cukup, diperlukan bantuan analisa dari berbagai disiplin ilmu sosial yang lain. Seperti apa yang dikatakan Sartono Kartodirjo perlu menggunakan pendekatan multidimensional agar dapat menambah sensitivitas terhadap permasalahan, memperkuat konseptualisasi dan analisa serta meningkatkan kemampuan untuk mengumpulkan data, sehingga dapat menghasilkan keterangan yang lebih realistis. Dalam penulisan ini, penulis mempergunakan analisa sosiologi termasuk analisa anthropologi dan analisa historis dalam kegiatan urutan peristiwa.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam mempelajari manusia, masyarakat dan kebudayaan, khususnya aliran kepercayaan diperlukan pendekatan sosiologi. Disiplin ilmu yang dapat mengungkapkan dan sekaligus mampu menjelaskan permasalahan dalam penulisan ini adalah sosiologi agama. Pendekatan sosiologi agama merupakan konsep pemahaman sosial atas agama yang tidak dilihat dari perwahyuan melainkan dari ekspresi atau pengalaman. Seseorang yang beriman dengan mendekatkan diri kepada Tuhan YME dengan jalan berdoa, renungan, matiraga, cita kepada sesama, mengekang nafsu duniawi, akan memperoleh pengalaman rohani yang otentik. Hal ini kadang dianggap sebagai seruan yang berasal dari Tuhan. Agama dipandang sebagai institusi yang bertugas mengarahkan masyarakat agar berfungsi baik.
Agama merupakan bentuk perilaku yang dilembagakan yang berada diantara lembaga sosial lainnya. Demikian juga aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu bentuk perilaku masyarakat yang dilembagakan. Aliran kepercayaan juga mempunyai fungsi yang hampir sama dengan agama yaitu memegang kunci yang penting untuk menjawab kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai duniawi, tetapi hanya dengan sesuatu yang ada di luar empiris kita. Orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap narima yaitu menyerahkan diri kepada takdir Tuhan. Agama menawarkan suatu hubungan transendental (hubungan langsung dengan Tuhan) melalui ritual pemujaan dan upacara ibadah, karena hal ini memberikan dasar emosional dari rasa aman dan identitas yang lebih kuat di tengah kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.
Sedangkan ilmu anthropologi dalam arti yang seluas-luasnya mempelajari makhluk manusia, dengan memperhatikan lima masalah, yaitu mulai dari masalah sejarah terjadinya manusia dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis sampai masalah kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dan suku-suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi di sepanjang jaman.
Sesuai dengan topik yang akan dibahas penulis, maka penulis memakai pendekatan antropologi, khususnya antropologi sosial. Sedangkan tema penulisan merupakan bagian dari pokok-pokok anthropologi sosial, yaitu sistem religi dan kehidupan sosial. Sistem religi dan kehidupan sosial masyarakat penghayat kepercayaan sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Dalam kehidupan sosial masyarakat, orang-orang Jawa memiliki sikap batin yang sangat khas yang membedakan sikap orang Jawa dengan suku-suku lain di Indonesia. Sikap batin yang menjadi ciri khas orang Jawa ini disebut dengan etika Jawa meliputi beberapa sikap (pokok) didalamnya yaitu hawa nafsu, egoisme (pamrih), nrima, ikhlas, jujur (temen), bersahaja (prasaja), tenggang rasa (tepa selira). Masyarakat Wonogiri yang bercorak agraris masih sangat lekat dengan etika Jawa tersebut. Selain itu masyarakat Wonogiri, masih sangat memegang teguh tradisi warisan nenek moyang atau tradisi kejawen yang menunjukkan eksistensi kebudayaan Jawa. Di Kabupaten Wonogiri, tradisi kejawen masih banyak terdapat dalam prosesi ritual pernikahan, ritual nyadran, ritual bulan sura, dan ritual selametan yang bertujuan untuk memelihara hubungan keselarasan dan keselamatan dengan alam. Dengan pola kepercayaan seperti itu, bukan berarti masyarakat Wonogiri telah meninggalkan jejak-jejak keagamaannya. Akan tetapi pola semacam itu sudah merupakan warisan budaya leluhur yang sempat disosialisasikan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain hal-hal yang telah diungkapkan di atas, secara anthropologis, penelitian ini memberikan sajian deskriptif dan analitis dalam rangka mengetahui dan memahami alasan para penganut agama mengikuti ”Waspodo”, serta memahami makna dari ajaran-ajaran dan ritual ”Waspodo” yang masih menggunakan ”uba rampe” yang memiliki makna tertentu dalam setiap pelaksanaannya.
E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
Sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah dengan tujuan agar dapat menghasilkan karya sejarah yang objektif. Metode ini merupakan prosedur analitis yang ditempuh sejarawan untuk menganalisis kesaksian yang ada, yakni fakta sejarah sebagai bukti yang dapat dipercaya mengenai masa lalu manusia.
Metode penelitian sejarah meliputi empat tahapan, yaitu:
1. Tahap pengumpulan data (heuristik)
Tahapan heuristik adalah usaha pencarian dan penemuan sumber informasi atau data yang diperlukan dalam penulisan. Sumber yang dicari adalah sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan.
a. Sumber primer.
Sumber primer merupakan sumber terpenting dalam bebagai penelitian sejarah. Sumber primer adalah sumber yang berasal dari saksi hidup yang mengalami atau ikut dalam peristiwa atau kejadian. Sumber primer dapat diperoleh dari arsip atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sumber primer memberikan kesaksian yang mempunyai validitas, kredibilitas dan otentisitas pada informasinya.
Ada pun sumber primer tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang berasal dari pengurus Paguyuban “Waspodo”. Misalnya Kitab Suci “Maha Tunggal” yang digunakan oleh anggota “Waspodo” sebagai pedoman hidup, wewarah Madurasa yang berisi mengenai penjabaran dari Kitab Suci “Maha Tunggal” juga sangat penting untuk digunakan dalam menelaah ajaran tentang “Waspodo”. Selain itu penulis juga menggunakan Anggaran Dasar Dan Rumah Tangga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “WASPODO” tahun 1986 dan tahun 2006 dan yang terakhir, Tanda Inventarisasi Pengesahan Waspada, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa No. 1.296/ F.6/N. 1.1/2006.
b). Sumber sekunder
Sumber sekunder digunakan untuk melengkapi data yang tidak ditemukan dari sumber primer. Sumber sekunder digunakan sebagai bahan pembanding yang akan memperkuat dan melengkapi kekuarangan informasi dari sumber primer. Sumber tersebut antara lain artikel, buku-buku, laporan-laporan penelitian dan karya ilmiah, seperti skripsi dan tesis yang berhubungan dengan penelitian.
Sumber sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari telaah pustaka di Perpustakaan Lembaga Penelitian Univesitas Diponegoro, Perpustakaan Wilayah Propinsi Semarang, Perpustakaan Widya Puraya, dan Perpustakaan Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sejarah, Univesitas Diponegoro.
c). Sumber Lisan
Selain pengumpulan sumber tertulis, dilakukan juga pengumpulan sumber lisan (oral history). Sumber ini memberikan informasi kemungkinan yang tidak terbatas dan untuk memperolah data lebih representatif yang tidak ditemukan dalam sumber tertulis. Oral history dilakukan dengan pelaku dan orang-orang yang menjadi saksi dengan permasalahan dalam skripsi ini.
Oral History dilakukan dengan metode wawancara, yaitu suatu metode untuk mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada informan, dalam hal ini yang ada kaitannya dengan Paguyuban “Waspodo”. Sumber lisan banyak memberikan keterangan penting sebagai salah satu sumber primer karena sumber tertulis sangat terbatas. Kelemahannya, ada bagian tertentu yang menjadi rahasia Paguyuban yang tabu untuk disebarluaskan pada khalayak umum. Dari sumber-sumber yang lain, diperoleh suatu keberpihakan masing-masing institusi dalam setiap pernyataan yang dikeluarkan. Dalam pemilihan informan, selain anggota biasa, kita harus mendapatkan tokoh kunci atau key person, karena tokoh semacam ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan tingkah laku para anggotanya.
Hasil dari wawancara ini tidak dapat begitu saja dipakai sebagai suatu tulisan, karena adanya subjektifitas dari informan. Hasil wawancara ini hanya digunakan sebagai menunjang atau pembantu observasi.
2. Tahap Penilaian Data atau Kritik.
Tahap Penilaian Data atau Kritik merupakan kegiatan pengujian terhadap sumber baik secara ekstern ataupun intern. Pada tahap kritik, dilakukan pengujian terhadap sumber yang ditemukan untuk memperoleh data-data yang otentik dan kredibel. Kritik ekstern adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui asli atau tidaknya sebuah sumber (uji auntentitas), sedangkan kritik intern adalah kritik yang dilakukan untuk menguji kredibilitas suatu sumber apakah pernyataan yang diperoleh sungguh-sungguh dapat dipercaya kebenarannya. Penulis telah melakukan kritik ekstern. Kritik ekstern dan intern juga dilakukan dalam proses wawancara pada informan. Penulis menyeleksi informan yang benar-benar mengerti dan berkaitan dengan penulisan yang akan disusun oleh penulis, yaitu kalangan sesepuh ”Waspodo”, pengurus ”Waspodo” serta para warga/anggota ”Waspodo”. Selain itu, dalam kritik intern ini yang harus diketahui adalah identitas pengarang atau instansi terkait yang mengeluarkan dokumen meliputi kepribadian, latar belakang pengarang atau penulis atau sumber tersebut ditulis untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
3. Tahapan penafsiran fakta atau intepretasi.
Intepretasi fakta yang bertujuan untuk membuat hubungan dan merangkaikan fakta sejarah masa lalu agar dapat diungkap secara kronologis. Dalam proses interpretasi tidak semua fakta dapat dimasukkan tetapi harus dipilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang akan disusun. Penafsiran fakta yang sudah terklarifikasi perlu dilakukan untuk mendapatkan alur cerita yang sistematis agar dapat diceritakan kembali. Dalam tahap ini imaginasi sejarawan sangat diperlukan dalam rangka merekatkan fakta yang telah ditafsirkan dan kemudian disintesa dalam bentuk kata-kata atau kalimat sehingga dapat dimengerti.
4. Tahapan penyajian atau historiografi.
Historiografi yaitu penulisan sejarah dengan tujuan merekonstruksi kembali keseluruhan peristiwa masa lampau berdasarkan fakta-fakta yang telah didapat dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar agar komunikatif dan mudah dipahami oleh pembaca. Proses penafsiran dan penyusunan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah sejarah yang sesungguhnya menyangkut seleksi. Tidak semua fakta dapat diinterpretasikan dalam bentuk tulisan, hanya yang relevan saja yang dapat dimasukkan sehingga tulisan tersebut menjadi kritis analitis dan bersifat ilmiah.
F. Sistematika
Dalam memudahkan penguraian untuk penulisan skripsi ini maka skripsi ini disusun secara sistematis dalam bab-bab yang semuanya terbagi dalam lima bab.
Bab I, berisi Pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu latar belakang dan permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan sumber, dan sistematika.
Bab II, berisi faktor-faktor pendukung perkembangan Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME di Kabupaten Wonogiri. Faktor-faktor pendukung perkembangan tersebut ditinjau dari kondisi geografis Kabupaten Wonogiri, kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Wonogiri.
Bab III, diuraikan tentang berdirinya Paguyuban “Waspodo”. Pembahasan berisi mengenai sejarah munculnya aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan gambaran Paguyuban “Waspodo” yang meliputi riwayat hidup pendirinya, ajaran “Waspodo”, Konsep “Waspodo” tentang Tuhan, Manusia, Alam Semesta dan Kesempurnaan.
Pada Bab selanjutnya, yaitu Bab IV menguraikan tentang perkembangan Paguyuban “Waspodo” di wilayah Wonogiri, kelembagaan Paguyuban “Waspodo” di Wonogiri juga menguraikan aktivitas Paguyuban “Waspodo” di Kabupaten Wonogiri. Pada pembahasan terakhir disajikan uraian mengenai Aktivitas dan Peranan Paguyuban “Waspodo” dalam Kehidupan Masyarakat di Kabupaten Wonogiri.
Bab V atau bab terakhir, berisi kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya yang merupakan jawaban dari seluruh permasalahan yang menjadi topik dari penulisan skripsi ini.
0 Komentar untuk "Penghayat kepada TYME WASPODO di Wonogiri"