HIDUP BAHAGIA
YANG DIAKHIRI DENGAN MENCAPAI
KASAMPURNAN JATI
YANG DIAKHIRI DENGAN MENCAPAI
KASAMPURNAN JATI
Oleh : Dr. Wahyono Raharjo GSW., MBA
PENDAHULUAN
Buku ini, isinya bukan merupakan pedoman atau patokan mati. Artinya, siapapun yang berminat, mencapai kebahagiaan hidup sejati di dunia ini, dan ingin kalau saatnya tiba, bisa mencapai “Kasampurnan Jati”, lakunya tidak harus, bahkan tidak benar, kalau berpedoman atau berpatokan pada isi buku ini (dijadikan semacam patokan, apalagi dogma).
Buku ini isinya hanya memberikan petunjuk, bagaimana seseorang bisa berguru pada Guru Sejati-nya sendiri, yaitu Hidupnya sendiri, atau Rokh-nya sendiri (His or Her own Soul).
Yang harus diikuti oleh tiap orang adalah petunjuk yang paling baik dari Hidup-nya sendiri.
Hidup yang bisa memberikan petunjuk yang paling baik (beciking becik) dan paling benar (benering bener) bagi tiap orang, secara individual (pribadi). Karena Hidup itu yang berasal dari Maha Hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Hidup yang meliputi, menggerakkan dan menguasai alam semesta seisinya - Urip kang ngalimpudhi, ngobahake lan nguwasani jagad royo saisine). Dan hanya Hidup, yang nantinya kembali (seharusnya) kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hidup yang tahu, apa dan bagaimana Raganya (manusianya) setiap saat harus berbuat, selama masih di dunia, agar senantiasa dalam keadaan Bahagia Sejati.
Bahagia Sejati itu adalah dalam Rasa yang kita alami, yang berubah-ubah.
Kalau kita menjalani kehidupan dan penghidupan di dunia ini mengikuti jalannya Hidup, maka kita akan menjalani kehidupan dan penghidupan kita dengan diliputi selalu Rasa Bahagia yang sejati.
Selain itu, “perjalanan hidup” kita, tidak akan menyimpang dari lingkaran Hidup itu sendiri (the life cycle). Artinya, kita tidak membawa Sang Hidup untuk menyimpang dari “perjalanan “ yang seharusnya ditempuh, yaitu dari Tuhan, lalu berada di dunia dengan raganya, kemudian lepas dari raganya, dan langsung bisa kembali ke asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa harus menunggu jutaan tahun.
Tidak sedikit, manusia yang hidup sekarang ini, dijaman yang dikatakan maju, modern, sekalipun terpenuhi segala kebutuhan materiilnya, bahkan kebutuhan emosionalnya, tetapi kehilangan Rasa Bahagianya yang sejati. Paling paling hanya akan merasakan senang sebentar, lalu hilang dan berusaha senang lagi, dan seterusnya.
Tidak sedikit, keluarga keluarga yang sudah kehilangan keharmonisan, keserasian, kebahagiaan dalam berkeluarga. Sesuatu yang didambakan setiap orang saat ingin membangun suatu keluarga.
Semua itu, karena manusia melupakan, bahwa dalam dirinya ada Hidup (Rokh, Soul)-nya. Tanpa Hidup, segala yang ada tidak berarti dan tidak punya nilai lagi.
Sekalipun Manusia merasa, masih ingin, dan bahkan berusaha melakukan hubungan dengan Tuhannya, tetapi dalam segala tindakannya, terlepas lagi dari hubungan itu. Semua tindakannya, didasarkan hanya atas dasar akal-pikirannya sendiri, atas dasar apa yang dianggapnya baik dan benar. Tidak mau tahu, apa yang sebenarnya baik dan benar bagi dirinya menurut Tuhan.
Dengan menjalani laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, manusia akan selalu diberi petunjuk, diberi tahu, apa yang baik dan benar untuk dilakukan dirinya, setiap saat. Yang memberi tahu, Hidupnya sendiri, karena Hiduplah yang, bisa menangkap kehendak Tuhan setiap saat.
Buku ini, isinya adalah gambaran tentang bagaimana menjalani laku Kasampurnan itu. Bukan untuk pedoman, bahkan bukan untuk dipercaya.
Kalau seseorang sudah menjalani, dia akan mendapatkan pengalaman dan bukti bukti sendiri. Jadi, kalau percaya, adalah karena mengalami, membuktikan dan merasakan sendiri.
Buku ini disusun, atas dasar seringnya Penulis “ngangsu” (menimba) dari sumbernya, yaitu Romo Herucokro Semono. Rata rata hampir sekali setiap seminggu, selama bertahun-tahun, selalu “sowan” (menghadap) untuk menimba “pangerten” (pengertian) tentang Laku Kasampurnan ini. Tentu saja ditambah pengalaman menghayati dan mengamalkan laku ini puluhan tahun dan pengalaman dalam mengamati dan momong ribuan orang yang sama sama menghayati laku ini (disebut “kadhang”).
Jadi, kalau ada “kadhang” yang berpendapat lain, tentu saja wajar, dan itu merupakan hak-nya. Lebih lebih, kalau yang dikemukakan adalah pengalaman pribadinya. Maka Penulis berusaha, menulis buku ini secara umum, tanpa memasukkan pengalaman yang bersifat terlalu pribadi.
Demikian pula, “dawuh” dan “wulang wuruk” (“ajaran”) dari Romo Herucokro Semono yang disampaikan di sini, yang bersifat umum. Bukan dawuh yang bersifat untuk pribadi Penulis.
Sekalipun demikian, penulis tetap menyadari, bahwa Laku ini, kalau ditulis semuanya, sekalipun lautan berubah jadi tinta, tidak cukup untuk menuliskannya. (“Sanajan banyu kabeh segoro dhadhi mangsi, ora cukup kanggo nulis kabeh dawuh”).
Bayangkan saja, dawuh dawuh Romo Herucokro Semono saja, beliau lakukan selama 25 tahun lebih, pagi, siang, malam dari 1955 s/d 1981. Bagaimana mungkin menuliskan seluruhnya?
Maka, penulis sama sekali tidak minta agar tulisannya ini dipercaya, dibenarkan, apalagi dijadikan pedoman.
Penulis membuat buku ini, karena desakan banyak orang, selama bertahun-tahun. Jadi, memenuhi keinginan orang banyak. Penulis mencoba menggambarkan Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil yang sebenarnya itu apa dan bagaimana menjalaninya dengan baik dan benar. Juga murni tanpa dicampur aduk dengan laku atau ilmu lain, karena kepentingan manusianya masing masing.
Bagi yang merasa tidak cocok dengan tulisan ini, tentunya jangan diingat lagi, dan anggap saja tidak pernah membaca buku ini. Bagi yang merasa cocok, silahkan kalau mau digunakan.
Penulis tidak berkeberatan kalau buku ini difoto-copy. Tetapi jangan disalin. Takutnya, kalau salah menyalin. Di dalamnya mengandung kata kata yang sebenarnya bersifat gaib. Kalau satu suku kata saja berubah, bisa tidak berarti sama sekali.
Penulis berani membuat buku ini, karena ajaran (paringan dan wulang-wuruk) Romo Herucokro Semono ini, telah resmi dipaparkan di depan semua instansi tingkat pusat Pemerintah R.I., para cendekiawan dari berbagai universitas, para tokoh/wakil agama agama, dan telah mendapakan Piagam. Artinya sudah resmi boleh dihayati dan diamalkan di wilayah hukum Republik Indonesia.
Hal itu tentu saja tidak berlaku bagi para penghayat yang di luar Indonesia (Sampai buku ini dibuat, laku ini sudah dihayati dan diamalkan oleh ribuan orang asing, di 19 negara).
Jakarta, 1993
Penulis
Romo M. Semono Sastrohadidjojo
( Romo Herucokro Semono )
1900 - 1981
Sebelum tahun 1900, seorang isteri “padhemi” (isteri resmi), dibuang dalam arti diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa.
Itu karena desakan seorang “selir” yang sangat dicintai.
Hal demikian, tidak jarang terjadi pada jaman itu.
Isteri “priyagung” itu bernama Dewi Nawangwulan. Kepergiannya, disertai seorang dayang (emban), bernama Rantamsari.
Dewi Nawangwulan, dibuang (“dhikendangake”), dan diberikan kepada Ki Kasandhikromo, yang sering juga disebut Ki Kasan Kesambi, seorang tokoh spiritual pada jamannya, yang berdiam di desa Kalinongko, Gunung Damar, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Saat dibuang, Dewi Nawangwulan dalam keadaan mengandung.
Lahir bayi yang diberi nama Semono, namun ibunya, Dewi Nawangwulan wafat. Tidak lama kemudian disusul Rantamsari, dayangnya juga meninggal dunia.
Keduanya dimakamkan di puncak Gunung Damar Purworejo.
Ki Kasandhikromo, tidak pernah mau menganggap, apalagi memperlakukan Dewi Nawangwulan sebagai isterinya. Tetap dianggap dan dia perlakukan sebagai “ratu” -nya . Demikian pula isterinya, Nyi Kasandhikromo.
Semono dipelihara dan dibesarkan Ki Kasandhikromo. Di sekolahkan Sekolah Ongko Loro (SD yang 5 tahun tamat untuk pribumi). Semono yang lahir tahun 1900, harinya Jumat Pahing. Tidak ada catatan resmi tanggal dan bulannya. Hal biasa pada jaman itu.
Semono, semasa sekolah, setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, membolos. Bukan karena malas atau nakal, tetapi karena malu.
Pada saat matahari tepat di atas, saat semua orang tidak ada bayangannya. Semono bayangannya 12. Karena selalu jadi tontonan teman-temannya, jadi malu. Maka lebih baik membolos.
Tamat SD itu, langsung diangkat jadi Guru Bantu.
Suatu hari, pemuda Semono yang saat itu berumur 14 tahun (sudah dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa pada jaman itu), disuruh Nyi Kasan, mengambilkan minyak, di dalam salah satu bilik rumah mereka. Ternyata, di dalam bilik itu, tertidur lelap seorang gadis kemenakan Nyi Kasan. Dalam kelelapan tidurnya, kain yang dipakai tersingkap, jadi tubuhnya kelihatan terbuka.
Pemuda Semono, melihat hal itu, “Mengkorok” (Berdiri bulu bulu di tubuhnya).
Semono lalu merenung. Mempertanyakan, apa sebenarnya yang menggerakkan bulu bulu tubuhnya itu?.
Renungan demi renungan, tidak menemukan jawab.
Akhirnya Semono memutuskan, minta ijin Ki Kasan untuk pergi bertapa.
Semono yang berusia 14 tahun itu, bertapa di tepi laut Selatan, di Cilacap. Bekasnya (petilasannya) masih ada sampai saat buku ini ditulis.
Berupa dua rumpun bambu, di dalam kompleks Pertamina. Pertamina, sekalipun sudah berusaha dengan berbagai cara, tidak bisa membongkar kedua rumpun bambu itu.
Semono bertapa selama 3 tahun (1914 - 1917). Hasilnya mendapat “Cangkok Wijoyo Kusumo”. Berbentuk seperti bunga kering, berwarna coklat kehitaman. Kalau dimasukkan air, akan mengembang sebesar tempatnya.
Semono kecewa, karena bukan itu yang dicari. Beliau mendapat “wangsit” (ilham), untuk melanjutkan laku sampai tahun kembar 5, dan di timur nantinya akan dia temukan apa yang dia cari.
Baju yang dikenakan Semono selama 3 tahun bertapa, hancur. Dengan hanya bercawat dedaunan, Semono pulang dengan cara jalan malam. Jadi siang hari sembunyi dan malam harinya jalan, karena takut akan malu kalau bertemu orang.
Sampai di rumah, bukannya dirayakan, tetapi malah sudah disediakan lubang (“luweng”), lalu pemuda Semono oleh Ki Kasan, ditanam (“dhipendem”), selama 40 hari 40 malam. hanya diberi batang gelagah untuk bernafas. Dan setiap usai menanak nasi, Nyi Kasan mengepulkan asap nasi itu ke dalam lubang gelagah.
Selanjutnya, Semono sambil menjadi Marsose (sekarang marinir), berkelana, tetap menjalani laku. Kalau siang dinas, malamnya berendam di laut, menjala. Tidak pernah dapat ikan. Itu dilakukannya sampai tahun 1955.
Tanggal 13 malem 14 November 1955, kebetulan jatuh malem Senen pahing, pukul 18.05, banyak orang di Perak Surabaya, terkejut, menyaksikan rumah Letnan KKO ( sekarang Letnan Satu Marinir), terbakar. Tetapi setelah didekati , ternyata bukan api, melainkan cahaya. Bahkan ada kereta keemasan (kreto kencono) di langit, yang turun masuk ke rumah Letnan Semono). Di Jalan Perak Barat No. 93 Surabaya.
Peristiwa itulah yang dikenal sebagai mijilnya Romo Herucokro Semono.
Pernyataan beliau saat Mijil, menyatakan bahwa “Ingsun” Mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar. “Ingsun” (bukan aku) mijil hendak memutar-balikkan jagad (maksudnya jagat kecil, pribadi manusia, micro cosmos), dan hendak menggelarkan dunia baru (micro cosmos baru).
Artinya, kalau selama ini, kita selalu memperbudak Hidup, selanjutnya terbalik, kita sebagai manusia akan menjadi abdi-nya Sang Hidup.
Mulai saat itu, Romo Herucokro Semono memberikan siapapun yang menghendaki (tidak ada paksaan, tidak menakut-nakuti dengan cara dan jalan apapun), yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa mencapai “Kasampurnan Jati” (moksha) pada saatnya.
Apa yang beliau berikan, akan bisa diikuti dalam bab bab berikut.
Romo Herucokro Semono, selanjutnya memberikan Laku Kasampurnan ini, sesudah dinas. Berlangsung sampai tahun 1960. Beliau menjalani masa pensiun sebagai Kapten Marinir.
Beliau lalu pulang ke Purworejo dan berdiam di Kalinongko dan Sejiwan, Loano, Purworejo (2 rumah kediaman).
Setiap hari, beliau menerima kedatangan rata rata 500 orang lebih.
Semua orang, pada waktu makan, diberi makan dan yang menginap, dengan bebas mencari tempat untuk tidur, di rumah beliau.
Tentunya berbagai keperluan orang yang datang. Mulai dari meminta pengobatan penyakit yang dokter sudah tidak sanggup mengobati, dengan seketika sembuh, memohon restu untuk sesuatu, dan lain-lain. Tetapi tidak sedikit yang datang untuk memohon bisa mengikuti Laku Kasampurnan (disebut mohon diperkenankan menjadi Putro).
Berdatangan orang dari berbagai penjuru dunia, melalui berbagai sebab (jalaran), yang akhirnya menjadi Putro.
Selama 25 tahun lebih (13 malem 14 November 1955 s/d 3 Maret 1981), Romo Semono melayani pagi, siang, sore, malam, dini hari, siapapun yang datang .
Semua yang datang, diperlakukan 100% sama. Beliau tidak pernah memandang orang dari perbedaan apapun. Derajat-pangkat, kekayaan kedudukan sosial, suku, bangsa, semua diperlakukan 100% sama.
Kalau beliau sedang memberikan petuah (“wulang-wuruk”), setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri sendiri. Yang orang Jerman mendengar beliau berbicara bahasa Jerman, yang orang Inggeris mendengar beliau berbahasa Inggeris, sedang penulis mendengar beliau berbahasa Jawa.
Romo Semono, setiap harinya, makan dua kali. Tetapi tiap kali makan, hanya satu sendok. Tidurnya, hampir tidak pernah. Hampir tidak pernah mandi, tetapi selain tidak berbau badan beliau, juga tidak ada daki (kotoran) di kulit beliau. Tubuh tetap sehat, gagah, tinggi besar.
Hal hal luar biasa, atau mujijat yang beliau tunjukkan, kalau ditulis semua akan menjadi satu buku tersendiri.
Beberapa contoh saja, misalnya sekitar tahun 1960, beliau naik sepeda motor militer, di atas laut Jawa, menyeberang ke Madura. Kalau mengemudikan mobil, tangan dan kaki beliau dilepas, dan mobil dikomando dengan ucapan. Beberapa kali orang menyaksikan beliau menghidupkan orang, yang telah dinyatakan mati oleh dokter, dan siap dikubur. Beliau sering berada di beberapa tempat pada saat yang sama, dan di tiap tempat beliau makan minum seperti biasa.
Setiap kali, sekalipun dihadapan beliau menghadap ratusan orang, beliau bercerita. Dan setelah selesai bercerita, ternyata semua pertanyaan dan persoalan yang ada di benak yang hadir, sudah terjawab semua.
Mudah-mudahan, suatu saat penulis bisa mengumpulkan pengalaman pengalaman para “kadhang”, yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi, dan mujijat mujijat Romo Herucokro Semono yang mereka saksikan, dan bisa penulis bukukan tersendiri.
Romo Semono wafat tanggal 3 Maret 1981, dan dimakamkan di Kalinongko, Loano, Purworejo. Romo Semono tidak dikaruniai anak. Tetapi meninggalkan ratusan ribu, mungkin jutaan Putro, yang tersebar di mana mana. Dan peninggalan beliau yang paling berharga adalah Sarana sarana Gaib, bagi mereka yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa menjalani dan mencapai “Kasampurnan Jati” pada saatnya masing masing.
Tinggalan beliau yang terakhir inilah yang sampai sekarang, dipelihara (“dhipepetri”) dan dilestarikan oleh Putro-putronya. Dilestarikan, dalam arti tetap dihayati dan diamalkan dan diberikan kepada siapa saja yang menghendaki, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada pada manusianya. Jadi, sifatnya universal.
M A N U S I A
Manusia, seperti kita ketahui, terdiri dari Badan (Raga) dan Hidup (Nyawa, Rokh, Soul).
Raga manusia, dibentuk dari unsur unsur :
1.Tanah (zat zat kimia organik dan anorganik);
2.Air (kira kira 70% tubuh manusia terdiri dari air);
3.Hawa (gas);
4.Api (energy atau kalori);
Unsur unsur itu, melalui proses bio-kimia, pada Bapak menjadi sperma (sel mani), dan pada Ibu menjadi sel telur. Pertemuan sel mani dan sel telur, membentuk Raga.Kalau penyatuan sel mani dan sel telur itu dimasuki Hidup, barulah akan berkembang menjadi mudigah (embriyo), menjadi bayi, yang akhirnya dilahirkan di dunia.
Manusia itu, Raganya terdiri dari 7 (tujuh) lapis, yaitu :
1.Rambut;
2.Kulit;
3.Daging (bahasa ilmiahnya otot);
4.Otot (bahasa ilmiahnya saraf);
5.Tulang;
6.Sungsum;
7.Darah (semua cairan tubuh)
7 lapis ini, yang dalam Ketuhanan sering disebut dengan berbagai sebutan kiasan.
Hidup, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa disebut Rokh Suci, karena berasal dari Maha Suci. Setelah menyatu dengan Raga, disebut Hidup (Urip), karena sudah tidak suci lagi.
Raga, bagaimanapun, sejak pembuahan, sudah tidak suci. Karena kedua orang tua, betapapun kesadarannya akan fungsi meneruskan keturunan, tidak akan berbuat, kalau tidak disertai nafsu. Ini yang menyebabkan Raga, sejak asalnya sudah tidak suci. Ketidak sucian Raga, ikut mengotori Rokh Suci.
Maka, bayi yang baru lahirpun sudah tidak suci.
Bayi yang baru lahir, tahu, kalau lapar menangis, agar diberi makan (susu) oleh ibunya atau orang lain.
Siapa yang mengajari bayi itu?
Bayi itu diajari oleh Guru Sejatinya, yaitu Hidup.
Tak ada seorang ibupun, yang mengatakan pada bayinya, agar kalau lapar, menangis.
Tangis bayi, adalah Bahasa-Hidup. Maka, tidak bisa kita bedakan, tangis bayi Jawa, Sunda, Batak, Amerika, Inggeris, semua sama. Begitu juga Gerak bayi, adalah gerak-hidup, maka semua bayi sama geraknya.
Mulailah otak bayi mendapat masukan. Pintu masukkan, melalui Panca Inderanya. Tergantung masukan yang didapat, maka akan seperti apa nantinya bayi itu jadinya manusia, kanak kanak, sampai dewasa. Masukan bisa dengan sengaja dimasukkan, berupa pendidikan dan pengajaran, bisa juga tanpa disengaja, yaitu apa saja yang ditangkap Panca Inderanya dari lingkungannya.
Masukan itu, termasuk masukan tentang standar norma dan nilai nilai baik-buruk, benar-salah, boleh-dilarang, dan sebagainya. Termasuk norma dan nilai nilai moral dan etika. Bahkan juga soal keyakinan Ketuhanan.
Semua masukan itu, terekam dalam memori/otak manusia itu, yang kemudian jadi dasar manusianya dalam bertindak, dalam mengukur segala sesuatu yang dilakukannya, yang dialaminya, bahkan sebagai standar untuk mengukur perbuatan orang lain.
Karena masukannya berbeda, maka manusia berbeda pula dalam mengukur baik buruk, benar salah dan sebagainya. Hal ini yang selalu menjadikan manusia saling berebut baik, berebut benar. Baik dan benarnya masing masing saling dipegang teguh dan bahkan menyalahkan standar yang dipakai orang lain.
Kalau kita kembali ke bayi, kita akan menyadari, bahwa tangis bayi itu sama, gerak bayi itu sama, karena tangis itu suara Hidup, gerak itu gerak hidup. Jadi sebenarnya manusia itu sama. Berbeda hanya karena masukan yang diterima berbeda.
Hidup itu sama, karena berasal dari Yang Satu, yaitu Tuhan. Yang berbeda raganya, karena berasal dari tanah, air, hawa yang berbeda pula, serta dari Bapak dan Ibu yang berbeda pula.
Jadi, kalau Manusia mau memakai ukuran atau standarnya Hidup, pasti akan sama dalam menilai segala hal.
Raga bersifat materiil, jadi tidak kekal. Satu saat harus hancur dan kembali menjadi tanah, air, hawa dan api.
Hidup, adalah immateriil, bersifat kekal, berasal dari Yang Maha Kekal. Asalnya dari Tuhan, jadi seyogyanya kalau berpisah dengan raganya, langsung kembali ke Tuhan. Tidak mengembara (“nglambrang”) jutaan tahun.
Dalam pengertian di sini, otak dengan pekerjaannya (psyche, jiwa) juga tergolong Raga, karena itu masih merupakan kerjanya organ tubuh yang bersifat materiil. Jadi akal pikiran (logika dan ratio), termasuk emosi juga ter-golong raga.
Hidup, kuasanya Gerak, letaknya di Rasa. Maka, kalau makhluk-hidup ditinggalkan Hidupnya berhenti segala geraknya, dan kehilangan Rasa-nya (pada tumbuh-tumbuhan gerak akar dan gerak tumbuhnya yang berhenti). “Urip iku kuwasane obah, lenggahe ono ing Roso Jati”.
Manusia, kemudian juga menerima masukan berupa pendidikan dan pengalaman.
Masukan ini yang mendorong manusia berencana, bercita-cita, dan berusaha meraih apa yang diinginkannya. Keinginan manusia selalu sesuai dengan masukan yang pernah dia terima.
Orang yang seumur hidupnya belum pernah melihat, belum pernah mendengar tentang mobil, pasti tidak pernah ingin punya mobil. Gerak usahanya juga tidak akan pernah mengarah untuk bisa memiliki mobil.
Semua manusia, perjalanan hidupnya sama. Dilahirkan, dibesarkan, menjalani kehidupan dan penghidupan, sebagian besar kawin dan menghasilkan keturunan lalu mengulang perbuatan orang tuanya terhadap dirinya kepada anak-anaknya, kemudian menjadi tua, dan mati.
Tak seorangpun, betapa tinggi pangkatnya, berapapun besar kekuasaannya, berapapun kekayaannya, bisa mengelak atau menghindar dari jalannya hidup yang demikian itu.
Kalau ada perbedaan, hanyalah dalam “kembangan”-nya saja (variasinya saja). Sama sama makan, untuk mempertahankan hidup, yang satu di hotel berbintang lima, yang lain di kaki lima. Sama sama berpakaian untuk melindungi tubuh, yang satu memakai yang bermerk terkenal, yang lain tanpa merk sama sekali. Sama sama perlu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, yang satu naik mobil, yang lain naik sepeda.
Perjalanan itu, menuju ke arah yang sama, yaitu kuburan. (Langsung atau melalui dibakar, dikremasi dulu).
Setiap hari, semua orang, berjalan selangkah demi selangkah mendekati kuburan. Bedanya, ada yang langkahnya cepat, ada yang lambat. Itu perjalanan raganya . Raga, tahunya hanya perjalanan ke kuburan.
Perjalanan “Hidup”, oleh manusia pada umumnya diabaikan.
Hidup yang selalu dipaksa mengikuti segala kehendak raganya, akan terbawa salah-arah. Hidup hanya diperlakukan sebagai budak, yang harus menurut dibawa kemanapun kehendak Raga-nya.
Padahal, tanpa Hidup , Raga (manusia) tidak bisa apa apa.
Semestinya, yang benar, Hiduplah yang menentukan arah dan langkah, sedang raga hanya mengikuti. Jadi, Hidup tidak salah arah, menuju kembali ke asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Salah arahnya “perjalanan”, karena Hidup dipaksa mengikuti kehendak Raganya, menyebabkan Hidup tidak bisa langsung kembali menyatu (manunggal) dengan Tuhan.
Manusia yang dalam menjalani kehidupan dan penghidupan, tidak sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan atas dirinya, “berjalan” zig-zag terlalu lebar. Keinginan dan kehendak kuat untuk mencapai apa yang dianggapnya baik dan benar, membuat usaha yang berlebihan, pada umumnya mengorbankan kebahagian dirinya, kebahagiaan keluarganya, demi tujuan yang menjadi obsesinya. Tidak sedikit, yang karena terlanjur melangkah ke suatu arah, lalu malu (gengsi) kalau harus mundur atau berbelok arah. Apapun ditempuhnya, demi mempertahankan harga diri yang tidak pada tempatnya, dengan segalanya dia korbankan. Masih beruntung kalau tercapai. Kalau sering kegagalan yang dihadapi, maka kekecewaan demi kekecewaan yang didapat, yang akhirnya menimbulkan stress (tekanan batin). Selama berusaha menggapai, ketegangan demi ketegangan dialami (strain).
Sementara orang, agar dianggap modern, mengatakan bahwa variasi ketegangan (strain) dan tekanan (stress) adalah seni hidup. Membuat hidup tidak monoton. Tetapi tidak sedikit yang melupakan bahwa Raga ada batas kemampuannya.
Akhirnya bermacam penyakit timbul sebagai akibatnya. Bahkan kelainan jiwa selalu menghinggapi sebagian besar manusia yang menamakan dirinya modern.
Kalau ingin selalu merasakan kebahagiaan Sejati, ikutilah kehendak Hidup. Karena Hiduplah yang tahu, apa yang terbaik bagi diri kita masing masing, menurut Maha Hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana caranya agar Manusia bisa kenal dan mengenal Hidup yang ada dalam dirinya?
Itulah yang pada umumnya tidak diketahui orang.
Kenal, lalu mengenal Hidup, yang ada dalam diri kita, kemudian bisa berkomunikasi, berhubungan dengan Hidup kita sendiri, lalu bisa menerima petunjuk dari Hidup, dilindungi (“dhiayomi”), oleh Hidup. Itulah yang akan diuraikan dalam bab bab berikut dari buku ini.
Dan itu baru berguna, kalau kita ingin dan bertekad mau menjadi Manusia baru, Manusia yang dilahirkan kembali.
Menjadi Insan Spiritual, yaitu Hidup yang berbaju daging, tulang dan saraf, dan tidak lagi menjadi Insan Materiil, yaitu daging, tulang dan saraf yang dihidupi. “A Spiritual Being”, with flesh, bone and nerves, and not only as “A Living flesh, bone and nerves”.
Kalau itu yang menjadi keinginan, tujuan utama manusianya, maka barulah bab bab berikut dalam buku ini berguna.
MENGENAL “ H I D U P “
Hidup itu Gaib, maka tidak bisa dikenali dengan perabot pada diri kita, yang bersifat ragawi (materiil). Jadi, tidak bisa ditangkap oleh Panca Indera kita, keberadaannya (eksistensinya).
Telah diuraikan di depan, bahwa Hidup itu kuasanya Gerak, letaknya (“lungguhe”) berada di Rasa. Jadi hanya bisa dirasakan.
Yang dimaksud dengan Rasa dalam buku ini, bukan rasa yang merupakan salah satu indera dari panca indera, sense, tetapi Rasa yang ada di dalam diri kita, feeling.
Kita semua merasa, sebagai Orang Hidup. Dan kita pasti mengakui, bahwa kalau ditinggalkan Hidup, kita mati. Dan kalau kita Mati, semua yang ada pada diri kita, kepandaian, pengalaman, kehebatan, derajat-pangkat, kehormatan, kedudukan sosial, harta-benda, bahkan orang orang yang kita cintai, semua tidak berarti lagi. Semua tidak punya nilai lagi bagi kita.
Semasa masih hidup, kita bisa seperti sekarang ini karena dalam diri kita masih ada Hidup (“Isih kalenggahan Urip”).
Penulis bisa menulis buku ini, karena ada Hidup dalam dirinya. Pembaca bisa membaca ini, karena ada Hidup dalam diri pembaca.
Maka, marilah kita akui keberadaan Hidup itu, dan dengan jujur kita akui pula betapa sangat pentingnya peranan Sang Hidup itu pada diri kita.
Marilah kita berhenti memperbudak Hidup, dan kita mulai menjadikan diri kita sebagai Abdhinya Hidup.
Siapa yang harus mengakui keberadaan dan peran Hidup itu ? Kita masing masing. Siapa diri kita itu? Tujuh Lapis Raga kita, dengan segala kerjanya.
Marilah, 7 (tujuh) lapis raga kita, seluruhnya kita ajak untuk mengakui keberadaan dan peranan Hidup atas diri kita. Kita ajak seluruh 7 (tujuh) lapis raga kita untuk tunduk dan menjadi abdhinya Hidup, agar setiap saat, raga kita itu diselamatkan dari hal hal dan perbuatan yang dikemudian hari bisa membuat kita tidak bahagia dan tidak bisa langsung kembali ke asal kita.
Karena hidup itu Gaib, maka untuk mengenalnya memerlukan Sarana yang bersifat Gaib pula.
Seluruhnya ada 5 (lima) sarana gaib, yang didapat Romo Herucokro Semono dari lakunya yang 41 tahun (1914 -1955). Maka, disebut Panca Gaib.
Sarana Gaib I, disebut K U N C I
Ini, gunanya, untuk memberikan bukti kepada diri kita masing masing, bahwa hidup itu memang ada dalam diri kita.
Yang dimaksud bukti, adalah bahwa diri kita masing masing, dengan menggunakan “Kunci” itu, tidak hanya percaya bahwa dalam diri kita ada Hidup, tetapi membuktikan, merasakan sendiri.
Dan kalau “Kunci” itu dihayati sungguh sungguh, diri kita masing masing akan diberi bukti tidak hanya tentang keberadaan Hidup, tetapi juga bagaimana bekerja dan kuasanya Hidup itu, atas kehidupan dan penghidupan kita sehari-hari.
Mohon perhatian :
Jangan tergesa-gesa. Pertimbangkan, renungkan dulu masak masak.
Benarkah kita memang ingin hidup Bahagia Sejati (Tentram), agar bisa selanjutya mencapai kasampurnan jati ?
Kalau kita tidak yakin, bahwa segala sesuatu itu Tuhan yang menentukan, dan yang terbaik itu apabila sesuai dengan kehendak Tuhan atas diri kita, maka seyogyanya jangan dulu mengenal Hidup, apalagi menggunakan Kunci Hidup itu.
Kalau kita yakin bahwa Tuhan yang menentukan segalanya, dan yang terbaik bagi diri kita adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bolehlah dilanjutkan.
Kalau belum yakin, bukannya tidak boleh, tetapi nantinya pasti akan dan ditinggalkan lagi, kehendak dan jalannya Hidup, yang sebenarnya merupakan kehendak dan jalan yang dikehendaki Tuhan bagi diri kita.
“ KUNCI “
Dalam menjalani Laku selama 41 tahun, Romo Semono menghabiskan waktu 25 tahun hanya untuk melengkapkan “Kunci” saja.
Tiap saat beliau hanya dapat satu huruf. Beberapa saat lagi, baru satu huruf lagi. 25 tahun baru huruf huruf yang beliau dapat itu lengkap, menjadi “Kunci”.
Jadi, “Kunci” itu bukan merupakan buah hasil pikiran Romo Semono.
Maka, kalau satu suku kata saja berubah, sudah bukan “Kunci” Hidup lagi, dan tidak akan ada gunanya.
Oleh karena itu, sampai saat ini, semua yang menghayati Laku Kasampurnan ini, apapun suku, bangsa dan bahasanya, dalam menggunakan Panca Gaib, diantaranya “Kunci”, harus tepat seperti apa adanya.
Tidak perlu, artinya tidak ada gunanya, kata kata dalam “Kunci” diartikan. Hal ini justru hanya akan mempersulit dan menghambat penghayatan kita. Apalagi diterjemahkan.
“Kunci” itu berupa kata kata, hanya disebabkan karena Romo Semono yang menerima, diwajibkan meneruskan kepada sesama manusia, yang menghendaki.
Sebenarnya “Kunci” itu Gaib. Kalau tanpa disertai kata kata kita tidak mampu menerimanya.
Tidak perlu dipikirkan arti dari kata-katanya.
Romo Herucokro Semono sendiri pernah menegaskan :
“ Kunci iku dhudhu unine, dhudu unen-unene, nanging kang mahanani uni” (Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan adanya bunyi).
Bahkan Romo Herucokro Semono pernah pula menyatakan :
“Upomo Kunci iku kudhu kaparingake marang wedus, mbokmenowo unine embek.” (Seandainya Kunci itu harus diberikan kepada kambing, barangkali bunyinya embek).
Kata-kata “Kunci” :
Gusti ingkang Moho Suci,
Kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito,
nyuwun wicaksono, nyuwun panguwoso,
kangge tumindhake satriyo/wanito sejati;
Kulo nyuwun, kangge anyirnakake tumindhak ingkang luput.
Catatan :
Agar tidak terjadi salah faham :
Kata kata Sirolah, Dhatolah, Sipatolah, olah-nya dari kata seperti olah - olah, olah - rogo, dan semacamnya yang artinya “obah” atau gerak.
“Anyirnakake tumindhak ingkang luput”, maksudnya “lupute dewe”, salah pada diri sendiri.
Ada yang menggunakan :
“hanyirnakake”,
Boleh saja, silahkan dicoba, mana yang dirasakan lebih pas/cocok, bagi dirinya masing masing.
Lain-lainnya, satu suku kata saja, tidak boleh berubah.
Bahkan orang orang asing, lafalnyapun harus benar.
Tidak boleh di sini, artinya, kalau berubah, tidak ada gunanya sama sekali, karena sudah bukan “Kunci” lagi.
Kata “satriyo” digunakan oleh Pria dan kata “wanito” digunakan oleh Wanita.
Menggunakan “KUNCI”
Sering digunakan istilah “salah kaprah”, Membaca Kunci (Moco Kunci). Maksudnya bukan membaca dalam arti harfiah (leterlijk).
A. Dihafalkan dulu, kata-katanya, sampai hafal betul dan betul pula lafalnya.
B. Kalau sudah hafal, lakukan sebagai berikut :
1.Duduk sesantai mungkin, sampai seluruh otot terasa lemas, lepas, napas sudah teratur, tidak memikirkan bernafas lagi.
2.Niat untuk menggunakan “Kunci”
3.Kedua mata terpejam rapat.
4.Tunggu sampai kedua lengan dan tangan bergerak sendiri, bersikap menyembah (patrap Kunci) - lihat gambar 1.
5.Ucapkan dalam Rasa, kata kata “Kunci”
Selanjutnya, apapun yang dirasakan, termasuk kalau lengan dan tangan bergerak sendiri, ikuti saja. Tidak perlu takut sama sekali. Tidak akan terjadi apapun, yang tidak baik.
Semua itu merupakan tanda, merupakan bukti, bahwa hidup itu benar benar ada dalam diri kita dan bisa kita rasakan sendiri, kita buktikan sendiri keberadaannya.
Latihlah terus, di saat saat senggang. Lama lama kita akan hafal betul, bagaimana rasanya, kalau kita menggunakan “Kunci” Hidup itu.
Kapan menggunakan “KUNCI”
“Tangi turu gregah Kunci, arep turu Kunci, ono opo-opo Kunci, ora ono opo-opo Kunci” (Bangun tidur segera Kunci, mau tidur Kunci, ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci).
Jadi, yang wajib dilakukan adalah begitu bangun tidur, sebelum berbuat apapun, Kunci, dan saat mau tidur, Kunci.
Bangun tidur Kunci, maksudnya, agar sepanjang hari, kita dilindungi oleh Hidup. Dilindungi oleh Hidup, maksudnya agar kita dihindarkan dari berbuat salah, juga perbuatan salah terhadap diri kita, dihindarkan oleh Hidup.
Contoh :
Dalam rangka Penulis momong kadhang-kadhangnya selama bertahun-tahun, kalau ada kadhang kecopetan, pasti karena lupa Kunci. Belum pernah Penulis alami, ada kadhang yang tidak lupa Kunci, kecopetan di jalan.
Mau tidur Kunci. Maksudnya, agar sekalipun kita tidur, jadi raga sudah tidak ingat apa apa dan tidak bisa apa apa, Hidup selalu menjaga.
Contoh :
Tidak sedikit kadhang yang mengalami, kalau ada sesuatu, sekalipun tertidur pulas, serasa ada yang membangunkan. Dan kemudian ternyata, bangunnya itu memang berguna.
Ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci.
Di manapun kita berada, dalam keadaan apapun, dari pada melamun, atau berfikir yang tidak tidak, lebih baik digunakan untuk “membaca” Kunci dalam rasa. Tentu saja, tidak perlu “patrap Kunci”, yaitu bersikap menyembah seperti dalam Gambar 1.
Sikapnya, disesuaikan situasi dan kondisi kita saat itu.
Gambar 1
Pengalaman,
Banyak sekali kadhang yang mengalami, dengan tidak lupa Kunci, Hidup menghindarkan dirinya dari melapetaka, kecelakaan, musibah, atau kejadian yang tidak mengenakkan. Tahunya setelah terjadi.
Mendapatkan “KUNCI”
Telah kita ketahui, kata kata “Kunci”, dari membaca tulisan di depan.
Kalau menggunakan “Kunci” dari menghafal tulisan itu, bisa, tetapi sampai bisa benar benar merasakan dayanya “Kunci” dan membuktikan pula kerjanya Hidup, karena menggunakan “Kunci”, sebaiknya, mintalah “Kunci” itu kepada salah seorang yang sudah lebih dulu menghayati Laku Kasampurnan.
Nantinya, yang memberikan bukan manusianya, tetapi Hidup memberikan kepada Hidup. Jadi dari Gaib kepada Gaib, yang diberikan, “Kunci” itu, juga Gaib.
PENGHAYATANNYA
Sesudah kita menggunakan “Kunci”, sebenarnya 7 (tujuh) lapis raga kita, jadi kita manusianya, menyembah kepada Hidup. Kita berjanji, akan menjadi Abdinya Hidup. Sembah kita kepada Hidup, akan diteruskan kepada Hidup yang menghidupi alam semesta seisinya, Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, kita memulai suatu penghayatan, yang sekaligus Pengalaman suatu laku, yaitu yang disebut Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, atau secara umum juga dikenal sebagai Penghayatan Kapribaden.
Agar tidak salah faham, laku ini adalah sebagai berikut :
Bisa dijalani (dihayati dan diamalkan) atau “dhilakoni” oleh anak umur 3 tahun. Asal sudah bisa menghafal “Kunci”, sudah bisa menghayati dan mengamalkan laku ini.
Bahkan Sarana Gaib ini, sudah bisa diberikan kepada bayi yang baru lahir. Penghayatan ini, tidak mengenal keharusan “tirakat”, “melekan”, berpuasa “ngebleng”, “kumkum” (berendam di air), meditasi dan sebagainya.
Inti Penghayatannya adalah :
Selalu tidak lupa kepada Hidup lalu selalu minta prtunjuk Hidup sebelum melakukan apapun dan mengikuti segala petunjuk Hidup, sekalipun bertentangan dengan keinginan dan kehendak kita semula.
Karena Guru Sejatinya Hidup kita sendiri, maka Guru Sejati itu yang paling tahu atas diri kita, dan Guru Sejati itu yang tahu apa sebenarnya kehendak Tuhan atas diri kita, dan bagaimana seharusnya melaksanakan semua itu. Guru Sejati itu akan selalu menyesuaikan dengan keadaan kita, kalau kita masih umur sekolah Taman Kanak kanak, maka Guru Sejati itu akan jadi Guru Taman Kanak kanak. Bagi yang sudah dewasa, Guru Sejati akan jadi Dosen atau maha Guru-nya.
Guru Sejati, dalam memberikan tuntunan berupa petunjuk kepada kita, sesuai dengan nasib yang kita alami, kita jalani dan kita hadapi serta kita kerjakan masing masing.
Maka, tidak ada 2 orang yang petunjuknya Hidup sama. Cap jari 2 orang Saudara kembarpun, tidak sama.
Laku kita sama, yaitu sama sama mengikuti Hidup, tetapi Lakon kita berbeda satu sama lain.
Petunjuk Hidup, diberikan sesuai lakonnya masing masing, tetapi intinya sama, yaitu agar tidak menyimpang dari jalan yang dikehendaki Tuhan atas diri kita masing masing.
Penghayatan ini, sedikitpun tidak menyuruh orang meninggalkan hal hal yang bersifat duniawi. Jadi, dalam menjalani kehidupan dan penghidupan, malahan harus wajar, harus biasa saja.
Kesenangan duniawipun, boleh dirasakan, dinikmati. Tetapi kita akan selalu dituntun, kesenangan yang bagaimana yang tepat untuk diri kita. Jadi kita terhindar dari menikmati kesenangan, yang kemudian berakibat kesedihan atau kesengsaraan.
Yang memang ditakdirkan harus kaya, juga boleh, tetapi akan selalu dituntun, agar kekayaan yang didapat sekarang ini, tidak mencelakakan atau menyengsarakan di kemudian hari. Termasuk tidak akan mencelakakan atau menyengsarakan anak cucu.
Memiliki kekuasaan (tentu saja sementara), juga boleh. Akan dituntun, agar jangan salah menggunakan kekuasaan itu. Sehingga hasilnya akan lebih kekal, karena sesuai yang dikehendaki Tuhan.
Yang ingin cukup, juga boleh, artinya selalu ter-cukup-i, segala yang dibutuhkan. Bukan yang diinginkan.
Semua itu, bukan kita yang menentukan, tetapi setelah kita terima, kita tidak akan berjalan salah-arah, dengan apa yang ada pada diri kita.
Kepandaian, kemampuan, kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain yang ada pada diri kita, akan selalu digunakan oleh Hidup, dengan perantaraan diri kita, untuk hal hal yang dikehendaki Pemilik dari semua itu, yaitu Tuhan sendiri.
Hidup itu sama, sebenarnya Satu, (Urip iku podo, sejatine Siji).
Maka, kalau Penghayatan ini, dihayati dan diamalkan (“dhilakoni”) oleh seluruh anggota keluarga, kita akan merasakan hasilnya.
Rasa anggota keluarga yang satu selalu berhubungan dengan rasa anggota keluarga yang lain. Sambung rasa setiap saat.
Karena itu, keluarga akan selalu dalam suatu kesatuan yang kokoh-erat, harmonis, penuh diliputi Rasa Bahagia yang sejati.
Manusia, terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Manusia terbatas kemampuan akal-pikirannya.
Hidup tidak mengenal keterbatasan keterbatasan itu. Hidup bisa melakukan, mengatur apa saja, yang akal manusia tidak sampai, dan bahkan menurut akal manusia dikatakan tidak mungkin.
Manusia menyebut mujijat, atas kejadian kejadian yang akalnya tidak sampai. Bagi Hidup, tidak ada mujijat.
Para Penghayat Kapribaden telah banyak membuktikan, sesuai lakonnya masing masing, terjadinya hal hal yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi. Dan semuanya pasti baik dan benar, serta membuat tentram (bahagia) si Penghayat.
Pembuktian pembuktian (“paseksen”) itu, diberikan oleh Hidup, agar Manusianya, makin lama makin yakin akan kuasanya Hidup.
Kelanjutannya
Bagaimana?
Apakah setelah membaca uraian di depan itu, masih ingin dan masih berniat untuk menjalani Laku ini, dengan tujuan Hidup tenteram (Bahagia) di dunia dan akhirnya bisa Manunggal dengan Yang Maha Suci ?
Pertimbangkan dulu masak masak.
Di dunia ini, ditawarkan ribuan macam cara dan jalan bagi manusia dalam menjalani kehidupan dan penghidupan.
Termasuk diantaranya, faham yang mengatakan, hidup di dunia cuma sekali. Raih kesenangan dan kenikmatan sebanyak-banyaknya, masa bodoh nantinya.
Laku ini, tidak menakut-nakuti orang, agar orang mau begini atau begitu. Juga tidak menjanjikan sesuatu (“ngiming-iming”) agar orang melakukan ini dan itu. Apapun yang dikerjakan Penghayatnya, adalah atas kehendak dirinya sendiri (dalam arti Hidup-nya), dan akan dirasakan, dibuktikan sendiri sendiri, hasilnya.Yang tekun menjalaninya (artinya selalu patuh pada Hidup), tentu saja banyak bukti didapatnya banyak manfaat dirasakannya. Sebaliknya, yang setengah setengah, juga setengah setengah pula hasil yang didapatnya. Hidup itu adil. Manusia, bagaimanapun bijaksananya, tidak ada yang adil dalam arti sebenarnya.
Yang menyimpangpun (menyalahi kehendak Hidup), juga tidak menunggu kelak, segera merasakan buktinya (akibatnya), Ini diterima sebagai petunjuk pula. Hanya dalam bentuk kebalikan, agar kita tidak mengulanginya.
Kalau selama menggunakan “Kunci”, belum betul betul mendapatkan pengalaman, pembuktian, bahwa Hidup telah menuntun dan melindungi kita, jangan dulu tergesa-gesa, minta diberikan kelanjutannya.
Tekuni dulu, menggunakan “Kunci”, biarkan hidup memberikan bukti kemampuannya mengatur, menuntun dan melindungi, sampai kita benar benar yakin. Kalau semua itu sudah terjadi, itu baru “satu arah”. Artinya dari Hidup ke Kita manusianya. belum bisa dari Kita manusianya ke Hidup, komunikasinya. Jadi, baru komunikasi satu arah. Hidup ke Raga (manusianya). Raga (manusianya) ke Hidup, belum bisa.
Bagaimana?
Apakah sudah mantap mau melanjutkan?
Sudah? Baik. Silahkan.
“A S M O” - Sarana Gaib II
Pada waktu kita lahir, orang tua kita hanya melihat bayi yang lahir itu, yang tampak oleh panca Indera. Jadi, yang diberi nama (asmo), hanya raganya bayi. Padahal, bayi yang lahir terdiri dari Raga dan Hidup di dalamnya. Maka, wajar kalau yang dikembangkan selanjutnya, hanya Raganya.
Kalau ingin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan Hidup, maka Hidup itu terlebih dulu, harus diberi “Asmo”.
Dalam hal ini, jangan diterjemahkan dengan Nama, Aran atau jeneng dan semacamnya.
“Asmo”, diberikan, hanya kepada mereka yang sungguh sungguh sudah membuktikan dayanya Hidup lewat “Kunci” dan sudah yakin benar akan kuasanya Hidup. Kemudian bertekad untuk bisa mengikuti segala kehendak (karsanya )-nya Hidup.
Benar ? Sekali lagi. Benarkah anda sudah siap dan bertekad mau menjalani kehidupan dan penghidupan anda, dengan selalu mengikuti, menuruti karsanya Hidup?.
Sekali lagi, anda renungkan dan pertimbangkan masak masak. Sebab, kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo”, berarti anda sudah sepenuhnya menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil (Penghayat Kapribaden).
Kalau anda mengingkari Hidup, anda akan ditagih oleh Hidup anda sendiri. Sekalipun tak seorangpun tahu.
Dalam Penghayatan ini, tidak ada Guru-Murid. Tidak ada yang Menuntun dan Dituntun.
Kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo” , dalam menjalani laku, anda sepenuhnya berdiri sendiri (mandiri, mandireng pribadi). Guru anda adalah Hidup anda sendiri, Penuntun anda adalah Hidup anda sendiri. Yang jadi murid adalah anda sendiri, yang dituntun adalah anda sendiri juga.
Bagaimana ? Siap ? Tidak ragu ragu lagi?
Kalau memang benar benar siap :
Mintalah “Asmo”-nya Hidup anda kepada Kadhang, yang memang sudah diperkenankan memberikan “Asmo”.
Setiap Penghayat, boleh, memberikan “Kunci” Hidup. Tetapi tidak setiap Penghayat diperkenankan memberikan “Asmo”-nya Hidup.
Boleh-tidaknya seseorang memberikan “Asmo”, ditentukan, diijinkan oleh Hidup itu sendiri, karena laku yang bersangkutan. Bukan diijinkan oleh seseorang.
Kalau dipaksakan, seseorang memberikan “Asmo”, padahal belum diperkenankan, maka tidak akan ada gunanya “Asmo” yang diberikan itu. Yang diberi, tidak bisa menggunakannya.
0 Komentar untuk "HIDUP BAHAGIA"