Oleh Pandu Radea
Senja merangkak kelam. Suasana di TMII terlihat sepi. Pasalnya ini hari kerja. Orang-orang kurang berminat untuk bertamnasya. Namun lain bagi turis asing. Kesempatan menikmati TMII terasa lebih leluasa dihari-hari sepi seperti ini. Mangkanya beberapa rombongan turis lebih sering terlihat lalu lalang ketimbang wisatawan domestik. Seperti hari ini, 15 Februari 2010. Suasana jalan sekitar Sasana Adirasa Pangeran Samber Nyawa terlihat lengang. Serombongan turis Korea tertarik melihat kesibukan kecil yang terjadi dihalaman gedung. Mereka menghampiri dan sedikit sungkan mengintip dari celah-celah dinding yang dipenuhi ornamen ukiran.
Sasana Adirasa merupakan tempat ibadah kaum penghayat aliran kepercayaan dan kebatinan. Sedangkan nama Samber Nyawa diambila dari tokoh bernama Pangeran Samber Nyawa yang merupakan tokoh bangsawan dari Surakarta. Tokoh ini terkenal sakti dan ahli strategi perang yang tidak mau bekerjasama dengan VOC. Nama aslinya Raden Mas Said, namun setelah perdamaian Salatiga dan diangkat menjadi raja Mangkunegaran bergelar KGPAA Mangku Negara I.
Keseluruhan bangunan tak ubahnya pendhapa besar bangunan Jawa yang luas sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai acara yang bersifat spiritual. Secara rutin tempat ini digunakan oleh penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di bawah Direktorat Jenderal Pembina dan Penghayat Kepercayaan untuk melakukan sarasehan pada setiap Selasa Kliwon (Anggoro Kasih), dan kegiatan ritual 1 Suro yang diselenggarakan setiap tahun.
Pentas ini memang berbeda dan memiliki makna spiritual budaya yang unik. Disebut unik karena pagelaran ini dilakukan pada malam Anggoro Kasih yang diselenggarakan oleh kaum penghayat aliran kepercayaan dan kebatinan serta dihadiri oleh anggota dari berbagai wilayah. Tokoh-tokoh dari Buleleng (Bali) dan Sumatra pun tampak hadir. Walau diselenggarakan oleh penganut Kepercayaan, kegiatan ini pun mengundang beberapa tokoh dari agama lain, seperti Islam, Hindu dan Budha, sebagai sikap toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Malam Anggoro Kasih yang diselenggarakan kali ini memang terasa berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Yang menjadi khas adalah tampilnya Wayang Ajen yang berkolaborasi dengan Tari Bedoyo Dorodasih. Kolaborasi diatas mungkin sesuatu yang jarang terjadi bahkan mungkin dapat dikatakan baru, tatkala wayang golek bersinergi dengan Tari Bedoyo Dorodasih yang merupakan tarian sakral nusantara lambang keagungan Tuhan YME. Konon penarinya harus ganjil jumlahnya. Dan penari tunggal yang tampil bersama Wayang Ajen adalah Kanjeng Pangeran Sulistyo Tirtokusumo. Direktur Kesenian Direktotar Jendral Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisatwa.
Hal menarik lainnya adalah, baik Wayang Ajen maupun Tari Bedoyo Dorodasih ternyata dijadikan media pertunjukan untuk membangkitkan kembali tiga buah wayang golek kuno (disebut-sebut juga sebagai wayang keramat) yang telah tidur atau tidak dimainkan selama 25 tahun. Wayang ini awalnya tersimpan di kantor lama Direktorat Kesenian di Jalan Kimia Jakarta Pusat, kemudian tahun 2008 di pindahkan ke kantor Direktorat Kesenian yang berada di Gedung E komplek Depdiknas lantai 9. Ketiga Wayang Golek itu menurut analisa Wawan Ajen jenisnya adalah Wayang Golek Gambyong
Pertunjukan kolaborasi tersebut memiliki makna positif untuk menggugah kesadaran akan makna dan nilai spiritual seni wayang yang adiluhung. Membangunkan, mengandung arti menumbuhkan semangat baru dalam merevitalisasi pentingnya peranan wayang di masyarakat. Menarikan, artinya menghidupkan kembali makna wayang serta menegaskan fungsi wayang sebagai media seni pertunjukan. Mendudukan, yaitu menempatkan wayang dalam jagad pentas yang layak untuk dibanggakan sebagai kesenian bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia International.
Dilihat dari busana dan bentuk wayangnya. Wayang Golek Gambyong pernah berkembang di wilayah Yogyakarta. Namun saat ini, sudah langka sekali dipentaskan. Bahkan identitasnya, kini semakin samar. Sedangkan yang dikenal saat ini adalah Tari Golek Gambyong. Menurut Rudy Wiratama Partohardono, pemerhati wayang asal Surakarta, Wayang Gambyong sebetulnya merupakan jenis wayang golek yang lazim digunakan untuk menari "gambyong" di akhir pagelaran wayang kulit, dan sampai sekarang pun masih banyak, terutama di Yogyakarta. Bentuknya berbeda sedikit dengan wayang Menak Yogyakarta yang semua tokohnya "menutup aurat" dengan baju lengan panjang,
Sedangkan wayang golek Gambyong memakai kemben saja seperti penari gambyong umumnya, selain itu riasan wajah dan bentuknya pun mendekati realita (untuk ukuran saat itu), jadi bisa dibilang anatominya adalah anatomi Loro Blonyo, bukan anatomi wayang golek biasanya. keterangan lain menyebutkan bahwa wayang jenis ini dipentaskan untuk menggantikan fungsi gambyong yang pada zaman lebih dahulu lagi ditarikan oleh pesindennya sendiri.
Tiga wayang golek Gambyong yang akan di tampilkan terdiri dari satu wayang putri dan sepasang wayang pengantin. Kontruksi dari pertunjukan itu adalah membangunkan, menarikan dan mendudukan kembali Wayang yang lama tidak dipertunjukan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali eksistensi seni wayang di Indonesia. Kontruksi ini akhirnya menjadi simbol spiritual bagi penonton untuk menggali serta mengingatkan akan fungsi wayang dan kandungan filosofisnya.
Dilihat dari fisiknya, Rudy mendukung pada pendapat Wawan. Dirinya mendeskripsikan ketiga wayang yang berhiaskan intan, badan diperada emas, bentuk kepala bulat torak, ukiran telinga realistis, posisi jari "ngrayung" seperti pada tarian Jawa, dan proporsi tangan sampai paha, diperkirakan berasal dari Jawa Tengah pedalaman (mungkin Solo atau Yogya), bukan dari Pesisir Lor. Perhiasan mewah yang mengghiasi wayang golek itu diperkirakan hasil sentuhan bangsawan pemiliknya. Dan mayoritas bangsawan yang memiliki sentuhan ”nyeni" itu berada di daerah sentra-sentra kebudayaan keraton macam Solo dan Yogya.
Wayang Ajen dan Tari Bedoyo Dorodasih
Pertunjukan Membangunkan Wayang Keramat dikemas dalam bentuk ritual. KP Sulistyo membuka ritual dengan Tari Bedoyo Dorodasih. kemudian Wawan Ajen bersama dua orang catriknya, menerima wayang dari KP Sulistyo dan membawa wayang keramat ke jagat alit. Gununganpun di cabut dan Wawan menampilkan wayang maktal terlebih dulu unutk menari bersam KP Sulistyo. Setelah itu ketiga wayang mulai di ibing keun. Terakhir, adegan dipungkas dengan sawer kembang 7 warna oleh KP Sulistyo, dan Wawan pun menutupi ketiga wayang itu dengan kain putih.
KP. Sulistyo Trtokusumo, selain menjabat sebagai Direktur Kesenian di Dirjen Nilai Budaya seni dan Film, juga seniman tari yang karyanya dikenal kritis terhadap pemerintah. Padahal KP. Sulistyo pernah menjadi penari di Istana Negara era Presiden Soeharto. Sejak berkiprah menjadi koreografer, ia sudah membuat 10 karya. Karya yang paling berkesan dan kerap dipertunjukkan hingga ke luar negeri adalah berjudul ‘Panji Sepuh’ yang dibuat tahun 1993. Kisahnya, lagi-lagi soal kesepuhan pemimpin yang seharusnya mengayomi masyarakat. Gelar Kanjeng Pangeran diberikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada 28 Juli 2008 di Solo. Karena Sulistyo yang dilahirkan di Kota Solo, 6 Juli 1953, dianggap telah melestarikan nilai-nilai kebudayaan leluhurnya.
Sedangkan Wayang Ajen yang diciptakan oleh Wawan Gunawan dan Arthur S. Nalan tahun 1996 ini memiliki prinsip dinamis dalam mengembangkan kreatifitasnya. Berangkat dari pemahaman tradisi Wayang Golek sunda, kelompok ini selalu berusaha untuk menyelaraskan paradigma antara ketradisian dan kekinian. Wawan sebagai kreator dan dalang, tidak fanatik untuk membatasi eksplorasi Wayang Ajen bergaul dengan beragam seni nusantara. Wayang Ajen pun merupakan kelompok Kesenian Wayang yang sering diundang tampil di luar negeri membawa misi budaya Indonesia.
Pertunjukan yang berdurasi 30 menit itu mendapat sambutan hangat dari seluruh penonton yang memenuhi Sasana Adirasa. Kendati sederhana, namun makna yang terkandung dijadikan bahan seminar peserta malam Anggoro Kasih. Wayang Ajen sebagai penampil, lebih memaknai pertunjukan sebagai peristiwa seni budaya yang khas karena baru pertama kali tampil dengan konsep pagelaran seperti itu, namun hal tersebut juga menjadi upaya untuk mewujudkan misi Wayang Ajen sebagai Wayang Multikultur. Lain halnya dengan penganut Kepercayaan, pagelaran itu memiliki makna spiritual yang berkaitan erat dengan keyakinan yang mereka anut.
Suasana ritual memang telah terbentuk dengan penataan artistik yang menjadi setting panggung. Kemenyan, kembang 7 warna, berbagai sesajen, pelita janur, dan pernak-pernik ritual lain yang membuat suasana terasa semakin sakral. Hal itu memang sengaja dibangun untuk menghadirkan aura kontemplatif yang menggiring penonton kedalam visi pertunjukan. Apapun tafsirnya, menggugah kesadaran untuk mencintai seni wayang adalah tujuannya.
Kolaborasi Wayang Ajen dan Tari Bedoyo Dorodasih berawal dari gagasan Wawan Ajen dan KP. Sulistyo Tirtokusumo, yang ingin mengaktualkan kembali seni wayang dalam konsep pertunjukan yang berbeda. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mempersatukan wawasan, bahwa Seni Wayang selalu memiliki ruang dan tempat yang luas. Seni Wayang akhirnya tidak menjadi dikotomi suku tertentu saja, namun dapat dimiliki oleh bangsa Indonesia yang multikultur. Sudah selayaknya semua jenis wayang di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 60 dilestarikan dan di hidupkan kembali, untuk menjadi kebanggaan sekaligus sebagai identitas bangsa Indonesia.
Penulis adalah sutradara pertunjukan ”Membangunkan Wayang Keramat”
0 Komentar untuk "MEMBANGUNKAN WAYANG KERAMAT"