WAYANG
salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di
antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran,
seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni
pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang
dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah,
pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut
penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya
asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah
berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita
wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari
karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita
itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk
menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam
pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu
yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya,
kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh
punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia
(tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di
dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar
jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam
disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau
menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.
Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir
(kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan
demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti
yang kita kenal sekarang.
Asal Usul (wayang sudah ada Sebelum Islam)
Mengenai
asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat.
Pertama, pendapat
bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para
peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil
penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat
erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan,
yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan
Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis
pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa
lain.
Pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakimpoi berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakimpoi, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakimpoi karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakimpoi berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakimpoi, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakimpoi karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya
agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar
pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang
itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan
lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran
Wayang Kulit. Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang
berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak
zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,
termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus
berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya,
mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar
cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu
masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh
keluar dari cerita pakem.
Perbedaan Wayang dalam Budaya Jawa Hindu dan Di Masa Islam
Cerita Mahabarata memang berasal dari India yang notabene adalah pemeluk
agama Hindu. Tetapi Mahabarata juga sudah dikenal di Indonesia sejak
sebelum Sunan Kalijaga menciptakan pementasan Wayang Kulit untuk pertama
kali. Pada waktu itu Sunan Kalijaga memasukkan nilai-nilai Islam ke
dalam cerita mahabarata, seperti :
1.Sebelum datangnya agama Islam,
istilah Kalimasada sudah dikenal dalam kesusastraan Jawa. Pendapat ini
antara lain dikemukakan oleh Dr. Kuntara Wiryamartana, SJ. Istilah
Kalimasada bukan berasal dari kata Kalimat Syahadat, melainkan berasal dari kata Kalimahosaddha.
Istilah Kalimahosaddha ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut jika dipilah menjadi Kali-Maha-Usaddha, yang bermakna "obat mujarab Dewi Kali".
Kakawin Bharatayuddha mengisahkan perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Korawa yang bernama Salya bertempur melawan Yudistira. Yudistira melemparkan kitab pusakanya yang bernama Pustaka Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah Kalimahosaddha sudah dikenal masyarakat Jawa sejak beberapa abad sebelum munculnya Sunan Kalijaga. Mungkin yang terjadi adalah Sunan Kalijaga memadukan istilah Kalimahosaddha dengan Kalimat Syahadat menjadi Kalimasada sebagai sarana untuk berdakwah. Tokoh ini memang terkenal sebagai ulama sekaligus budayawan di Tanah Jawa.
Dalam Versi Wayang Jawa Islam Jamus Kalimasada dalam pewayangan berupa pusaka yang berwujud kitab, Dalam cerita pewayangan, dikenal pusaka keramat milik Prabu Yudhistira.
baca Kalimasada bukan Kalimat Syahadat
2. Penanggalan yg digunakan oleh para Pandawa adalah penanggalan hijriah, sedangkan kurawa menggunakan penanggalan India (lunisolar) yg dalam 1 tahun terdapat selisih 11 hari (bisa dibuktikan berdasarkan cerita mahabarata).
3. Dewi Drupadi dalam cerita mahabarata yg asli dr India merupakan istri dari kelima pandawa (yudhistira, bima, arjuna, nakula, sadewa), sedangkan dalam mahabarata versi Indonesia merupakan istri dari Yudhistira karena dalam Islam tidak mengenal Poliandry.
Istilah Kalimahosaddha ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut jika dipilah menjadi Kali-Maha-Usaddha, yang bermakna "obat mujarab Dewi Kali".
Kakawin Bharatayuddha mengisahkan perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Korawa yang bernama Salya bertempur melawan Yudistira. Yudistira melemparkan kitab pusakanya yang bernama Pustaka Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah Kalimahosaddha sudah dikenal masyarakat Jawa sejak beberapa abad sebelum munculnya Sunan Kalijaga. Mungkin yang terjadi adalah Sunan Kalijaga memadukan istilah Kalimahosaddha dengan Kalimat Syahadat menjadi Kalimasada sebagai sarana untuk berdakwah. Tokoh ini memang terkenal sebagai ulama sekaligus budayawan di Tanah Jawa.
Dalam Versi Wayang Jawa Islam Jamus Kalimasada dalam pewayangan berupa pusaka yang berwujud kitab, Dalam cerita pewayangan, dikenal pusaka keramat milik Prabu Yudhistira.
baca Kalimasada bukan Kalimat Syahadat
2. Penanggalan yg digunakan oleh para Pandawa adalah penanggalan hijriah, sedangkan kurawa menggunakan penanggalan India (lunisolar) yg dalam 1 tahun terdapat selisih 11 hari (bisa dibuktikan berdasarkan cerita mahabarata).
3. Dewi Drupadi dalam cerita mahabarata yg asli dr India merupakan istri dari kelima pandawa (yudhistira, bima, arjuna, nakula, sadewa), sedangkan dalam mahabarata versi Indonesia merupakan istri dari Yudhistira karena dalam Islam tidak mengenal Poliandry.
4. Dalam Mahabarata asli India dewa tertinggi adalah (Syiwa, Wisnu, dan Brahma). Sedangkan dalam Mahabarata versi Indonesia terdapat karakter Dewa Ruci (dikenal dengan nama Sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Tunggal) yg merupakan dewa dari para dewa.
5. Yang menjadi ciri khas pengaruh Islam dalam pewayangan adalah diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar (Sang Hyang Ismaya) dalam cerita mahabarata versi Indonesia merupakan kakak dari dewa Syiwa. Semar dalam versi Indonesia diceritakan menolak untuk dijadikan raja dari para dewa di kahyangan dan lebih memilih untuk menjadi manusia biasa sebagai batur (pembantu) dari para pandawa. Disini diceritakan bahwa Semar jauh lebih sakti dari dewa Syiwa, setiap dewa Syiwa mau menghukum Pandawa, Semar selalu membela pandawa dan dewa Syiwa benar-benar takut apabila disuruh berhadapan dengan Semar (dalam cerita mahabarata versi Indonesia, dewa Syiwa digambarkan sebagai karakter egois yang selalu ingin menang sendiri)
6. Pada sekitar abad 15, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Budaya Jawa dan Pewayangan Sebelum Islam
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa
Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang,
legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah
Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa
pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau
Jawa.
Nama-nama candi peninggalan kerajaan Kalingga dan nama tempat yg terletak di dataran tinggi Dieng di Kab Wonosobo dan Banjarnegara semuanya berasal dari dunia pewayangan. misalnya :
Nama-nama candi peninggalan kerajaan Kalingga dan nama tempat yg terletak di dataran tinggi Dieng di Kab Wonosobo dan Banjarnegara semuanya berasal dari dunia pewayangan. misalnya :
1. Candi Gatotkaca, candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi (istri arjuna), candi Puntadewa (yudhistira), candi Sembadra (istri arjuna), candi Bima.
2. Kawah Candradimuka (bener kawah), Sumur Jalatunda (kaldera dengan tebing yg curam dan danau di dasarnya)
3. Goa Semar (goa vulkanik dengan bau belerang yg sangat menyengat, serasa berada di puncak gunung Merapi), telaga Merdada (danau vulkanik)
Tokoh dan Penceritaanya Wayang setelah Islam
1. Dropadi
Jika di film Mahabarata versi Jwa Hindu (India), Dropadi merupakan istri dari kelima pandawa.
Jika di film Mahabarata versi Jwa Hindu (India), Dropadi merupakan istri dari kelima pandawa.
Tapi, jika di versi Jawa Islam, Dropadi merupakan istri dari
Yudhistira seorang. Hal ini dikarenakan film versi Jawa Islam yang melarang Poliandri ( Istri dengan banyak suami).
2. Srikandi
Srikandi merupakan seorang tokoh dalam film Mahabarata yang lahir sebelum masa menjadi seorang wanita. Kemudian, karena cintanya di tolak oleh Bisma Shikandi pun bertapa dengan maksud ingin membalas dendam kepada Bisma. Ia pun dilahirkan kembali sebagai Shikandi wanita yang dibesarkan seperti laki-laki.
Srikandi merupakan seorang tokoh dalam film Mahabarata yang lahir sebelum masa menjadi seorang wanita. Kemudian, karena cintanya di tolak oleh Bisma Shikandi pun bertapa dengan maksud ingin membalas dendam kepada Bisma. Ia pun dilahirkan kembali sebagai Shikandi wanita yang dibesarkan seperti laki-laki.
Ia dibesarkan layaknya seperti laki-laki bahkan semua orang
mengenalnya sebagai laki-laki, bahkan ia juga menikah dengan cara
menukar alat kelaminnya dengan seorang pria.
Namun, ternyata Bisma mengenali Shikandi yang terlahir lagi sebagai
Shikandi dan bermaksud utnuk membunuhnya. Mengetahui hal ini Arjuna pun
bergegas untuk melawan Bisma dan akhirnya Bisma mati di tangan Arjuna
dengan bantuan Shikandi.
Jika dalam versi Wayang Jawa Islam, Shikandi terlahir sebagai anak wanita yang
dilatih memanah dan bersenjata layaknya seorang pria. Shikandi pun
menjadi prajutit wanita yang selalu ikut berperang.Dalam versi Jawa Islam
Shikandi lah yang berhasil menewaskan Bisma dan dirinya tewas akibat
dipenggal kepalanya ketika sedang tidur.
3. Gandari
Jika Mahabarata versi Jaw Hindu, Gandari diceritakan tetap sayang pada pandawa walaupun bukan anaknya sendiri.
Jika Mahabarata versi Jaw Hindu, Gandari diceritakan tetap sayang pada pandawa walaupun bukan anaknya sendiri.
Tapi, jika di versi Jawa Islam,
Gandari diceritakan sangat membenci pandawa dan membesarkan pandawa
dengan penuh kebencian.
4. Punakawan
Pandawa Mahabarata dalam versi Jawa diasuh oleh Punakawan yaitu semar,gareng,petruk dan bagong, sedangkan kurawa diasuh oleh togog. Hal ini merupakan penyesuaian dengan budaya Jawa Islam.
Pandawa Mahabarata dalam versi Jawa diasuh oleh Punakawan yaitu semar,gareng,petruk dan bagong, sedangkan kurawa diasuh oleh togog. Hal ini merupakan penyesuaian dengan budaya Jawa Islam.
5. Gatotkaca dan Tiwikrama
Gatotkaca dalam versi India tidak memiliki keahlian terbang, hanya Tiwikramalah yang bisa terbang.
Gatotkaca dalam versi India tidak memiliki keahlian terbang, hanya Tiwikramalah yang bisa terbang.
Tapi, jika di versi Jawa Gatotkaca
diceritakan bisa terbang, memiliki otot kawat dan tulang besi, sedangkan
Tiwikrama memiliki penglihatan dan pendengaran yang super.
Ironi kebudayaan di ubah untuk kepentingan agama mencapai tujuan Islamisasi masyarakat Hindu Jawa.
1 Komentar untuk "Asal Usul dan Pengubahan Cerita Wayang Jawa Hindu ke versi Jawa Islam"
Sentimen terhadap Islam benar-benar telah melupakan sejarah betapa Sidarta Gautama berusaha keras menyadarkan kekeliruan beragama umat Hindu Lebih-lebih kejawen..