Rahayu,
Setahun yang lalu tepatnya pada tanggal 12 April 2007, Pinisepuh
Paguyuban Penghayat Kapribaden – Bp. Dr. Wahyono Raharjo GSW., MBA –
meninggal dunia. Keberadaan beliau tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan Paguyuban Penghayat Kapribaden karena beliaulah yang
membidani kelahirannya pada tahun 1978 untuk melaksanakan perintah dari
Sesepuh Kapribaden, Romo Herucokro Semono. Maka sejak itulah
kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari perjuangannya melestarikan Laku
Kapribaden dan memperjuangkan agar pemerintah memberikan hak-hak sipil
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME sesuai jatidirinya sebagai
penghayat.
Sekarang, ketika kami kilas balik perjuangan beliau, ternyata setelah
hampir 40 tahun (sejak tahun 1971) beliau mengemban tugas dari Romo
Herucokro Semono dengan penuh keiklasan, maka sejak 2 (dua) tahun
sebelum beliau meninggal, adalah benar-benar puncak perjuangannya yang
kami rasa adalah sebagai wujud kepatuhannya dalam menjalankan petunjuk
Urip-nya.
Seperti sudah mendapat petunjuk dari Gusti Ingkang Moho Suci, maka
sejak awal tahun 2005, beliau sudah mulai mengingatkan kepada Pengurus
Pusat dan Daerah (baik secara lisan maupun sms) untuk
mencari/mempersiapkan penggantinya di Paguyuban. Selain itu beliau juga
membangkitkan semangat seluruh warga Kapribaden untuk turut
“membesarkan” nama Romo Herucokro Semono dan paringannya yaitu Laku
Kapribaden dengan mengadakan peringatan 50 Th Turunnya Wahyu Panca Gaib
(Tahun Emas) secara besar-besaran di Jakarta agar keberadaan Kapribaden
gaungnya dapat didengar secara nasional.
Bersamaan dengan persiapan Peringatan 50 th Turunnya Wahyu, beberapa
tokoh agama dan tokoh masyarakat mengajak beliau yang kebetulan juga
sebagai Presidium BKOK (Badan Kerjasama Organisasi-organisasi
Kepercayaan) untuk bergabung dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan
berkepercayaan dimana kemudian terbentuklah BPKBB (Badan Perjuangan
Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan) dan beliau diminta menjadi Ketua
Umum.
Pada saat Peringatan 50 Th Turunnya Wahyu Panca Gaib (Tahun Emas)
dilaksanakan di Gedung Tennis Indoor Senayan Jakarta pada tanggal 13
malam 14 Nopember 2005, yang mempersembahkan pagelaran wayang kulit
dengan dalang Ki Manteb Sudarsono, maka harapan beliau untuk
menggaungkan keberadaan Romo Herucokro Semono dan Kapribaden dapat
terlaksana dengan hadirnya perwakilan dari warga Kapribaden dari
berbagai daerah di Indonesia, Instansi terkait, para tokoh kepercayaan,
tokoh agama dan para penonton umum yang hadir untuk menyaksikan
pagelaran wayang kulit.
Selanjutnya kami mencatat bahwa sejak tanggal 10 Desember 2005 s/d tanggal 10 Desember 2006, adalah puncak perjuangannya karena kegiatannya betul-betul penuh dalam hal menyuarakan kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia.
Selanjutnya kami mencatat bahwa sejak tanggal 10 Desember 2005 s/d tanggal 10 Desember 2006, adalah puncak perjuangannya karena kegiatannya betul-betul penuh dalam hal menyuarakan kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia.
Puncak perjuangan itu dimulai pada tanggal 10 Desember 2005 dimana
bersama masyarakat lintas agama, beliau mengajak warga penghayat di
Jabodetabek untuk turut serta dalam Aksi Damai memperingati Hari Hak
Asasi Manusia se Dunia di depan Istana Presiden. Lalu kegiatan terus
berlanjut dengan permintaan menjadi narasumber di seminar-seminar dan
wawancara radio/media cetak, yang puncaknya adalah perjuangannya di
ruang sidang DPR RI yang kemudian berhasil karena keberadaan penghayat
kepercayaan diakomodir di dalam UU Administrasi Kependudukan sehingga
penghayat dapat memperoleh KTP tanpa harus mengakui salah satu agama dan
dapat mencatatkan perkawinannya di Catatan Sipil.
Dan tanggal 10 Desember 2006 tampaknya merupakan hari terakhir di
puncak perjuangan beliau secara fisik dalam memperjuangkan hak-hak sipil
penghayat kepercayaan, karena malam harinya beliau jatuh sakit setelah
wawancara dengan SCTV di rumah beliau (menanggapi pengesahan UU Adminduk
oleh DPR RI).
Namun walau secara fisik beliau lemah dan tidak dapat bepergian, namun
beliau tetap menerima dan melayani permintaan para kadhang yang meminta
bantuan moril maupun spiritual. Ketika beliau diminta oleh pihak
Direktorat Kepercayaan untuk memberikan saran-saran dalam menyusun draft
PP untuk pelaksanaan UU Adminduk dan menyampaikan makalah pada
Sarasehan Malam Anggoro Kasih di TMII bulan Maret 2007, beliau juga
masih bersedia memberikan buah pikirannya walau untuk
mengetik/membacakannya beliau minta salah satu kadhang untuk
membantunya.
Pesan terakhir beliau kepada warga Kapribaden yang beliau tulis sendiri
dengan menggunakan Laptop di Rumah Sakit Tebet, adalah Tata Cara
Membangun Sanggar Agung Kapribaden di Purworejo untuk melestarikan
Paringan dan Wulang Wuruk Romo Herucokro Semono (Laku Kapribaden). Pesan
terakhir beliau tersebut membuktikan bahwa sampai dipenghujung
nafasnyapun beliau masih terus melaksanakan tugas yang diberikan oleh
Romo Herucokro Semono untuk melestarikan Laku Kapribaden.
Semoga catatan pendek ini dapat memberikan gambaran terhadap sosok
Pinisepuh Paguyuban Penghayat Kapribaden dan menginspirasi akan makna
sebuah kepatuhan kepada ”Urip” dan kepada Sesepuh yang dihormati dan
dicintainya.
Teguh, Rahayu, Slamet
Jakarta, 12 April 2008
Pengurus Pusat
Paguyuban Penghayat Kapribaden
Paguyuban Penghayat Kapribaden
0 Komentar untuk "Memperingati Satu Tahun Wafatnya Bapak Dr. Wahyono Raharjo GSW., MBA – Pinisepuh Paguyuban Penghayat Kapribaden"