Tirta Perwitasari adalah simbol
kebeningan jiwa; sesuatu yang menjadi tujuan para pejalan spiritual. Diraihnya tirtaperwitasari menjadi dasar
untuk perjumpaan diri kita (baca = kesadaran manunggal/nyaiwiji) dengan Sang
Sukma Sejati, manifestasi dari Hyang Yaktining Hurip di dalam diri kita. Sesuai filsafat Neng Ning Nung Nang, saat seseorang telah menggapai tahapan jiwa
yang hening dan wening, maka ia akan dianugerahi kasinungan, dan menjadi orang
yang menang: ditandai dengan kehidupan ayem tentrem, bagyo atau bahagia, tercukupi
kebutuhan lahir bathin.
Mengevaluasi perjalanan hidup saya
pribadi, saya menemukan bahwa acapkali saya jatuh terjerembab, terjebak dalam
prahara. Pangkalnya adalah keceroban,
atau ketidakhati-hatian. Berangkat dari
membaca keadaan diri demikian, saya punya tekad kuat untuk memperbaiki diri,
dan menjalankan apa yang dipesankan leluhur saya, “Ngati-ngati, sampurnakno lakumu kanthi bener. Eyang mangestoni amrih katekan sedyamu, Ngger”. Kehidupan yang serba baik, adalah buah dari
perjuangan spiritual yang tekun dan dilaksanakan dengan cara yang benar. Dan sejauh pengalaman, menjalankan laku
spiritual ataupun tirtayatra mengikuti ajaran leluhur sebagaimana tertera dalam
lontar kuno, membutuhkan kesiapan fisik, kebulatan tekad, dan juga kesiapan
biaya. Itu mengajari kita, bahwa untuk
meraih hal yang istimewa, memang harus dengan perjuangan keras, tidak bisa
enak-enakan dan asal-asalan.
Terkait dengan tekad itu, saya kembali
mendapatkan anugerah, untuk bisa menjalankan tirtayatra dengan Mas Heru
Dipastraya. Kali ini, kami ditemani Pak
I Wayan Puja Astawa, Mas Joko, Bli Putu, plus Mas Dar – yang cekatan mengemudi
dan sangat sabar menunggui kami. Kami
berangkat dari Solo, dengan tujuan Curug Panglebur Gongso, di kaki Gunung
Ungaran. Tapi, kami melewati Selo,
sehingga kami terlebih dulu sowan ke Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro, dan
karena melewati Kranggan, Temanggung, kami juga mampir ke makam leluhur-leluhur
saya yang sumare di situ: Kyai Rangga Pronodirjo, Raden Rangga Mangundirjo, dan
Raden Ayu Mangundirjo.
Di
Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro
Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro
terletak di Desa Selo, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Kita bisa mencapai tempat ini dari arah
Boyolali ataupun Magelang. Rombongan
kami tiba di situ siang hari. Kuncen di
situ bernama Mbah Tarso; sayang sekali saat itu beliau sedang pergi ke Semarang
sehingga kami tak sempat bertemu. Namun,
beruntung kami bisa masuk ke dalam komplek petilasan karena tidak dikunci, dan
bahkan membuka pintu cungkup, karena Mas Dipa punya koleksi kunci berbagai
petilasan di Jawa.
Memasuki gerbang, kaki kita akan bertemu
dengan tanah berwarna hijau karena berlapis hijau. Saat itu matahari cukup terik, tapi, suasana
di petilasan tersebut sangatlah sejuk. Dan,
terkenanglah saya pada peristiwa 2008: semuanya berawal dari tahun
tersebut. Saat itu saya mulai “perjalanan
kembali”. Setelah saya sebelumnya lupa
pada leluhur dan ajarannya, saya seolah dipanggil dan digerakkan untuk kembali
nguri-uri budaya leluhur. Salah satunya
dengan intensif melakukan tirtayatra. Petilasan
Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah tempat pertama saya menjalankan tirtayatra,
setelah saya mendapatkan petunjuk dari Romo Pujiyono, penghayat Pransuh, kolega
Pakde saya.
Ki Ageng Kebo Kanigoro sendiri adalah
salah satu putra dari Eyang Adipati Pengging Sepuh yang menikah dengan putrid Prabu
Brawijaya V, Eyang Retno Pembayun (petilasannya ada di Pengging), beliau kakak
dari Ki Ageng Kebo Kenongo (petilasannya di Pengging dan Butuh) dan Ki Ageng
Kebo Amiluhur (petilasannya juga di
Pengging, satu komplek dengan Eyang Pengging Sepuh dan Eyang Retno Pembayun).
Ki Ageng Kebo Kanigori adalah sosok
pandhito yang konsisten memegang teguh jalan hidupnya. Beliau memilih untuk mengembara, dan
membiarkan kepemimpinan Pengging di tangan adiknya, Ki Ageng Kebo Kenongo. Tapi, walau beliau memilih jalan sebagai
pandhito yang menyingkir dari dunia kepemerintahan, karena beliau dianggap
memiliki potensi mengganggu stabilitas Demak – karena posisinya sebagai pewaris
trah Majapahit – beliau termasuk yang diburu.
Selo adalah tempat beliau bertahan. Dan di sanalah beliau menunjukkan keperwiraan
mempertahankan negeri dan budaya luhurnya dari agresi pihak luar. Sikap inilah yang layaknya diwarisi oleh
putra-putri Nusantara.
Kami, bersiap-siap sebelum mengadakan
proses menghaturkan sembah bakti di petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro. Mas Dipa mempersiapkan sesaji terlebih
dahulu, sementara kami masing-masing menyiapkan diri kami masing-masing agar
betul-betul bisa terlibat dalam momen sakral ini. Sesaji kali ini, selain bunga 3 warna (mawar
merah, mawar putih dan kenanga), minyak wangi, uang kertas dan uang receh, juga
adalah pisang raja. Dan pisang raja yang
disajikan sesaji adalah pisang raja tadah.
Pisang raja tadah ini ada pada posisi paling atas pada tandan pisang,
sehingga kita perlu melihat langsung saat membelinya, dan langsung mengirisnya
dari tandan pisang itu sehingga tidak keliru.
Ia adalah simbol dari dua tangan yang menangkup – sebuah pralambang
menyembah yang tulus).
Setelah sesaji siap, kami memulai prosesi. Mas Dipa yang membuka, lalu dilanjutkan oleh
Pak Wayan, yang membaca beberapa mantra, berisi pernyataan sembah bakti kepada
Gusti Yang Maha Suci, kepada para dewa yang merupakan manifestasi Gusti di
semesta ini, kepada para pangreh gaib di 8 arah, dan kepada para leluhur; juga
berupa doa agar diri kita mendapatkan anugerah berupa cahaya yang menerangi
jiwa, dan kehidupan yang serba baik.
Syahdu, menggetarkan, sekaligus menenteramkan. Demikian yang bisa saya rasakan.
Bagi yang papasunya telah peka, niscaya
bisa terlihat kehadiran Eyang Kebo Kanigoro.
Dan pagi yang belum peka secara visual, setidaknya bisa merasakan
kehadiran beliau, ditandai dengan angin yang lembut tapi terasa dingin sekali.
Dalam diri saya pribadi, setelah sowan
ke Petilasan Eyang Kebo Kanigoro ini, muncul spirit yang makin kuat untuk
nguri-uri budaya luhur dari negeri ini, dan menjadi bagian dari kekuatan
semesta yang setahap demi setahap tengah mewarnai kembali negeri ini dengan
kawicaksanan yang sejatinya telah terbangun sejak puluhan ribu tahun yang
lampau. Saya teringat visi saat semedi
di Tuk Bima Lukar, Dieng, “Perempuan dan lelaki berduyun-duyun, membawa sesaji
di pagi yang berkabut, diiringi lantunan kidung, dilatari gunung-gunung
berwarna hijau yang agung”.
Tentang
Sesaji
Dalam setiap tirtayatra, kita disarankan
menggunakan sesaji. Demikianlah yang
tertera dalam lontar-lontar kuno. Dan
sesaji tersebut, dalam setiap tempat tirtayatra, khususnya yang memiliki yoni
(manifestasi energy) berkekuatan tinggi, memiliki perbedaan-perbedaan
tertentu. Tapi, secara umum sesaji
tersebut berupa bunga-bungaan, buah-buahan, minyak wangi, dan uang. Di beberapa tempat, ada sesaji berupa makhluk
hidup seperti kerbau atau kambing. Saya
pribadi, memilih apa yang diajarkan oleh pamomong saya, untuk tidak
mempergunakan sesaji makhluk hidup.
Sesaji sendiri simbol persembahan yang
tulus kepada Hyang Murba Wasesa, kepada pangreh gaib, para leluhur, serta bukti
sih katresnan kepada setiap titah urip yang ada di muka bumi termasuk yang
tidak katon/tidak memiliki raga kasar seperti manusia. Hewan itu, digantikan oleh minyak wangi, yang
berfungsi sebagai Gandha (heharuman) yang disukai oleh pangreh ghaib dan titah
alus lainnya.
Saya sendiri, memandang, baik selain
memiliki alasan-alasan etis spiritual, sesaji ditetapkan oleh para leluhur
menjadi bagian dari upacara sembah bakti kepada Gusti, para dewa dan leluhur, karena
memiliki dampak bagi dinamika ekonomi.
Semakin sering diadakan upacara yang mempergunakan sesaji berupa bunga,
buah-buahan dan lainnya, itu menciptakan pasar tersendiri yang semestinya bisa
mendorong kemakmuran bagi setiap petani produsen bunga dan buah. Bukankah
negeri ini merupakan negeri agraris?
Sungguh jenius leluhur yang merancang sistem ritual yang bisa
bersentuhan dengan kepentingan memajukan ekonomi di negeri ini. Karena itulah, ideal jika lewat berbagai
upacara yang mempergunakan sesaji, dipacu dinamika ekonomi lokal, dan itu bisa
terjadi ketika apa yang disajikan (buah, bunga, dupa, minyak) memang berasal
dari bumi Nusantara sendiri.
Curug
Pangleburgongso
Perjalanan kami selanjutnya adalah ke
Curug Pangleburgongso – setelah sebelumnya singgah untuk sowan ke pesarean
leluhur saya di Kranggan, Temanggung.
Untuk mencapai Curug Pangleburgongso, kita bisa masuk dari arah
Bandungan, dari Ungaran, atau dari Kranggan.
Curug ini terletak di Kecamatan Sumowono, perbatasan antara Unggaran dan
Kendal.
Gunung Ungaran sendiri memang memiliki
keistimewaan karena memiliki curug di 8 arah mata anginnya, yaitu Curug
Gonoharjo di Barat, Curug Argosumo di Barat Laut, Curug Benowo di Utara, Curug
Lawe di Timur Laut, Curug Semirang di Timur, Curug Namaskara di Tenggara – yang
konon bisa tembus ke Sendang Semangling, Curug Tujuh Bidadari di Selatan, dan
Curuh Pangleburgongso sendiri di Barat Daya.
Mata air utama curug-curug ini berada di Ranu Panglukat.
Tentang Curug Pangleburgongso, bisa
dijelaskan bahwa sesuai namanya, Curug ini adalah tempat di mana kita bisa
mengupayakan dileburnya segenap dosa kita dan disingkirkannya mala, lara, kala,
wighna (malapetaka, sakit, kesialan, dan halangan). Tapi, tentu saja itu tidak didapat secara
sembarangan semisal dengan asal mandi di situ.
Melainkan harus melalui laku khusus dengan segala uborampenya. Dikaitkan dengan pewayangan, Curug ini
merupakan tempat bertapa Aditya Kumbakarna saat dia diusir oleh kakaknya,
Rahwana.
Bagi para pelaku Tirtayatra,
Pangleburgongso yang baru pertama kali kesitu, terdapat semacam pepeling. Sebagai simbol tegur sapa kepada warga yang
ada di sekitar curug, begitu memasuki desa di mana curug itu berada, kita harus
menegur warga desa itu dan bertanya di mana curug itu berada. Walau, bersama rombongan kita sudah ada yang
tahu – dia harus diam saja tidak boleh member tahu. Maka, walau Mas Dipa sudah tahu arah ke Curug
Pangleburgongso, begitu sampai sekitar lokasi curug dia diam, dan yang berusaha
menemukan denahnya adalah salah satu dari anggota rombongan yang lain. Dalam hal ini, Mas Jokolah yang kebagian
bertanya kepada warga desa. Sempat
sedikit nyasar, akhirnya sampailah kami ke Curug Pangleburgongso.
Indah
sekali curug ini. Dan yang istimewa, curug ini juga berada di
tempuran, yaitu pertemuan dua sungai.
Dalam khazanah spiritual Jawa, tempuran atau pertemuan dua sungai,
adalah salah satu tempat yang paling istimewa untuk ritual kungkum
(berendam). Selain itu, curug ini juga memiliki Yoni yang kuat. Mirip
dengan Telaga Madirda.
Setelah istirahat sejenak sambil
menyiapkan sesaji, kami memulai ritual di dalam gua di balik air terjun. Seperti biasa, Mas Dipa yang membuka prosesi,
lalu dilanjutkan pembacaan mantra oleh Pak Wayan. Suasana yang sakralpun hadir, jiwa tergetar
oleh lantunan mantra dari Pak Wayan, lalu kami tenggelam dalam hening masing.
Setelah proses di dalam gua, kami semua
kungkum di sekitar air terjun. Saya
pribadi, betul-betul meniatkan proses kungkum itu sebagai proses untuk
membersihkan diri, memurnikan diri.
Sungguh damai dan tentram kungkum di curug ini. Maknyuss…jika meminjam istilah ahli kuliner
Bondan Winarno.
Puas kungkum dan berpakaian kembali,
kami mengikuti arahan Mas Dipa untuk melemparkan botol-botol berisi minyak yang
telah dibungkus daun, sebagai simbol membuang malapetaka, sakit, kesialan, dan
halangan. Dan berikutnya, kami
bersama-sama meditasi di sebuah cekungan di balik batu, yang ditutupi akar
pohon jati yang sangat besar, sehingga membentuk semacam gua. Sekali lagi, kami hanyut dalam sakralitas
semedi dan hening yang menghanyutkan.
Demikianlah, tuntaslah prosesi
tirtayatra di Curug Pangleburgongso.
Dengan jiwa yang ringan kami melangkah pulang, dengan janji suatu saat
kami akan kembali lagi.
Saya berpisah dengan rombongan di
Salatiga. Mas Dipa dan teman2 lain terus
ke Surakarta, sementara saya menginap semalam di rumah Pak Adi, salah satu
kadang putra wayah Kaki Semar, dan keesokan harinya kembali ke Kuningan.
Semoga bermanfaat catatan ini. Rahayu sagung dumadi.
http://setyochannel.blogspot.co.id/2012_05_01_archive.html
0 Komentar untuk "PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI (1)-Danyang"