Edisi
Peluncuran , 03 AGUSTUS 2016
Laporan
Hasil Pemantauan
Tentang
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan
dalam
Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Bagi
Kelompok Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama
Leluhur
dan Pelaksana Ritual Adat
Page 2 of 135
2
Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas
Perempuan)
Jalan
Latuharhary No.4B Menteng Jakarta 10310
Telepon
: 021 3903963
Faksimili
: 021 3903922
Email
: mail@komnasperempuan.or.id
Web-site
: www.komnasperempuan.or.id
ISBN:
1.
Hak-Hak Konstitusional 2. Konstitusi 3. Diskriminasi 4. Kekerasan
terhadap
Perempuan 3. Kebebasan Beragama
EDITOR
:
Andy
Yentriyani
Tim
Penulis:
Andy
Yentriyani
Dahlia
Madanih
Dewi
Kanti
Dian
Jenny
Pera
Sopariyanti
Nia
Syarifudin
Syamsul
Ma’arif
Tim
Dokumentator:
Dewi
Kanti
Dian
Jenny
Endek
Eveline
Mauboy T
Hemy
Koapaha
Mahniwati
Muharam
Ramlah
Rukmini
Paata Toheke
Sarbini
Tenri
Bibi dan
Page 3 of 135
3
Tim
Diskusi:
Andy
Yentriyani
Azriana
Husein
Muhammad
Indraswari
Khariroh
Ali
Kunthi
Tridewi
Nina
Nurmila, Ph.D
Terima
Kasih Kepada: ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), Masyarakat Adat
Bayan
Wetu
Telu Lombok Utara Nusa Tenggara Barat (NTB), Masyarakat Adat Botti Nusa
Tenggara
Timur
(NTT), Masyarakat Adat Jinitiu NTT, Masyarkat Adat Tolotang Sulawesi Selatan
(Sulsel),
Masyarakat Adat Kajang Bulukumba Sulsel, Komunitas Bissu di Pangkep Sulsel,
Kelompok
Aliran Kepercayaan Sapta Darma (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur),
Masyarakat
Adat Musi Manado Sulawesi Utara, Masyarakat Adat Ngatatoro Palu Sulawesi
Tengah,
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Kuningan Jawa Barat, dan Masyarakat adat
Kaharingan
Kalimantan Tengah.
Cetak
Tahun: 2016
©
Komnas Perempuan
Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memegang
penuh
hak cipta atas publikasi ini. Semua atau sebagian dari publikasi boleh
digandakan
untuk
segala pendidikan pemajuan hak-hak konstitusional warga negara, upaya
menghapuskan
diskriminasi, khususnya perempuan, dan demokrasi. Dalam
menggunakannya,
mohon menyebutkan sumber dan menginformasikan kepada Komnas
Perempuan.
Program
dan publikasi ini dapat terselenggara atas dukungan kedutaan Besar Norwegia.
Pendapat
yang diungkapkan dalam manual ini sepenuhnya tanggung jawab Komnas
Perempuan
dan tidak mewakili pendapat atau posisi lembaga dana yang membantu
perencanaan,
pengembangan dan pelaksana program ini.
Page 4 of 135
4
DAFTAR
ISI
Ringkasan
Eksekutif
BAB
I Pendahulan
1.1.
Latar Belakang
1.2.
Tujuan
1.3.
Kerangka Pemantauan
1.4.
Metodologi dan Tahapan
1.5.
Pemantauan sebagai Ruang Penguatan Komunitas Korban
1.6.
Cakupan Wilayah dan Waktu serta Tim Pemantau
1.7.
Sistematika Laporan
Bab
II Temuan Pemantauan
2.1.
Temuan dalam Angka
2.1.1.
Karakteristik Korban dan Pelaku
2.1.2.
Karakteristik Kasus
2.2.
Temuan Spesifik Kekerasan
2.2.1.
Kekerasan Psikologis: Stigmatisasi/Pelabelan dan Intimidasi
2.2.2.
Kekerasan Seksual: Pemaksaan Busana dan Pelecehan Seksual
2.2.3.
Kekerasan Fisik: Penganiayaan dan Pembunuhan
2.3.
Temuan Spesifik Diskriminasi
2.3.1.
Diabaikan dalam Administrasi Kependudukan
2.3.2.
Dibedakan dalam Akses Pekerjaan dan Manfaatnya
2.3.3.
Dihambat Mengakses Bantuan Pemerintah
2.3.4.
Dibedakan dalam Akses Pendidikan
2.3.5.
Pelarangan Organisasi Keyakinan, Kesulitan Memiliki Rumah Ibadah dan
Hambatan
dalam Beribadah
2.3.6
Dihalangi Akses Pemakaman
Bab
III Dampak, Peran Negara dan Konsekuensinya pada Pemenuhan Hak Konstitusional
dan
Hak Asasi Manusia
3.1.
Dampak yang Dialami Perempuan Korban
3.1.1.
Dampak Fisik
3.1.2.
Gangguan Reproduksi
3.1.3.
Dampak Psikis
3.1.4.
Dampak Ekonomi
3.1.5.
Dampak Hukum
3.1.6.
Dampak Sosial
3.2.
Peran Negara
3.2.1.
Kebijakan dan Institusi yang Melembagakan Diskriminasi
3.2.2.
Aparat sebagai Pelaku Diskriminasi dan Kekerasan
Page 5 of 135
5
3.2.3.
Pembiaran oleh Aparat
3.3.
Konsekuensi pada Hak Konstitusional dan HAM
3.3.1.
Pengingkaran terhadap Hak Konstitusional
3.3.2.
Penggerusan hak Kelompok Minoritas
3.3.3.
Pengurangan Penikmatan Hak-hak Perempuan
3.4.
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Penghayat Kepercayaan dan Penganut Agama
Leluhur
sebagai Tindak Penyiksaan
Bab
IV Perkembangan Advokasi: Peluang dan Tantangan Ke Depan
4.1.
Satu Setengah Dekade Reformasi, 1998 -2014
4.1.1.
Harapan Perubahan dan Realitanya
4.1.2.
Advokasi Internasional dan Capaiannya
4.1.3.
Negara yang Gamang
4.2.
Nawacita dan Jejak Pelaksanaannya Hingga April 2016
4.2.1.
Nawacita dan Janji Mengatasi Persoalan Pokok Bangsa
4.2.2.
Tantangan Pelaksanaan Nawacita
4.2.2.1.
Penolakan Pemakaman
4.2.2.2.
Pembakaran Rumah Ibadah
4.2.2.3.
Pelarangan Aliran Kepercayaan
4.2.2.4.
Kebijakan Identitas Anak dalam Lingkungan Pendidikan
4.3.
Jelang Dua Dekade Reformasi: Harapan Perubahan itu Masih Ada
4.3.1.
Perbaikan Akses Atas Pekerjaan bagi Penghayat
4.3.2.
Kantor Staf Presiden dan Percepatan Pelaksanaan Agenda Prioritas
4.3.3.
Kaukus Pancasila: Penguatan Peran Parlemen dalam Penyelesaian Kasus
Intoleransi,
termasuk terhadap Penghayat dan Penganut Agama Leluhur
4.3.4.
Keteguhan Komunitas Korban dan Masyarakat Aipil, serta Keberpihakan
Lembaga
HAM Nasional
4.3.5.
Simpulan Tantangan dan Peluang Advokasi Menuju 2 Dekade Reformasi
Bab
V Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
5.2.
Rekomendasi
Page 6 of 135
6
Ringkasan
Eksekutif
Tindak
kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan terhadap penghayat kepercayaan,
penganut
agama leluhur dan pelaksana ritual adat menyebabkan kesengsaraan fisik, psikis,
dan
juga gangguan reproduksi pada korban. Dampak ekonomi, sosial dan hukum juga
ditanggung
oleh korban dalam waktu yang panjang. Seluruh pengalaman itu menyebabkan
mereka
mengalami penderitaan yang hebat akibat merasa digerus rasa kemanusiaannya,
menderita
karena kehilangan perlindungan atas kehormatan dan martabatnya. Jelasnya,
tindak
kekerasan dan diskriminasi tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak
Konstitusional,
penggerusan hak kelompok minoritas, pengurangan penikmatan hak-hak
perempuan
atas dasar kesetaraan dan juga merupakan tindak penyiksaan terhadap mereka.
Gambaran
persoalan ini didasarkan pada pengungkapan 115 kasus dari 87 peristiwa
kekerasan
dan diskriminasi yang dialami oleh 57 perempuan penghayat kepercayaan,
penganut
agama leluhur dan pelaksana ritual adat dari 11 komunitas yang tersebar di 9
provinsi1
di
dalam pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas
Perempuan). Dari 57 perempuan korban, usia termuda saat mengalami diskriminasi
atau
kekerasan adalah 11 tahun, dan usia tertua yang tercatat adalah 68 tahun. Sebanyak
51
diantaranya
adalah korban langsung dan 23 orang di antarnaya telah mengalami lebih dari
satu
kekerasan dan diskriminasi secara berulang.
Dari
115 kasus tersebut, 50 diantaranya adalah kasus kekerasan dan 65 lainnya kasus
diskriminasi.
Setidaknya ada enam jenis kasus yang dapat dikategorikan ke dalam 3 bentuk
kekerasan,
yaitu (a) kekerasan psikis dalam 14 kasus stigmatisasi/pelabelan dan 24 kasus
intimidasi,
(b) kekerasan seksual dalam 7 kasus pemaksaan busana dan 3 kasus pelecehan
seksual,
serta (c) kekerasan fisik dalam 3 kasus penganiayaan dan 2 kasus pembunuhan.
Sementara
itu, lebih dari setengah dari 65 kasus diskriminasi adalah kasus pengabaian
diabaikan
dalam administrasi kependudukan. Selebihnya terdapat 9 kasus pembedaan dalam
mengakses
hak atas pekerjaan dan memperoleh manfaat dari pekerjaan tersebut, 8 kasus
pembedaan
dalam mengakses pendidikan, 3 kasus dihambat dalam mengakses bantuan
pemerintah,
3 kasus dihalangi akses pemakaman, 2 kasus dihalangi dalam mendirikan rumah
ibadah,
5 kasus dihambat dalam beribadah, dan 1 kasus pelarangan berorganisasi
keyakinan.
Tindak
kekerasan dan diskriminasi tersebut dilakukan oleh sekurangnya 87 pelaku; 44
diantaranya
adalah pelaku individual sementara 10 lainnya dilakukan berkelompok. Sebanyak
1
Komunitas
yang dimaksud adalah masyarakat adat Bayan Wetu Telu di Lombok Utara, Nusa
Tenggara Barat
(NTB);
masyarakat adat Botti dan Jinitiu di Nusa Tenggara Timur (NTT); masyarakat adat
Sunda Wiwitan di
Kuningan,
Jawa Barat (Jabar); Komunitas penghayat Sapto Dharmo di Jabar, Jawa Tengah
(Jateng), dan
Jawa
Timur (Jatim); Masyarakat Adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel);
Masyarakat Adat Bissu
di
Pangkep, Sulsel; Masyarakat adat Tolotang di Sulsel; Masyarakat Adat Ngatatoro di
Palu, Sulawesi
Tengah
(Sulteng), masyarakat adat Musi, Sulawesi Utara (Sulut) dan Masyarakat penganut
Kaharingan di
Kalimantan
Tengah (Kalteng).
Page 7 of 135
7
52
diantaranya adalah aparat pemerintahan dan 2 aparat hukum. Hal ini berkorealsi
dengan
temuan
bahwa sebagian besar dari peristiwa kekerasan dan/atau diskriminasi yang
dialami
terjadi
di ranah negara, yaitu sebanyak 62% atau 54 peristiwa. Sementara itu, di ranah
publik
tercatat
27 peristiwa. Juga terdapat 2 peristiwa kekerasan di dalam rumah tangga yang
berkait
dengan hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan; salah satunya bahkan
menyebabkan
penghilangan nyawa.
Meski
dalam sejumlah tindakan diskriminasi dan kekerasan juga dialami laki-laki dalam
komunitas
penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur/pelaksana ritua adat,
perempuan
menghadapi kerentanan yang berbeda karena ia perempuan dan peran
gendernya.
Pelecehan seksual, pemaksaan busana dan KDRT adalah bentuk kekerasan
berbasis
gender yang dihadapi oleh perempuan penghayat kepercayaan/penganut agama
leluhur/pelaksana
ritual dalam rangkaian kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan.
Perempuan
juga rentan kehilangan perlindungan dalam perkawinan dan menanggung
stigma
amoral akibat tidak dapat mencatatkan pernikahannnya, serta mengalami gangguan
fungsi
reproduksi. Peran jendernya di dalam keluarga menyebabkan perempuan sebagai ibu
sangat
menguatirkan dampak tidak dapat menghadirkan akta lahir yang utuh terhadap
kehidupan
anaknya, menguatirkan pendidikan anak. Sebagai anak perempuan, ia dapat
terbebani
dalam memastikan terselenggaranya pemakaman dan wasiat lainnya dari orang
tua,
termasuk memastikan pendirian rumah ibadah. Hal ini menunjukkan hubungan yang
erat
dari diskriminasi dan kekerasan berbasis keyakinan dalam menyuburkan kekerasan
dan
diskriminasi
berbasis gender terhadap perempuan.
Ada
9 faktor yang menyebabkan tindak kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan
dan
gender
ini dapat terus berlangsung, yaitu (a) adanya produk hukum dan kebijakan yang
mendiskriminasi
penghayat kepercayaan, a.l. UU No. 1 PNPs/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan
Dan/Atau Penodaan Agama dan UU Administrasi Kependudukan dan
kebijakan
diskriminatif di tingkat daerah; b) tata kelola insitusi pemerintahan yang
membedakan
penganggungjawab pemeluk agama dari penghayat kepercayaan atau
penganut
agama leluhur; c) mekanisme pengawasan pelayanan publik yang tidak dilengkapi
dengan
perangkat pemeriksa operasionalisasi prinsip non diskriminasi; d) Kapasitas
penyelenggara
negara yang terbatas sehingga belum mampu mengoperasionalisasikan
prinsip
non diskriminasi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraaan pemerintahan pada
umumnya;
e) Sikap penyelenggara negara yang menyepelekan konsekuensi yang dihadapi
oleh
penghayat kepercayaan dan pemeluk agama leluhur akibat diskriminasi itu; f)
Penegakan
hukum yang lemah terhadap pelaku diskriminasi dan kekerasan; g) pemahaman
agama
yang memosisikan penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur sebagai
pihak
lian yang tidak beragama; h) Proses politik yang tidak dilengkapi dengan
mekanisme
pengaman
pelaksanaan prinsip non diskriminasi sehingga memungkinkan hegemoni
kepentingan
kelompok tertentu, termasuk kelompok (pemeluk) agama, dalam penyusunan
kebijakan
publik dan i) Sikap masyarakat yang masih menolerir kekerasan dan diskriminasi,
termasuk
yang berbasis agama/kepercayaan
Page 8 of 135
8
Peran
negara untuk segera memperbaiki situasi adalah vital. Apalagi hingga kini,
negara
masih
bersikap inkonsisten dalam mewujudkan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak
konstitusional
berkait isu intoleransi beragama. Berbagai langkah positif yang telah diambil
oleh
pemerintah, parlemen, lembaga yudikatif dan lembaga HAM nasional perlu terus
ditumbuhkan.
Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan di tingkat nasional maupun daerah,
terutama
di bawah kepemimpinan Presiden. Langkah yang dimaksudkan itu meliputi dan
tidak
terbatas pada:
-
perbaikan produk hukum dan kebijakan agar dapat secara sungguh-sungguh
menegakkan
hak kemerdekaan beragama/keyakinan dan bebas dari segala bentuk
kekerasan
dan diskriminasi
-
pengembangan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan prinsip non diskriminasi,
termasuk
atas dasar keyakinan dan gender, dalam mencegah, menangani dan
memastikan
ketidakberulangan kekerasan dan diskriminasi, termasuk atas dasar
keyakinan
dan gender, dalam setiap aspek dan lembaga penyelenggara
pemerintahan
dan penegakan hukum
-
mengagas dan melaksanakan mekanisme dan perangkat pengawasan pada sikap
aparatur
pemerintah, pejabaat publik dan penegak hukum untuk memastikan
dilaksanakannya
prinsip non diskriminasi
-
menghentikan impunitas pelaku tindak kekerasan dan diskriminasi berbasis
keyakinan,
termasuk terhadap pelaku non negara
-
mereformasi birokrasi, termasuk Kementerian Agama, guna memutus pelembagaan
diskriminasi
terhadap penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur
-
mengintegrasikan penghormatan pada keragaman agama/keyakinan dalam
kurikulum
pendidikan nasional dan pendidikan publik untuk mengembangkan
kecintaan
pada kebhinnekaan Indonesia
-
kerjasama dengan komunitas korban dan masyarakat sipil yang selama ini telah
teguh
berjuang
untuk pemenuhan hak-konstitusional warga negara anggota komunitas
minoritas
keyakinan.
Page 9 of 135
9
BAB
I
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Bertepatan
dengan peringatan Hari Kartini 2010, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan
(Komnas Perempuan) menerima pengaduan dari lebih 30 perwakilan
perempuan
adat dan penghayat kepercayaan di seluruh nusantara. Diantaranya hadir
perwakilan
perempuan masyarakat Adat Bayan Wetu Telu Lombok Utara Nusa Tenggara
Barat
(NTB), masyarakat Adat Botti dan Jinitiu di Nusa Tenggara Timur (NTT),
masyarakat
adat
Tolotang, Kajang dan Bissu di Sulawesi Selatan (Sulsel), masyarakat adat
Ngatatoro di
Palu,
Sulawesi Tengah, masyarakat adat penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah,
masyarakat
adat penganut Parmalim di Sumatera Utara, masyarakat adat Osing, masyarakat
adat
Suku Anak Dalam di Riau, mayarakat adat Sunda Wiwitan, dan komunitas Sapta
Darma.
Mereka
didampingi oleh Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) dan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika
(ANBTI).
Dalam pengaduan ini mereka berharap Komnas Perempuan akan memberikan
perhatian
khusus pada persoalan pemenuhan HAM dan Hak Masyarakat Adat, khususnya
terkait
kepercayaan yang mereka anut.
Keberadaan
penghayat kepercayaan dan pemeluk agama leluhur hadir sedari awal sejarah
peradaban
Indonesia, bahkan telah hadir jauh sebelum Indonesia sebagai negara-bangsa
berdiri.
Sebelum agama-agama yang kini dikenal sebagai agama “resmi” negara – Islam,
Kristen
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu- ini berkembang, masyarakat
nusantara
telah memiliki keanekaragaman kepercayaan yang tumbuh di tengah-tengah
masyarakat
setempat dari generasi ke generasi.2
Tuntunan
spriritual ini menjadi nadi dari
ikatan
tradisi/adat, yang dalam manifestasinya menghadirkan adat dengan ciri-ciri
kebudayaannya
yang khas.3
Pada
masa kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, muncul gerakan untuk membangun
rasa
kebanggaan pada budaya dan masyarakat Indonesia. Rasa bangga ini penting
sebagai
2
Pedoman
Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departeman
Kebudayaan
dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, 2009, hal. 7
3
Dewi Kanti, dalam tulisan “Hak Ekonomi, Sosial, Budaya yang Sering Dilanggar
bagi Kelompok Penghayat
Kepercayaan
di Nusantara”, Komnas Perempuan, 12 Januari 2015
Kami
hanya menjalankan tuntunan hidup yang diwariskan turun-temurun oleh para
leluhur.
Tuntunan hidup ini telah ada, bahkan jauh sebelum ada Indonesia. Nenek
moyang
kamilah yang menerima dan membiarkan agama-agama yang kini menjadi
besar
di negeri ini. Namun, mengapa keyakinan kami terus disudutkan?
Mengapa
kami menjadi tersingkir di negeri sendiri?
(DK,
perempuan adat penganut agama leluhur, 21 April 2010)
Page 10 of 135
10
bangsa
yang sedang mengupayakan kemerdekaannya dari bangsa penjajah yang telah
berkuasa
tiga ratus tahun lamanya. Dalam gerakan ini, muncul gagasan untuk menyadari
identitas
diri pada tingkat yang lebih dalam, yakni pendalaman penghayatan kepada Tuhan
Yang
Maha Esa yang kemudian disebut kebatinan. Aliran kebatinan ini memperkaya
ajaran- ajaran kepercayaan dan keyakinan yang telah dahulu tumbuh dan mengakar
di dalam
masyarakat
adat di Indonesia.
Seperti
juga apa yang kita kenal saat ini sebagai agama, sebagai tuntunan spiritual,
kepercayaan-kepercayaan
itu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Beberapa di antaranya memiliki kitab
peribadatan
yang menjadi rujukan; sejumlah lainnya dihafalkan turun-temurun terutama oleh
beberapa
pihak yang dianggap berkemampuan mengawal nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dan
untuk memimpin penyelenggaraan ritual.
Tuntunan
spriritual yang menjadi jiwa kebudayaan Indonesia itu secara turun-temurun
dihayati,
dikembangkan dan diwariskan dari generasi ke generasi di dalam masyarakatnya
masing-masing.
Namun, proses itu bukannya tanpa tantangan. Secara sistemik, masyarakat
pemeluk
agama leluhur maupun yang menyakini aliran kebatinan/kejiwaan/kerohanian
menjadi
sasaran penyebaran agama-agama Abrahamik. Situasi ini karena ritual-ritual
animisme
dan dinamisme yang diselenggarakan dalam manifestasi tuntutan spiritual kerap
disalahartikan
sebagai penyembahan berhala dalam pandangan umum, terutama di
kalangan
pemeluk agama Kristen dan Islam.
Dalam
fase pembentukan negara-bangsa, isu pembedaan antara agama dan kepercayaan ini
mengemuka
seiring dengan diskusi mengenai relasi antara negara dan agama dalam tata
kelola
pemerintahan negara baru bernama Indonesia. Arus utamanya adalah membedakan
antara
agama dan kepercayaan. Meski kemerdekaan tiap-tiap warga negara dijamin di
dalam
Konstitusi,
sebagaimana tertuang dalam Ayat 2 Pasal 29 UUD 1945, institusionalisasi relasi
agama
dengan negara melalui kelahiran Kementerian Agama dan juga kelahiran tentang
Undang-Undang
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama
(selanjutnya
ditulis UU No. 1/PNPS/1965) menempatkan kepercayaan sebagai hal yang
berbeda
sama sekali dari agama dengan kedudukan yang lebih rendah.
Pengistimewaan
agama, dalam perbandingan dengan kepercayaan, merupakan dampak
sekaligus
menjadi titik awal segenap sikap dan perilaku intoleransi dan diskriminasi
terhadap
penghayat
kepercayaan dan penganut agama leluhur. Dalam perjumpaan dengan Komnas
Perempuan
pada tanggal 21 April 2010 itu, para perempuan penghayat dan penganut agama
leluhur
menceritakan sejumlah peristiwa yang mereka dan komunitas alami. Sejumlah
banyaknya
telah berulang sejak masa kemerdekaan, dan semakin diperburuk pada masa
Orde
Baru. Hal ini berkait dengan asosiasi keji yang dikembangkan terhadap para
penghayat
dan
penganut agama leluhur sebagai orang yang tidak beragama dan karenanya
merupakan
pendukung
paham komunisme yang dilarang oleh negara.
Page 11 of 135
11
Bagi
Komnas Perempuan, ini bukanlah perjumpaan pertama kali dengan perempuan
penghayat
dan penganut agama leluhur. Komnas Perempuan mengikuti perdebatan dan
mendukung
usulan yang diajukan oleh kelompok penghayat kepercayaan dalam
pembahasan
revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan sejak tahun 2004. Usulan ini
dimaksudkan
untuk menjamin akses yang setara terhadap hak atas layanan publik dalam hal
administrasi
kependudukan.
Dari
pertemuan tertanggal 21 April 2010 itu, Komnas Perempuan kemudian melakukan
sebuah
kajian awal mengenai pengaduan yang disampaikan. Komnas Perempuan kemudian
berkesimpulan
bahwa persoalan yang dihadapi oleh perempuan penghayat dan penganut
agama
leluhur tidak dapat dipisahkan dari persoalan intoleransi dan pelanggaran hak
kebebasan
beragama/berkeyakinan yang mencuat di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir.
Karenanya,
Komnas Perempuan mengusulkan agar persoalan ini pun diangkat oleh Pelapor
Khusus
Komnas Perempuan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Ibu Shinta
Nuriyah
Wahid.
Dalam
pembahasan berikutnya, ditemukan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk
memisahkan
pelaporan kondisi perempuan di komunitas penghayat dan penganut agama
leluhur
dari pelaporan kondisi perempuan di komunitas agama minoritas yang dituduh
sesat
maupun
mereka yang kesulitan mendirikan rumah ibadah meski menjadi bagian dari agama
“resmi”
yang diakui negara. Hal ini agar kekhasan pengalaman dapat dieksplorasi secara
lebih
utuh guna memperoleh gambaran akar persoalan dan konsekuensi yang lebih
komprehensif.
Dengan pendekatan ini diharapkan pelaporan akan lebih efektif, terutama
dalam
upaya menindaklanjuti rekomendasi penyelesaian persoalan. Meski demikian, kedua
laporan
ini perlu disikapi sebagai kesatuan yang saling bertautan dalam memahami
persoalan
pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan.
Untuk
menindaklanjuti kajian ini, Komnas Perempuan lalu menyelenggarakan konsultasi
bersama
sejumlah perempuan penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur untuk
memikirkan
langkah advokasi yang strategis untuk dilakukan bersama. Konsultasi awal
dilakukan
pada tahun 2011, yang sekaligus dirangkaikan dengan keikutsertaan dalam
merayakan
upacara ritual Seren Tahun dari Komunitas Sunda Wiwitan. Kehadiran ini
diharapkan
secara langsung juga menunjukkan dukungan Komnas Perempuan pada
perjuangan
untuk memastikan terpenuhinya jaminan hak konstituional pada kebebasan
bergama/berkeyakinan
bagi penghayat dan penganut agama leluhur. Konsultasi awal
menghasilkan
kesepakatan untuk melakukan pemantauan dan pendokumentasian kondisi
pemenuhan
HAM dan Hak konstitusional kelompok perempuan penghayat kepercayaan dan
penganut
agama leluhur.
Pemantauan
dan pendokumentasian pada kelompok penghayat ini bukanlah upaya yang
berdiri
sendiri, yang terpisah dari advokasi yang telah dilakukan oleh organisasi atau
kelompok
penghayat dan penganut agama leluhur. Karenanya, proses pemantauan ini
Page 12 of 135
12
berjalan
beriringan dengan proses advokasi yang tengah berjalan, baik di tingkat lokal,
nasional
maupun internasional. Hal ini kemudian tampak dalam rangkaian kegiatan
persiapan
pemantauan maupun selama proses. Komnas Perempuan juga membangun
ruang-ruang
dialog dengan otoritas lokal dan nasional, seperti Kementerian Hukum dan
HAM,
Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama untuk melakukan terobosan
pada
kebijakan terkait dengan pelayanan pemenuhan hak kelompok penghayat dan
penganut
agama leluhur. Mengingat bahwa tahun 2012-2014 adalah tahun pelaporan
Indonesia
pada sejumlah komitmen internasional untuk penegakan Hak Asasi Manusia,
proses
pemantauan ini juga beriringan dengan advokasi internasional baik yang
dilakukan di
dalam
maupun luar negeri.
Bagi
Komnas Perempuan mendukung perjuangan dari perempuan penghayat dan pemeluk
agama
leluhur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemajuan pemenuhan
tanggungjawab
negara pada pelaksanaan Konstitusi. Langkah ini terutama krusial dalam
rangka
mendorong terciptanya kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan
terhadap perempuan, yang merupakan mandat Komnas Perempuan sebagai
lembaga
HAM nasional sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun
1998
yang telah diteguhkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
1.2.
Tujuan
Pemantauan
ini dimaksudkan untuk mengungkap kondisi pemenuhan hak-hak konstitusional
bagi
perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual
adat.
Istilah
penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur merujuk pada mereka yang
memeluk
agama/kepercayaan yang diwariskan turun-temurun dan tidak termasuk salah satu
dari
6 agama “resmi” berdasarkan pengaturan UU No. 1/PNPS/1965. Penyebutan berbeda
ini
disesuaikan
dengan bagaimana komunitas tersebut menyebutkan keyakinannya. Dalam
pemantauan
ini ditemukan juga masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan pelaksana
ritual
adat, yaitu mereka yang pada saat bersamaan memeluk salah satu dari 6 agama
“resmi”
negara sambil juga tetap melanjutkan tradisi-tradisi ritual kepercayaan yang
dimaknai
sebagai bagian dari kegiatan adat.
Dalam
pengungkapan persebut, perhatian diberikan pada informasi mengenai kekerasan
dan
dikriminasi yang dialami perempuan penghayat kepercayaan,penganut agama leluhur
dan
pelaksana ritual adat akibat keyakinan yang mereka anut. Informasi ini
diharapkan tidak
hanya
mengungkap fakta kekerasan dan diskriminasi secara kuantitatif, melainkan juga
mengungkap
kerentanan-kerentanan spesifik yang dialami, serta akar masalah dan
konsekuensi
yang dihadapi oleh para perempuan tersebut.
Hasil
dari penggalian informasi ini diharapkan menjadi basis data untuk mendorong
percepatan
advokasi dalam memastikan jaminan perlindungan dan penikmatan hak
Page 13 of 135
13
konstitusional
bagi kelompok warga negara yang dimaksud. Selain memfokuskan pada
peran
negara yang merupakan penanggungjawab utama dari penegakan dan penegakan hak
asasi
manusia, pemantauan ini juga akan memetakan peran masyarakat dalam persoalan
dan
solusi
bagi pemajuan kondisi pemenuhan hak-hak konstitusional bagi perempuan
penghayat,penganut
agama leluhur dan pelaksana ritual adat. Hal ini karena kondisi
pemenuhan
hak-hak konstitusional juga dipengaruhi oleh dinamika di dalam masyarakat.
Sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari advokasi, pemantauan ini juga diharapkan
menjadi
ruang penguatan kapasitas bagi komunitas korban, yang dalam hal ini adalah
perempuan
penghayat/penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat. Untuk itu, proses
pemantauan
maupun pelaporannya dilakukan bersama-sama dengan komunitas korban dan
melibatkan
para pendamping selain dari pihak Komnas Perempuan. Bahkan anggota tim
pemantau
adalah berasal dari komunitas korban dan pendamping.
1.3.
Kerangka Pemantauan
Bangsa
Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama.
Keberagamaan
suku bangsa, bahasa, budaya dan agama pada hakikatnya justeru
memperkaya
khazanah budaya bangsa. Salah satu wujud budaya Indonesia tersebut adalah
budaya
spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
salah
satu modal sosial dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya
yang
lahir
dan tumbuh dari leluhur bangsa Indonesia. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa
sebagai salah satu aspek warisan budaya bangsa secara realistis masih hidup,
berkembang
dan dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Dalam
realitas keberagaman di atas memuat kehakikian hak atas kebebasan
beragama/berkeyakinan.
Ini adalah hak asasi manusia yang fundamental, yang tidak bisa
ditunda
pemenuhannya dan tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non derogable
right).
Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan jaminan kepada setiap individu
untuk
bebas
beragama dan berkeyakinan, dan memberikan kebebasan menjalankan beribadah
sesuai
dengan agama dan keyakinannya itu, tanpa kecuali. Dalam hal ini, Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, mengakui dan menjamin hak fundamental
tersebut,
yang secara eksplisit disebutkan dalam beberapa pasal, yaitu:
1.
Pasal 28 E Ayat 1 menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat
menurut agamanya....”.
2.
Pasal 28 I Ayat 1 menyebutkan bahwa “...hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani,
hak
beragama, ....adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan
apapun”.
3.
Pasal 29 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Page 14 of 135
14
Di
samping itu, Indonesia juga mempunyai sejumlah Undang-Undang yang dapat
memperkuat
pengakuan dan perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Diantaranya
adalah: Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR),
Deklarasi
Penghapusan
Segala Bentuk Intoleransi, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999
tentang
Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial
Discrimination
1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi
Rasial, 1965) dan Undang-Undang Nomor No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Konvenan
internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik merupakan instrumen pokok hak
asasi
manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Kovenan ini
bersifat
mengikat secara hukum (legally binding) atas negara pihak, termasuk Indonesia
yang
telah
meratifikasinya. Negara-negara pihak ini juga mempunyai kewajiban untuk
melaporkan
secara
berkala kepada Dewan HAM PBB terkait dengan pemajuan penikmatan hak dan
tantangannya.
Tentang
hak kebebasan beragama/berkeyakinan ini terutama disebutkan dalam Pasal 18
ICCPR
yang mencakup:
1)
Kebebasan untuk menganut atau memilih agama atas kepercayaan atas
pilihannya
sendiri dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan
orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup, untuk
mengejawantahkan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah,
penaatan,
pengalaman dan pengajaran;
2)
Kebebasan dari pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut
atau
memilih agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya;
3)
Kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan hanya dapat
dibatasi
oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan hanya apabila diperlukan untuk
melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak- hak dan
kebebasan mendasar orang lain;
4)
Kebebasan orang tua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah untuk memastikan
pendidikan
agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka
sendiri.4
Pengaturan
pada Pasal 18 ICCPR ini sejalan dengan semangat yang terkandung dalam
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948). Pasal 18 DUHAM menyebutkan:
“Setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran, hatu nurani dan agama; dalam hal ini
termasuk
kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan, baim sendiri
maupun
bersama-sama dengan orang lain dimuka umum maupun di ruang privat,
4
Ibid
Page 15 of 135
15
untuk
memanifestasikan agama atau keyakinan itu dalam pengajaran, praktek,
ibadah
dan pengamalannya.”
Instrumen
lain yang mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan adalah Deklarasi
Penghapusan
Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama/Keyakinan
(Declaration
on The Elimination of all Form of Intolerance and of Discrimination Based on
Religion
or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi sidang umum PBB No. 36/55 pada 25
November
1981. Deklarasi ini mempunyai kelemahan yakni sifatnya tidak mengikat (non
binding)
bagi negara pihak. Namun, deklarasi ini memiliki kekuatan moral dalam praktek
hubungan
internasional pada umumnya, karena mencerminkan consensus yang luas dari
komunitas
internasional.
Pasal
1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi
atas
Dasar
Agama atau Keyakinan menyatakan:
a)
Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama.
Hak
ini termasuk kebebasan memeluk agama atau keyakinan apapun sesuai dengan
pilihannya,
dan kebebasan baik secara individu atau kelompok, secara tertutup
ataupun
terbuka mengejawantahkan agama atau keyakinanannya dalam bentuk
ibadat,
atau praktek dan pengajaran.
b)
Tak seorang pun boleh mendapat paksaan yang bisa mengganggu kebebasannya
memeluk
agama atau keyakinan pilihannya.
c)
Kebebasan seseorang untuk menjalankan agama atau keyakinannya hanya bisa
dibatasi
oleh ketetapan hukum dan penting untuk melindungi keselamatan,
ketentraman
dan moral publik serta hak dan kebebasan orang lain.
Penting
untuk dipahami bahwa dalam instrumen-instrumen internasional, agama atau
keyakinan
yang dimaksud tidak terbatas pada agama tradisional yang dalam istilah
keagamaan
disebut dengan agama samawi (agama yang datang dari langit) juga agama- agama
yang baru terbentuk dan agama-agama minoritas yang dalam istilah disebut agama
ardhi
(agama yang muncul di bumi). 5
Kesemuanya
ini berkedudukan sama dalam hak
mendapatkan
perlindungan dari negara.
Sementara
itu di Indonesia, meski sama–sama disebutkan di dalam Konstitusi, pengaturan
antara
agama dan kepercayaan dibedakan. Namun ini tidak berarti penghilangan
perlindungan
negara terhadap para pemeluk agama leluhur, penghayat kepercayaan
maupun
pelaksana adat. Hal ini setidaknya tertuang dalam:
5
Laporan
Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap
Perempuan
dalam
Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama, “Pengalaman dan
Perjuangan
Minoritas
Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama”, Komnas Perempuan,
Jakarta
22 Desember 2014, Hal. 17
Page 16 of 135
16
1.
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara:
Bidang
Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa , Sosial, Budaya,
Agama
dan Kepercayaan terhdap Tuhan Yang Maha Esa.
a)
Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
maka
perikehidupan beragama, perikehidupan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang
Maha Esa didasarkan atas kebebasan menghayati dan mengamalkan
Ketuhanan
Yang Maha Esa sesuai dengan falsafah Pancasila.
b)
Pembangunan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ditujukan
pembinaan suasana hidup rukun diantara umat beragama sesama
penganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan antara semua
umat
beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha
Esa serta meningkatkan amal dalam bersama-sama membangun
masyarakat.
c)
Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang diperlukan bagi
pengembangan
kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap
Tuhan
Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang dimaksudkan
kedalam
kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan
universitas-universitas
negeri.
2.
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila
(P-4). Dalam Tap MPR ini dikatakan bahwa:
“dengan
sila ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan
dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya
manusia
Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang
adil dan beradab; yang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dikembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk- pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga
selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan
kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa; serta dikembangkanlah sikap
saling
menghayati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan
kepercayaannya
dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu
kepada
orang lain”.
3.
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Bidang
Sosial
dan Kebudayaan Sub: Kebudayaan, Kesenian, Pariwisata, pada poin a
dinyatakan:
“Mengembangkan
dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia, yang
bersumber
dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang
mengandung
nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Page 17 of 135
17
Maha
Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup
bermasyarakat
dan membangun peradaban bangsa”.
6
Selain
itu juga ada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan
Pariwisata
No. 43 dan 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat 1-2 peraturan tersebut
menyebutkan
bahwa:
1)
Pemerintah Daerah memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
2)
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Ø administrasi organisasi Penghayat Kepercayaan;
Ø pemakaman; dan
Ø sasana sarasehan atau sebutan lain.
Dalam
pasal 4 ditegaskan terkait dengan tanggungjawab pemerintah Daerah untuk
menyediakan
pelayanan bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ditegaskan
bahwa dalam memberikan pelayanan kepada penghayat kepercayaan/penganut
agama
leluhur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pemerintah kabupaten/kota
berkewajiban
untuk:
a)
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya
kerukunan antara penghayat kepercayaan dengan masyarakat;
b)
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati,
dan saling percaya antara penghayat kepercayaan dengan
masyarakat;
c)
mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah di
kabupaten/kota
dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan; dan
d)
fasilitasi pemakaman penghayat kepercayaan di tempat pemakaman umum.
Mengenali
bahwa penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual
adalah
kelompok minoritas di dalam masyarakat Indonesia, penting bagi pemantauan ini
juga
merujuk kepada Deklarasi tentang Hak-Hak Mereka yang Menjadi Bagian dari
Minoritas
Bangsa
atau Etnis, Agama dan Linguistik (atau kerap disebut Deklarasi Hak-Hak
Minoritas).
Dalam
penandatanganan Deklarasi ini, negara-negara bersetuju untuk memberikan
perlindungan
terhadap keberadaan kelompok minoritas dan mengupayakan kondisi yang
mempromosikan
identitas mereka. Bagian yang tidak terpisahkan dari perlindungan ini
adalah
perlindungan terhadap hak bagi kelompok minoritas untuk dapat menikmati
identitas
budayanya
dan untuk memeluk dan menjalankan agama dan keyakinannya sendiri.
Sebab
memfokuskan diri pada pengalaman perempuan, pemantauan ini juga merujuk
kepada
kerangka konsep pemenuhan HAM yang dikembangkan dalam Konvensi
Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah
6
Pedoman
Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, op.cit. hal.
11-14
Page 18 of 135
18
diratifikasi
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Secara khusus, Pasal 2
Konvensi
ini menyebutkan bahwa:
“Negara-negara
yang menjadi para pihak bersepakat untuk dengan segala cara yang
tepat
dan tanpa ditunda-tunda mengupayakan satu kebijaksanaan untuk
menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan itu:
a)
Memuat prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan di dalam Undang- Undang
Dasar mereka, atau perudang-undangan yang lain yang relevan dan
menjamin
melalui ketentuan lainnya, pelaksanaan praktis dari prinsip ini;
b)
Mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang tepat, termasuk
pemberian
sanksi bila perlu, untuk melarang segala macam diskriminasi terhadap
perempuan;
c)
Membangun perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan atas dasar
kesetaraan
dengan laki-laki dan memastikan melalui pengadilan yang kompeten
dan
institusi publik lainnya perlindungan yang efektif bagi perempuan dari segala
bentuk
diskriminasi;
d)
Menahan diri untuk tidak melibatkan diri pada tindakan atau praktek yang
mendiskriminasikan
perempuan dan memastikan otoritas dan institusi publik
bertindak
sesuai dengan kewajiban ini;
e)
Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi yang
dilakukan
oleh seseorang, organisasi atau perusahaan;
f)
Mengambil segala langkah yang tepat, termasuk legislasi untuk mengubah atau
menghapuskan
hukum, peraturan, kebiasaan, dan praktek yang ada yang
merupakan
diskriminasi terhadap perempuan;
g)
Mencabut aturan dalam hukum pidana yang mendiskriminasikan perempuan.”
Pasal
2-5 mengikat negara untuk mengambil tindakan segera secara cermat untuk
menghasilkan
secara efektif kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki dalam hal
akses,
penikmatan maupun manfaat dari perlindungan hak mereka sebagai manusia.
Selanjutanya
pasal 3-16 memuat sejumlah topik khusus dalam persoalan keteraan gender,
termasuk
dalam hal akses apda pendidikan, kesehatan, politik, kewarganegaraan dan dalam
hubungan
perkawinan dan keluarga. Persoalan relasi kuasa yang ada di dalam masyarakat
antara
laki-laki dan perempuan perlu menjadi perhatian sebab dalam kasus kebebasan
beragama
dan berkeyakinan, ditengarai perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan
kekerasan
dan diskriminasi juga karena dia perempuan.
Adapun
yang dimaksud sebagai diskriminasi dalam laporan ini merujuk pada pemaknaan
yang
disampaikan dalam Pasal 1 CEDAW, yaitu:
“...pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis
kelamin
yang memiliki dampak atau dengan tujuan untuk mengurangi atau
mengabaikan
pengakuan, penikmatan dan penggunaan oleh perempuan, terlepas
dari
status perkawinannya, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,
hak
asasi dan kemerdekaan fundamental mereka di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya,
sipil, dan lainnya.”
Page 19 of 135
19
Konvensi
CEDAW juga memuat pemaknaan tentang kekerasan dan kerterkaitannya dengan
diskriminasi,
sebagaimana dijelaskan dalam Rekomendasi Umum No. 19 (1992). Pemaknaan
ini
dipandang penting karena tidak secara serta-merta negara menangkap keterkaitan
yang
erat
antara diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan berbasis jender, dengan
pelanggaran
hak-hak asasi dan kemerdekaan fundamental yang dialami perempuan.
Pemaknaan
ini awalnya diadopsi dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan
terhadap
Perempuan, yang pada Pasal 1 menyebutkan bahwa kekerasan terhadap
perempuan
adalah:
“setiap
perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis jender yang berakibat atau
mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual
atau
psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau
perampasan
kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik
maupun
di dalam kehidupan pribadi.
Dalam
hal pengalaman perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan
pelaksana
ritual adat, maka basis diskriminasi yang dialami tidak saja karena jendernya.
Pengalaman
kekerasan dan diskriminasi itu juga hadir terkait dengan identitasnya sebagai
pemeluk
agama/kepercayaan tertentu. Situasi inilah yang dikenal dengan pengalaman
kekerasan
atau diskriminasi berlapis.
Kerangka
lain yang digunakan dalam membangun pemantauan ini adalah UU No. 5 Tahun
1998
tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Dalam
Konvensi ini, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal I, istilah penyiksaan merujuk
pada:
setiap
perbuatan dimana rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik secara fisik
atau
mental, dilakukan dengan sengaja terhadap seseorang untuk tujuan seperti
memperoleh
pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga,
menghukumnya
atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah
dilakukan
oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang
itu
atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh atau
atas
hasutan dari atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik.
Tindakan
yang dimaksud tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata- mata
timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang
berlaku.
Dalam
konstitusi, jaminan untuk bebas dari penyiksaan secara eksplisit disampaikan
dalam
Pasal
28I Ayat 1. Konstitusi juga memandatkan agar hak untuk bebas dari penyiksaan
tidak
dapat
dikurangi dalam kondisi apapun. Dengan demikian, negara bertanggungjawab untuk
memastikan
jaminan hak ini terpenuhi baik melalui payung hukum untuk melarang tindakan
Page 20 of 135
20
ini
dilakukan, memutus impunitas pelaku melalui penegakan hukum dan memastikan
pemulihan
korban.
Termasuk
dalam pemaknaan ini, sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 Konvensi ini, adalah
larangan
atas perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan
martabat manusia sekalipun perlakuan dan penghukuman itu tidak secara
utuh
merupakan penyiksaan sebagaimana didefinisikan dalam Pasal I. Perlakuan dan
penghukuman
tersebut menjadi bagian dari tanggungjawab pelaksanaan Konvensi ketika
dilakukan
oleh, didorong oleh, dengan persetujuan dari, ataupun dengan kehadiran pejabat
publik
atau pihak lain dalam kapasitas resmi lembaga-lembaga negara dan
penyelenggaraan
pemerintahan.
Dengan
merujuk pada Konstitusi dan seluruh UU yang disebutkan di atas serta komitmen
moral
di tingkat internasional yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia
melalui
sejumlah
Deklarasi Internasional, kerangka pemantauan ini dikembangkan.
1.4.
Metodologi dan Tahapan
Dalam
mewujudkan tujuan menjadikan pemantauan ini juga sebagai penguatan kapasitas
komunitas
korban dan pendamping, seluruh proses perencanaan pemantauan ini dilakukan
bersama-sama
melalui sejumlah tahapan konsultasi. Dalam konsultasi ini disepakati bahwa
data
diperoleh melalui penggalian informasi di lapangan dan juga desk review atau
penelaahan
dokumen, terutama terkait kebijakan-kebijakan yang relevan bagi pendalaman
pemahaman
mengenai persoalan yang ada.
Dalam
penggalian informasi, narasumber yang ditemui adalah perempuan penghayat
kepercayaan,
penganut agama leluhur dan pelaksana adat yang bersedia untuk
menceritakan
dan mencatatakan pengalamannya tentang diskriminasi dan kekerasan karena
agama/keyakinan
yang ia anut. Proses mengenali narasumber dilakukan dengan metode
snowballing,
dari satu narasumber yang kemudian merekomendasikan narasumber yang lain.
Narasumber
bisa jadi tidak menamakan pengalaman itu sebagai kekerasan atau diskriminasi
karena
istilah ini asing. Narasumber karenanya hanya ditanyakan peristiwa yang tidak
menyenangkan
yang pernah ia alami yang menurutnya terjadi karena agama/keyakinan yang
ia
anut. Penamaan kekerasan atau diskriminasi baru dilakukan di tingkat analisa
data.
Data
yang telah dikumpulkan kemudian dicatat dalam sebuah format yang dikembangkan
bersama-sama
tim pemantau. Format ini menyimpan informasi utuh mengenai identitas diri
dari
narasumber, pelaku, saksi selain informasi tentang kronologis peristiwa,
dampak,
langkah
advokasi yang telah dilakukan serta informasi relevan lainnya. Penyusunan
format
dilakukan
dengan merujuk pada format-format sejenis yang telah dikembangkan Komnas
Perempuan
pada pemantauan sebelumnya yang disesuaikan dengan pengalaman lapangan
para
pemantau.
Page 21 of 135
21
Dalam
proses persiapan ini, kapasitas pemantau juga dikuatkan melalui pelatihan.
Pemahaman
tentang kerangka hak konstitusional warga negara, persoalan kekerasan dan
diskriminasi
terhadap perempuan, serta ketrampilan pemantauan seperti wawancara dan
pencatatat
menjadi topik rangkaian topik pelatihan itu. Topik-topik ini terus diulas dalam
pertemuan
persiapan, termasuk ketika memeriksa hasil ujicoba format dokumentasi.
Saat
pelaksanaan di lapangan, pemantau berkomunikasi dengan pendamping dan tim dari
Komnas
Perempuan sebagai cara asistensi. Tim pemantau juga bertemu untuk membahas
temuan
awal yang mereka miliki, memeriksa kelengkapan data dan dokumentasi yang
dimiliki.
Dengan demikian pemantau dapat mengenali data yang perlu ditambahkan atau
diverifikasi.
Pemantau juga dapat membahas kesulitan-kesulitan yang mereka temui di
lapangan.
Hanya jika kesulitan itu tidak dapat diatasi sendiri, pemantau dapat meminta
pendamping
maupun tim dari Komnas Perempuan untuk menemani menemui narasumber.
Setelah
seluruh proses pengumpulan data selesai, tim pemantau kembali bertemu untuk
membahas
temuan-temuan pemantauan dan membangun analisa atas temuan tersebut.
Dari
proses ini diperoleh gambaran tentang bentuk dan pola diskriminasi dan
kekerasan
terhadap
perempuan penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur dan pelaksana adat.
Tim
pemantau lalu memilih di antara mereka wakil untuk menjadi tim penulis. Mereka
juga
mengusulkan
adanya pendamping, Komnas Perempuan dan pihak lainnya yang relevan
untuk
menjadi bagian dari tim penulis. Setiap tulisan ini kemudian dijadikan satu
narasi utuh
oleh
seorang editor yang disyaratkan telah mengikuti seluruh proses pemantauan ini
sedari
perencanaan
hingga tahapan analisis.
Hasil
penulisan ini menjadi sebuah pelaporan hak asasi manusia. Desain pelaporan
kemudian
disepakati
bersama tim pemantau untuk memastikan kegunaan yang optimal dalam
mendukung
advokasi yang telah berjalan.
1.5.
Pemantauan sebagai ruang penguatan komunitas korban
Menjadikan
pemantauan sebagai juga ruang penguatan komunitas korban secara langsung
telah
menjadi pendekatan yang diusung Komnas Perempuan sedari awal pelaksanaan fungsi
dan
kewenangannya dalam pemantauan tentang kekerasan dan pelanggaran hak terhadap
perempuan.
Hal ini antara lain dapat dilihat lewat kesepakatan untuk membangun tim
pemantau
yang langsung berasal dari komunitas korban dan pendamping, seperti dalam
pemantuan
tentang kondisi perempuan di Aceh pasca bencana Tsunami dan konflik, dalam
konteks
konflik di Poso, dan dalam konteks kebebasan Beragama/Berkeyakinan yang dialami
kelompok
minoritas agama yang termasuk dalam 6 agama “resmi negara”. Dalam
pemantauan
ini pun anggota tim pemantau adalah berasal dari komunitas korban dan
pendamping.
Page 22 of 135
22
Agar
tujuan ini tercapai maka seluruh proses dan tahapan pemantauan sedari
perencanaan
hingga
pelaporan, sebagaimaan diungkap di atas, perlu memiliki muatan penguatan
kapasitas
dan daya bagi komunitas korban dan pendamping. Penguatan tersebut diperoleh
melalui:
a.
Membangun pengetahuan bersama dan mengasah ketrampilan
Sejak
proses perencanaan, anggota tim pemantau didorong untuk saling berbagi
pengalaman
dan silang belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara
ini
maka tim pemantau dapat belajar mengenali bentuk dan pola diskriminasi dan
kekerasan,
dan menjadikannya sebuah bangunan pengetahuan yang berakar pada
pengalaman
nyata yang dihadapi di dalam komunitasnya sendiri maupun komunitas
penghayat/penganut
agama leluhur pada umumnya. Bangunan pengetahuan ini
diperkokoh
dengan merefleksikannya pada informasi yang diperoleh dari para ahli
yang
menjadi narasumber di dalam pelatihan persiapan dan juga dari bahan baca
yang
relevan. Materi-materi yang dipaparkan oleh narasumber maupun bahan baca
dimaksudkan
untuk menguatkan pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia, Hak
Konstitusional
dan keadilan gender- ketiga topik ini membentuk pondasi kerangka
pemantauan.
Dengan
pengetahuan tersebut, setiap pemantau dapat secara aktif terlibat dalam
penyusunan
instrumen pemantauan dan format pendokumentasian yang ada.
Pendalaman
pemahaman dilakukan dalam pembahasan data yang dikumpulkan.
Dengan
cara pendalaman yang bertahap ini, kepercayaan diri pemantau telah
tumbuh
untuk memberikan analisa awal atas temuan lapangannya itu.
Dalam
refleksi mengenai proses pemantauan, bertambahnya pengetahuan dan
ketrampilan
sebagai manfaat yang sangat penting bagi masing-masing pemantau.
Adapun
ketrampilan yang dimaksud termasuk teknik wawancara, mencatat dan
melaporkan.
Dengan pengetahuan dan ketrampilan ini, para pemantau dapat
mengembangkan
kepemimpinannya dalam mengupayakan advokasi yang lebih luas.
b.
Integasi pemulihan dan upaya merajut solidaritas dalam pemantauan
Sebab
para pemantau adalah anggota dan pendamping dari komunitas korban,
dalam
hal ini komunitas penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur, besar
kemungkinannya
para pemantau adalah juga korban, baik langsung maupun tak
langsung
dari situasi yang hendak ia pantau. Dalam proses pelaksanaan pemantauan,
situasi
ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, pemantau menjadi lebih peka pada situasi
yang
dihadapi
oleh korban/narasumber yang ia temui. Hal ini berkontribusi positif terhadap
penggalian
data dan informasi. Di sisi lain, pemantau bisa dipengaruhi oleh perasaan
sedih,
marah, kecewa yang mendalam maupun perasaan-perasaan lain karena
Page 23 of 135
23
pengalaman
korban/narasumber mengingatkannya kembali pada peristiwa
kekerasan/diskriminasi
yang juga pernah ia alami. Pengaruh ini dapat menyebabkan
berbagai
reaksi yang bisa jadi menghambat penggalian informasi dan proses
pemantauan
pada umumnya. Situasi ini biasanya ditandai dengan sikap pemantau
yang
buru-buru ingin menyelesaikan perbincangannya dengan korban/narasumber,
menjadi
stress atau bahkan depresi.
Untuk
mengantisipasi situasi ini, maka pendekatan pemulihan diintegrasikan ke
dalam
kegiatan perencanaan dan dalam setiap pertemuan membahas data lapangan.
Pada
kepertemuan persiapan dibuka sesi mendengarkan pengalaman masing-masing
pemantau.
Pengalaman ini lalu dipetakan sebagai data awal yang membantu
penyusunan
instrumen pemantauan. Namun, sesi ini juga menjadi langkah masuk
untuk
mengenali dan mengolah emosi yang dirasakan saat bercerita atau
mendengarkan
cerita yang dari orang lain. Pada pertemuan lanjutan, juga ada ruang
untuk
pemantau dapat curah rasa atas peristiwa yang ia alami sendiri maupun gejolak
emosi
yang ia rasakan dalam pengambilan informasi.
Ruang-ruang
curah rasa serupa ini juga diisi dengan saling memberikan usulan
tentang
cara mengolah emosi, dan yang trutama saling mendukung untuk melewati
masa
sulit tersebut. Dukungan ini sangat penting bagi pemulihan korban. Proses ini
juga
semakin mempertebal solidaritas antar korban/pemantau dan antar komunitas
korban
yang memungkinkan proses kerjasama yang lebih akrab dan intensif.
c.
Konsolidasi gerakan dan penajaman strategi advokasi
Jika
dihitung sejak masa perencanaan hingga pelaporan ini dilakukan, total waktu
yang
digunakan untuk pemantauan ini mencapai lima tahun. Proses ini berlangsung
berdampingan
dengan berbagai kegiatan advokasi baik di tingkat lokal,nasional
maupun
internasional.
Di
tingkat lokal, sejumlah pertemuan dilakukan bersamaan dengan perayaan ritual
adat.
Kehadiran para pemantau yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat
adat
dan komunitas kepercayaan memberikan semangat bagi komunitas yang
dikunjungi.
Ini adalah aksi solidaritas yang sangat penting dalam rangka konsolidasi
gerakan.
Dalam
pertemuan tersebut di atas juga diupayakan menghadirkan wakil dari otoritas
negara
di tingkat lokal dan nasional, seperti pemerintah daerah, Kementerian Dalam
Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan
Perlindungan Anak. Secara khusus, Komnas Perempuan juga menggelar kegiatan
“Pesan
Ibu Nusantara” dalam rangka memperingati Hari Ibu, 22 Desember, sebagai
ruang
bagi perempuan penghayat/penganut agama leluhur untuk bersuara,
menyampaikan
permasalahan yang dihadapi dan solusi yang ditawarkan. Dalam
Page 24 of 135
24
proses
pengumpulan informasi lapangan, tim pemantau juga beraudiensi dengan
otoritas
nasional, termasuk dengan pimpinan MPR dan DPD. Seluruh kegiatan ini
diharapkan
ada ruang pertemuan langsung antara negara dan komunitas korban
yang
akan menghasilkan percepatan pemajuan pemenuhan hak-hak konstitusional
bagi
komunitas korban.
Hasil
pertemuan kemudian dibahas secara terpisah dan menjadi pengetahuan yang
dibagikan
kembali ke masing-masing komunitas dan jaringan kerja advokasi. Hal ini
secara
langsung berkontribusi pada penajaman strategi advokasi yang tengah
dikembangkan
oleh komunitas dan secara umum, gerakan untuk mendorong
pemenuhan
hak konstitusional atas kemerdekaan beragama/berkeyakinan.
1.6.
Cakupan Wilayah dan Waktu serta Tim Pemantau
Dalam
pemantauan ini, cakupan daerah yang dipantau adalah sejajar dengan asal
komunitas
anggota
tim pemantau. Anggota tim dipilih berdasarkan rekomendasi oleh masing-masing
komunitas
yang menyatakan siap untuk menjadi mitra dalam pemantauan ini. Ada yang
merupakan
anggota dari komunitas dan ada pula pendamping komunitas. Adapun wilayah
yang
dimaksud mencakup Masyarakat Adat Bayan Wetu Telu, Lombok Utara, Nusa Tenggara
Barat
(NTB), Masyarakat Adat Botti dan Jinitiu di Nusa Tenggara Timur (NTT),
Masyarakat
Adat
Tolotang, Masyarakat adar Kajang dan Komunitas Bissu di Sulawesi Selatan
(Sulsel),
Kelompok
Aliran Kepercayaan Sapta Darma di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Masyarakat
Musi di Talaud, Sulawesi Utara, Masyarakat Adat Ngatatoro, Palu, Sulawesi
Tengah,
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, dan Masyarakat
adat
Kaharingan Kalimantan Tengah.7
Untuk
pemantauan ini, tindakan diskriminasi dan kekerasan yang dicatatkan adalah yang
terjadi
sejak diberlakukannya UU NO. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan, Penyalahgunaan
dan/atau
Penodaan Agama. UU ini dimaknai sebagai marka pelembagaan pemisahan antara
agama
dan kepercayaan di Indonesia.
Tim
pemantau terdiri dari tim dokumentator, tim asistensi dan tim diskusi. Terdapat
12
pemantau
yang melakukan wawancara kepada korban/narasumber, yaitu Dewi Kanti, Dian
Jenny,
Endek, Eveline Mauboy T, Hemy Koapaha, Mahniwati, Muharam, Ramlah, Rukmini
Paata
Toheke, Sarbini, Tenri Bibi dan Pera Sopariyanti. Dalam tim asisten terdapat
unsur dari
ANBTI
dan Komnas Perempuan, yaitu Nia Syarifuddin, Ellen Pitoi, Dwi Sabekti Dahlia
Madanih.
Sementara tim diskusi meliputi sejumlah ahli dan komisioner Komnas Perempuan
periode
2010-2014, khususnya dari Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum
7
Pada
awalnya juga adat wakil dari masyarakat penganut Parmalim di Sumatera Utara,
Masyarakat adat Talang
Mamak
di Riau dan Masyarakat Adat Osing di Jawa Timur. Hanya saja di dalam prosesnya,
anggota tim
pemantau
mengundurkan diri karena sejumlah alasan.
Page 25 of 135
25
Nasional
yaitu Husein Muhammad, Andy Yentriyani, Kunthi Tridewi. Sebab proses pelaporan
ini
berlarut hingga masa pergantian komisioner, dalam proses penyelesaiannya
komisioner
2011-2019
juga turut terlibat sebagai tim diskusi, yaitu Khariroh Ali, Nina Nurmila,
Indraswari,
Azriana,.
Tim penulis terdiri dari ketiga unsur agar memastikan keutuhan hasil diskusi
analisa
tergambar
di pelaporan akhir.
1.7.
Sistematika Laporan
Guna
memudahkan pemahaman pembaca, maka laporan ini disusun dengan menggunakan
sistematika
penulisan sebagai berikut:
1.
Bagian satu yang merupakan bagian pendahuluan berisikan tentang latar
belakang,
tujuan pemantauan, kerangka pemantauan, metodologi dan tahapan,
cakupan
pemantauan, informasi tentang tim pemantauan dan sistematika
penulisan
2.
Bagian dua menguraikan tentang temuan umum dan khusus dari kasus-kasus
kekerasan
dan diskriminasi terhadap perempuan dari pada komunitas-komunitas
yang
dipantau
3.
Bagian ketiga menjelaskan dampak dari kasus-kasus tersebut terhadap korban
dan
komunitas dan terutama dalam kerangka penegakan HAM dan keadilan
gender
4.
Bagian keempat membahas tentang perkembangan advokasi selama ini guna
menemu
kenali peluang dan tantangan ke depan
5.
Bagian kelima berisikan kesimpulan seluruh pembahasan dari laporan ini yang
diharapkan
membantu para pihak memahami keseluruhan uraian yang disajikan di
dalam
laporan ini, serta rekomendasi yang dihasilkan atas temuan-temuan
tersebut
Dalam
edisi pelaporan, dokumen ini juga dilengkapi dengan sebuah kesimpulan eksekutif
untuk
memudahkan pembaca mengenali temuan-temuan utama dan rekomendasi prioritas.
Sementara
itu, laporan utuh yang diterbitkan akan juga memuat perbaikan dan masukan
selama
proses pelaporan yang diserahkan kepada sejumlah wakil otoritas negara dan di
hadapan
publik. Termasuk di dalam laporan utuh tersebut adalah tanggapan dari setiap
pihak
yang menyampaikan secara tertulis maupun tidak tertulis dalam proses pelaporan
tersebut.
Tanggapan-tanggapan tersebut menjadi lampiran di samping dokumen-dokumen
lainnya
yang relevan.
Laporan-Penghayat-Edisi-Launching_3-Agustus-2016.pdf
0 Komentar untuk "Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat "