Persoalan Kolom Agama dalam KTP kembali marak dibicarakan. Beberapa aktivis menginisiasi sebuah petisi untuk penghapusan kolom agama dalam KTP ini. Apa sebenarnya masalah di balik pencantuman kolom agama ini?
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 9 Desember 2006, yang
dihadiri 80 orang di antara 550 anggota mengesahkan RUU Administrasi
Kependudukan (Adminduk) menjadi undang-undang. Mestinya, itu menjadi
berita gembira, mengingat selama ini kita menggunakan aturan
administrasi kependudukan produk kolonial.
Namun, pengesahan itu tidak serta merta menggembirakan mereka yang
benar-benar mendambakan hilangnya praktik diskriminasi dalam soal
administrasi kependudukan kita. Salah satu persoalan yang tidak
menggembirakan, bahkan mengecewakan, adalah masih tetap dicantumkannya
kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) kita.
Pada pasal 65 disebutkan: (1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda
Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan
tentang NIK (nomor induk kependudukan), nama, tempat tanggal lahir,
laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah,
alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan
tanggal dikeluarkan KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai
pejabat yang menandatanganinya.
Jika dibandingkan dengan aturan konstitusi yang kita punya, terlihat
sekali betapa parahnya inkonsistensi dalam produk hukum baru kita itu.
Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Nah, korban diskriminasi yang paling nyata dari pencantuman kolom
agama itu, antara lain, kalangan penghayat dan aliran kepercayaan. Dr
Wahyono Raharjo, penganut aliran Kapribaden yang juga ketua umum Badan
Perjuangan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan (BPKBB) menyampaikan surat
protes mengiringi pembahasan RUU tersebut.
Konon, perjuangan Dr Wahyono dan kalangan penganut kepercayaan agar
tidak didiskriminasi negara karena kepercayaan yang mereka anut sudah
dimulai sejak puluhan tahun lalu. Puluhan tahun pula mereka telah
mengalami apa yang mereka sebut psychological torture (penganiayaan
psikis) yang tak berujung. Dalam kasus perkawinan misalnya, petugas
catatan sipil tidak bersedia mencatatkan pengesahan perkawinan mereka.
Karena itu, dalam suratnya, Pak Wahyono menawarkan alternatif: jika
kolom agama tak dihapus, kolom kepercayaan mestinya juga dicantumkan
(agama/kepercayaan) untuk mengakomodasi ratusan aliran kepercayaan yang
tak kunjung diakui negara Pancasila ini.
Usul itu masuk akal karena banyak di antara aliran kepercayaan itu
yang justru merupakan "agama asli" yang sudah bermukim di Indonesia
sebelum adanya enam agama yang "diakui" negara. Jutaan penganut agama
asli itu selama ini terpaksa memilih satu di antara enam agama yang
"diakui" negara; sebuah hipokrisi yang dilegalkan negara selama puluhan
tahun.
Lalu, selesaikah soal diskriminasi oleh negara itu jika kolom kepercayaan juga disandingkan dengan kolom agama?
Ternyata tidak juga. Sebab, kita juga melihat adanya fakta dari
korban lain: mereka yang disiksa dan dibunuh berdasar agama yang
tercantum dalam kolom KTP mereka. Kasus konflik di Ambon dan Poso
menunjukkan fakta bahwa seseorang bisa saja terbunuh seketika hanya
karena ia berada dalam waktu dan tempat yang salah. Beberapa kasus
kerusuhan di Jakarta dan kota lain -yang entah oleh siapa bergeser
menjadi kerusuhan etnis dan agama- juga mencatatkan fakta serupa.
Mungkin, ada yang mengira bahwa itu adalah fakta yang kecil. Tapi,
diskriminasi dan penderitaan orang lain bukanlah soal data statistik.
Satu orang korban sudah lebih dari cukup untuk membuat kita menentukan
opsi keberpihakan. Jika dalam faktanya ada ribuan, bahkan jutaan, orang
terdiskriminasi dan menjadi korban akibat kolom agama pada KTP, betapa
teganya para pengambil keputusan di Senayan mempertahankan keberadaan
kolom itu. Betapa tumpulnya hati mereka menghadapi penderitaan
berkepanjangan para korban kolom agama.
Nada kesal dan putus asa tersirat tegas dalam surat Dr Wahyono:
"Semoga semua dibukakan hati nuraninya dan bisa tenggang rasa. Bagaimana
seandainya hal itu menimpa dirinya, anak-cucunya, saudaranya."
Entahlah. Mungkin ada banyak pemimpin bangsa ini yang hatinya terbuat
dari batu. Mereka menutup mata hati dari keluhan sekian juta anak bangsa
yang didiskriminasi dan ditindas secara berkelanjutan.
Tulisan ini pernah dimuat di: Jawa Pos, Kalteng Pos
0 Komentar untuk "Perihal Kolom Agama"