PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
37 TAHUN 2007
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (5), Pasal 10, Pasal 13 ayat (4),
Pasal 24 ayat (3), Pasal 76, Pasal 79 ayat (3), Pasal 82 ayat (3), Pasal 84
ayat (2), Pasal 85 ayat (2), Pasal 86 ayat (2), Pasal 87 ayat (2), dan Pasal
105 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
3.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban
dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk,
Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
2.
Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
3.
Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara
Indonesia.
4. Orang
Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan
dalam negeri.
6.
Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi
Kependudukan.
7.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugasnya
meliputi Administrasi Kependudukan.
8.
Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
9.
Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi
Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang
dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
10.
Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang
terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil.
11.
Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas
pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi
Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau
surat keterangan kependudukan.
12.
Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus
dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya
meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi
tinggal tetap.
13.
Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas
Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang
terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
14.
Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga
yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta
identitas anggota keluarga.
15.
Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi
Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16.
Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh
seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
17.
Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa
Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
18.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan
hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang
diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal
bangsa Indonesia.
19.
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut
Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
20.
Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan adalah bukti terjadinya perkawinan
Penghayat Kepercayaan yang dibuat, ditandatangani dan disahkan oleh Pemuka
Penghayat Kepercayaan.
21.
Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.
22.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK,
adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
untuk memfasilitasi pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan di tingkat
Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan.
23.
Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan
dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
24.
Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD
Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan
pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta.
25.
Petugas Rahasia Khusus adalah Petugas Reserse dan Petugas Intelijen yang
melakukan tugas khusus di luar daerah domisilinya.
26.
Dokumen Identitas Lainnya adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau Badan Hukum Publik dan Badan
Hukum Privat yang terkait dengan identitas penduduk, selain Dokumen
Kependudukan.
27.
Penduduk Pelintas Batas adalah penduduk yang bertempat tinggal secara turun
temurun di wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga yang melakukan lintas batas antar negara karena kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya.
28.
Daerah Perbatasan adalah daerah batas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan daerah batas wilayah negara tetangga yang disepakati bersama
berdasarkan perjanjian lintas batas (crossing border agreement) antara
Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga, berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan.
29.
Database adalah kumpulan berbagai jenis data kependudukan yang tersimpan
secara sistematik, terstruktur dan saling berhubungan dengan menggunakan
perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan komunikasi data.
30.
Data Center adalah tempat/ruang penyimpanan perangkat database pada
Penyelenggara Pusat yang menghimpun data kependudukan dari penyelenggara
provinsi, penyelenggara kabupaten/kota dan Instansi Pelaksana .
31.
Hak Akses adalah hak yang diberikan oleh Menteri kepada petugas yang ada
pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana untuk dapat mengakses database
kependudukan sesuai dengan izin yang diberikan.
32.
Pengguna Data Pribadi Penduduk adalah instansi pemerintah dan swasta yang
membutuhkan informasi data sesuai dengan bidangnya.
BAB II
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
Urusan Administrasi Kependudukan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Pemerintah
Pasal 3
Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menyelenggarakan Administrasi Kependudukan secara nasional, yang dilakukan oleh
Menteri dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi
antarinstansi dalam urusan Administrasi Kependudukan;
b. penetapan
sistem, pedoman, dan standar pelaksanaan Administrasi Kependudukan;
c. sosialisasi
Administrasi Kependudukan;
d. pemberian
bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan Administrasi
Kependudukan;
e. pengelolaan
dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional; dan
f. pencetakan,
penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan.
Pasal 4
Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a, Menteri berwenang mengadakan koordinasi:
a. secara
nasional dengan melibatkan departemen/lembaga pemerintah non departemen,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota secara berkala;
b. antarsusunan
pemerintahan yang terkait dengan penyelenggaraan urusan Administrasi
Kependudukan; dan
c. dengan
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pasal 5
(1) Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
b, Menteri berwenang menetapkan pedoman perencanaan dan pelaksanaan, standar
spesifikasi dan standar kualitas formulir, pengendalian serta pengawasan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman perencanaan dan pelaksanaan, standar
spesifikasi dan standar kualitas formulir, pengendalian serta pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6
Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
c, Menteri berwenang mengadakan:
a.
bahan sosialisasi;
b.
kerja sama dengan organisasi
kemasyarakatan dan perguruan tinggi;
c.
sosialisasi iklan layanan
masyarakat melalui media cetak dan elektronik; dan
d.
komunikasi, informasi dan
edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pasal 7
Dalam menyelenggarakan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
d, Menteri berwenang:
a.
menetapkan standar kualifikasi
sumber daya manusia pelaksana Administrasi Kependudukan;
b.
memberikan bimbingan teknis
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi kependudukan dan
pendayagunaan data kependudukan;
c.
melaksanakan supervisi kegiatan
verifikasi dan validasi data kependudukan serta penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan; dan
d.
memberikan konsultasi
pelaksanaan Administrasi Kependudukan.
Pasal 8
Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
e, Menteri menetapkan:
a.
tata cara pengelolaan data
kependudukan yang bersifat perseorangan, agregat dan data pribadi di pusat,
provinsi dan kabupaten/kota; dan
b.
tata cara penyajian data
kependudukan yang valid, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 9
(1) Dalam
menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, Menteri
menetapkan:
a.
standar dan spesifikasi blangko
Dokumen Kependudukan berupa blangko KK, KTP, Register Akta Pencatatan Sipil,
Kutipan Akta Pencatatan Sipil;
b.
perusahaan pencetak blangko
Dokumen Kependudukan berupa blangko KK, KTP, Register Akta Pencatatan Sipil,
Kutipan Akta Pencatatan Sipil; dan
c.
pedoman penerbitan dan
distribusi blangko dokumen kependudukan.
(2)
Penetapan perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui uji kompetensi
perusahaan pencetak blangko dokumen kependudukan.
(3)
Uji kompetensi perusahaan
pencetak blangko dokumen kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi persyaratan administratif dan teknis percetakan yang ditetapkan oleh
tim yang dibentuk oleh Menteri.
(4)
Menteri berwenang menetapkan
perusahaan pencetak blangko Dokumen Kependudukan dari yang telah dinyatakan
lulus uji kompetensi.
Pasal 10
Perusahaan pencetak yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) berhak mengikuti pengadaan blangko dokumen kependudukan.
(1) Pengadaan blangko Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Menteri berwenang melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap
pencetakan, pengadaan, penerbitan dan distribusi blangko dan formulir Dokumen
Kependudukan.
Bagian Ketiga
Pemerintah Provinsi
Pasal 11
Pemerintah provinsi berkewajiban dan bertanggung
jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh
gubernur dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi
penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b. pemberian
bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil;
c. pembinaan
dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
d. pengelolaan
dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi; dan
e. koordinasi
pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Pasal 12
(1) Dalam
menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a,
gubernur mengadakan koordinasi:
a.
dengan instansi vertikal dan
lembaga pemerintah non departemen; dan
b.
antar kabupaten/kota mengenai
penyelenggaraan urusan Administrasi Kependudukan.
(2) Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan.
Pasal 13
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b,
gubernur :
a.
memberikan bimbingan teknis
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi kependudukan dan
pendayagunaan data kependudukan;
b.
melaksanakan supervisi kegiatan
verifikasi dan validasi data kependudukan serta penyelenggaraan administrasi
kependudukan; dan
c.
memberikan konsultasi
penyelenggaraan administrasi kependudukan.
Pasal 14
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c,
gubernur mengadakan:
a.
koordinasi sosialisasi
antarinstansi vertikal dan lembaga pemerintah non departemen;
b.
kerja sama dengan organisasi
kemasyarakatan dan perguruan tinggi;
c.
sosialisasi iklan layanan
masyarakat melalui media cetak dan elektronik; dan
d.
komunikasi, informasi dan
edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pasal 15
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d,
gubernur melakukan:
a.
pengelolaan data kependudukan
yang bersifat perseorangan, agregat dan data pribadi; dan
b.
penyajian data kependudukan
yang valid, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e,
gubernur melakukan koordinasi pengawasan
antarinstansi terkait.
(2) Koordinasi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
rapat koordinasi, konsultasi, pencegahan dan tindakan koreksi.
Bagian Keempat
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 17
Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan
bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang
dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi
penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b. pembentukan
Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang Administrasi
Kependudukan;
c. pengaturan
teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
d. pembinaan
dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
e. pelaksanaan
kegiatan pelayanan masyarakat di bidang Administrasi Kependudukan;
f. penugasan
kepada desa atau nama lain untuk menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi
Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;
g. pengelolaan
dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota; dan
h. koordinasi
pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Pasal 18
(1) Dalam melaksanakan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, bupati/walikota
mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah
non departemen.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkaitan dengan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan
dan evaluasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Pasal 19
(1) Urusan administrasi kependudukan di kabupaten/kota dilaksanakan oleh
Instansi Pelaksana.
(2) Pelaksanaan pencatatan sipil yang meliputi pencatatan peristiwa kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian,
pengakuan anak di kecamatan tertentu dilakukan oleh UPTD Instansi Pelaksana.
Pasal 20
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c,
bupati/walikota mengadakan pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan, diatur dengan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota
berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan di bidang Administrasi
Kependudukan.
Pasal 21
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d,
bupati/walikota mengadakan:
a.
koordinasi sosialisasi
antarinstansi vertikal dan lembaga pemerintah non departemen;
b.
kerja sama dengan organisasi
kemasyarakatan dan perguruan tinggi;
c.
sosialisasi iklan layanan
masyarakat melalui media cetak dan elektronik; dan
d.
komunikasi, informasi dan
edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pasal 22
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e,
bupati/walikota menyelenggarakan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang
Administrasi Kependudukan, dilaksanakan secara terus menerus, cepat dan mudah
kepada seluruh penduduk.
Pasal 23
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf f,
bupati/walikota memberikan penugasan kepada desa atau nama lain untuk menyelenggarakan
sebagian urusan Administrasi Kependudukan berasaskan tugas pembantuan, disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia berdasarkan
Peraturan Bupati/Walikota.
Pasal 24
Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
g, bupati/walikota melakukan:
a.
pengelolaan data kependudukan
yang bersifat perseorangan, agregat dan data pribadi; dan
b. penyajian data kependudukan yang valid, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 25
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf h, bupati/walikota
melakukan koordinasi pengawasan antarinstansi terkait.
(2) Koordinasi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
rapat koordinasi, konsultasi, pencegahan dan tindakan koreksi.
Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
BAB III
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Instansi Pelaksana
Pasal 27
(1) Dalam menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan di kabupaten/kota,
dibentuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai Instansi Pelaksana
yang diatur dalam Peraturan Daerah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, dibentuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di
Provinsi dan Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di
kotamadya/kabupaten administrasi sebagai Instansi Pelaksana yang diatur dalam
Peraturan Daerah.
Pasal 28
Dalam melaksanakan ketentuan mengenai Administrasi Kependudukan, Instansi
Pelaksana berwenang:
a.
melakukan koordinasi dengan
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan Pengadilan Agama berkaitan dengan
pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam yang
dilakukan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan; dan
b.
melakukan supervisi bersama
dengan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan Pengadilan Agama mengenai
pelaporan pencatatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam rangka pembangunan
database kependudukan.
Pasal 29
Dalam melaksanakan ketentuan mengenai Administrasi Kependudukan, Instansi
Pelaksana mempunyai tugas:
a.
menyediakan dan menyerahkan
blangko dokumen kependudukan dan formulir untuk pelayanan pencatatan sipil
sesuai dengan kebutuhan;
b.
meminta laporan pelaksanaan
tugas, kewajiban dan kewenangan UPTD Instansi Pelaksana yang berkaitan dengan
pelayanan pencatatan sipil;
c.
melakukan pembinaan,
pembimbingan, dan supervisi terhadap pelaksanaan tugas, kewajiban dan
kewenangan UPTD Instansi Pelaksana; dan
d.
melakukan pembinaan,
pembimbingan, dan supervisi terhadap penugasan kepada desa atau nama lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 30
Dalam melaksanakan wewenang dan tugas mengenai Administrasi Kependudukan,
Instansi Pelaksana:
a.
melakukan koordinasi dengan
Kantor Departemen Agama kabupaten/kota dalam memelihara hubungan timbal balik
melalui pembinaan masing-masing kepada instansi vertikal dan UPTD Instansi
Pelaksana;
b.
melakukan koordinasi dengan
instansi terkait kabupaten/kota dalam penertiban pelayanan Administrasi
Kependudukan;
c.
meminta dan menerima data
kependudukan dari perwakilan Republik Indonesia di luar negeri melalui
bupati/walikota; dan
d.
melakukan koordinasi penyajian
data dengan instansi terkait.
Bagian Kedua
UPTD Instansi Pelaksana
Pasal 31
(1) Pembentukan
UPTD Instansi Pelaksana diprioritaskan pada kecamatan yang:
a.
kondisi geografis terpencil,
sulit dijangkau transportasi umum dan sangat terbatas akses pelayanan publik;
dan/atau
b.
memerlukan pemenuhan kebutuhan
pelayanan masyarakat.
(2) UPTD Instansi
Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Instansi Pelaksana.
(3) UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan
Peraturan Daerah.
Pasal 32
(1) UPTD Instansi Pelaksana mempunyai tugas melakukan pelayanan pencatatan
sipil.
(2) Pelayanan pencatatan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.
kelahiran;
b.
kematian;
c.
lahir mati;
d.
perkawinan;
e.
perceraian;
f.
pengakuan anak;
g.
pengesahan anak;
h.
pengangkatan anak;
i.
perubahan nama;
j.
perubahan status
kewarganegaraan;
k.
pembatalan perkawinan;
l.
pembatalan perceraian; dan
m.
peristiwa penting lainnya.
(3) Pelaksanaan
tugas pelayanan pencatatan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan
pada Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 33
Pejabat Pencatat Sipil pada UPTD Instansi Pelaksana berwenang menerbitkan
Kutipan Akta Catatan Sipil yang meliputi akta:
a.
kelahiran;
b.
kematian;
c.
perkawinan;
d.
perceraian; dan
e.
pengakuan anak.
Pasal 34
Wilayah kerja UPTD Instansi Pelaksana yang
dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat meliputi 1 (satu) kecamatan
atau lebih yang secara geografis berdekatan.
Pasal 35
Susunan organisasi dan tata kerja serta esselonisasi UPTD Instansi
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 disesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah mengenai pedoman pembentukan perangkat daerah.
BAB IV
NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN
Pasal 36
(1) Pengaturan NIK meliputi penetapan digit NIK, penerbitan
NIK dan pencantuman NIK.
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara
nasional oleh Menteri.
Pasal 37
(1) NIK terdiri dari 16 (enam belas)
digit terdiri atas:
a.
6 (enam) digit pertama merupakan kode wilayah provinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan tempat tinggal pada saat mendaftar;
b.
6 (enam) digit kedua adalah tanggal, bulan, dan tahun kelahiran dan khusus
untuk perempuan tanggal lahirnya ditambah angka 40; dan
c.
4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut penerbitan NIK yang diproses
secara otomatis dengan SIAK.
(2) 16 (enam belas) digit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diletakkan pada posisi mendatar.
Pasal 38
(1) NIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diterbitkan oleh
Instansi Pelaksana.
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku seumur
hidup dan selamanya, tidak berubah dan tidak mengikuti perubahan domisili.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
setelah dilakukan pencatatan biodata penduduk sebagai dasar penerbitan KK dan
KTP pada Instansi Pelaksana tempat domisili yang bersangkutan.
(4) Penerbitan NIK bagi bayi yang lahir di luar wilayah
administrasi domisili, dilakukan setelah pencatatan biodata penduduk pada
Instansi Pelaksana tempat domisili orang tuanya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
penerbitan biodata penduduk, KK dan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Dokumen Identitas Lainnya
Pasal 39
(1) Pada setiap dokumen identitas lainnya yang diterbitkan
oleh Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau Badan Hukum Publik dan
Badan Hukum Privat wajib dicantumkan
NIK.
(2) NIK dicantumkan pada kolom khusus yang disediakan pada
setiap dokumen identitas lainnya yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 40
(1) Dokumen Identitas lainnya
diterbitkan oleh Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Hukum
Publik atau Badan Hukum Privat.
(2) Dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen identitas diri dan bukti
kepemilikan.
Bagian Keempat
Persyaratan dan Tata Cara
Penerbitan Dokumen Identitas Lainnya
Pasal 41
Dokumen identitas lainnya yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 harus memenuhi persyaratan yang meliputi dokumen resmi
dan bukti diri pemegangnya.
Pasal 42
Penerbitan
dokumen identitas lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan dengan
cara pemohon menunjukkan/menyerahkan fotokopi KTP atau dokumen kependudukan
lainnya untuk melengkapi persyaratan yang ditetapkan oleh instansi atau badan
yang menerbitkan dokumen identitas lainnya.
BAB V
PENERBITAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN BAGI
PETUGAS RAHASIA KHUSUS
Bagian Kesatu
Persyaratan dan Tata Cara Penerbitan
Kartu Tanda Penduduk Khusus
Pasal 43
(1) Petugas Rahasia Khusus diberikan Kartu Tanda Penduduk
Khusus, untuk memberikan perlindungan dan menjamin kerahasiaan identitas selama
menjalankan tugas rahasia.
(2) Kartu Tanda Penduduk Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan spesifikasi yang sama dengan
spesifikasi Kartu Tanda Penduduk Nasional.
(3) Penerbitan Kartu Tanda Penduduk Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan pencatatan biodata penduduk dan KK dari
Petugas Rahasia Khusus.
Pasal 44
(1) Kepala/Pimpinan Lembaga
mengajukan surat permintaan Kartu Tanda Penduduk Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 kepada Kepala Instansi Pelaksana.
(2) Surat permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Instansi Pelaksana yang wilayah
kerjanya meliputi tempat domisili Petugas Rahasia Khusus.
(3) Dalam surat permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan informasi identitas Petugas
Rahasia Khusus yang dikehendaki dan jangka waktu penugasan.
Pasal 45
(1) Berdasarkan surat permintaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Instansi Pelaksana menerbitkan Kartu Tanda
Penduduk Khusus.
(2) Kartu Tanda Penduduk Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari
kerja sejak surat permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diterima oleh
Kepala Instansi Pelaksana.
(3) Penerbitan Kartu Tanda Penduduk
Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa dipungut biaya.
(4) Kartu Tanda Penduduk Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun.
Bagian Kedua
Penyimpanan Data Petugas Rahasia Khusus
dan Pengembalian serta
Pencabutan
Kartu Tanda Penduduk Khusus
Pasal 46
(1) Data Petugas Rahasia Khusus
direkam dan disimpan dalam Registrasi Khusus di kabupaten/kota.
(2)
Data Petugas Rahasia Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dijaga keamanan dan dilindungi kerahasiaannya oleh Kepala Instansi Pelaksana.
Pasal 47
(1) Petugas Rahasia Khusus yang
tidak lagi menjadi Petugas Rahasia Khusus sebelum berakhirnya masa berlaku
Kartu Tanda Penduduk Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4),
Petugas Rahasia Khusus wajib menyerahkan Kartu Tanda Penduduk Khusus kepada
Kepala/Pimpinan Lembaga.
(2) Kepala/Pimpinan Lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembalikan Kartu Tanda Penduduk
Khusus kepada Kepala Instansi Pelaksana yang menerbitkan.
(3) Kartu Tanda Penduduk Khusus
yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dimusnahkan oleh
Kepala Instansi Pelaksana.
Pasal 48
(1) Instansi Pelaksana berwenang
mencabut Kartu Tanda Penduduk Khusus apabila Kartu Tanda Penduduk Khusus tidak
dikembalikan sejak saat berakhirnya masa tugas Petugas Rahasia Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
(2) Dalam hal Kartu Tanda Penduduk
Khusus berakhir masa berlakunya sebelum masa tugas berakhir tidak diberitahukan
kepada Instansi Pelaksana, Instansi Pelaksana berwenang mencabut.
(3) Dalam hal masa tugas
diperpanjang, Instansi Pelaksana berkewajiban memperpanjang dan menerbitkan
Kartu Tanda Penduduk Khusus sebagai pengganti Kartu Tanda Penduduk Khusus yang
telah dicabut.
BAB VI
HAK AKSES DATA DAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN
Pasal 49
(1) Menteri memberikan hak akses kepada petugas yang memenuhi
persyaratan.
(2) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai
negeri sipil, pada:
a. Direktorat Jenderal untuk penyelenggara pusat;
b. Pemerintah provinsi yang bidang tugasnya dalam urusan
Administrasi Kependudukan untuk penyelenggara provinsi;
c. Sekretariat Daerah kabupaten/kota yang bidang tugasnya
mengkoordinasikan urusan Administrasi Kependudukan untuk penyelenggara
kabupaten/kota; dan
d. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota
untuk Instansi Pelaksana.
Pasal 50
(1) Petugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 yang diberikan hak akses
adalah pegawai negeri sipil yang
memenuhi persyaratan:
a. pada penyelenggara pusat memiliki pangkat/golongan paling
rendah Penata Muda Tingkat I (III/b);
b. pada penyelenggara provinsi memiliki pangkat/golongan
paling rendah Penata Muda (III/a);
c. pada penyelenggara kabupaten/kota memiliki
pangkat/golongan paling rendah Pengatur Tingkat I (II/d);
d. pada Instansi Pelaksana memiliki pangkat/golongan paling
rendah Pengatur (II/c);
e. memiliki DP3 dengan predikat baik;
f. memiliki kompetensi yang cukup di bidang pranata
komputer; dan
g. memiliki dedikasi dan tanggung jawab terhadap tugasnya.
(2) Hak akses petugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. menderita sakit permanen sehingga tidak bisa menjalankan
tugasnya;
d. tidak cakap melaksanakan tugas dengan baik; dan/atau
e. membocorkan data dan dokumen kependudukan.
(3) Pencabutan hak akses sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.
Pasal 51
(1) Ruang lingkup hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (1) yang diberikan oleh Menteri kepada petugas Penyelenggara Pusat,
provinsi, kabupaten/kota dan Instansi Pelaksana meliputi memasukkan, menyimpan,
membaca, mengubah, meralat dan menghapus serta mencetak data, mengkopi data dan
dokumen kependudukan.
(2) Penyelenggara Pusat, provinsi, kabupaten/kota dalam
memasukkan, menyimpan, mengubah, meralat dan menghapus serta mencetak data,
mengkopi data dan dokumen kependudukan dilakukan setelah melakukan verifikasi
secara berjenjang.
(3) Dalam
menyelenggarakan hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
ketentuan:
a. penyelenggara pusat berdasarkan data dari penyelenggara
provinsi;
b. penyelenggara provinsi berdasarkan data dari
penyelenggara kabupaten/kota; dan
c. penyelenggara kabupaten/kota berdasarkan data dari
Instansi Pelaksana.
Pasal 52
Hak akses
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikecualikan dari data pribadi penduduk.
Pasal 53
Pemberian dan
pencabutan hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilaksanakan dengan
cara:
a. pemberian hak
akses kepada petugas pada penyelenggara provinsi, kabupaten/kota dan Instansi
Pelaksana diusulkan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal untuk:
1.
petugas pada Instansi Pelaksana dan penyelenggara kabupaten/kota diusulkan
oleh bupati/walikota melalui gubernur; dan
2.
petugas pada penyelenggara provinsi diusulkan oleh gubernur.
b. petugas pada
Penyelenggara Pusat diusulkan oleh Direktur Jenderal kepada Menteri.
Pasal 54
(1) Perubahan data kependudukan dalam database dapat
dilakukan secara berjenjang berdasarkan perubahan data dari Instansi Pelaksana.
(2) Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian data kependudukan
pada tingkat pusat, penyesuaian data dilakukan oleh Instansi Pelaksana.
(3) Penyesuaian data dilakukan oleh Instansi Pelaksana secara
berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Penyelenggara
Pusat melalui penyelenggara provinsi.
BAB VII
DATA PRIBADI PENDUDUK
Bagian Kesatu
Catatan Peristiwa Penting
Pasal 55
(1) Catatan peristiwa penting merupakan data pribadi
penduduk.
(2) Catatan peristiwa penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. anak lahir di luar kawin, yang dicatat adalah mengenai
nama anak, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal
kelahiran ibu; dan
b. pengangkatan anak, yang dicatat adalah mengenai nama ibu
dan bapak kandung.
Bagian Kedua
Penyimpanan dan Perlindungan Data Pribadi Penduduk
Pasal 56
Data pribadi yang
ada pada database Penyelenggara dan Instansi Pelaksana disimpan dalam database
pada data center.
Pasal 57
(1) Data pribadi penduduk pada
database sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dikelola sebagai bahan informasi
kependudukan.
(2) Data pribadi penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diakses setelah mendapat izin untuk
mengakses dari Menteri.
Pasal 58
Instansi
pemerintah dan swasta sebagai pengguna data pribadi penduduk, dilarang
menjadikan data pribadi penduduk sebagai bahan informasi publik.
Pasal 59
Pemegang hak
akses data pribadi penduduk dilarang menjadikan data pribadi penduduk sebagai
bahan informasi publik, sebelum mendapat persetujuan dari pemberi hak
akses.
Pasal 60
Dalam hal
kepentingan keamanan negara, tindakan kepolisian dan peradilan, data pribadi
penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dapat diakses dengan mendapat
persetujuan dari Menteri.
Bagian Ketiga
Persyaratan dan Tata Cara
Memperoleh dan Menggunakan Data Pribadi Penduduk
Pasal 61
(1) Untuk memperoleh data pribadi penduduk, pengguna harus
memiliki izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
lingkup data yang diperlukan.
(2) Data pribadi penduduk yang diperoleh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hanya dapat digunakan sesuai dengan keperluannya yang tercantum
dalam surat izin.
Pasal 62
(1) Data pribadi penduduk dapat diperoleh dengan cara:
a. pengguna mengajukan permohonan izin kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota dengan menyertakan maksud dan tujuan penggunaan
data pribadi penduduk;
b. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan seleksi
untuk menentukan pemberian izin.
(2) Jawaban
atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
diberikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
(3) Petugas penerima hak akses berdasarkan izin sebagaimana
dimaksud pada huruf b, memberikan data pribadi penduduk sesuai dengan izin yang
diperoleh.
BAB VIII
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PENDAFTARAN PENDUDUK PELINTAS BATAS
Bagian Kesatu
Persyaratan Pendaftaran
Pasal 63
(1) Penduduk pelintas batas yang bermaksud melintas batas
negara wajib memiliki Buku Pas Lintas Batas dari instansi berwenang.
(2) Buku Pas Pelintas Batas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi dasar pendaftaran penduduk pelintas batas.
Pasal 64
(1) Penduduk pelintas batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
63 didaftar oleh Instansi Pelaksana.
(2) Instansi Pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melakukan pendaftaran setelah pelintas batas memiliki
Buku Pas Lintas Batas.
Pasal 65
Instansi
Pelaksana melakukan verifikasi dan validasi data penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64.
Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 66
Pendaftaran
penduduk pelintas batas dilakukan oleh Pejabat Instansi Pelaksana dengan cara:
a. berkoordinasi dengan Kantor Imigrasi perbatasan;
b. mendata penduduk pelintas batas yang telah memiliki Buku
Pas Lintas Batas di kantor/pos lintas batas di perbatasan;
c. melakukan pencatatan dalam Buku Pendaftaran Penduduk
Pelintas Batas.
Pasal 67
Dalam
melaksanakan pendaftaran penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Instansi
Pelaksana menempatkan petugas pendaftar pada kantor/pos lintas batas setempat.
Pasal 68
Instansi
Pelaksana melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap petugas pendaftar
penduduk pelintas batas.
Pasal 69
(1) Instansi Pelaksana melaporkan pelaksanaan pendaftaran
penduduk pelintas batas kepada Penyelenggara kabupaten/kota.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan
secara periodik dan berjenjang.
BAB IX
SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Bagian Kesatu
Tujuan SIAK
Pasal 70
Pengelolaan
SIAK bertujuan:
a. meningkatkan kualitas pelayanan Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil;
b. menyediakan data dan informasi skala nasional
dan daerah mengenai hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang
akurat, lengkap, mutakhir dan mudah diakses;
c. mewujudkan pertukaran data secara sistemik
melalui sistem pengenal tunggal, dengan tetap menjamin kerahasiaan.
Bagian Kedua
Unsur SIAK
Pasal 71
SIAK merupakan
satu kesatuan kegiatan terdiri dari unsur:
a. database;
b. perangkat teknologi informasi dan komunikasi;
c. sumber daya manusia;
d. pemegang hak akses;
e. lokasi database;
f. pengelolaan database;
g. pemeliharaan database;
h. pengamanan database;
i.
pengawasan database; dan
j.
data cadangan (back-up data/disaster
recovery centre).
Pasal 72
(1) Database Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
huruf a merupakan kumpulan berbagai jenis data kependudukan yang sistematis,
terstruktur dan tersimpan yang saling berhubungan satu sama lain dengan
menggunakan perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan komunikasi data.
(2) Database sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
pusat, provinsi dan kabupaten/kota dengan ruang lingkup sebagai berikut :
a. Database pada Penyelenggara Pusat meliputi database yang
bersumber dari seluruh Instansi Pelaksana dan dari penyelenggara provinsi;
b. Database pada penyelenggara provinsi
bersumber dari penyelenggara kabupaten/kota dan Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil; dan
c. Database pada penyelenggara kabupaten/kota
berada pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
(3) Penyelenggara provinsi berkewajiban melakukan pengawasan
data pada database Instansi Pelaksana berdasarkan database sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b.
Pasal 73
(1) Perangkat teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 huruf b diperlukan untuk mengakomodasi penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan dilakukan secara tersambung (online), semi
elektronik (offline) atau manual.
(2) Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan secara semi
elektronik (offline) atau manual hanya dapat dilakukan oleh Instansi
Pelaksana bagi wilayah yang belum memiliki fasilitas komunikasi data.
Pasal 74
(1) Sumber Daya Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
huruf c adalah pranata komputer.
(2) Dalam hal pranata komputer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum tersedia, dapat menggunakan sumber daya manusia yang mempunyai
kemampuan di bidang komputer.
Pasal 75
Pemegang hak
akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d adalah petugas yang diberi
hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 76
Lokasi database sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 huruf e berada di:
a. Direktorat Jenderal pada Pemerintah Pusat;
b. Unit kerja daerah yang bidang tugasnya meliputi Administrasi
Kependudukan pada Pemerintah Provinsi; dan
c. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada pemerintah
kabupaten/kota.
Pasal 77
Pengelolaan
database sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf f meliputi kegiatan:
a. perekaman data pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil
ke dalam database kependudukan;
b. pengolahan data pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. penyajian data sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagai
informasi data kependudukan; dan
d. pendistribusian data sebagaimana dimaksud pada huruf c
untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang pemerintahan dan pembangunan.
Pasal 78
(1) Pemeliharaan, pengamanan dan pengawasan database
kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, huruf h, dan huruf i
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Pemeliharaan, pengamanan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi data dalam database, perangkat keras, perangkat
lunak, jaringan komunikasi, data center dan data cadangan (back-up
data/disaster recovery centre).
(3) Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri menetapkan tata cara dan prosedur
pemeliharaan, pengamanan dan pengawasan database kependudukan.
Bagian ketiga
Pembiayaan
Pasal 79
Segala biaya
yang diperlukan bagi pelaksanaan penyelenggaraan SIAK dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 80
(1) Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan SIAK sesuai dengan wewenang dan
tanggungjawabnya.
(2) Pembiayaan jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan
SIAK, dari:
a. kecamatan ke kabupaten/kota dan kabupaten/kota ke
provinsi menjadi beban pemerintah kabupaten/kota; dan
b. provinsi ke pusat menjadi beban pemerintah provinsi.
BAB X
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PENCATATAN PERKAWINAN BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN
Pasal 81
(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan
Pemuka Penghayat Kepercayaan.
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk
mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina
organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 82
Peristiwa
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada
Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh)
hari dengan menyerahkan:
a. surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;
b. fotokopi KTP;
c. pas foto suami dan istri;
d. akta kelahiran; dan
e. paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.
Pasal 83
(1) Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana
mencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tata cara:
a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada
pasangan suami istri;
b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang
tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan; dan
c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan
kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(2) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.
BAB XI
PELAPORAN
Pasal
84
(1) Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dilaporkan secara berjenjang
sesuai dengan susunan pemerintahan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berkala
kepada Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 85
(1) Menteri mengoordinasikan pelaporan mengenai penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan dengan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(2) Menteri melaporkan hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Presiden.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 86
Petugas Rahasia Khusus yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 87
(1) Kepala Instansi Pelaksana yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dikenai
sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Kepala Instansi Pelaksana yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (3) dikenai
sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 88
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a.
pelayanan administrasi yang
berkaitan dengan pencatatan sipil di kecamatan, masih tetap dilaksanakan oleh
Instansi Pelaksana sampai dibentuknya UPTD Instansi Pelaksana; dan
b.
Perkawinan Penghayat
Kepercayaan yang dilakukan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku wajib
dicatatkan paling lama 2 (dua) tahun setelah memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 huruf a, huruf b, huruf c dan/atau huruf e.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
(1) Semua ketentuan pelaksanaan urusan Administrasi Kependudukan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Semua Peraturan Menteri yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini sudah diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan.
Pasal 90
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni
2007
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 28
Juni 2007
MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 80
PENJELASAN
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37
TAHUN 2007
TENTANG
PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
I. UMUM
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengamanatkan bahwa
pelaksanaan Pasal 8 ayat (5), Pasal 10, Pasal 13 ayat (4), Pasal 24 ayat (3),
Pasal 76, Pasal 79 ayat (3), Pasal 82 ayat (3), Pasal 84 ayat (2), Pasal 85
ayat (2), Pasal 86 ayat (2), Pasal 87 ayat (2), dan Pasal 105 diatur dengan
Peraturan Pemerintah, sehingga untuk melaksanakan ketentuan dimaksud diperlukan
8 (delapan) Peraturan Pemerintah.
Untuk memudahkan
pemahaman bagi Penyelenggara, Instansi Pelaksana, Unit Pelaksana Teknis Dinas
Instansi Pelaksana dan Penduduk dalam penyelenggaraan pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil, 8 (delapan) Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan yang
tersebut di atas digabung menjadi 1 (satu) Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Pokok-pokok
pengaturan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain pembentukan
Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, Pencantuman NIK pada dokumen
kependudukan dan identitas lainnya, Penerbitan Dokumen Kependudukan Bagi
Petugas Rahasia Khusus, Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, dan
Pelaporan Perkawinan Penghayat Kepercayaan.
Unit Pelaksana
Teknis Dinas Instansi Pelaksana dibentuk di wilayah kecamatan berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Instansi Pelaksana serta mempunyai tugas melakukan
pelayanan pencatatan sipil.
Nomor Induk
Kependudukan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana setelah dilakukan pencatatan
biodata penduduk dan dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan dan dokumen
identitas lainnya.
Untuk memberikan
perlindungan dan menjamin kerahasiaan identitas selama menjalankan tugas
rahasia, Petugas Rahasia Khusus diberikan Kartu Tanda Penduduk Khusus.
Pengelolaan
Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh Menteri melalui pembangunan
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, dengan tujuan antara lain
meningkatkan kualitas pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Perkawinan
Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan sebagai suatu
wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi di kementerian yang
membidangi pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Peristiwa
perkawinan tersebut wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit
Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana dengan menyerahkan antara lain surat
perkawinan penghayat kepercayaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat” dalam ketentuan ini antara lain
meliputi pelayanan pencatatan sipil penduduk yang memerlukan Kutipan Akta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
dokumen identitas diri adalah seperti surat identitas pilot Indonesia, dan/atau
kartu advokat, surat identitas diri dan profesi.
Yang dimaksud
dengan bukti kepemilikan adalah seperti Paspor, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
Polis Asuransi, Sertifikat Hak atas tanah, Surat Ijin Mengemudi (SIM), Buku
Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Ijazah SMU atau yang sederajat dan
Ijazah Perguruan Tinggi.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
organisasi penghayat kepercayaan adalah suatu wadah penghayat kepercayaan yang
terdaftar pada instansi di kementerian yang membidangi pembinaan teknis
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4736
0 Komentar untuk "UU No 23 Th 2006: ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,"