“Ajaran Saminisme
muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang
sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud
penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus
dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak.
Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan,
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.”
Pokok-Pokok Ajaran
1.Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
2.Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
3.Bersikap sabar dan jangan sombong.
4.Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
5.Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
2.Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
3.Bersikap sabar dan jangan sombong.
4.Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
5.Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Daerah Penyebaran
Tersebar pertamakali di daerah
Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di
dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai
dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng
Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di
Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki
jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun
1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan,
orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti
dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah
Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917,
tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan
Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Tokoh Perintis Ajaran
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah
Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari
ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu
kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran
tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan
viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka
mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak
dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya
nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin
melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar
pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada
keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga
menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari
menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan
ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal
dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika
Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai
pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya
melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi
gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum
tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo
pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun
kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan
yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri,
mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh
Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat
mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya,
bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul
Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom
kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi
Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai
Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai
dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus
kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang
bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia
bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai
Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun
insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama,
gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system
feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua,
gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan
ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak,
tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria
dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo,
gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk
“kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai
gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan
ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk
puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara
historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali
dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha
sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya
ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari
ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng
Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian
masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003)
diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora),
Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar
(Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan
meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan
penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di
Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok
membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa
membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda
geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak
kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih
mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa
yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik,
bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang
untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin
selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan
luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi,
remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang
ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang
Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat
setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang
dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya.
Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkimpoian adalah unik, mereka
menganggap bahwa dengan melalui rites perkimpoian, mereka dapat belajar
ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih
kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak
lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti
traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah
kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain
kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata
cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin
yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara
hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari
(Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya
fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal,
yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan
tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama
mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan
kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar
warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli
pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi
barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu
cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat
akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani,
hormat dan setia pada dunia intelektual.Dengan suguhan tulisan ini,
diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya lebih
terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang
sebuah reailtas yang ada.
Pergerakan Orang Samin
Tahun 1908,
Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin.
Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik
Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar
Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa
pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin,
menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan
ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran
Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan
puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial
belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin
sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di
Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai
Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak
membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang
aparat desa dan Polisi Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi
perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau
membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan
Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena
tidak ada figur pimpinan yang tanggguh Dalam naskah tulisan tangan yang
diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan,
disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto.
Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan
bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar ,
adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat
pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah
Kolonial Belanda dengan cara lain
0 Komentar untuk "Ajaran Samin di Pati dan Jepara, Jawa Tengah "