JAKARTA, KOMPAS
— Para penghayat kepercayaan dan agama-agama lokal di Indonesia
bukanlah tamu di negeri sendiri. Semua agama atau kepercayaan semestinya
mendapatkan perlakuan, hak, dan kewajiban yang sama. Hal itu termaktub
dengan jelas di dalam Pancasila.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi
Latif, mengatakan hal itu dalam sarasehan Anggoro Kasih atau penghayat
kepercayaan, Senin (18/7) malam, di Jakarta. Pembicara lain dalam acara
yang dimoderatori Engkus Rusmana itu ialah Asep Setia Pujanegara,
penghayat Budi Daya.
Sarasehan digelar Direktorat? Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut Yudi, Pancasila tidak menghendaki
perwujudan negara agama, yang merepresentasikan satu aspirasi kelompok
keagamaan. Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai
ketuhanan yang positif, digali dari nilai-nilai profetis agama-agama
yang inklusif, membebaskan, serta memuliakan keadilan dan persaudaraan.
BELUM MAKSIMAL
Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Masa Esa dan Tradisi Kemdikbud Sri Hartini mengakui, pelayanan negara
kepada para penghayat belum maksimal. Pemerintah pusat memerlukan
sinergi dengan pemerintah daerah untuk memberikan fasilitas dan
perlakuan adil kepada para penghayat, termasuk penganut agama lokal,
seperti Merapu dan Sunda Wiwitan.
Asep mengalami sendiri sulitnya
berhadapan dengan birokrasi setempat saat ingin mengesahkan
pernikahannya sebagai penghayat Budi Daya. Asep yang berprofesi arsitek
dan memiliki padepokan seni tradisi itu membutuhkan waktu enam tahun
hingga pernikahannya disahkan oleh negara.
Proses pengesahan menyulitkan karena
warga negara harus memilih enam agama, yakni Islam, Katolik, Kristen,
Hindu, Buddha, serta Khonghucu. (IVV)
Versi cetak artikel ini t
0 Komentar untuk "Hargai Penghayat Kepercayaan"