Pertanyaan
ini selalu muncul dibenak banyak orang sampai saat ini. Namun
berdasarkan analisis sederhana dari berbagai pihak atas kekacauan
Indonesia sampai saat ini bisa kita simak penelusuran tersebut.
Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
1) Jaman Majapahit (SERAT DARMOGANDUL) (oleh Laurent)
2) Jaman Pajajaran (oleh wachdiejr)
3) Mohtar Lubis : Islam masuk Indonesia secara damai ?
4) Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung
5) KERIS: lambang peradaban Melayu (pra-Islam) yg dihancurkan Islam, oleh : Orang Melayu, Dr Fachdie Noor
6)
Ulasan ttg buku VS NAIPAUL, ‘Beyond belief : Islamic Excursions Among
the Converted Peoples. In the Land of Converts: An Islamic Journey’
7) Jihad di Lombok & Bali
A. Kontroversi Serat Darmo Gandhul:
Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?
Masuknya
Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa.
Salah satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang kontroversial itu.
Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu dipaparkan perjalanan
beberapa wali, juga hambatan dan benturan dng budaya dan kepercayaan
lokal.
Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,pengarangnya
adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi, yang
berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk prosa
dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja
mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di
Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah,
terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu
dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan
pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka
menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin
mengIslamkan P Jawa.
Terkait
dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa,
kebetulan saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya berbahasa
Jawa Kuno. Yang saya kirimkan berikut ini adalah versi yang tidak
lengkap, bersumber dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa baca
dan menilai sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo
menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus
kritis menyikapi isi cerita yang mungkin amat tendensius ini.
Serat Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang,berukuran
9cm x 9cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat Darmo Gandhul yang
dimuat berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Isi dari serat ini
rasanya masih relevan dikaitkan dengan zaman sekarang, dimana mulai
bermunculan kelompok fundamentalis Islam, terorisme yang mengatas
namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi untuk mendirikan
kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara Asia
Tenggara lainnya.
Tokoh2 terkait:
Para penulis : - Darmo Gandhul - murid Ki Kalam Wadi
- Ki Kalam Wadi - penulis serat- Raden Budi - guru Ki Kalam Wadi
- Ki Kalam Wadi - penulis serat- Raden Budi - guru Ki Kalam Wadi
Para pelaku :
- Prabu Brawijaya - Raja Majalengka (Majapahit), raja Majapahit terakhir, yg dgn sedih harus menyaksikan kerajaannya dicabik2 oleh puteranya, Raden Patah, yg melawan ayahnya yg dianggapnya ‘Budha kafir kufur’.
- Prabu Brawijaya - Raja Majalengka (Majapahit), raja Majapahit terakhir, yg dgn sedih harus menyaksikan kerajaannya dicabik2 oleh puteranya, Raden Patah, yg melawan ayahnya yg dianggapnya ‘Budha kafir kufur’.
- Putri Campa (Dwarawati? Dara Petak?) - permaisuri Prabu Brawijaya
dari Cina yg memperkenalkan Islam pada PB, yg kemudian disesali PB
dari Cina yg memperkenalkan Islam pada PB, yg kemudian disesali PB
- Sayid Rahmad - kemenakan Putri Campa (Sunan Ampel) yg diberi ijin
PB utk menyebar Islam di Jawa
PB utk menyebar Islam di Jawa
-
Sayid Kramat - Sunan Bonang, tokoh licik yg mengakibatkan permusuhan
antara PB dgn puteranya sendiri, Raden Patah. Ialah yg mengajarkan Raden
Patah utk membenci ayahnya yg kafir. Sesuai dgn buku ’suci’ Islam :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pelindung-pelindungmu,
jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di
antara kamu yang menjadikan mereka pelindung-pelindungmu, maka mereka
itulah orang-orang yang lalim. [9.24]
- Raden Patah (Babah) - putra Prabu Brawijaya, dikenal juga sbg Adipati Demak/Senapati Jimbuningrat/Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak/Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Putera lalim yg membawa kesengsaraan pada Majapahit & akhirnya,
tanah air kita ini. (Di SMA, kami tidak pernah diajarkan bahwa
kejatuhan Majapahit sebenarnya diakibatkan oleh kerakusan seorang anak.
Paling Cuma dikatakan : Majapahit vs Demak)
-
Sunan Kalijaga : negosiator licik yg ingin merebut kembali hati PB
setelah RP menyesali perbuatannya. Sunan Kalijaga ini yg menarik PB
masuk Islam. Perbuatan PB ini kemudian dicela oleh tokoh bijak, Ki
Sabdapalon.
dll :
- Raden Kusen (Raden Husen/Raden Arya Pecattanda) - saudara kandung
Raden Patah (lain ayah)
- Ki Bandar - sahabat Sunan Bonang
- Bandung Bondowoso
- Nyai Plencing - dedemit
- Buta Locaya - raja dedemit (mantan Patih Sri Jayabaya)
- Ni Mas Ratu Pagedongan (Ni Mas Ratu Angin-Angin)
- Kyai Tunggul Wulung
- Kyai Patih
- Syech Siti Jenar
- Tumenggung Kertosono
- Sunan Giri
- Arya Damar - Bupati Palembang
- Patih Mangkurat
- Setyasena - komandan pasukan Cina Islam
- Bupati Pati
- Adipati Pengging
- Adipati Pranaraga
- Sabdo Palon
- Naya Genggong
Darmagandhul,
karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang
macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk
ini ditulis oleh Ki Kalamwadi, waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah
1830 Jawa. Amanat ajaran dalam teks dituangkan dalam bentuk dialaog
antara Ki Kalamwadi dengan Darmagandhul, isi teks menceritakan jatuhnya
kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu
para wali.
Ki
Kalamwadi berguru kepada Raden Budi, sementara Raden budi mempunyai
murid bernama Darmagandhul. Darmagandhul menanyakan kepada gurunya
mengenai kapan agama Islam itu datang di pulau Jawa. Ki Kalamwadi
menjawab bahwa pada zaman Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya,
permaisuri Prabu Brawijaya membujuk agar beliau beralih ke agama Islam.
Sayid Rahmat atau Sunan Benang (Bonang), kemenakan permaisuri Prabu
Brawijaya yang berasal dari Campa, diberi tanah di Tuban dan diizinkan
untuk menyebarkan agama Islam. Daerah penyebarannya sepanjang pantai
utara Jawa, mulai dari Blambangan sampai Banten.
Kemudian
datanglah Raden Patah, yakni putra Prabu Brawijaya yang lahir di tanah
Palembang, yang diberi tanah Demak dan sebagai adipati, juga diizinkan
menyebarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh
Sunan Benang di daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya
penguasa di daerah tersebut. Kemudian Sunan Benang menuju ke desa Bogem,
dan merusak arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan
arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendesak agar
Sunan Benang pergi dari daerah itu.
Patih
Gajah Mada menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah
Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan Benang. Akhirnya, Prabu Brawijaya
memerintahkan agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali
kaum muslimin yang tinggal di Ngampelgading dan Demak, Sunan Benang dan
Sunan Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak.
Perlawanan antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan Demak
Dengan
pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Gajah Mada gugur di
medan laga. Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak
diperintahkan masuk agama Islam. Akhirnya Sultan Patah yang didukung
oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya
Nyai Ngampeldenta sangat menyesali perbuatan yang dilakukan oleh Sultan
Patah melawan ayahnya.
Ia
mempermasalahkan Sultan Patah beserta para wali yang tidak baik budi
kepada Prabu Brawijaya. Ia memberikan beberapa contoh yang tidak baik
misalnya kejadian di Mesir yang dialami Nabi Daud, perebutan kekuasaan
yang dilakukan Prabu Dewatacengkar terhadap ayahnya, Prabu Sindhula dan
peristiwa Prabu Danapati raja Lokapala melawan ayahnya, Sang resi
Wisrawa.
Dengan
adanya penjelasan dari neneknya tadi, maka Sultan Patah sangat sedih
dan menyesal atas segala perbuatannya. Ahkirnya Sunan Kalijaga diutus
untuk mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia
kembali menjadi raja Majapahit.
Sekembalinya
Sultan Patah ke Demak, ia disambut dengan gembira. Ia menceritakan hal
itu kepada Sunan Benang, akhirnya Sunan Benang memberikan penjelasan
secara panjang lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak
berdosa, karena ayahnya seorang kafir.
Sunan
Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan
tugasnya. Karena kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu
Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan
sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang. Bahkan
ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin.
Tawaran
masuk agama Islam kpd punakawan Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan
Nayagenggong, berakhir dengan penolakan. Sabdapalon menilai bahwa Prabu
Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan
agama Budha. Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya dgn
mengatakan bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan
bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi dan terjadilah demikian.
Setalah selama seminggu dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki
dan Prabalingga akhirnya sampailah di Ngampeldenta.
Jatuhnya Kerajaan Majapahit atas serangan Demak dilukiskan secara simbolis.
Darmagandhul
juga minta penjelasan tentang agama Nasrani yang kemudian dijelaskan
oleh Kalamwadi. Disebutkan bahwa agama Nasrani itu dibawa oleh Nabi
Ngisa, Putra Tuhan. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak
merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaan Majapahit. Ia merasa
berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya
sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah
terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak.
Darmagandhul
menguraikan tentang sebab-sebab Nabi Adam dan Ibu Kawa turun dari surga
terkena marah Tuhan. Darmagandhul tidak mengetahui bagaimana pandangan
kitab Jawa tentang Nabi Adam itu. Ki Kalamwadi menjelaskan bahwa orang
Jawa tidak mempunyai kitab yang menceritakan tentang pengusiran Tuhan
terhadap Nabi Adam dan Ibu Kawa itu. Kitab yang menjadi pegangan raja
hanyalah Manikmaya.
Darmagandhul
juga menguraikan pendapatnya bahwa baginda harus konsekuen mengerjakan
peraturan2 agama yang ada di dalamnya. Namun, yang paling baik bagi
orang Jawa adalah agama Budi, sebab agama Budi telah dianut sejak dahulu
kala.
Perbedaan agama Islam, Nasrani, Cina dan Jawa
Ki
Kalamwadi mencela orang yang naik haji ke Mekah dengan mengharapkan
kelak masuk surga. Konon ada anggapan bahwa yang datang naik haji ke
Mekah dan mencium Kabah akan terhapus dosanya dan nantinya masuk surga.
Hal itu itu tidaklah benar. Orang akan masuk surga apabila dirinya
bersih. Perbedaan adanya utusan dan kitab yang menjadi pegangan itu
berbeda. Kalamwadi menjawab bahwa itulah kebebasan yang diberikan Tuhan
agar manusia memilih agama yang menjadi kesenangannya. Meskipun
demikian, agama Budi bagi orang Jawa tetap lebih tinggi dan sesuai.
Kalamwadi
membetangkan ajaran kepada istrinya, Perjiwati, mengenai hal keutamaan
dalam hidup dan mengenai ajaran perkawinan. Bekal perkawinan itu
bukannya rupa dan harta akan tetapi hati. Perkawinan diibaratkan sebagai
galah dan kemudi, yang masing-masing harus sejalan. Diuraikan pula
mengenai 4 kemuliaan, yaitu:
(1) kemuliaan yang lahir dari diri sendiri,
(2) yang lahir dari harta benda pemilik,
(3) kemuliaan karena kepandaiannya,
(4) kemuliaan karena pengetahuannya. Generasi sekarang tidak boleh meremehkan generasi pendahulunya (orang kuna).
Menurut
Ki Kalamwadi disebutkan bahwa bekas kerajaan Prabu Brawijaya tidak
terletak di Kediri, akan tetapi terletak di Daha. Akhir kehidupannya,
Prabu Jayabaya muksa diiringkan oleh Patih Tunggulwulung dan Nimas Ratu
pagedhongan. Tunggulwulung diperintahkan menjaga Gunung Kelud sedangkan
Nimas ratu Pegendhongan menjadi ratu jin penguasa laut selatan dengan
gelar Ratu Angin-Angin alias Nyi Loro Kidul !
JAMAN PAJAJARAN (1482 - 1579)
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar PRABU GURU DEWAPRANATA. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI di PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar PRABU GURU DEWAPRANATA. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI di PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di
Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama PRABU SILIWANGI.
Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun.
Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu
Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi
raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana
(kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
(kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu
mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas
bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan RATU JAPURA (AMUK MURUGUL)
waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi
yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat
kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang
gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda
menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang
telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): "Di medan
perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja
sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya
diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar
Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak
terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak
tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada
beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang
lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada)
keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa
Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di
sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu
Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda"}
Kesenjangan
antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang
diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung
jawab penyusunan Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi
adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya
("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga,
menurut naskah Wastu kancana disebut juga PRABU WANGSISUTAH). Orang
Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam
Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah
"seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?.
Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam
hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu
Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan
mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU,
sedangkan Jayadewata bergelar MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu
Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan
demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu
dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh
Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu
Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana].
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama KAI RAGA di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam gaya pantun dan dinamai CARITA RATU PAKUAN (diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18). Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (hanya terjemahannya saja):
Tersebutlah Ngabetkasih
bersama madu-madunya
bergerak payung lebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur
halaman cahaya putih induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas permata
rumah berukir lukisan alun
di Sanghiyang Pandan-larang
keraton penenang hidup.
Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan
Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading
bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang yang bercungap
Singa-singaan di sebelah kiri-kanan
payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas
dan payung saberilen
berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk
berayun panjang langkahnya
terkedip sambil menoleh
ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian
barisan yang lain lagi
[yang
dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri
BAduga yang pertama (puteri Ki Gedng Sindang Kasih, putera Wastu
Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke
Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain]
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat
Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat
Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada
yang
mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas
timbang", dan "pare dongdang". Maka diperintahkan kepada para petugas
muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti
dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus
mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma". [Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka= 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare
dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau
hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang
tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke-
mudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja
atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti
"tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang
untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu di gotong. Karena bertali
atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut
"dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipaka untuk membawa barang
antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare
dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi)]
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi)]
[Dalam
kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada
wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara.
Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini
memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah
menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas
Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa
imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan
makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa
sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut KARYABHAKTI dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut KARYABHAKTI dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam
Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan
batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga DESA PERDIKAN (desa
bebas pajak).
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri
Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Cerita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:
“Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta
tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina
urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”
(Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh,
baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara,
barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang
banyak yang serakah akan ajaran agama)
Dari naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu banyak
rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama
lama. Mereka disebut “loba” (serakah) karena merasa tidak puas dengan
agama yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah
ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra
tahun 1404 Saka, penguasa CIREBON, Syarif Hidayat menghentikan
pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan
Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari permaisuri, Lara
Santang.
Ia
dijadikan raja oleh pamannya (Pangeran Cakrabuana), yg ternyata putera
Sri Baduga (!) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa
Barat)]
Ketika
itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di
Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut kerajaan
Islam DEMAK yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada
kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung
Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke
Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak
berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat
besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam. (Dibawah paksa ?)
[Komentar
: Ini berarti, bahwa tanpa sepengetahuan Sri Baduga, puteranya
(Cakrabuana) & cucunya (Syarif Hidayat) dari Cirebon
bersekongkol dgn DEMAK menentang kerajaannya. Jadi : Pajajaran vs
Cirebon + Demak, ayah vs putera & cucu + Demak.
Utk lebih jelasnya ttg kerajaan Demak, lihat asal usulnya di SERAT DARMOGHANDUL : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan
untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat
dicegah oleh PUROHITA (pendeta tertinggi) keraton KI PURWA GALIH.
[Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari
mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki
Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana
sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai
penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat
dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan
pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur).
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur).
[Pajajaran
adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. Menurut sumber
Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut,
Pajajaran hanya memiliki 6 buah JUNG (perahu layar gaya Cina) dari 150
ton dan beberapa LANKARAS (?) untuk kepentingan perdagangan
antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000
ekor/tahun)]
Keadaan
makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan
perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang
dijodohkan, yaitu
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II?)
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II?)
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan.
Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Portugis ALFONSO d’ALBUQUERQUE di Malaka (ketika itu baru saja merebut
Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan
pihak Demak.
Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri
Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu
permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah
ketegangan yang melumpuhkan SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAHAN. Paling tidak :
BELUM utk sementara ini. (Baca terus !)
Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,
bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah
muslimah dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara
Santang dan Raja Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya
(Islam).
Karena
permusuhan tidak (belum) berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka
masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan).
Tome
Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The
Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda
diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan
Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar =
3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk
mengisi muatan 1000 kapal.
Sri
Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut SUSUHUNAN di PAKUAN PAJAJARAN, memerintah selama 39
tahun (1482 - 1521). Ia disebut SECARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG
MOKTENG) RANCAMAYA karena ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai
khusus Rancamaya). [Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah
tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih.
Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan
pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan
dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat
Pohon Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah "dihancurkan"
orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan
makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan
baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak
kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang
dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang
sebagai MAKAM WALI. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah
Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang "dijual"
orang sebagai "makam Raja Galuh".
-----
Dlm
lanjutan di BAGIAN 2 dibawah ini, lihatlah bgm FATAHILLAH memangsa
orang satu kulit sendiri!!! Hanya karena ISLAM!!!... setelah memangsa
HINDU... ISLAM pun saling beradu sendiri mencari kemenangan
sendiri-sendiri!!!!
NGERAKEUN!!!! kumaha yeuh jelma anu ngaku SUNDA? MAUNG PAJAJARAN aseli NA LAIN ONTOHOT JEUNG BEBEGIG ISLAM...!!!!
2. Raja Surawisesa (1521 - 1535)
Pengganti
Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan
juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan
sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen"
(pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali
pertempuran. Pujian penulis Cerita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara
Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah
diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di
Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan
pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang
diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah
kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar
Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan
antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di
Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi
muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang
diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun,
pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351
kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan TRENGGANA (Sultan Demak III).
Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggana
segera mengirim armadanya di bawah pimpinan FADILLAH KHAN yang menjadi
Senapati Demak. [Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran
Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor
(Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah
sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan,
Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya BARKAT
ZAINAL ABIDIN adalah adik NURUL AMIN (kakek Susuhunan Jati dari pihak
ayah). Selain itu Fadillah masih terhitung cucu SUNAN AMPEL (ALI
RAKHMATULLAH) sebab buyutnya adalah kakak IBRAHIN ZAINAL AKBAR ayah
Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak
I).
Barros menyebut Fadillah dengan FALETEHAN. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan.
Pasukan Fadillah (& Pangeran Hasanudin) merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang.
Sasaran
pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini
telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh
Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah
menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan
pembesar keratonnya mengungsi ke ibukota Pakuan (di kerajaan PAJAJARAN).
Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten
(1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya
menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga
dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan
bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. (!! Mulai berani
menyerang pasukan Pajajaran !!) Keunggulan pasukan Fadillah terletak
pada penggunaan MERIAM yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan
Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi
membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan
ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki
De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan
karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka
tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju
Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan
dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan
padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane
"Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal
brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu
dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan
kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil
meloloskan diri ke Pasai.
Tahun
1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan,
akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian
menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dan kerajaan musuhnya, Cirebon, berada pada generasi yang sejajar. Yaitu : Surawisesa (putera & pengganti Sri Baduga)dari Pajajaran vs kakak lain ibu, Cakrabuana, dibantu oleh keponakannya, Syarif Hidayat, dari Cirebon.
Meskipun
yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri
Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula HAJI ABDULLAH IMAN).
Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian,
keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran
menjadi hilang. Mulailah episode perang sipil berikutnya, dgn Islam di
latar belakang, menunggu dgn sabar utk menundukkan rakyat Indonesia kpd
Islam dibawah ujung pedang.
[Cirebon
sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat
kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon
pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari]
Perang
Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani
naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan
Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian
timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di
sinipun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat
bantuan PASUKAN MERIAM Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak
mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar
yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta
memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena
meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan
Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang
masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya PANGERAN
SANTRI menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. [Pangeran
Santri adalah cucu PANGERAN PANJUNAN, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut
Pangeran Santri adalah SYEKH DATUK KAHFI pendiri pesantren pertama di
Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan SATYASIH, Pucuk
Umum Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon]
Dengan
kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya
mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh
pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan
berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak
berdiri sebagai negara merdeka.
[Di
pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran PASAREAN
(Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten)]
Perjanjian
damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk
mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan
kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun
tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan
lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia
kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam
suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian
damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa
hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan
penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah
Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12
tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat SAKAKALA (tanda peringatan buat
ayahnya).
Ditampilkannya
di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan
Pajajaran. ITULAH PRASASTI BATUTULIS yang diletakkannya di KABUYUTAN
tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa LINGGA BATU ditanamkan.
Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah
amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang
ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak
berani berdiri sejajar dengan si ayah.
Demikianlah,
BATUTULIS itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri LINGGA BATU.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan
dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi ASTATALA ukiran jejak
tangan, yang lainnya berisi PADATALA ukiran jejak kaki. [Mungkin
pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara SRADA yaitu
"penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja
wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah
lepas hubungannya dengan dunia materi].
Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat
prasasti sebagai SAKAKALA untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di
PADAREN. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang
menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. [Babad
Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan "petualangan"
Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji].
ANALISA:
Kedatangan Islam ke Indonesia mempunyai dua tujuan.
1. Islam expanssion sesuai hangatnya gerakan islam pada waktu itu.
2. Ekonomi, yaitu mengambil rempah2 langsung dari sumbernya. Sebelumnya Arab mengandalkan pada pedagang2 Hindu dari India.
1. Islam expanssion sesuai hangatnya gerakan islam pada waktu itu.
2. Ekonomi, yaitu mengambil rempah2 langsung dari sumbernya. Sebelumnya Arab mengandalkan pada pedagang2 Hindu dari India.
Methodnya:
Arab2 ini menyaru sebagai pedagang2(merchant) dengan pertolongan Muslims India yang tahu routenya.
Seperti Terroris, Arab2 ini mulai menetap dikerajaan2 kecil Hindu pantai
Lalu setelah banyak anggotanya, mereka mulai menyebar terror dan menaklukan kerajaan ini dan terus menterror sampai kepedalaman.
Sementara itu pribumi2 yang dipaksa masuk islam menjadi bibit virus. Apa lagi methodnya menjarah merampok. ini memberikan insentive untuk memeluk Islam. Setelah banyak tanah dikuasainya mereka mulai memerangi sam bil menterror Kerajaan2 Hindu dipedalaman.
Arab2 ini menyaru sebagai pedagang2(merchant) dengan pertolongan Muslims India yang tahu routenya.
Seperti Terroris, Arab2 ini mulai menetap dikerajaan2 kecil Hindu pantai
Lalu setelah banyak anggotanya, mereka mulai menyebar terror dan menaklukan kerajaan ini dan terus menterror sampai kepedalaman.
Sementara itu pribumi2 yang dipaksa masuk islam menjadi bibit virus. Apa lagi methodnya menjarah merampok. ini memberikan insentive untuk memeluk Islam. Setelah banyak tanah dikuasainya mereka mulai memerangi sam bil menterror Kerajaan2 Hindu dipedalaman.
Kerajaan
Pejajaran tidak mau masuk Islam, maka kerajaannya dihancurkan, ternyata
sedikit sekali peninggalan2 kerajaan ini. Bahkan tak ada satu candinya
terdapat. Padahal bagi kerajaan Hindu Candi itu sangat penting.
Borobudurpun dimusnahkan, untungnya bangunannya terlalu besar dan susah
merusak lapisan batu2. Walau demikian runtuhan Borobudur ditemukan oleh
seorang archaelogy Jerman, lalu dipulihkan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Rakyat pegunungan tengger adalah sisa masyarakat Hindu Jawa yang lari kepegunungan untuk mengindari Expansi Islam.
Melihat
cara taleban, saya yakin Islam masuk keIndoneisia dengan paksa. Sebelum
masuknya Islam Masyarakat Jawa mempunyai cara tulisannya sendiri dan
bahasa kuno Kawi.
Islam menghancurkan kesasteraan Jawa digandi dengan bahasa Arab dan kebudayaan Arab.
Islam menghancurkan kesasteraan Jawa digandi dengan bahasa Arab dan kebudayaan Arab.
Ksimpulannya
Arab adalah penjajah, payahnya mereka memaksa agama Islam kepada
penduduk Indonesia, dengan demikian penjajahannya sangat melekat dalam
jiwa Muslims sehingga tak dapat merasa lagi akan penjajahan rohani.
Sedangkan penjajahan Eropa belanda bermotif politik dan dagang. makanya bisa diachiri.
BUT islam sudah nempel seperti parasite.
Sedangkan penjajahan Eropa belanda bermotif politik dan dagang. makanya bisa diachiri.
BUT islam sudah nempel seperti parasite.
Dalam
sebuah buku mengenai pulau Jawa, saya baca laporan seorang Eropa yang
pertama mengujungi Jawa , menggambarkan. Bahwa pulau jawa adalah sebagai
firdaus(paradise). Dia mengatakan bahwa penduduknya sangat ramah.
kebudayaannya sangat colourful (beraneka)
Dia juga menuliskan bahwa penduduk Jawa memberikan mereka(tamu Eropa) logistik makanan dan hewan (live stock) untuk perjalanan mereka dengan kapal laut.
Dia juga menuliskan bahwa penduduk Jawa memberikan mereka(tamu Eropa) logistik makanan dan hewan (live stock) untuk perjalanan mereka dengan kapal laut.
Saya
bayangkan wah betapa tenteram dan indahnya pulau jawa pada waktu itu.
Bayangkan saja pulau Bali sebuah miniatur pulau Jawa yang mempunyai
banyak candi2 yang megah.
Waktu
saya kunjungi Madras, India, saya lihat banyak Candi2, lalu dipasar
tercium wangi bakaran dupa. Bukan kemeyan. Kemeyan itu adalah berasal
dari Arab. Gua ngga suka baunya anyway.
Melihat ini semua saya bayangkan mungkin Indonesia/pulau Jawa dalam keadaan begini.
Melihat ini semua saya bayangkan mungkin Indonesia/pulau Jawa dalam keadaan begini.
But sialnya Islam merubah itu semua.
kalau para fanatik berhasil menetrapkan Syariah. Kita bisa lihat masyarakat Indonesia jadi seragam seperti jurig hitam.
laki2nya pakai jenggok kambing dan pakai Turban.
Manitanya kaya hantu hitam. seragam tak punya muka hanya pintu kcil bagi mata.
kalau para fanatik berhasil menetrapkan Syariah. Kita bisa lihat masyarakat Indonesia jadi seragam seperti jurig hitam.
laki2nya pakai jenggok kambing dan pakai Turban.
Manitanya kaya hantu hitam. seragam tak punya muka hanya pintu kcil bagi mata.
Tak bedanya dengan taleban atau negara kommunis cina dulu.
Inikah yang bangsa Indonesia harapkan dari Islam?
Bagaimankah jadinya kalu tambang minyak dan gas habis?
Bagaimankah jadinya kalu tambang minyak dan gas habis?
MOHTAR LUBIS
Islam masuk Indonesia secara damai ? Tidak, kata Mohtar Lubis dibawah ini.
Ceramah
Mohtar Lubis tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, berjudul
“Situasi Manusia Indonesia kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai
Manusia” diterjemahkan dalam buku “The Indonesian Dilemma”.
“Sesuatu
terjadi dlm sejarah perkembangan rakyat Indonesia. Pada masa JAHILYAH
(masa pra-islam), ketika nenek moyang kami masih hidup secara primitif,
orang2 Batak dan Lampung sudah memiliki bahasa tertulis. Berbagai sistim
sosial juga sudah eksis.
Memang
ada nilai2 yg tidak lagi dianggap cocok bagi jaman sekarang. Contoh,
praktek Batak Tua, orang Kalimantan dan Irja memakan musuh yg tewas
dalam perang.
Tetapi mencap jaman itu sbg JAHILIYAH juga tidak tepat.
Pada saat itu, bahkan sebelum timbulnya Hinduisme, orang Jawa sudah
mengembangkan sistim sosial yg ‘sophisticated‘. Ada desa2 yg sudah dapat
mengatur diri sendiri dan unit2 sosial kecil yg diperintah secara
demokratis. Juga sudah ada sistim desa di Minangkabau dan pemerintah di
Mandailing dimana raja dianggap bapak rakyatnya. Tentu, ada saja orang
yg menyelewengkan kekuasaan.
Dgn
timbulnya Hinduisme, kreativitas membaik di Sumatera, Jawa dan Bali.
Pengaruh Islam dan Kristen (Protestan) yang datang kemudian mengekang
kreativitas artistik ini secara drastis - khususnya dlm seni memahat
patung yg marak dijaman agama kuno Indonesia. Ketika
kaum Paderi MENYERANG orang Tapanuli di Sumatera, MENYEBARKAN ISLAM
DENGAN UJUNG PEDANG, mereka MENGHANCURKAN BENDA2 UKIRAN TERINDAH DI
INDONESIA DAN MELARANG PEMBUATAN KARYA2 BARU.
Dgn
menyebarnya Islam di Jawa, penduduk asli MENGUNGSI KE BALI, membawa
agama asli dan bakat2 artistik mereka. Di Irian Barat, gereja
(protestan) menantang pembentukan patung2 baru, tetapi misionaris
Amerika disitu, yg juga pedagang ulung, TIDAK MEMBAKAR ATAU
MENGHANCURKAN PATUNG2 YANG ADA (berbeda dgn Muslim). Sebaliknya, mereka
menjualnya ke AS. “
B.Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung
oleh: Batara R. Hutagalung
Perang Paderi
(Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat,
dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa
Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera
Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama.
Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya
agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama
Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem
matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga
sekarang.
Masuknya
agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa
tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di
Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama,
yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan
kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu
disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung
dari tahun 1816 sampai 1833.
Selama
berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang
melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak
Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.
Sebelum
masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli
Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang
berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan
di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite
(Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan
Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama
Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai
Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol.
Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau
masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi
dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.
Penyerbuan
Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar
terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan
seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.
Ketika
bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan
tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik
bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek
moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap
pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang
jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya,
peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba
Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi
Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya
mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan
dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju
tempat yang mereka inginkan.
Dalam
perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja
Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan
seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja
Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang
tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka
kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar
yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh
seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu:
Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh
keturunannya.
Dendam
ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika
Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan
Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X,
keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu
kota Dinasti Singamangaraja.
Ibu
dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX
adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
Gana
Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir
sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan
memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin
diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama
marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari
jalan keluar untuk masalah ini.
Singamangaraja
X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah
dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat,
secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir,
dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.
Namun
kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datuk (tokoh
spiritual) yang dipimpin oleh Datuk Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya,
Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai
hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas
keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya
dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di
tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan
satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datuk,
karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
Tubuh
Rao yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian
di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya,
dengan berpegangan pada kayu, Rao berhasil mencapai sungai Asahan, di
mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan,
Lintong Marpaung.
Setelah
bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Rao memutuskan
untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan
dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di
Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai
perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali,
yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari
Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau,
yang menganut aliran Syi’ah.
Haji
Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri
Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh,
yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali,
termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.
Tuanku
Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar
mengenai nasib dan silsilah dari Rao. Ia memperhitungkan, bahwa Rao yang
adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis
laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan
dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia
meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Rao kepadanya untuk
dididik olehnya.
Pada
9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan
Syahadat, Rao diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan
Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam,
Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila
dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!
Penyebaran
Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan
Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir
seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang
dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.
Hanya
beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah
Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan
kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat
menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada
Willem Iskandar.
Umar
Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria
tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada
pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat
menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata
Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda,
yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.
Penyerbuan
ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan
penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga
Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai
tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan
disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan
penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan
oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang
adalah putra-putra Batak sendiri.
Selain
kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut
pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap),
Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku
Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku
Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman
(Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan
(Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819.
Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar
ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar
dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu
Singamangaraja X.
Jatengger
Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding.
Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan
menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan
dengan menggunakan pedang di atas kuda.
Duel
yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang
marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X
untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi
tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra
Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara
terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa
seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes.
Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818,
hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian
terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai
penyakit.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Ketika
keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan
terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya
keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.
Enam
dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing,
Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan
Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari
Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai
gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar
tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan.
Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger
Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar
dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur
Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang)
dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol
dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan
sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya
menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan
ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5
September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal
kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah
satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Pongkinangolngolan, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Pongkinangolngolan, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.
Tuanku
Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang
Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar,
seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah
catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar,
Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya
bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak
rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo
tersebut.
Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang
menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang
perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar setuju
untuk menerbitkan karyanya untu1f4b a), sesuatu yg bisa dicapai rakyat
maupun Raja. Keduanya tiba2 menjadi sederajad. Tidak lagi ada hirarki
kraton. Pihak Sufi juga mengajarkan bahwa LOGIKA/nalar adalah universal,
dan oleh karena itu semua Muslim sama rendah/tinggi dihadapan Tuhan.
Spt yg dinyatakan Al-Attas : Dlm interpretasi Islamnya Sufi, ‘esensi
manusia adalah bahwa ia rasional dan rasionalitas adalah hubungan antara
dirinya dan realitas.’ Konsep2 persamaan derajad spiritual ini memberi
orang awam rasa harga diri persamaan sederajad dgn kaum ningrat.’
Pukulan Islam paling radikal terhadap era pra-Islam ini adalah
demitologisasi dunia Melayu secara bertahap. Ini dampak Islam yg paling mengubah pandangan Indo-Melayu. Ismail Hamid mengatakan ‘Islam mengakhiri sistim kasta Hindu’ dan ‘sbg gantinya, Islam menerapkan konsep ‘demokrasi’’ (??) yg didasarkan pada persamaan derajad semua Muslim (!) didepan Tuhan. Jadi lewat tasawuf (metafisika rasional) Sufi dan Ulama, elemen2 indah budaya Indo-Melayu terkikis.
demitologisasi dunia Melayu secara bertahap. Ini dampak Islam yg paling mengubah pandangan Indo-Melayu. Ismail Hamid mengatakan ‘Islam mengakhiri sistim kasta Hindu’ dan ‘sbg gantinya, Islam menerapkan konsep ‘demokrasi’’ (??) yg didasarkan pada persamaan derajad semua Muslim (!) didepan Tuhan. Jadi lewat tasawuf (metafisika rasional) Sufi dan Ulama, elemen2 indah budaya Indo-Melayu terkikis.
Pada
akhirnya, para pakar Muslim, Sufi, penyair dan sejarawan berhasil
MENYUSUN KEMBALI DAN MENCIPTAKAN KEMBALI cara berpikir bangsa Melayu
sedemikian rupa shg bahkan elemen2 esoterik KERISpun tidak selamat dari
serangan2 para revisionis ini.
Akibat
Islam dan perubahan dlm masyarakat Muslim-Melayu, pembuatan keris
menjadi hal yg umum, dan akhirnya dibawa keluar dari perbatasan istana.
Hamzuri menulis bahwa dari periode Mataram (antara abad 15-17), produksi
keris menjadi bisnis masal. Pada saat era Jogya-Solo (setelah
Perjanjian Giyanti th 1755), ‘produksi keris menjadi universal, dan
tidak lagi monopoli empu istana. Timbul empu2 dan tukang2 pandai besi yg
meninggalkan Jawa dan pindah ke Sumatera dan jazirah Melayu karena
memburuknya keadaan politik dan sosial di Jawa.
Pada
abad 16-17, pembuatan keris tersebar diseluruh dunia Melayu dng pusat2
produksi spt Patani, Kelantan, Aceh, Melaka, Minangkabau, Palembang,
Bantam, Demak, Jogjakarta, Surakarta, Bali, Makassar, Goa, Banjarmasin,
Mindanao dan kepulauan Sulu.
Akibatnya,
timbullah kelompok2 dan kelas2 sosial baru; tuan tanah, pedagang dan
Muslim2 kelas buruh. Proses ini juga mengakibatkan kurangnya penghargaan
bagi keris karena semakin mudah terjangkau oleh kelompok2 sosial baru
ini. Keris dipopulerisasi dan di-vulgarisasi. (Yang sangat membuat geram
kelas2 ningrat tradisional).
Belum
lagi kedatangan kaum Ferenggi (Kristen) dgn maksud dagang ke wilayah
Indo-Melayu, yg oleh Islam dianggap sbg musuh bebuyutan. Kini diperlukan
senjata yg lebih efisien dan bukan sekedar pajangan.
Dari lambang sakral dan obyek mewah yg berstatus, keris menjadi senjata yg bisa dipakai utk membunuh. Terjadilah modifikasi terhadap bentuk keris, spt keris2 yg lebih panjang (Keris Sundang-nya kaum Moro dari Flipina Selatan dan Keris Bahari dari Sumatra).
Dari lambang sakral dan obyek mewah yg berstatus, keris menjadi senjata yg bisa dipakai utk membunuh. Terjadilah modifikasi terhadap bentuk keris, spt keris2 yg lebih panjang (Keris Sundang-nya kaum Moro dari Flipina Selatan dan Keris Bahari dari Sumatra).
Bagian
hulu (bagian kayu) juga menghadapi evolusi. Muslim2 tulen keberatan
atas pelambangan dewa2 Hindu dlm wayang dan hulu2 keris. Dan mereka
mengubahnya dari ukiran2 dewa menjadi ukiran mahluk2 berburuk rupa’.
Garuda yg tadinya menjadi tumpangan dewa Wisnu, diturunkan statusnya menjadi pekaka. Bentuk2 ukiran para bunga dan geometris yg akhirnya semakin mengIslamkan kepulauan Melayu ini dlm abad2 mendatang.
Di daerah2 spt Patani (Thailand) dan Kelantan ( Malaysia) dimana penampakan Wisnu-Garuda terlalu kuat, sosok Garuda dimodifikasi.
0 Komentar untuk "ISLAM DATANG DENGAN DAMAI ?"