Pdt Dr Albertus Patty. (Foto: Facebook/Pey Ruari Sitorus)
Ketua Umum
PBNU Kiai Said Agil Siradj dalam acara bedah buku di Universitas
Paramadina Jakarta, 4 Agustus 2010, menyatakan sungguh ironis 65 tahun
(merdeka) masih bicara soal toleransi dan keberagaman. NU, sejak 1936,
ia mencontohkan, sudah menetapkan Indonesia adalah negara kebangsaan di
tengah keberagamannya. Pada kenyataannya, enam tahun kemudian kita
masih juga bicara tentang toleransi dan keberagaman.
Menyambut peringatan ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, Redaksi satuharapan.com menurunkan serangkaian tulisan hasil wawancara dengan beberapa tokoh mengenai kebebasan berkeyakinan di negeri ini. Berikut wawancara dengan Ketua PGI Pdt Dr Albertus Patty (bagian I).
SATUHARAPAN.COM – “Semangat kekitaan” hilang? Cendekiawan Muslim Djohan Effendi menyinggung hal itu, ketika, bersama Ketua Umum PBNU Kiai Said Agil Siradj, tampil berbicara di acara bedah buku Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Satu karya Jimmy Oentoro di Universitas Paramadina, 4 Agustus 2010. Mengutip dari Kompas, 6 Agustus 2010, Djohan yang menjabat Menteri Sekretaris Negara 29 Mei 2000 – 2001 itu, mengatakan, yang kemudian lebih mengemuka adalah “kami” dan “mereka”.
Dalam beberapa kesempatan, ia mengisahkan “semangat kekitaan” yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari para pendahulu. Mengutip cerita Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Djohan Effendi mengisahkan bagaimana Gus Dur diminta ayahnya, KH Wahid Hasjim, Menteri Agama tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman) ke rumah tokoh Partai Katolik IJ Kasimo, untuk mengantarkan uang.
Uang itu adalah wujud “semangat kekitaan” tersebut, dikumpulkan tokoh-tokoh tersebut untuk membantu Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito yang hendak membangun rumah.
“Semangat kekitaan” lain, muncul dari kisah Mohammad Natsir, Ketua Umum Masyumi, yang menjadi Perdana Menteri 1950 - 1951. Mengutip dari Majalah Editor, 23 Juli 1988, ketika menjadi Perdana Menteri, Mohammad Masyumi melibatkan IJ Kasimo, FS Hariyadi (Partai Katolik), J Leimena dan AM Tambunan (Parkindo), serta tokoh-tokoh sosialis dalam kabinetnya. Natsir, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, berprinsip bahwa bangsa ini (Indonesia, Red) harus diurus bersama.
Perbedaan politik yang tajam masa itu antara Masyumi, Partai Kristen, Katolik, Nasionalis, dan Komunis, tidak memutuskan tali silaturahmi tokoh-tokohnya. Natsir, contohnya, mengatakan, yang bertengkar itu pikiran, masalah, bukan personal. ''Setelah itu, saya bisa minum teh, makan-makan bersama dengan tokoh-tokoh PKI,'' kata Natsir.
Diskriminasi Atas Dasar Agama
Senada dengan Djohan Effendi, menginjak 71 kemerdekaan ini, menurut pengamatan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Albertus Patty, masih terjadi diskriminasi atas dasar agama yang dialami berbagai kelompok umat beragama. Kasus-kasus seperti penutupan rumah ibadah, baik masjid, gereja, dan vihara masih terjadi, “Misalnya terhadap masjid Ahmadiyah atau terhadap kelompok Syiah.”
Kemerdekaan beragama, menurut Pdt Berty, panggilan akrabnya, sesungguhnya adalah ketika semua umat beragama dan berkeyakinan diakui eksistensinya. Umat beragama memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nuraninya, bebas untuk beribadah sesuai keyakinannya, bebas untuk menjalin kerja sama dengan umat beragama mana pun.
“Tentu saja, kemerdekaan beragama, berkeyakinan, dan kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu harus dilakukan dengan bijaksana dan dengan menghargai perbedaan yang ada,” kata dia, dalam surat elektronik kepada satuharapan.com, yang diterima di Jakarta, hari Minggu (7/8).
Celakanya, penutupan rumah ibadah kelompok tertentu tersebut malah dilakukan oleh pihak yang mengklaim diri sebagai kelompok mayoritas. Penutupan tersebut bahkan acap didukung oleh aparat dan pemerintah daerah setempat. “Pemerintah perlu membenahi aparat dan pejabat lokal agar mereka mampu menjadi pengayom bagi seluruh warga negara tanpa melakukan pembedaan,” ujarnya.
Dia mengingatkan pemerintah pusat dan daerah untuk lebih mematuhi Konstitusi daripada tafsiran sempit dari ayat-ayat Kitab Suci kelompok agama tertentu.
Politik Sektarian
“Belum lama ini terjadi aksi pembakaran vihara dan kelenteng di daerah Tanjungbalai. Kita juga masih prihatin dengan makin berkembangnya paham fundamentalisme-radikalisme di sekolah, di universitas, di kalangan anak-anak muda, dan terutama juga di kalangan pejabat elite,” dia menambahkan.
Dalam pengamatan dia, saat ini sering juga muncul kebijakan politik sektarian di beberapa daerah di Indonesia. Karena itu dia mengimbau masyarakat menghindari sikap mengedepankan kekerasan dan diskriminasi atas nama agama, karena kekerasan atau diskriminasi harus dilihat sebagai tindakan kriminal, yaitu pelanggaran hukum dan Konstitusi, yang patut mendapatkan ganjaran sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Pendeta Jemaat Gereja Kristen Indonesia di Bandung ini menjelaskan, di Indonesia tidak ada istilah agama mayoritas dan minoritas. Dia memberi saran agar masyarakat jangan menyebut minoritas kepada para penghayat aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Jamaah Ahmadiyah.
“Tidak ada mayoritas-minoritas di negeri ini. Mereka adalah warga negara yang mesti dihormati hak-haknya. Mereka pun ikut berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka berjuang bukan untuk menjadi warga negara kelas dua,” dia menegaskan.
Ia berpendapat saat Indonesia masih berjuang meraih kemerdekaan, kelompok-kelompok seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Jamaah Ahmadiyah juga berjuang bersama. Sebagai bangsa, kelompok tersebut juga memiliki misi dan tujuan yang sama di Indonesia, yakni menolak penjajahan, penindasan, diskriminasi dari satu bangsa kepada bangsa lain, dari satu kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
“Sebagai bangsa, kita bersama-sama berjuang mendapatkan keadilan dan kesetaraan untuk warga negara dan umat manusia. Perbedaan adalah kekuatan yang harus disyukuri,” kata dia.
Karena itu, dia mendesak Pemerintah Indonesia memberi pengakuan kepada kelompok-kelompok keyakinan itu, salah satunya dengan melakukan amendemen terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama yang dia nilai diskriminatif dan tidak mengakui eksistensi kelompok Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Jamaah Ahmadiyah.
Pdt Berty berpendapat, kelompok penganut atau penghayat kelompok tersebut berhak menuliskan agama dan kepercayaan mereka pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), berhak mendapatkan pelayanan pernikahan di kantor catatan sipil, dan sebagainya. “Bagi saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengayomi seluruh warga negara dan mampu melindungi kelompok-kelompok yang selama ini didiskriminasi,” tuturnya.
Artinya, sudah saatnya kelompok-kelompok beragama bukan hanya memikirkan dan memperjuangkan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan kelompok lain juga.
Dia berpendapat pemerintah perlu membangun budaya kemajemukan melalui pendidikan di sekolah, terutama sekolah-sekolah dan universitas negeri, karena bila tidak maka kecenderungan sektarianisme dan primordialisme akan muncul. “Kedua paham tersebut harus ditolak karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia,” ia menegaskan.
Editor : Sotyati
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/hut-ke-71-kemerdekaan-kebebasan-berkeyakinan-harus-terus-dihargai
Menyambut peringatan ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, Redaksi satuharapan.com menurunkan serangkaian tulisan hasil wawancara dengan beberapa tokoh mengenai kebebasan berkeyakinan di negeri ini. Berikut wawancara dengan Ketua PGI Pdt Dr Albertus Patty (bagian I).
SATUHARAPAN.COM – “Semangat kekitaan” hilang? Cendekiawan Muslim Djohan Effendi menyinggung hal itu, ketika, bersama Ketua Umum PBNU Kiai Said Agil Siradj, tampil berbicara di acara bedah buku Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Satu karya Jimmy Oentoro di Universitas Paramadina, 4 Agustus 2010. Mengutip dari Kompas, 6 Agustus 2010, Djohan yang menjabat Menteri Sekretaris Negara 29 Mei 2000 – 2001 itu, mengatakan, yang kemudian lebih mengemuka adalah “kami” dan “mereka”.
Dalam beberapa kesempatan, ia mengisahkan “semangat kekitaan” yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari para pendahulu. Mengutip cerita Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Djohan Effendi mengisahkan bagaimana Gus Dur diminta ayahnya, KH Wahid Hasjim, Menteri Agama tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman) ke rumah tokoh Partai Katolik IJ Kasimo, untuk mengantarkan uang.
Uang itu adalah wujud “semangat kekitaan” tersebut, dikumpulkan tokoh-tokoh tersebut untuk membantu Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito yang hendak membangun rumah.
“Semangat kekitaan” lain, muncul dari kisah Mohammad Natsir, Ketua Umum Masyumi, yang menjadi Perdana Menteri 1950 - 1951. Mengutip dari Majalah Editor, 23 Juli 1988, ketika menjadi Perdana Menteri, Mohammad Masyumi melibatkan IJ Kasimo, FS Hariyadi (Partai Katolik), J Leimena dan AM Tambunan (Parkindo), serta tokoh-tokoh sosialis dalam kabinetnya. Natsir, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, berprinsip bahwa bangsa ini (Indonesia, Red) harus diurus bersama.
Perbedaan politik yang tajam masa itu antara Masyumi, Partai Kristen, Katolik, Nasionalis, dan Komunis, tidak memutuskan tali silaturahmi tokoh-tokohnya. Natsir, contohnya, mengatakan, yang bertengkar itu pikiran, masalah, bukan personal. ''Setelah itu, saya bisa minum teh, makan-makan bersama dengan tokoh-tokoh PKI,'' kata Natsir.
Diskriminasi Atas Dasar Agama
Senada dengan Djohan Effendi, menginjak 71 kemerdekaan ini, menurut pengamatan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Albertus Patty, masih terjadi diskriminasi atas dasar agama yang dialami berbagai kelompok umat beragama. Kasus-kasus seperti penutupan rumah ibadah, baik masjid, gereja, dan vihara masih terjadi, “Misalnya terhadap masjid Ahmadiyah atau terhadap kelompok Syiah.”
Kemerdekaan beragama, menurut Pdt Berty, panggilan akrabnya, sesungguhnya adalah ketika semua umat beragama dan berkeyakinan diakui eksistensinya. Umat beragama memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nuraninya, bebas untuk beribadah sesuai keyakinannya, bebas untuk menjalin kerja sama dengan umat beragama mana pun.
“Tentu saja, kemerdekaan beragama, berkeyakinan, dan kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu harus dilakukan dengan bijaksana dan dengan menghargai perbedaan yang ada,” kata dia, dalam surat elektronik kepada satuharapan.com, yang diterima di Jakarta, hari Minggu (7/8).
Celakanya, penutupan rumah ibadah kelompok tertentu tersebut malah dilakukan oleh pihak yang mengklaim diri sebagai kelompok mayoritas. Penutupan tersebut bahkan acap didukung oleh aparat dan pemerintah daerah setempat. “Pemerintah perlu membenahi aparat dan pejabat lokal agar mereka mampu menjadi pengayom bagi seluruh warga negara tanpa melakukan pembedaan,” ujarnya.
Dia mengingatkan pemerintah pusat dan daerah untuk lebih mematuhi Konstitusi daripada tafsiran sempit dari ayat-ayat Kitab Suci kelompok agama tertentu.
Politik Sektarian
“Belum lama ini terjadi aksi pembakaran vihara dan kelenteng di daerah Tanjungbalai. Kita juga masih prihatin dengan makin berkembangnya paham fundamentalisme-radikalisme di sekolah, di universitas, di kalangan anak-anak muda, dan terutama juga di kalangan pejabat elite,” dia menambahkan.
Dalam pengamatan dia, saat ini sering juga muncul kebijakan politik sektarian di beberapa daerah di Indonesia. Karena itu dia mengimbau masyarakat menghindari sikap mengedepankan kekerasan dan diskriminasi atas nama agama, karena kekerasan atau diskriminasi harus dilihat sebagai tindakan kriminal, yaitu pelanggaran hukum dan Konstitusi, yang patut mendapatkan ganjaran sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Pendeta Jemaat Gereja Kristen Indonesia di Bandung ini menjelaskan, di Indonesia tidak ada istilah agama mayoritas dan minoritas. Dia memberi saran agar masyarakat jangan menyebut minoritas kepada para penghayat aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Jamaah Ahmadiyah.
“Tidak ada mayoritas-minoritas di negeri ini. Mereka adalah warga negara yang mesti dihormati hak-haknya. Mereka pun ikut berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka berjuang bukan untuk menjadi warga negara kelas dua,” dia menegaskan.
Ia berpendapat saat Indonesia masih berjuang meraih kemerdekaan, kelompok-kelompok seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Jamaah Ahmadiyah juga berjuang bersama. Sebagai bangsa, kelompok tersebut juga memiliki misi dan tujuan yang sama di Indonesia, yakni menolak penjajahan, penindasan, diskriminasi dari satu bangsa kepada bangsa lain, dari satu kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
“Sebagai bangsa, kita bersama-sama berjuang mendapatkan keadilan dan kesetaraan untuk warga negara dan umat manusia. Perbedaan adalah kekuatan yang harus disyukuri,” kata dia.
Karena itu, dia mendesak Pemerintah Indonesia memberi pengakuan kepada kelompok-kelompok keyakinan itu, salah satunya dengan melakukan amendemen terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama yang dia nilai diskriminatif dan tidak mengakui eksistensi kelompok Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Jamaah Ahmadiyah.
Pdt Berty berpendapat, kelompok penganut atau penghayat kelompok tersebut berhak menuliskan agama dan kepercayaan mereka pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), berhak mendapatkan pelayanan pernikahan di kantor catatan sipil, dan sebagainya. “Bagi saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengayomi seluruh warga negara dan mampu melindungi kelompok-kelompok yang selama ini didiskriminasi,” tuturnya.
Artinya, sudah saatnya kelompok-kelompok beragama bukan hanya memikirkan dan memperjuangkan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan kelompok lain juga.
Dia berpendapat pemerintah perlu membangun budaya kemajemukan melalui pendidikan di sekolah, terutama sekolah-sekolah dan universitas negeri, karena bila tidak maka kecenderungan sektarianisme dan primordialisme akan muncul. “Kedua paham tersebut harus ditolak karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia,” ia menegaskan.
Editor : Sotyati
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/hut-ke-71-kemerdekaan-kebebasan-berkeyakinan-harus-terus-dihargai
0 Komentar untuk "HUT ke-71 Kemerdekaan, Kebebasan Berkeyakinan Harus Terus Dihargai"