Javanese beliefs (Kebatinan or Kejawen) have principles embodying a "search for inner self" but at the core is the concept of Peace Of Mind. Although Kejawen is a religious category(Agama), it addresses ethical and spiritual values as inspired by Javanese tradition. That can as religion in usual sense of the world, like Christianity, Judaism, Budha or Islam. Kejawen adalah Agama Jawa yang di Ajarkan dalam Budaya Jawa yang di sebut Kejawen. Kawruh kejawen. Ilmu Kejawen, Agama Kejawen

     IMPLEMENTASI   UNDANG-UNDANG NOMOR 1  TAHUN 1974 TENTANG  PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak  Asasi Perempuan dan Anak dalam  Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional      IMPLEMENTASI   UNDANG-UNDANG NOMOR 1  TAHUN 1974 TENTANG  PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak  Asasi Perempuan dan Anak dalam  Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional      Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI 2011   IMPLEMENTASI   UNDANG-UNDANG NOMOR 1  TAHUN 1974 TENTANG  PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak  Asasi Perempuan dan Anak dalam  Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional   Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang  Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya,  yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa  mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang  berlaku.  Pasal 72 (1)  Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan seba- gaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat  (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1  (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta  rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda  paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,  atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran  Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana  dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling  banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).      Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI 2011   IMPLEMENTASI   UNDANG-UNDANG NOMOR 1  TAHUN 1974 TENTANG  PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak  Asasi Perempuan dan Anak dalam  Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional   Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang  Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya,  yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa  mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang  berlaku.  Pasal 72 (1)  Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan seba- gaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat  (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1  (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta  rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda  paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,  atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran  Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana  dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling  banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).      v  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   ABSTRAK ABSTRAK   Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan  2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan terjadi  dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka  menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai  263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama ini  mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil  laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah  tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan  dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka  dalam sebuah perkawinan. Pentingnya legalitas perkawinan ini untuk diteliti terkait  dengan Implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan yang selama ini berlaku di Indonesia, dalam kaitan  perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran  HAM. Hal ini juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  yang telah masuk dalam  Program Legislasi Nasional 2010-2014.  Permasalahan dalam penelitian ini, adalah:  1) bagaimana  legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang  Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak;  2)    IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974  TENTANG PERKAWINAN  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi  Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional   copyright©  BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI  Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-19 Kuningan, Jakarta Selatan   Pelaksana Penelitian: Pelaksana Penelitian: Koordinator    :  Drs. Arman Nazar, M.Si Sekretariat  :  Enjang Sudarya, S.H. Peneliti   :  1. Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si.   2. Agustinus, S.H.     3. Purwanto, S.H.     4. Rully Rachman, S.H., M.H.     5. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si.     6. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. Pengolah Data   :   1. Leny Triswirly, S.H.     2. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si.    Cetakan Pertama – Oktober 2011 Cetakan Pertama – Oktober 2011   Penata Letak: Panjibudi Penata Letak: Panjibudi  Desain Sampul: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi  Foto Sampul: www.serbaneka.com Foto Sampul: www.serbaneka.com   ISBN: 978-602-9423-08-2 ISBN: 978-602-9423-08-2   Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.  Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh  Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh   isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta. isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.   Pracetak oleh:  Pracetak oleh:  www.redcarpetstudio.net Dicetak oleh: Percetakan Pohon Cahaya      v  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   ABSTRAK ABSTRAK   Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan  2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan terjadi  dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka  menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai  263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama ini  mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil  laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah  tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan  dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka  dalam sebuah perkawinan. Pentingnya legalitas perkawinan ini untuk diteliti terkait  dengan Implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan yang selama ini berlaku di Indonesia, dalam kaitan  perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran  HAM. Hal ini juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  yang telah masuk dalam  Program Legislasi Nasional 2010-2014.  Permasalahan dalam penelitian ini, adalah:  1) bagaimana  legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang  Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak;  2)    IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974  TENTANG PERKAWINAN  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi  Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional   copyright©  BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI  Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-19 Kuningan, Jakarta Selatan   Pelaksana Penelitian: Pelaksana Penelitian: Koordinator    :  Drs. Arman Nazar, M.Si Sekretariat  :  Enjang Sudarya, S.H. Peneliti   :  1. Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si.   2. Agustinus, S.H.     3. Purwanto, S.H.     4. Rully Rachman, S.H., M.H.     5. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si.     6. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. Pengolah Data   :   1. Leny Triswirly, S.H.     2. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si.    Cetakan Pertama – Oktober 2011 Cetakan Pertama – Oktober 2011   Penata Letak: Panjibudi Penata Letak: Panjibudi  Desain Sampul: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi  Foto Sampul: www.serbaneka.com Foto Sampul: www.serbaneka.com   ISBN: 978-602-9423-08-2 ISBN: 978-602-9423-08-2   Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.  Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh  Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh   isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta. isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.   Pracetak oleh:  Pracetak oleh:  www.redcarpetstudio.net Dicetak oleh: Percetakan Pohon Cahaya      vi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia vii  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk menikah  bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif HAM,  membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak pasangan  calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah  melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta perkawinannya.  Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi tempat bagi  perkawinan beda agama. Salah satu rekomendasi dalam penelitian ini adalah agar  Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat melalui  berbagai kelompok civil society untuk melakukan revisi terhadap  Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar  materi-materinya dapat disempurnakan.  Kata Kunci: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan, legalitas perkawinan, hak-hak perempuan dan anak.  bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional mengatur  hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga;  dan  3) bagaimana efekti fi tas  pemerintah  dalam  memberikan  legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari  pelanggaran HAM. Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1) mengetahui implementasi  pengaturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam  Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak  perempuan dan anak;  2) melakukan inventarisir hukum nasional  dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan  dan anak sebagai anggota rumah tangga;  3) menganalisis efektifi - tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan per- lindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang  berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan  anak akibat perkawinan dalam perspektif hak asasi manusia, de- ngan lokasi penelitian: Provinsi Nusa Tenggara Barat; Kalimantan  Barat; Papua; dan Jawa Tengah. Metode Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif,  sumber data terdiri dari data primer berupa observasi langsung  dan data sekunder berupa literatur baik dari buku; naskah ilmiah;  media massa; laporan penelitian; arsip laporan serta dokumen- dokumen yang relevan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalitas perkawinan  menurut Undang-Undang Perkawinan banyak menimbulkan  kendala di Indonesia. Kendala pertama adalah terkait hukum  agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang kedua  adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia  mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu agama saja,      vi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia vii  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk menikah  bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif HAM,  membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak pasangan  calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah  melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta perkawinannya.  Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi tempat bagi  perkawinan beda agama. Salah satu rekomendasi dalam penelitian ini adalah agar  Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat melalui  berbagai kelompok civil society untuk melakukan revisi terhadap  Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar  materi-materinya dapat disempurnakan.  Kata Kunci: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan, legalitas perkawinan, hak-hak perempuan dan anak.  bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional mengatur  hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga;  dan  3) bagaimana efekti fi tas  pemerintah  dalam  memberikan  legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari  pelanggaran HAM. Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1) mengetahui implementasi  pengaturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam  Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak  perempuan dan anak;  2) melakukan inventarisir hukum nasional  dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan  dan anak sebagai anggota rumah tangga;  3) menganalisis efektifi - tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan per- lindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang  berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan  anak akibat perkawinan dalam perspektif hak asasi manusia, de- ngan lokasi penelitian: Provinsi Nusa Tenggara Barat; Kalimantan  Barat; Papua; dan Jawa Tengah. Metode Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif,  sumber data terdiri dari data primer berupa observasi langsung  dan data sekunder berupa literatur baik dari buku; naskah ilmiah;  media massa; laporan penelitian; arsip laporan serta dokumen- dokumen yang relevan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalitas perkawinan  menurut Undang-Undang Perkawinan banyak menimbulkan  kendala di Indonesia. Kendala pertama adalah terkait hukum  agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang kedua  adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia  mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu agama saja,      ix  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   ABSTRACT ABSTRACT   In Notes Annual National Commission for Women 2009,  which states that 95% of cases of domestic violence occurred. The  National Commission for women in their report mentioned that  the increase in cases of violence that reached a record 263% of the  Religion which has been taking care of registration of marriages  in Indonesia. Based on the results of the report also mentions that  the problem of domestic violence is closely related to the validity of  marriages and lack of understanding of women about their rights  in marriage. The importance of the legality of marriage is to be investigated  related to the implementation of Law no. 1 of 1974 concerning  marriage which has prevailed in Indonesia, in relation to the  protection of the rights of women and children from human rights  violations. It is also associated with the plan revision of Law No. 1  of 1974 on Marriage (Marriage Act) which has been entered in the  National Legislation Program 2010-2014. The problem in this study, are: 1) how the legality of marriages  in Indonesia in terms of aspects of the Marriage Law the rights of  women and children; 2) how national laws and international treaties  governing the rights of women and children, household members,      ix  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   ABSTRACT ABSTRACT   In Notes Annual National Commission for Women 2009,  which states that 95% of cases of domestic violence occurred. The  National Commission for women in their report mentioned that  the increase in cases of violence that reached a record 263% of the  Religion which has been taking care of registration of marriages  in Indonesia. Based on the results of the report also mentions that  the problem of domestic violence is closely related to the validity of  marriages and lack of understanding of women about their rights  in marriage. The importance of the legality of marriage is to be investigated  related to the implementation of Law no. 1 of 1974 concerning  marriage which has prevailed in Indonesia, in relation to the  protection of the rights of women and children from human rights  violations. It is also associated with the plan revision of Law No. 1  of 1974 on Marriage (Marriage Act) which has been entered in the  National Legislation Program 2010-2014. The problem in this study, are: 1) how the legality of marriages  in Indonesia in terms of aspects of the Marriage Law the rights of  women and children; 2) how national laws and international treaties  governing the rights of women and children, household members,      x Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xi  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   record and publish his marriage certifi cate. But unfortunately, the  fact that there is no place for interfaith marriages. One of the recommendations in this study is that the  Government should immediately respond to the desire of civil  society groups to revise the Marriage Law and the Compilation of  Islamic Law, so that materials can be improved. Keywords: Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Act), the legality  of marriage, the rights of women and children.  and 3) how the eff ectiveness of government in providing the legality  of marriage and the protection of women and children from human  rights violations. The purpose of this study, are: 1) know the implementation  arrangements regarding the legality of marriage in the Marriage  Law in Indonesia in terms of aspects of the rights of women and  children; 2) conduct inventory of national laws and international  treaties governing the rights of women and children as members  of the house ladder; 3) analyze the eff ectiveness of government in  providing the legality of marriage and the protection of women and  children from human rights violations. The scope of this study are the things associated with such  violations of the rights of women and children because of marriage  in human rights perspective, with the location of the study: West  Nusa Tenggara Province; Kalimantan, West Papua and Central  Java. This type of qualitative research methods, data sources consist  of primary data in the form of direct observation and secondary  data from the literature either from books, scientifi c texts, the mass  media; report; reports and documents relevant archives. The results showed that the legality of the marriage under the  Marriage Act which generated a lot of obstacles in Indonesia. The fi rst  constraint is related to the religious law that legitimize the marriage  and the second is related to the registration of marriages. Marriage  in Indonesia requires the validity of the marriage when according  to one religion only, so in practice it is impossible to marriage for  couples of diff erent religions. In a human rights perspective, the  family formed by marriage is the right of the prospective husband  and wife and the couple who’ve grown. State’s obligation is to protect,      x Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xi  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   record and publish his marriage certifi cate. But unfortunately, the  fact that there is no place for interfaith marriages. One of the recommendations in this study is that the  Government should immediately respond to the desire of civil  society groups to revise the Marriage Law and the Compilation of  Islamic Law, so that materials can be improved. Keywords: Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Act), the legality  of marriage, the rights of women and children.  and 3) how the eff ectiveness of government in providing the legality  of marriage and the protection of women and children from human  rights violations. The purpose of this study, are: 1) know the implementation  arrangements regarding the legality of marriage in the Marriage  Law in Indonesia in terms of aspects of the rights of women and  children; 2) conduct inventory of national laws and international  treaties governing the rights of women and children as members  of the house ladder; 3) analyze the eff ectiveness of government in  providing the legality of marriage and the protection of women and  children from human rights violations. The scope of this study are the things associated with such  violations of the rights of women and children because of marriage  in human rights perspective, with the location of the study: West  Nusa Tenggara Province; Kalimantan, West Papua and Central  Java. This type of qualitative research methods, data sources consist  of primary data in the form of direct observation and secondary  data from the literature either from books, scientifi c texts, the mass  media; report; reports and documents relevant archives. The results showed that the legality of the marriage under the  Marriage Act which generated a lot of obstacles in Indonesia. The fi rst  constraint is related to the religious law that legitimize the marriage  and the second is related to the registration of marriages. Marriage  in Indonesia requires the validity of the marriage when according  to one religion only, so in practice it is impossible to marriage for  couples of diff erent religions. In a human rights perspective, the  family formed by marriage is the right of the prospective husband  and wife and the couple who’ve grown. State’s obligation is to protect,      xiii  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   KATA PENGANTAR      KATA PENGANTAR       Berdasarkan Surat  Keputusan Kepala Badan Penelitian dan  Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia  Republik Indonesia Nomor: PHM-19.LT.01.04 Tahun 2011, tertanggal  4 Februari 2011 dan perubahan lampiran Nomor: PHM-LT.01.04-279   tanggal 5 Mei 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM me- lakukan penelitian yang berjudul Implementasi Undang-Undang    Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan  dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional. Penelitian ini dilatarbelakangi meningkatnya kasus kekerasan  dalam rumah tangga dan meningkatnya mengurus perceraian di  Indonesia. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi    terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya  pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam  perkawinan. Legalitas perkawinan juga berpengaruh terhadap hak  asuh anak, perwalian dan tanggung jawab na ah anak yang sering  diabaikan. Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran  yang lebih empiris tentang Implementasi Undang-Undang Per- kawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang terjadi di masyarakat  terhadap      xiii  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   KATA PENGANTAR      KATA PENGANTAR       Berdasarkan Surat  Keputusan Kepala Badan Penelitian dan  Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia  Republik Indonesia Nomor: PHM-19.LT.01.04 Tahun 2011, tertanggal  4 Februari 2011 dan perubahan lampiran Nomor: PHM-LT.01.04-279   tanggal 5 Mei 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM me- lakukan penelitian yang berjudul Implementasi Undang-Undang    Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan  dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional. Penelitian ini dilatarbelakangi meningkatnya kasus kekerasan  dalam rumah tangga dan meningkatnya mengurus perceraian di  Indonesia. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi    terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya  pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam  perkawinan. Legalitas perkawinan juga berpengaruh terhadap hak  asuh anak, perwalian dan tanggung jawab na ah anak yang sering  diabaikan. Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran  yang lebih empiris tentang Implementasi Undang-Undang Per- kawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang terjadi di masyarakat  terhadap      xiv Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xv  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   SAMBUTAN SAMBUTAN   Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan  rahmatNya sehingga Penelitian tentang Implementasi Undang- Undang  Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi  Perempuan dan Anak Dalam Hukum Nasional dan Kovenan    Internasional dapat selesai tepat  waktu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,  penting untuk dilakukan sebuah penelitian yang sudah berlaku  selama 37 tahun di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak  perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Hal ini penting juga  untuk dikaji terkait  rencana revisi Undang-Undang  Perkawinan  yang  telah masuk Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014.  Ini menunjukan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang  diberlakukan selama ini  masih belum memenuhi kebutuhan  masyarakat, baik secara yuridis dan sosiologis. Penelitian ini juga    mengkaji sejauhmana peraturan perundang-undangan tersebut  telah menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan  terhadap hak-hak perempuan dan anak sesuai hukum nasional  yang ada dan kovenan internasional yang telah diratifi kasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam  merumuskan kebijakan terkait rencana revisi terhadap Undang-  perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran  HAM. Kami menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna.  Namun laporan penelitian ini tidak akan terwujud  tanpa kerja  keras dari tim. Untuk itu, kepada tim dan pihak-pihak yang tidak  bisa kami sebutkan satu persatu kami sampaikan penghargaan dan  terima kasih atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat selesai  tepat pada waktunya. Pada akhirnya kami berharap bahwa laporan penelitian ini  dapat berguna bagi semua pihak, khususnya instansi terkait yang  merencanakan adanya Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan.                          Jakarta,  Oktober 2011       Kepala Pusat  Penelitian dan Pengembangan                      Hak-Hak Kelompok Khusus      Drs. Arman Nazar, M.Si.      NIP. 19521005 197803 1 001   p   zar        Ke K K K K pala P  Pe Pe Pe P ne ne ne n n li li liti ti tian an n n d  d d d d dan an an n n n n P   en                       Hak-Hak  Ke Ke Ke Ke Ke Ke e e e elo lo lo lo lo lo lo lo o lo o omp m m m m m m m m m    D D Drs rs r rs r r r r .  .  .  . . . . . Ar Ar Ar A A A A ma ma ma ma m man  n n n Naz  NIP IP P 19521005 197   p   Na a az z z      xiv Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xv  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   SAMBUTAN SAMBUTAN   Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan  rahmatNya sehingga Penelitian tentang Implementasi Undang- Undang  Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi  Perempuan dan Anak Dalam Hukum Nasional dan Kovenan    Internasional dapat selesai tepat  waktu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,  penting untuk dilakukan sebuah penelitian yang sudah berlaku  selama 37 tahun di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak  perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Hal ini penting juga  untuk dikaji terkait  rencana revisi Undang-Undang  Perkawinan  yang  telah masuk Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014.  Ini menunjukan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang  diberlakukan selama ini  masih belum memenuhi kebutuhan  masyarakat, baik secara yuridis dan sosiologis. Penelitian ini juga    mengkaji sejauhmana peraturan perundang-undangan tersebut  telah menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan  terhadap hak-hak perempuan dan anak sesuai hukum nasional  yang ada dan kovenan internasional yang telah diratifi kasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam  merumuskan kebijakan terkait rencana revisi terhadap Undang-  perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran  HAM. Kami menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna.  Namun laporan penelitian ini tidak akan terwujud  tanpa kerja  keras dari tim. Untuk itu, kepada tim dan pihak-pihak yang tidak  bisa kami sebutkan satu persatu kami sampaikan penghargaan dan  terima kasih atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat selesai  tepat pada waktunya. Pada akhirnya kami berharap bahwa laporan penelitian ini  dapat berguna bagi semua pihak, khususnya instansi terkait yang  merencanakan adanya Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan.                          Jakarta,  Oktober 2011       Kepala Pusat  Penelitian dan Pengembangan                      Hak-Hak Kelompok Khusus      Drs. Arman Nazar, M.Si.      NIP. 19521005 197803 1 001   p   zar        Ke K K K K pala P  Pe Pe Pe P ne ne ne n n li li liti ti tian an n n d  d d d d dan an an n n n n P   en                       Hak-Hak  Ke Ke Ke Ke Ke Ke e e e elo lo lo lo lo lo lo lo o lo o omp m m m m m m m m m    D D Drs rs r rs r r r r .  .  .  . . . . . Ar Ar Ar A A A A ma ma ma ma m man  n n n Naz  NIP IP P 19521005 197   p   Na a az z z      xvi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xvii  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   DAFTAR ISI DAFTAR ISI   ABSTRAK ........................................................................................v ABSTRACT ................................................................................... ix KATA PENGANTAR  .................................................................. xiii SAMBUTAN .................................................................................xv DAFTAR ISI ............................................................................... xvii DAFTAR TABEL ...........................................................................xx PELAKSANA PENELITIAN ....................................................... xxi BAB I  PENDAHULUAN .......................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................ 13 C. Tujuan ............................................................................ 13 D. Hasil yang Diharapkan .................................................. 14 E. Ruang Lingkup .............................................................. 14 F. Lokasi Penelitian ........................................................... 14 G. Metode Penelitian ......................................................... 15 BAB II  TINJAUAN PUSTAKA ..................................................17 A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan ....................18 1. Pengertian Perkawinan.............................................18  Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar lebih  berprespektif terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan  anak. Akhirnya di ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang  telah memberikan sumbang saran dan masukannya sehingga  penelitian ini dapat diselesaikan.              Jakarta,   Oktober 2011      Kepala Badan            Penelitian dan Pengembangan HAM, Prof. Dr. Ramly Hutabarat, S.H, M.Hum           NIP. 19530315 198503 1 001          Penelitian dan Pen n nge ge ge ge g mb m m m an ngan HAM,   Huta t t t barat, S.H, M.Hum       NIP. 19530315 198503 1 001          Jakarta,                  K K K Kepa         Pe P Pe P P P P nelitian an an an an an n n     d    d   an an an n n n n n P  P        P Pe   Pr Pr Pr Pr Pr Pr Pr Prof of of of of of of of of of of f f f f.  .  .   Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr r Dr Dr Dr.  . .  .  .  .  . . . . . Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Raml ml ml ml ml ml ml ml ml ml m y H  NI NI N N NI NI N P P 195303      xvi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xvii  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   DAFTAR ISI DAFTAR ISI   ABSTRAK ........................................................................................v ABSTRACT ................................................................................... ix KATA PENGANTAR  .................................................................. xiii SAMBUTAN .................................................................................xv DAFTAR ISI ............................................................................... xvii DAFTAR TABEL ...........................................................................xx PELAKSANA PENELITIAN ....................................................... xxi BAB I  PENDAHULUAN .......................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................ 13 C. Tujuan ............................................................................ 13 D. Hasil yang Diharapkan .................................................. 14 E. Ruang Lingkup .............................................................. 14 F. Lokasi Penelitian ........................................................... 14 G. Metode Penelitian ......................................................... 15 BAB II  TINJAUAN PUSTAKA ..................................................17 A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan ....................18 1. Pengertian Perkawinan.............................................18  Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar lebih  berprespektif terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan  anak. Akhirnya di ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang  telah memberikan sumbang saran dan masukannya sehingga  penelitian ini dapat diselesaikan.              Jakarta,   Oktober 2011      Kepala Badan            Penelitian dan Pengembangan HAM, Prof. Dr. Ramly Hutabarat, S.H, M.Hum           NIP. 19530315 198503 1 001          Penelitian dan Pen n nge ge ge ge g mb m m m an ngan HAM,   Huta t t t barat, S.H, M.Hum       NIP. 19530315 198503 1 001          Jakarta,                  K K K Kepa         Pe P Pe P P P P nelitian an an an an an n n     d    d   an an an n n n n n P  P        P Pe   Pr Pr Pr Pr Pr Pr Pr Prof of of of of of of of of of of f f f f.  .  .   Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr r Dr Dr Dr.  . .  .  .  .  . . . . . Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Raml ml ml ml ml ml ml ml ml ml m y H  NI NI N N NI NI N P P 195303      xviii Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xix  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB IV  KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................... 115 A. Kesimpulan ................................................................... 115 B. Rekomendasi ................................................................116 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................119 LAMPIRAN 1 Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 123 LAMPIRAN 2 Kompilasi Hukum Islam .................................... 175  2. Asas Perkawinan ....................................................... 21 3. Tujuan Perkawinan .................................................. 24 B.  Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan  Kewajiban Suami-Isteri .................................................25 C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek  Hak Asasi Manusia  ...................................................... 30 D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional .................................................................32 E.  Peran Negara dalam Memfasilitasi Perkawinan  Warga Negaranya ..........................................................37 F. Teori Pendukung .......................................................... 39 1. Teori Feminisme ...................................................... 39 2.  Teori Kesetaraan Gender ..........................................52 3. Teori Keadilan .......................................................... 56 BAB III HASIL PENELITIAN .................................................. 59 A. Pengantar ...................................................................... 59 B.  Permasalahan Legalitas Perkawinan ........................... 60 C.  Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan  Menurut Adat dan Kepercayaan ...................................61 1.  Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan ............. 95 2.  Status Keperdataan Anak dan Legalitas  Perkawinan ............................................................... 98 D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang  Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................. 99 E.  Upaya Pemerintah dalam Implementasi Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .... 113      xviii Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xix  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB IV  KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................... 115 A. Kesimpulan ................................................................... 115 B. Rekomendasi ................................................................116 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................119 LAMPIRAN 1 Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 123 LAMPIRAN 2 Kompilasi Hukum Islam .................................... 175  2. Asas Perkawinan ....................................................... 21 3. Tujuan Perkawinan .................................................. 24 B.  Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan  Kewajiban Suami-Isteri .................................................25 C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek  Hak Asasi Manusia  ...................................................... 30 D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Kovenan  Internasional .................................................................32 E.  Peran Negara dalam Memfasilitasi Perkawinan  Warga Negaranya ..........................................................37 F. Teori Pendukung .......................................................... 39 1. Teori Feminisme ...................................................... 39 2.  Teori Kesetaraan Gender ..........................................52 3. Teori Keadilan .......................................................... 56 BAB III HASIL PENELITIAN .................................................. 59 A. Pengantar ...................................................................... 59 B.  Permasalahan Legalitas Perkawinan ........................... 60 C.  Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan  Menurut Adat dan Kepercayaan ...................................61 1.  Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan ............. 95 2.  Status Keperdataan Anak dan Legalitas  Perkawinan ............................................................... 98 D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang  Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................. 99 E.  Upaya Pemerintah dalam Implementasi Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .... 113      xx Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xxi  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   PELAKSANA PENELITIAN PELAKSANA PENELITIAN   1. Koordinator : Drs. Arman Nazar, M.Si. 2. Sekretariat : Enjang Sudarya, S.H. 3. Peneliti : Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. Agustinus, S.H. Purwanto, S.H. Rully Rachman, S.H., M.H. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. 4. Pengolah Data : Leny Triswirly, S.H. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si.   DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL   Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi  Undang-Undang Perkawinan ....................................................5 Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN  TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA  SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010 ........................................... 66 Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum  Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan .............................................................................. 103      xx Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xxi  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   PELAKSANA PENELITIAN PELAKSANA PENELITIAN   1. Koordinator : Drs. Arman Nazar, M.Si. 2. Sekretariat : Enjang Sudarya, S.H. 3. Peneliti : Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. Agustinus, S.H. Purwanto, S.H. Rully Rachman, S.H., M.H. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. 4. Pengolah Data : Leny Triswirly, S.H. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si.   DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL   Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi  Undang-Undang Perkawinan ....................................................5 Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN  TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA  SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010 ........................................... 66 Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum  Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan .............................................................................. 103      1  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB I  PENDAHULUAN PENDAHULUAN   A. Latar Belakang A. Latar Belakang   Perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan mengalami  pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan karena banyaknya bukti  empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telah  mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan.  Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut berlaku umum  dan tidak memiliki relevansi dengan jenis pendidikan, pekerjaan  dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dan keyakinan,  usia, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki dan  perempuan. Artinya pada semua jenis strata sosial, kekerasan  terhadap perempuan dapat dan terus akan terjadi sepanjang  ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini  dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama de- ngan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menyebut- kan bahwa prevalensi nasional perempuan yang menjadi korban  adalah 3,07 % dan anak 3,02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000  perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah      1  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB I  PENDAHULUAN PENDAHULUAN   A. Latar Belakang A. Latar Belakang   Perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan mengalami  pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan karena banyaknya bukti  empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telah  mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan.  Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut berlaku umum  dan tidak memiliki relevansi dengan jenis pendidikan, pekerjaan  dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dan keyakinan,  usia, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki dan  perempuan. Artinya pada semua jenis strata sosial, kekerasan  terhadap perempuan dapat dan terus akan terjadi sepanjang  ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini  dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama de- ngan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menyebut- kan bahwa prevalensi nasional perempuan yang menjadi korban  adalah 3,07 % dan anak 3,02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000  perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah      2 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 3  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   legalitas hukum, namun juga perlindungan bagi anggota rumah  tangga sebagai akibat perkawinan, terutama perempuan dan anak- anak. Kondisi yang ada hingga saat ini masih jauh dari harapan.  Mencermati hal tersebut, ada dua pandangan mengenai masalah  legalitas perkawinan, yaitu:  pihak pertama berpandangan bahwa,  Undang-Undang Perkawinan perlu direvisi atau dihapus pasal-pasal  yang mensubordinasi dan kurang memperhatikan kepentingan  terbaik untuk anak; sedangkan pihak kedua berpandangan bahwa,  pasal-pasal  dalam Undang-Undang Perkawinan tetap berlaku tetapi  ada aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan. Berikut pandangan  pihak pertama,  mengenai beberapa  pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang mensubordinasi  perempuan sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31,  sehingga rentan mengalami diskriminasi, penelantaran dan  menjadi korban poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang- Undang Perkawinan juga terbukti tidak responsif terhadap  upaya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 43  yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan  hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sehingga  menghilangkan kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab  terhadap na ah dan kewajiban tumbuh kembang anak lainnya.  Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak bersama beberapa organisasi dan LSM  perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi  terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut.  Secara khusus,  LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut.  Beberapa pasal yang pernah diteliti dan diusulkan oleh LBH Apik  Jakarta untuk direvisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan adalah sebagai berikut. Beberapa pasal dalam   mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302  anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi  tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka  13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang  dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam  rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan1.   Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas  Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan  terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan  mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang  mencapai 263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama  ini mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia 2. Berdasarkan  hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam  rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas  perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak- hak mereka dalam sebuah perkawinan. Masalah legalitas per- kawinan ini juga berpengaruh terhadap hak asuh anak, perwalian  dan tanggung jawab na  ah anak yang seringkali diabaikan. Hal ini  juga memberikan kontribusi tidak efektifnya perlindungan anak  dari bahaya kekerasan dan penelantaran. Hal tersebut amat disayangkan karena keutuhan dan kehar- monisan sebuah keluarga, membutuhkan Peraturan Perundang- undangan tentang perkawinan yang tidak hanya memberikan    1  Lihat, latar belakang dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan  Perlindungan Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal  Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 2  Catatan Tahunan Komnas Perempuan,  Tak Hanya di Rumah:  Pengalaman  Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang ,  2009.      2 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 3  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   legalitas hukum, namun juga perlindungan bagi anggota rumah  tangga sebagai akibat perkawinan, terutama perempuan dan anak- anak. Kondisi yang ada hingga saat ini masih jauh dari harapan.  Mencermati hal tersebut, ada dua pandangan mengenai masalah  legalitas perkawinan, yaitu:  pihak pertama berpandangan bahwa,  Undang-Undang Perkawinan perlu direvisi atau dihapus pasal-pasal  yang mensubordinasi dan kurang memperhatikan kepentingan  terbaik untuk anak; sedangkan pihak kedua berpandangan bahwa,  pasal-pasal  dalam Undang-Undang Perkawinan tetap berlaku tetapi  ada aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan. Berikut pandangan  pihak pertama,  mengenai beberapa  pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang mensubordinasi  perempuan sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31,  sehingga rentan mengalami diskriminasi, penelantaran dan  menjadi korban poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang- Undang Perkawinan juga terbukti tidak responsif terhadap  upaya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 43  yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan  hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sehingga  menghilangkan kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab  terhadap na ah dan kewajiban tumbuh kembang anak lainnya.  Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak bersama beberapa organisasi dan LSM  perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi  terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut.  Secara khusus,  LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut.  Beberapa pasal yang pernah diteliti dan diusulkan oleh LBH Apik  Jakarta untuk direvisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan adalah sebagai berikut. Beberapa pasal dalam   mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302  anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi  tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka  13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang  dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam  rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan1.   Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas  Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan  terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan  mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang  mencapai 263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama  ini mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia 2. Berdasarkan  hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam  rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas  perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak- hak mereka dalam sebuah perkawinan. Masalah legalitas per- kawinan ini juga berpengaruh terhadap hak asuh anak, perwalian  dan tanggung jawab na  ah anak yang seringkali diabaikan. Hal ini  juga memberikan kontribusi tidak efektifnya perlindungan anak  dari bahaya kekerasan dan penelantaran. Hal tersebut amat disayangkan karena keutuhan dan kehar- monisan sebuah keluarga, membutuhkan Peraturan Perundang- undangan tentang perkawinan yang tidak hanya memberikan    1  Lihat, latar belakang dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan  Perlindungan Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal  Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 2  Catatan Tahunan Komnas Perempuan,  Tak Hanya di Rumah:  Pengalaman  Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang ,  2009.      4 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang  Perkawinan   NO. PASAL DALAM UUP USULAN  PERUBAHAN ARGUMENTASI   1. Pasal 2 Perkawinan adalah  sah apabila dilakukan  menurut hukum masing- masing agama dan  kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan  dicatat menurut  peraturan perundang- undangan yang berlaku.   Pasal 2 Tidak ada  perubahan (2).Tiap-tiap  perkawinan  harus dicatat  di unit-unit  tertentu  sesuai dengan  agama yang  bersangkutan,  di bawah   Departemen  Agama.    Merujuk pada ayat 1, bahwa setiap  perkawinan dihubungkan dengan  agama masing-masing, maka  tepat  apabila pengurusan pencatatan  perkawinan di lakukan oleh unit- unit agama masing-masing di bawah  naungan  Departemen Agama.    Selama ini hanya kalangan  pemeluk agama tertentu saja yang  pencatatannya ada di bawah naungan  Departemen Agama.   Adalah hak bagi setiap pemeluk  agama untuk mendapatkan  perlakukan yang sama tanpa  diskriminasi berkaitan dengan  perkawinan, termasuk dalam urusan  pencatatan.  Legitimasi hukum: Prinsip non  diskriminasi dalam UUD 1945,  undang-undang  HAM serta undang- undang lain yang relevan.    Undang-Undang Perkawinan tersebut mensubordinasi perempuan  sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31, sehingga rentan  mengalami diskriminasi, penelantaran dan menjadi korban  poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang –Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan)  juga terbukti tidak responsive terhadap upaya perlindungan anak.  Hal ini dapat dilihat dalam pasal 43 yang menyebutkan bahwa anak  yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan  dengan ibunya, sehingga menghilangkan kewajiban ayah biologis  untuk bertanggung jawab terhadap na ah dan kewajiban tumbuh  kembang anak lainnya3. Komnas Perempuan, Kementerian Negara  Pemberdayaan Perempuan bersama beberapa organisasi dan LSM  perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi  terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Secara khusus,  LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut.  Di bawah ini, dijelaskan beberapa pasal yang pernah diteliti dan  diusulkan oleh LBH Apik Jakarta untuk direvisi dalam Undang- Undang Perkawinan (lihat Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang  Revisi Undang-Undang Perkawinan).   3   Hasil Penelitian yang dilakukan oleh LBH Apik 2009.      4 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang  Perkawinan   NO. PASAL DALAM UUP USULAN  PERUBAHAN ARGUMENTASI   1. Pasal 2 Perkawinan adalah  sah apabila dilakukan  menurut hukum masing- masing agama dan  kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan  dicatat menurut  peraturan perundang- undangan yang berlaku.   Pasal 2 Tidak ada  perubahan (2).Tiap-tiap  perkawinan  harus dicatat  di unit-unit  tertentu  sesuai dengan  agama yang  bersangkutan,  di bawah   Departemen  Agama.    Merujuk pada ayat 1, bahwa setiap  perkawinan dihubungkan dengan  agama masing-masing, maka  tepat  apabila pengurusan pencatatan  perkawinan di lakukan oleh unit- unit agama masing-masing di bawah  naungan  Departemen Agama.    Selama ini hanya kalangan  pemeluk agama tertentu saja yang  pencatatannya ada di bawah naungan  Departemen Agama.   Adalah hak bagi setiap pemeluk  agama untuk mendapatkan  perlakukan yang sama tanpa  diskriminasi berkaitan dengan  perkawinan, termasuk dalam urusan  pencatatan.  Legitimasi hukum: Prinsip non  diskriminasi dalam UUD 1945,  undang-undang  HAM serta undang- undang lain yang relevan.    Undang-Undang Perkawinan tersebut mensubordinasi perempuan  sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31, sehingga rentan  mengalami diskriminasi, penelantaran dan menjadi korban  poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang –Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan)  juga terbukti tidak responsive terhadap upaya perlindungan anak.  Hal ini dapat dilihat dalam pasal 43 yang menyebutkan bahwa anak  yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan  dengan ibunya, sehingga menghilangkan kewajiban ayah biologis  untuk bertanggung jawab terhadap na ah dan kewajiban tumbuh  kembang anak lainnya3. Komnas Perempuan, Kementerian Negara  Pemberdayaan Perempuan bersama beberapa organisasi dan LSM  perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi  terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Secara khusus,  LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut.  Di bawah ini, dijelaskan beberapa pasal yang pernah diteliti dan  diusulkan oleh LBH Apik Jakarta untuk direvisi dalam Undang- Undang Perkawinan (lihat Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang  Revisi Undang-Undang Perkawinan).   3   Hasil Penelitian yang dilakukan oleh LBH Apik 2009.      6 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 7  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 5 Tentang syarat-syarat  pengajuan permohonan  suami yang akan  melakukan poligami   kepada Pengadilan.   Adanya fakta bahwa sejumlah  perempuan menerima poligami tidak  menghilangkan hakekat diskriminasi  seksual dalam institusi poligami  tersebut. Penerimaan mereka  terhadap poligami adalah bentuk  ‘internalized oppression’, yang mana  sepanjang hidupnya perempuan telah  disosialisasikan pada sistem nilai yang  diskriminatif.    Syarat-syarat dalam poligami  mencerminkan: Perkawinan semata-mata ditujukan  untuk memenuhi kepentingan  biologis dan kepentingan  mendapatkan ahli waris/keturunan  dari salah satu jenis kelamin, dan  diiringi dengan asumsi bahwa salah  satu pihak tersebut  selalu siap sedia  atau tidak akan pernah bermasalah  dengan kemampuan fi sik/biologisnya. Ketentuan ini telah menempatkan  perempuan sebagai ”sex  provider” dan secara keseluruhan  mencerminkan ideologi  ‘phallosentris’, yakni sistem nilai  – melalui ketentuan ini dilegitimasi-  yang berpusat pada kepentingan/ kebutuhan sang phallus (penis).   2. Pasal 3 (2) Pengadilan dapat  memberi izin kepada  seorang suami untuk  beristri lebih dari  seorang apabila  dikehendaki oleh fi hak- fi hak yang bersangkutan Pasal 4 Dalam hal seorang suami  akan beristri lebih dari  seorang, sebagaimana  tersebut dalam pasal  3 ayat (2) Undang- Undang ini, maka ia  wajib mengajukan  permohonan kepada  Pengadilan di daerah  tempat tinggalnya.    Pengadilan dimaksud  dalam ayat (1) pasal ini  hanya memberi izin  kepada seorang suami  yang akan beristri lebih  dari seorang apabila: a.   Istri tidak  dapat menjalankan  kewajibannya sebagai  istri. b.   Istri mendapat cacat  badan atau penyakit  yang tidak dapat  disembuhkan. c.   Istri tidak dapat  melahirkan keturunan.    Dihapus     Beberapa alasan mendasar perlu  penghapusan poligami:   Poligami merupakan bentuk  subordinasi dan diskriminasi terhadap  perempuan, hal  mana di dasarkan  pada keunggulan/superioritas jenis  kelamin tertentu atas jenis kelamin  lainnya. Pengakuan yang absah terhadap  hirarki jenis kelamin dan  pengutamaan privilis seksual mereka  atas yang lainnya.  Ketentuan ini sangat bertentangan  dengan prinsip –prinsip persamaan,  anti diskriminasi serta anti kekerasan  yang dianut dalam berbagai  instrumen hukum yang ada. (UUD  1945, Undang-Undang HAM,  Undang-Undang No.1/84, GBHN 1999,  Deklarasi Penghapusan Kekerasan  terhadap Perempuan) Realitasnya banyak kasus poligami  yang memicu bentuk-bentuk  kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT) lainnya  yang dialami  perempuan dan anak-anak, meliputi  kekerasan fi sik, psikis, seksual dan  ekonomi. Poligami sendiri merupakan bentuk  kekerasan dalam rumah tangga yang  dilegitimasi oleh hukum dan sistim  kepercayaan yang ada di masyarakat.      6 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 7  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 5 Tentang syarat-syarat  pengajuan permohonan  suami yang akan  melakukan poligami   kepada Pengadilan.   Adanya fakta bahwa sejumlah  perempuan menerima poligami tidak  menghilangkan hakekat diskriminasi  seksual dalam institusi poligami  tersebut. Penerimaan mereka  terhadap poligami adalah bentuk  ‘internalized oppression’, yang mana  sepanjang hidupnya perempuan telah  disosialisasikan pada sistem nilai yang  diskriminatif.    Syarat-syarat dalam poligami  mencerminkan: Perkawinan semata-mata ditujukan  untuk memenuhi kepentingan  biologis dan kepentingan  mendapatkan ahli waris/keturunan  dari salah satu jenis kelamin, dan  diiringi dengan asumsi bahwa salah  satu pihak tersebut  selalu siap sedia  atau tidak akan pernah bermasalah  dengan kemampuan fi sik/biologisnya. Ketentuan ini telah menempatkan  perempuan sebagai ”sex  provider” dan secara keseluruhan  mencerminkan ideologi  ‘phallosentris’, yakni sistem nilai  – melalui ketentuan ini dilegitimasi-  yang berpusat pada kepentingan/ kebutuhan sang phallus (penis).   2. Pasal 3 (2) Pengadilan dapat  memberi izin kepada  seorang suami untuk  beristri lebih dari  seorang apabila  dikehendaki oleh fi hak- fi hak yang bersangkutan Pasal 4 Dalam hal seorang suami  akan beristri lebih dari  seorang, sebagaimana  tersebut dalam pasal  3 ayat (2) Undang- Undang ini, maka ia  wajib mengajukan  permohonan kepada  Pengadilan di daerah  tempat tinggalnya.    Pengadilan dimaksud  dalam ayat (1) pasal ini  hanya memberi izin  kepada seorang suami  yang akan beristri lebih  dari seorang apabila: a.   Istri tidak  dapat menjalankan  kewajibannya sebagai  istri. b.   Istri mendapat cacat  badan atau penyakit  yang tidak dapat  disembuhkan. c.   Istri tidak dapat  melahirkan keturunan.    Dihapus     Beberapa alasan mendasar perlu  penghapusan poligami:   Poligami merupakan bentuk  subordinasi dan diskriminasi terhadap  perempuan, hal  mana di dasarkan  pada keunggulan/superioritas jenis  kelamin tertentu atas jenis kelamin  lainnya. Pengakuan yang absah terhadap  hirarki jenis kelamin dan  pengutamaan privilis seksual mereka  atas yang lainnya.  Ketentuan ini sangat bertentangan  dengan prinsip –prinsip persamaan,  anti diskriminasi serta anti kekerasan  yang dianut dalam berbagai  instrumen hukum yang ada. (UUD  1945, Undang-Undang HAM,  Undang-Undang No.1/84, GBHN 1999,  Deklarasi Penghapusan Kekerasan  terhadap Perempuan) Realitasnya banyak kasus poligami  yang memicu bentuk-bentuk  kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT) lainnya  yang dialami  perempuan dan anak-anak, meliputi  kekerasan fi sik, psikis, seksual dan  ekonomi. Poligami sendiri merupakan bentuk  kekerasan dalam rumah tangga yang  dilegitimasi oleh hukum dan sistim  kepercayaan yang ada di masyarakat.      8 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 9  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   3.     Pasal 11 Bagi seorang wanita yang  putus perkawinannya  berlaku jangka waktu  tunggu. Tenggang jangka waktu  tunggu tersebut ayat  (1) akan diatur dalam  peraturan pemerintah  lebih lanjut.   Pasal 11 Bagi seorang  pria dan wanita  yang putus  perkawinannya  berlaku jangka  waktu tunggu. Tenggang jangka  waktu tunggu  tersebut ayat (1)  adalah selama 3  bulan.    Adanya masa tunggu bagi seorang  wanita setelah putus perkawinan  biasanya dikaitkan dengan  kemungkinan untuk melakukan  rujuk. Adalah tindakan diskriminatif  bila perempuan diikat oleh masa  tunggu atau tidak bisa langsung  menikah lagi, sementara di pihak lain  laki-laki tidak diperlakukan sama.   4.     Pasal 31 Hak dan kedudukan istri  adalah seimbang dengan  hak dan kedudukan  suami dalam kehidupan  rumah tangga dan  pergaulan hidup bersama  dalam masyarakat. Masing-masing pihak  berhak untuk melakukan  perbuatan hukum. Suami adalah kepala  keluarga dan isteri ibu  rumah tangga         Pasal 31    Tetap Tetap  Suami isteri  memiliki peran  dan tanggung  jawab yang  sama kehidupan  berumah  tangga.     Argumentasi menolak pembakuan  peran stereotype permpuan-laki-laki. Pasal 31 ayat 3 tidak saja kembali  mengukuhkan subordinasi  perempuan, tetapi juga bertentangan  dengan berbagai instrumen diatas,  yang menegaskan prinsip persamaan  kedudukan antara laki-laki dan  perempuan.  Pasal ini jelas bertentangan dengan  realitas yang ada dimana jumlah  perempuan yang menjadi kepala  rumah tangga cukup besar dan  meningkat dari tahun ke tahun.  Namun, keberadaan kepala rumah  tangga perempuan ini menjadi tidak  diakui.  Selain itu, ia kenyataannya memberi  dampak yang sangat merugikan bagi  kelompok perempuan.     2.    Pasal 7 Perkawinan hanya  diijinkan jika pihak pria  sudah mencapai umur 19  tahun (sembilan belas)  tahun dan pihak wanita  sudah mencapai umur 16  (enam belas) tahun.     Pasal 7 Perkawinan  hanya diijinkan  jika kedua belah  pihak berumur  diatas 18  (delapan belas)  tahun.      Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan  telah membedakan  usia laki-laki,  yaitu dua tahun lebih tua dari pada  usia perempuan yang dipresyaratkan.  Asumsi di balik pembedaan usia ini  adalah karena laki-laki diharapkan  menjadi pemimpin dan pencari  na  ah  keluarga sehingga dituntut  lebih dewasa dari calon istri, pihak  yang akan dipimpin. Asumsi ini  sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang  menyatakan bahwa suami adalah  kepala keluarga dan istri ibu rumah  tangga.  Pembedaan usia ini jelas memuat  asumsi yang bias jender. (lihat  argumentasi penghapusan pasal 31  ayat 3). Usulan diatas 18 tahun tanpa  pembedaan usia atas dasar jenis  kelamin merupakan implementasi  dari berbagai undang-undang  yang ada (lihat kerangka hukum  yang menjadi acuan amandemen  ini), khususnya Undang-Undang  Perlindungan anak yang menetapkan  usia anak-anak adalah di bawah 18  tahun.      8 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 9  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   3.     Pasal 11 Bagi seorang wanita yang  putus perkawinannya  berlaku jangka waktu  tunggu. Tenggang jangka waktu  tunggu tersebut ayat  (1) akan diatur dalam  peraturan pemerintah  lebih lanjut.   Pasal 11 Bagi seorang  pria dan wanita  yang putus  perkawinannya  berlaku jangka  waktu tunggu. Tenggang jangka  waktu tunggu  tersebut ayat (1)  adalah selama 3  bulan.    Adanya masa tunggu bagi seorang  wanita setelah putus perkawinan  biasanya dikaitkan dengan  kemungkinan untuk melakukan  rujuk. Adalah tindakan diskriminatif  bila perempuan diikat oleh masa  tunggu atau tidak bisa langsung  menikah lagi, sementara di pihak lain  laki-laki tidak diperlakukan sama.   4.     Pasal 31 Hak dan kedudukan istri  adalah seimbang dengan  hak dan kedudukan  suami dalam kehidupan  rumah tangga dan  pergaulan hidup bersama  dalam masyarakat. Masing-masing pihak  berhak untuk melakukan  perbuatan hukum. Suami adalah kepala  keluarga dan isteri ibu  rumah tangga         Pasal 31    Tetap Tetap  Suami isteri  memiliki peran  dan tanggung  jawab yang  sama kehidupan  berumah  tangga.     Argumentasi menolak pembakuan  peran stereotype permpuan-laki-laki. Pasal 31 ayat 3 tidak saja kembali  mengukuhkan subordinasi  perempuan, tetapi juga bertentangan  dengan berbagai instrumen diatas,  yang menegaskan prinsip persamaan  kedudukan antara laki-laki dan  perempuan.  Pasal ini jelas bertentangan dengan  realitas yang ada dimana jumlah  perempuan yang menjadi kepala  rumah tangga cukup besar dan  meningkat dari tahun ke tahun.  Namun, keberadaan kepala rumah  tangga perempuan ini menjadi tidak  diakui.  Selain itu, ia kenyataannya memberi  dampak yang sangat merugikan bagi  kelompok perempuan.     2.    Pasal 7 Perkawinan hanya  diijinkan jika pihak pria  sudah mencapai umur 19  tahun (sembilan belas)  tahun dan pihak wanita  sudah mencapai umur 16  (enam belas) tahun.     Pasal 7 Perkawinan  hanya diijinkan  jika kedua belah  pihak berumur  diatas 18  (delapan belas)  tahun.      Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan  telah membedakan  usia laki-laki,  yaitu dua tahun lebih tua dari pada  usia perempuan yang dipresyaratkan.  Asumsi di balik pembedaan usia ini  adalah karena laki-laki diharapkan  menjadi pemimpin dan pencari  na  ah  keluarga sehingga dituntut  lebih dewasa dari calon istri, pihak  yang akan dipimpin. Asumsi ini  sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang  menyatakan bahwa suami adalah  kepala keluarga dan istri ibu rumah  tangga.  Pembedaan usia ini jelas memuat  asumsi yang bias jender. (lihat  argumentasi penghapusan pasal 31  ayat 3). Usulan diatas 18 tahun tanpa  pembedaan usia atas dasar jenis  kelamin merupakan implementasi  dari berbagai undang-undang  yang ada (lihat kerangka hukum  yang menjadi acuan amandemen  ini), khususnya Undang-Undang  Perlindungan anak yang menetapkan  usia anak-anak adalah di bawah 18  tahun.      10 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 11  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   7. Pasal 43 Anak yang dilahirkan  diluar perkawinan hanya  mempunyai hubungan  perdata dengan ibunya. Kedudukan anak  tersebut ayat  (1) diatur  dalam PP   Pasal 43 Anak yang  dilahirkan diluar  perkawinan  mempunyai  hubungan  perdata dengan  kedua orang  tua biologis dan  keluarganya  dapat  mengajukan  tuntutan ke  Pengadilan  untuk  memperoleh  pengakuan dari  ayah biologisnya  melalui ibu  biologisnya. Tetap Anak yang  dilahirkan  melalui program  bayi tabung dari  suami isteri yang  sah adalah anak  sah. Bagi bayi tabung  yang benihnya  dititipkan pada  wanita lain  adalah anak  syah dari suami  isteri yang  menitipkannya   Setiap anak adalah tetap anak dari  kedua orang tuanya, terlepas dari  apakah ia lahir dalam perkawinan  yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan  pengakuan dan perlindungan dari  kedua orang tuanya.  Dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal  7 (ayat 1) disebutkan: Setiap anak  berhak untuk mengetahui orang  tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh  orang tuanya sendiri. CEDAW Pasal 16: Hak dan  tanggung jawab yang sama dalam  semua urusan yang berhubungan  dengan perkawinan dan hubungan  kekeluargaan atas dasar persamaan  antara laki-laki dan perempuan. Hak dan tanggung jawab yang sama  dalam perwalian, pemeliharaan,  pengawasan dan pengangkatan anak;     sumber: LBH Apik Jakarta   Sedangkan pandangan pihak kedua, dari segi substansi,  yaitu aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan    5.     Pasal 34 Suami wajib melindungi  isterinya dan  memberikan segala  sesuatu keperluan hidup  berumah tangga sesuai  dengan kemampuannya.  Isteri wajib mengatur  urusan rumah tangga  sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri  melalaikan kewajiban  masing-masing dapat  mengajukan gugatan  kepada pengadilan.   Pasal 34 Suami isteri  wajib saling  melindungi dan  memberikan  segala sesuatu  keperluan hidup  berumah tangga  sesuai dengan  kemampuannya. Suami isteri  wajib mengatur  urusan rumah  tangga sebaik- baiknya. Jika suami atau  isetri melalaikan  kewajibannya  untuk saling  melindungi dan  saling berbagi  peran dan  kerja kerumah  tanggaan, atau  salah satu  pihak merasa  diperlakukan  tidak adil,  maka ia berhak  mengajukan  gugatan kepada  pengadilan.        Pembakuan peran ini mendorong  proses pemiskinan perempuan:  membuat salah satu pihak (isteri) bergantung secara ekonomi terhadap  pihak lainnya (suami).   Dalam banyak kasus kekerasan  dalam rumah tangga, para isteri yang  menjadi korbannya tidak mudah  keluar dari lingkaran kekerasan karena  masalah ketergantungan ekonomi. Sementara banyak kasus na ah di  pengadilan, meski diputuskan suami/ mantan suami tetap berkewajiban  memberi na ah, tapi keputusan  ini tidak berlaku efektif dan  dikembalikan pada kemauan dari  pihak suami/mantan suami. Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja  perempuan lebih rendah karena  dianggap sebagai bukan pencari  na  ah utama. Para isteri yang bekerja  sering disamakan dengan lajang,  sehingga tidak mendapat tunjangan  keluarga seperti yang diperoleh oleh  rekannya laki-laki.       10 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 11  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   7. Pasal 43 Anak yang dilahirkan  diluar perkawinan hanya  mempunyai hubungan  perdata dengan ibunya. Kedudukan anak  tersebut ayat  (1) diatur  dalam PP   Pasal 43 Anak yang  dilahirkan diluar  perkawinan  mempunyai  hubungan  perdata dengan  kedua orang  tua biologis dan  keluarganya  dapat  mengajukan  tuntutan ke  Pengadilan  untuk  memperoleh  pengakuan dari  ayah biologisnya  melalui ibu  biologisnya. Tetap Anak yang  dilahirkan  melalui program  bayi tabung dari  suami isteri yang  sah adalah anak  sah. Bagi bayi tabung  yang benihnya  dititipkan pada  wanita lain  adalah anak  syah dari suami  isteri yang  menitipkannya   Setiap anak adalah tetap anak dari  kedua orang tuanya, terlepas dari  apakah ia lahir dalam perkawinan  yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan  pengakuan dan perlindungan dari  kedua orang tuanya.  Dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal  7 (ayat 1) disebutkan: Setiap anak  berhak untuk mengetahui orang  tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh  orang tuanya sendiri. CEDAW Pasal 16: Hak dan  tanggung jawab yang sama dalam  semua urusan yang berhubungan  dengan perkawinan dan hubungan  kekeluargaan atas dasar persamaan  antara laki-laki dan perempuan. Hak dan tanggung jawab yang sama  dalam perwalian, pemeliharaan,  pengawasan dan pengangkatan anak;     sumber: LBH Apik Jakarta   Sedangkan pandangan pihak kedua, dari segi substansi,  yaitu aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan    5.     Pasal 34 Suami wajib melindungi  isterinya dan  memberikan segala  sesuatu keperluan hidup  berumah tangga sesuai  dengan kemampuannya.  Isteri wajib mengatur  urusan rumah tangga  sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri  melalaikan kewajiban  masing-masing dapat  mengajukan gugatan  kepada pengadilan.   Pasal 34 Suami isteri  wajib saling  melindungi dan  memberikan  segala sesuatu  keperluan hidup  berumah tangga  sesuai dengan  kemampuannya. Suami isteri  wajib mengatur  urusan rumah  tangga sebaik- baiknya. Jika suami atau  isetri melalaikan  kewajibannya  untuk saling  melindungi dan  saling berbagi  peran dan  kerja kerumah  tanggaan, atau  salah satu  pihak merasa  diperlakukan  tidak adil,  maka ia berhak  mengajukan  gugatan kepada  pengadilan.        Pembakuan peran ini mendorong  proses pemiskinan perempuan:  membuat salah satu pihak (isteri) bergantung secara ekonomi terhadap  pihak lainnya (suami).   Dalam banyak kasus kekerasan  dalam rumah tangga, para isteri yang  menjadi korbannya tidak mudah  keluar dari lingkaran kekerasan karena  masalah ketergantungan ekonomi. Sementara banyak kasus na ah di  pengadilan, meski diputuskan suami/ mantan suami tetap berkewajiban  memberi na ah, tapi keputusan  ini tidak berlaku efektif dan  dikembalikan pada kemauan dari  pihak suami/mantan suami. Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja  perempuan lebih rendah karena  dianggap sebagai bukan pencari  na  ah utama. Para isteri yang bekerja  sering disamakan dengan lajang,  sehingga tidak mendapat tunjangan  keluarga seperti yang diperoleh oleh  rekannya laki-laki.       12 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 13  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   B. Permasalahan B. Permasalahan   Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka  yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai  berikut. 1.  Bagaimana legalitas perkawinan di Indonesia dalam  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak. 2.  Bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional  mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota  rumah tangga. 3. Bagaimana efekti fi tas  pemerintah  dalam  memberikan  legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan  anak dari pelanggaran HAM.   C.  Tujuan C. Tujuan   Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.  Mengetahui implementasi pengaturan tentang legalitas  perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor  1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari aspek hak- hak perempuan dan anak. 2.  Melakukan inventarisir hukum nasional dan kovenan  internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan  anak sebagai anggota rumah tangga. 3. Menganalisis efekti fi tas  pemerintah  dalam  memberikan  legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan  anak dari pelanggaran HAM.  berhubungan dengan kitab suci/aturan dalam agama dan  kepercayaannya masing-masing. Diskriminasi perempuan yang terjadi akibat perkawinan  tersebut tentu amat disayangkan karena Pemerintah Indonesia  telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984  tentang Ratifi kasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang  Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan  (CEDAW). Selain itu, berbagai peraturan perundangan yang  melindungi perempuan dan anak dari bahaya kekerasan juga telah  dikeluarkan, misalnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002  tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 tahun  2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penting untuk  dilakukan sebuah penelitian tentang implementasi Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang selama ini  berlaku di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak perempuan  dan anak dari pelanggaran HAM. Pentingnya hal ini untuk dikaji  juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang  Perkawinan  yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014.  Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang  diberlakukan selama ini masih belum memenuhi kebutuhan  masyarakat, baik secara yuridis maupun sosiologis. Penelitian ini  juga akan mengkaji sejauh mana peraturan perundang-undangan  tersebut telah menjamin hak-hak perempuan dan anak sesuai  hukum nasional yang ada dan kovenan internasional yang telah  diratifi kasi.      12 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 13  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   B. Permasalahan B. Permasalahan   Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka  yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai  berikut. 1.  Bagaimana legalitas perkawinan di Indonesia dalam  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak. 2.  Bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional  mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota  rumah tangga. 3. Bagaimana efekti fi tas  pemerintah  dalam  memberikan  legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan  anak dari pelanggaran HAM.   C.  Tujuan C. Tujuan   Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.  Mengetahui implementasi pengaturan tentang legalitas  perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor  1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari aspek hak- hak perempuan dan anak. 2.  Melakukan inventarisir hukum nasional dan kovenan  internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan  anak sebagai anggota rumah tangga. 3. Menganalisis efekti fi tas  pemerintah  dalam  memberikan  legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan  anak dari pelanggaran HAM.  berhubungan dengan kitab suci/aturan dalam agama dan  kepercayaannya masing-masing. Diskriminasi perempuan yang terjadi akibat perkawinan  tersebut tentu amat disayangkan karena Pemerintah Indonesia  telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984  tentang Ratifi kasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang  Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan  (CEDAW). Selain itu, berbagai peraturan perundangan yang  melindungi perempuan dan anak dari bahaya kekerasan juga telah  dikeluarkan, misalnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002  tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 tahun  2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penting untuk  dilakukan sebuah penelitian tentang implementasi Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang selama ini  berlaku di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak perempuan  dan anak dari pelanggaran HAM. Pentingnya hal ini untuk dikaji  juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang  Perkawinan  yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014.  Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang  diberlakukan selama ini masih belum memenuhi kebutuhan  masyarakat, baik secara yuridis maupun sosiologis. Penelitian ini  juga akan mengkaji sejauh mana peraturan perundang-undangan  tersebut telah menjamin hak-hak perempuan dan anak sesuai  hukum nasional yang ada dan kovenan internasional yang telah  diratifi kasi.      14 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 15  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   G. Metode Penelitian G. Metode Penelitian   1.   Jenis Penelitian 1.   Jenis Penelitian   Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang  menurut Strauss dan Corbin 4 adalah penelitian yang temuan- temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk  hitungan lainnya. Penelitian ini juga melakukan analisis kebijakan  terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  dan implementasinya terhadap upaya perlindungan hak-hak  perempuan dan anak.   2.  Teknik Pengumpulan Data  2.  Teknik Pengumpulan Data    Data-data dalam penelitian ini bersumber pada data primer  dan data sekunder. Data primer menggunakan informan melalui    wawancara5 yang mendalam dengan pelaku di lapangan (responden  kunci) yang terdiri dari pejabat pemerintah, terutama yang terkait  dengan legalitas perkawinan dan Komnas Perempuan dan LSM  serta organisasi perempuan dan para pakar. Sedangkan data  sekunder berupa literatur baik dari buku, naskah ilmiah, media  massa, laporan penelitian, arsip laporan, serta dokumen-dokumen  yang relevan.    4  Strauss A, Corbin J, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures  and Techniques, London, Sage, 1990, hlm. 3. 5  Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk  tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara  peneliti dengan narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang  dinamakan interview guide. Walaupun wawancara adalah proses percakapan  yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu  proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Nazir, Loc.cit hlm. 234.   D. Hasil yang Diharapkan D.  Hasil yang Diharapkan   Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.  Secara praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat  memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan  terkait revisi terhadap Undang-Undang  Nomor 1 tahun  1974 tentang Perkawinan agar lebih berperspektif terhadap  perlindungan hak-hak perempuan dan anak. 2.  Secara teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat  menambah pengetahuan dalam perlindungan, pemajuan,  penegakan dan pemenuhan HAM dalam perlindungan  perempuan dan anak, khususnya terkait dengan sebuah  perkawinan.   E.  Ruang Lingkup E. Ruang Lingkup   Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang  berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan  anak akibat perkawinan dalam perspektif hak Asasi Manusia.   F.  Lokasi Penelitian F. Lokasi Penelitian   Untuk mengumpulkan data-data penelitian yang signi fi kan,  wilayah yang diteliti adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat,  Kalimantan Barat, Papua dan Jawa Tengah.      14 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 15  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   G. Metode Penelitian G. Metode Penelitian   1.   Jenis Penelitian 1.   Jenis Penelitian   Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang  menurut Strauss dan Corbin 4 adalah penelitian yang temuan- temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk  hitungan lainnya. Penelitian ini juga melakukan analisis kebijakan  terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  dan implementasinya terhadap upaya perlindungan hak-hak  perempuan dan anak.   2.  Teknik Pengumpulan Data  2.  Teknik Pengumpulan Data    Data-data dalam penelitian ini bersumber pada data primer  dan data sekunder. Data primer menggunakan informan melalui    wawancara5 yang mendalam dengan pelaku di lapangan (responden  kunci) yang terdiri dari pejabat pemerintah, terutama yang terkait  dengan legalitas perkawinan dan Komnas Perempuan dan LSM  serta organisasi perempuan dan para pakar. Sedangkan data  sekunder berupa literatur baik dari buku, naskah ilmiah, media  massa, laporan penelitian, arsip laporan, serta dokumen-dokumen  yang relevan.    4  Strauss A, Corbin J, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures  and Techniques, London, Sage, 1990, hlm. 3. 5  Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk  tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara  peneliti dengan narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang  dinamakan interview guide. Walaupun wawancara adalah proses percakapan  yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu  proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Nazir, Loc.cit hlm. 234.   D. Hasil yang Diharapkan D.  Hasil yang Diharapkan   Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.  Secara praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat  memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan  terkait revisi terhadap Undang-Undang  Nomor 1 tahun  1974 tentang Perkawinan agar lebih berperspektif terhadap  perlindungan hak-hak perempuan dan anak. 2.  Secara teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat  menambah pengetahuan dalam perlindungan, pemajuan,  penegakan dan pemenuhan HAM dalam perlindungan  perempuan dan anak, khususnya terkait dengan sebuah  perkawinan.   E.  Ruang Lingkup E. Ruang Lingkup   Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang  berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan  anak akibat perkawinan dalam perspektif hak Asasi Manusia.   F.  Lokasi Penelitian F. Lokasi Penelitian   Untuk mengumpulkan data-data penelitian yang signi fi kan,  wilayah yang diteliti adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat,  Kalimantan Barat, Papua dan Jawa Tengah.      16 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 17  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB II  TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA   Institusi perkawinan adalah institusi sosial yang merupakan  hubungan hukum dua individu warga negara yang sama-sama  memiliki hak yang dijamin dalam konstitusi negara. Hal ini  memberikan implikasi bahwa negara harus berperan dalam rangka  mencapai tujuan sosial sebuah perkawinan dan penegakan hak- hak asasi setiap warga tanpa kecuali. Perkawinan di Indonesia  diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan  setahun kemudian, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun  1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan. Selain undang-undang tersebut, perkawinan  di Indonesia dalam hukum nasional juga diatur melalui Kompilasi  Hukum Islam Buku Satu tentang Hukum Perkawinan.  Sebuah perkawinan yang terjadi memberikan perubahan status  keperdataan bagi seorang perempuan dan anak-anak yang lahir  dari perkawinan tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan adanya  hak perempuan dan anak yang harus dijamin oleh semua pihak.  Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  telah berusia 37 tahun ini berlaku sebelum Indonesia mengeluarkan    3.   Teknik Analisis Data 3.   Teknik Analisis Data   Penelitian menggunakan studi kasus, yang biasanya meneliti  tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase  spesifi k atau khas dari keseluruhan personalitas. 6 Subyek analisis  bisa berupa individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat.  Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang dan  interaksi lingkungan unit-unit sosial yang menjadi subyek. Tujuan  studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail  tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari  kasus, atau status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas  tadi akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus  lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada  jumlah unit yang kecil. 7 Studi kasus memiliki keunggulan sebagai  suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian  hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesa untuk penelitian  selanjutnya.    6 F.N. Max fi eld, The Case Study , hal. 117-123, dalam dalam Moh. Nazir PhD,  Metode Penelitian, 1985, hlm. 66. Baca juga J. Nisbet dan J. Watt, Studi Kasus,  Sebuah Panduan Praktis, disadur oleh L. Wilardjo, 1994. 7  Hal ini berbeda dengan metode survei di mana peneliti cenderung  mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang  relatif besar.      16 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 17  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB II  TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA   Institusi perkawinan adalah institusi sosial yang merupakan  hubungan hukum dua individu warga negara yang sama-sama  memiliki hak yang dijamin dalam konstitusi negara. Hal ini  memberikan implikasi bahwa negara harus berperan dalam rangka  mencapai tujuan sosial sebuah perkawinan dan penegakan hak- hak asasi setiap warga tanpa kecuali. Perkawinan di Indonesia  diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan  setahun kemudian, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun  1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan. Selain undang-undang tersebut, perkawinan  di Indonesia dalam hukum nasional juga diatur melalui Kompilasi  Hukum Islam Buku Satu tentang Hukum Perkawinan.  Sebuah perkawinan yang terjadi memberikan perubahan status  keperdataan bagi seorang perempuan dan anak-anak yang lahir  dari perkawinan tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan adanya  hak perempuan dan anak yang harus dijamin oleh semua pihak.  Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  telah berusia 37 tahun ini berlaku sebelum Indonesia mengeluarkan    3.   Teknik Analisis Data 3.   Teknik Analisis Data   Penelitian menggunakan studi kasus, yang biasanya meneliti  tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase  spesifi k atau khas dari keseluruhan personalitas. 6 Subyek analisis  bisa berupa individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat.  Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang dan  interaksi lingkungan unit-unit sosial yang menjadi subyek. Tujuan  studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail  tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari  kasus, atau status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas  tadi akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus  lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada  jumlah unit yang kecil. 7 Studi kasus memiliki keunggulan sebagai  suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian  hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesa untuk penelitian  selanjutnya.    6 F.N. Max fi eld, The Case Study , hal. 117-123, dalam dalam Moh. Nazir PhD,  Metode Penelitian, 1985, hlm. 66. Baca juga J. Nisbet dan J. Watt, Studi Kasus,  Sebuah Panduan Praktis, disadur oleh L. Wilardjo, 1994. 7  Hal ini berbeda dengan metode survei di mana peneliti cenderung  mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang  relatif besar.      18 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 19  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah    Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan  Pasal 11 sebagai berikut.  (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai  dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah  ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan  yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan  ketentuan yang berlaku Defi nisi perkawinan dalam hukum nasional juga diatur  menurut Kompilasi Hukum Islam, yakni, perkawinan adalah akad  yang sangat kuat atau mitsaqanghalidzan untuk mentaati perintah  Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ada perbedaan  pengertian antara Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam  Kompilasi Hukum Islam Perkawinan sudah sah apabila telah  memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bertemunya rukun  dengan syarat inilah yang menentukan syahnya suatu perbuatan  secara sempurna. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan  adalah sebagai berikut:  a.  Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai  pria dan wanita  b.  Adanya  aqad ( sighat) yaitu perkataan dari pihak wali  perempuan atau wakilnya ( ijab) dan diterima oleh pihak  laki-laki atau wakilnya (qabul).  c.  Adanya wali dari calon isteri   berbagai peraturan perundang yang secara khusus memberikan  perlindungan bagi hak-hak perempuan dan anak dan meratifi kasi  berbagai kovenan internasional. Lebih lanjut mengenai hal-hal  dalam perkawinan yang diatur dalam hukum nasional dan kovenan  internasional akan dijelaskan sebagai berikut.   A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan A.  Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan   1.  Pengertian Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan   Indonesia mengatur perkawinan dengan Undang-Undang  Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dalam Pasal 1 mendefi nisi- kan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria  dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk  keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan dalam peratur- an perundang-undangan tersebut diikuti dengan aturan mengenai  legalitas perkawinan dalam Pasal 2 sebagai berikut. (1).  Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2).  Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia dengan  mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama yang  dianut oleh calon suami atau calon isteri. Agama yang dianutpun  sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di  Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha,  dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui      18 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 19  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah    Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan  Pasal 11 sebagai berikut.  (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai  dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah  ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan  yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan  ketentuan yang berlaku Defi nisi perkawinan dalam hukum nasional juga diatur  menurut Kompilasi Hukum Islam, yakni, perkawinan adalah akad  yang sangat kuat atau mitsaqanghalidzan untuk mentaati perintah  Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ada perbedaan  pengertian antara Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam  Kompilasi Hukum Islam Perkawinan sudah sah apabila telah  memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bertemunya rukun  dengan syarat inilah yang menentukan syahnya suatu perbuatan  secara sempurna. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan  adalah sebagai berikut:  a.  Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai  pria dan wanita  b.  Adanya  aqad ( sighat) yaitu perkataan dari pihak wali  perempuan atau wakilnya ( ijab) dan diterima oleh pihak  laki-laki atau wakilnya (qabul).  c.  Adanya wali dari calon isteri   berbagai peraturan perundang yang secara khusus memberikan  perlindungan bagi hak-hak perempuan dan anak dan meratifi kasi  berbagai kovenan internasional. Lebih lanjut mengenai hal-hal  dalam perkawinan yang diatur dalam hukum nasional dan kovenan  internasional akan dijelaskan sebagai berikut.   A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan A.  Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan   1.  Pengertian Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan   Indonesia mengatur perkawinan dengan Undang-Undang  Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dalam Pasal 1 mendefi nisi- kan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria  dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk  keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan dalam peratur- an perundang-undangan tersebut diikuti dengan aturan mengenai  legalitas perkawinan dalam Pasal 2 sebagai berikut. (1).  Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2).  Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia dengan  mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama yang  dianut oleh calon suami atau calon isteri. Agama yang dianutpun  sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di  Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha,  dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui      20 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 21  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2.  Asas Perkawinan 2. Asas Perkawinan   Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan- ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu  perkawinan. Berikut ini akan diuraikan prinsip-prinsip atau asas- asas mengenai perkawinan, yang diatur dalam Penjelasan Umum  dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  yaitu1: a. Asas perkawinan kekal   Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga  yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya  seumur hidup; b.  Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan  agamanya   Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan akan dianggap  sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum  agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon  mempelai. Prinsip ini dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila  dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan  kepercayaannya itu;  c. Asas perkawinan terdaftar   Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan  dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat    1 Rahmadi Usman , Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia,  cetakan I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006, hlm. 267   d.  Adanya dua orang saksi Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka  perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah  ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak  memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual  maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian  apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang  dilakukan sudah dianggap sah. Memang model perkawinan di atas menurut hukum Islam  sudah dianggap sah, namun tidaklah demikian apabila perkawinan  tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1  tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) itu berbunyi: ”Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan  yang berlaku”. Jelaslah bahwa sahnya suatu perkawinan itu haruslah  didaftarkan dan dicatatkan di kantor pencatat nikah sesuai dengan  peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi dalam  kenyataannya, kebanyakan dari masyarakat Indonesia belum sadar  hukum tentang pelaksanaan perkawinan. Sehingga masih ada  beberapa warga masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan  sirri tanpa menyadari akibat yang ditimbulkan dari perkawinan  yang mereka lakukan itu. Selain hal tersebut di atas menurut  pengamatan sementara yang dilakukan oleh peneliti, beberapa  dari masyarakat  melakukan kawin sirri dikarenakan mereka ingin  berpoligami. Karena dengan melakukan kawin sirri ini memberikan  kemudahan kepada seorang laki-laki untuk melakukan poligami  tanpa harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam  Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.      20 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 21  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2.  Asas Perkawinan 2. Asas Perkawinan   Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan- ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu  perkawinan. Berikut ini akan diuraikan prinsip-prinsip atau asas- asas mengenai perkawinan, yang diatur dalam Penjelasan Umum  dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  yaitu1: a. Asas perkawinan kekal   Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga  yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya  seumur hidup; b.  Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan  agamanya   Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan akan dianggap  sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum  agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon  mempelai. Prinsip ini dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila  dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan  kepercayaannya itu;  c. Asas perkawinan terdaftar   Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan  dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat    1 Rahmadi Usman , Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia,  cetakan I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006, hlm. 267   d.  Adanya dua orang saksi Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka  perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah  ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak  memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual  maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian  apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang  dilakukan sudah dianggap sah. Memang model perkawinan di atas menurut hukum Islam  sudah dianggap sah, namun tidaklah demikian apabila perkawinan  tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1  tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) itu berbunyi: ”Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan  yang berlaku”. Jelaslah bahwa sahnya suatu perkawinan itu haruslah  didaftarkan dan dicatatkan di kantor pencatat nikah sesuai dengan  peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi dalam  kenyataannya, kebanyakan dari masyarakat Indonesia belum sadar  hukum tentang pelaksanaan perkawinan. Sehingga masih ada  beberapa warga masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan  sirri tanpa menyadari akibat yang ditimbulkan dari perkawinan  yang mereka lakukan itu. Selain hal tersebut di atas menurut  pengamatan sementara yang dilakukan oleh peneliti, beberapa  dari masyarakat  melakukan kawin sirri dikarenakan mereka ingin  berpoligami. Karena dengan melakukan kawin sirri ini memberikan  kemudahan kepada seorang laki-laki untuk melakukan poligami  tanpa harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam  Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.      22 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 23  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   f. Asas tidak mengenal perkawinan poliandri   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  melalui Pasal 3 ayat (1) tidak membolehkan adanya  perkawinan poliandri dimana seorang wanita hanya  memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan.  Hikmah utama dalam perkawinan ini untuk menjaga  kemurnian keturunan dan kepastian hukum seorang  anak; g.  Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan  berkehendak   Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  mencantumkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas  persetujuan kedua calon mempelai; h.  Keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri   Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam  kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan  sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkedudukan  sebagai ibu rumah tangga. Prinsip ini lebih lanjut  dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan i. Asas mempersukar perceraian   Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan  tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan  setelah hakim atau juru perdamaian tidak berhasil  mendamaikan kedua belah pihak. Prinsip ini ditegaskan  lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan.  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Asas perkawinan monogami   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  menganut asas monogami dimana di dalam suatu  perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang  isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang  suami dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini ditegaskan  dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada  asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh  mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh  mempunyai seorang suami; e. Poligami sebagai pengecualian   Dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan  sebagai pengecualian perkawinan sepanjang hukum dan  agama dari yang bersangkutan mengijinkan. Namun  demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari  seorang isteri meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak  yang bersangkutan, hal ini hanya dapat dilakukan apabila  dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan  oleh pengadilan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal  3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan;      22 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 23  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   f. Asas tidak mengenal perkawinan poliandri   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  melalui Pasal 3 ayat (1) tidak membolehkan adanya  perkawinan poliandri dimana seorang wanita hanya  memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan.  Hikmah utama dalam perkawinan ini untuk menjaga  kemurnian keturunan dan kepastian hukum seorang  anak; g.  Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan  berkehendak   Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  mencantumkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas  persetujuan kedua calon mempelai; h.  Keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri   Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam  kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan  sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkedudukan  sebagai ibu rumah tangga. Prinsip ini lebih lanjut  dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan i. Asas mempersukar perceraian   Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan  tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan  setelah hakim atau juru perdamaian tidak berhasil  mendamaikan kedua belah pihak. Prinsip ini ditegaskan  lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan.  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Asas perkawinan monogami   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  menganut asas monogami dimana di dalam suatu  perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang  isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang  suami dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini ditegaskan  dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada  asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh  mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh  mempunyai seorang suami; e. Poligami sebagai pengecualian   Dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan  sebagai pengecualian perkawinan sepanjang hukum dan  agama dari yang bersangkutan mengijinkan. Namun  demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari  seorang isteri meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak  yang bersangkutan, hal ini hanya dapat dilakukan apabila  dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan  oleh pengadilan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal  3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan;      24 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 25  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan  B.  Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan   Kewajiban Suami-Isteri Kewajiban Suami-Isteri   Syarat-syarat perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 1  sampai dengan 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan. Syarat-syarat yang harus dilaksanakan sebelum para  pihak melangsungkan perkawinan terbagi atas syarat materiil  dan formil. Syarat materiil adalah mengenai diri pribadi calon  suami isteri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas  atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami isteri sebelum  maupun pada saat dilangsungkannya perkawinan. Pada syarat  materiil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: syarat materiil umum yang  berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materiil khusus  yang berlaku bagi pernikahan tertentu. Syarat materiil umum diatur  pada Pasal 6, yaitu: (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon  mempelai. (2)  Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum  mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat  izin kedua orang tua. (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal  dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan  kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini  cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari  orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.  (4)    Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam  keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,  maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau  keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis    3.  Tujuan Perkawinan 3. Tujuan Perkawinan   Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga  atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri  perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing  dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai  kesejahteraan sprituil dan material. Karena tujuan perkawinan  adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera,  maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar  terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus  dilakukan di depan sidang pengadilan. Apabila kita lihat lebih mendalam, tujuan perkawinan yang  diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan adalah sangat ideal. Karena Undang-Undang ini  melihat suatu tujuan perkawinan tidak hanya dari lahirnya saja  tetapi juga dari persatuan bathin di antara suami dan isteri yang  ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang  kekal dan bahagia bagi keduanya dan tentunya sesuai kehendak  Tuhan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan bathin tersebut haruslah  berjalan beriringan, artinya tidak cukup dengan adanya ikatan  lahir saja atau ikatan  bathin saja, karena dengan adanya keserasian  antara ikatan lahir dan bathin tersebut maka akan membentuk  suatu pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga  yang bahagia dan kekal.      24 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 25  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan  B.  Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan   Kewajiban Suami-Isteri Kewajiban Suami-Isteri   Syarat-syarat perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 1  sampai dengan 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan. Syarat-syarat yang harus dilaksanakan sebelum para  pihak melangsungkan perkawinan terbagi atas syarat materiil  dan formil. Syarat materiil adalah mengenai diri pribadi calon  suami isteri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas  atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami isteri sebelum  maupun pada saat dilangsungkannya perkawinan. Pada syarat  materiil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: syarat materiil umum yang  berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materiil khusus  yang berlaku bagi pernikahan tertentu. Syarat materiil umum diatur  pada Pasal 6, yaitu: (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon  mempelai. (2)  Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum  mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat  izin kedua orang tua. (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal  dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan  kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini  cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari  orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.  (4)    Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam  keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,  maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau  keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis    3.  Tujuan Perkawinan 3. Tujuan Perkawinan   Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga  atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri  perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing  dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai  kesejahteraan sprituil dan material. Karena tujuan perkawinan  adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera,  maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar  terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus  dilakukan di depan sidang pengadilan. Apabila kita lihat lebih mendalam, tujuan perkawinan yang  diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan adalah sangat ideal. Karena Undang-Undang ini  melihat suatu tujuan perkawinan tidak hanya dari lahirnya saja  tetapi juga dari persatuan bathin di antara suami dan isteri yang  ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang  kekal dan bahagia bagi keduanya dan tentunya sesuai kehendak  Tuhan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan bathin tersebut haruslah  berjalan beriringan, artinya tidak cukup dengan adanya ikatan  lahir saja atau ikatan  bathin saja, karena dengan adanya keserasian  antara ikatan lahir dan bathin tersebut maka akan membentuk  suatu pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga  yang bahagia dan kekal.      26 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 27  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (1)  Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai  umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah  mencapai usia 16 (enam belas) tahun.  (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat  minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain  yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak  wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang  atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4)  Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan  dispensasi tersebut ayat (2) Pasal ini dengan tidak  mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).  Selanjutnya syarat materiil khusus yang berisi izin untuk  melangsungkan perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti tercantum di atas,  sedangkan syarat materiil khusus mengenai larangan perkawinan  diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang  antara lain menyebutkan dilarang menikah bagi mereka yang  mempunyai hubungan darah, hubungan sepersusuan dan lain- lain. Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua)  yaitu2:   1.  Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilang- sungkan adalah:   2  Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum  Perdata (Suatu Pengantar), Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hlm. 51.   keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan  dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang  dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah  seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan  pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat  tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas   permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah  lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam  ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.  (6)  Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal  ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya  dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak  menentukan lain. Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai  dalam ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya  paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan  perkawinan. Karena pada hakikatnya perkawinan mempunyai  maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang  kekal dan bahagia.  Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur tentang  persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta  beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila  ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Mengenai  masalah umur ini masih merupakan syarat materiil yaitu Pasal 7 :      26 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 27  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (1)  Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai  umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah  mencapai usia 16 (enam belas) tahun.  (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat  minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain  yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak  wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang  atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4)  Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan  dispensasi tersebut ayat (2) Pasal ini dengan tidak  mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).  Selanjutnya syarat materiil khusus yang berisi izin untuk  melangsungkan perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti tercantum di atas,  sedangkan syarat materiil khusus mengenai larangan perkawinan  diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang  antara lain menyebutkan dilarang menikah bagi mereka yang  mempunyai hubungan darah, hubungan sepersusuan dan lain- lain. Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua)  yaitu2:   1.  Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilang- sungkan adalah:   2  Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum  Perdata (Suatu Pengantar), Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hlm. 51.   keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan  dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang  dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah  seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan  pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat  tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas   permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah  lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam  ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.  (6)  Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal  ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya  dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak  menentukan lain. Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai  dalam ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya  paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan  perkawinan. Karena pada hakikatnya perkawinan mempunyai  maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang  kekal dan bahagia.  Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur tentang  persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta  beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila  ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Mengenai  masalah umur ini masih merupakan syarat materiil yaitu Pasal 7 :      28 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 29  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 30  sampai dengan Pasal 34, yaitu: 1.  Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk  menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar  susunan masyarakat. 2.  Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak  dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga  dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3.  Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan  hukum. 4.  Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah  tangga. 5.  Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap  dan Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam  ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. 6.  Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat meng- hormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang  satu kepada yang lain. 7.  Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala  sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan  kemampuannya. 8.  Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik- baiknya. 9.  Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing- masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Dalam peraturan tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri ini  dirumuskan bahwa antara suami dan isteri disamping diberikan   a.  Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberita- huan oleh kedua calon mempelai kepada pegawai  pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk  yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan  Sipil untuk yang beragama selain Islam); b.  Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat  pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat- syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk  pelaksanaan perkawinan; c.  Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan  setelah lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari  terhitung dari tanggal pemberitahuan. 2.  Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya  perkawinan adalah: a.  Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di  hadapan pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor  Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan  pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama  selain Islam); b.  Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi; Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila telah  dipenuhi syarat-syarat di atas, baik syarat materiil maupun syarat  formil, maka kedua mempelai telah resmi menjadi suami-isteri.  Tetapi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat  menimbulkan ketidakabsahan perkawinan yang bisa saja akan  mengakibatkan batalnya suatu perkawinan.      28 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 29  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 30  sampai dengan Pasal 34, yaitu: 1.  Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk  menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar  susunan masyarakat. 2.  Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak  dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga  dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3.  Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan  hukum. 4.  Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah  tangga. 5.  Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap  dan Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam  ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. 6.  Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat meng- hormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang  satu kepada yang lain. 7.  Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala  sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan  kemampuannya. 8.  Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik- baiknya. 9.  Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing- masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Dalam peraturan tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri ini  dirumuskan bahwa antara suami dan isteri disamping diberikan   a.  Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberita- huan oleh kedua calon mempelai kepada pegawai  pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk  yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan  Sipil untuk yang beragama selain Islam); b.  Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat  pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat- syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk  pelaksanaan perkawinan; c.  Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan  setelah lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari  terhitung dari tanggal pemberitahuan. 2.  Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya  perkawinan adalah: a.  Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di  hadapan pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor  Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan  pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama  selain Islam); b.  Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi; Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila telah  dipenuhi syarat-syarat di atas, baik syarat materiil maupun syarat  formil, maka kedua mempelai telah resmi menjadi suami-isteri.  Tetapi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat  menimbulkan ketidakabsahan perkawinan yang bisa saja akan  mengakibatkan batalnya suatu perkawinan.      30 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 31  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   ternyata aturan perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendapat  sorotan dari Komite CEDAW PBB. Kesempatan bagi Pemerintah  Indonesia untuk menyampaikan kemajuan program penghapusan  kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada 27 Juli 2007  tetap belum memberikan keyakinan penuh Komite CEDAW PBB.  Committe on the Elimination of Discrimination Against Women   itu tetap mengkritisi implementasi CEDAW selama lebih dari dua  puluh tahun Indonesia meratifi kasinya.  Komite CEDAW PBB waktu itu menyampaikan 46 poin  tanggapan (concluding comments) yang pada intinya, Komite ini  masih merasa prihatin dengan berbagai hal. Salah satu yang disorot  tajam adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Selain regulasi perkawinan, disorot pula kesehatan perempuan,  buruh migran, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan,  dan peraturan-peraturan daerah bernuansa diskriminatif. Undang- Undang Perkawinan sangat disoroti oleh Komite CEDAW, ujar A.D.  Kusumaningtyas dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI). Secara khusus Komite ini juga melihat bahwa Undang- Undang Perkawinan masih mengabadikan pandangan streotip  yang mendudukkan laki-laki selalu sebagai kepala keluarga dan  perempuan sebagai ibu rumah tangga. Regulasi perkawinan  di Indonesia juga dianggap masih memperbolehkan poligami.  Selain itu, dikritik pula penetapan 16 tahun sebagai usia minimum  perkawinan yang sah bagi perempuan. Ini berarti sudah dua kali  Komite CEDAW menyoroti masalah perkawinan, yakni pada  laporan 1998 dan 2007. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa  jauh komitmen dari pemerintah untuk menepatinya.   hak dan kewajiban yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga  maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, juga diberi- kan suatu kewajiban yang sama untuk membina dan membangun  rumah tangga yang diharapkan dapat menjadi dasar dari susunan  masyarakat yang baik. Pembinaan rumah tangga tersebut haruslah  didasari rasa saling mencintai, menyayangi, menghormati dan  saling setia agar tercipta suatu keluarga yang harmonis. Dalam  hal ini pun tidak kurang pentingnya ialah tempat kediaman atau  tempat tinggal yang tetap yang ditentukan secara bersama.   C.  Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi  C.  Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi   Manusia  Manusia    Hukum internasional juga mengatur mengenai perkawinan  dimana dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16  disebutkan aturan mengenai perkawinan adalah sebagai berikut. 1.  Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan  tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama  berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.  Semua mempunyai hal yang sama dalam soal perkawinan  di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; 2.  Perkawinan hanya dengan dilakukan berdasarkan pilihan  bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; 3.  Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan  dari masyarakat dan negara. Melihat isi Pasal 16 di atas, jelas disebutkan bahwa perkawinan  merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihargai  dan dilindungi oleh masyarakat dan negara. Dalam prakteknya      30 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 31  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   ternyata aturan perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendapat  sorotan dari Komite CEDAW PBB. Kesempatan bagi Pemerintah  Indonesia untuk menyampaikan kemajuan program penghapusan  kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada 27 Juli 2007  tetap belum memberikan keyakinan penuh Komite CEDAW PBB.  Committe on the Elimination of Discrimination Against Women   itu tetap mengkritisi implementasi CEDAW selama lebih dari dua  puluh tahun Indonesia meratifi kasinya.  Komite CEDAW PBB waktu itu menyampaikan 46 poin  tanggapan (concluding comments) yang pada intinya, Komite ini  masih merasa prihatin dengan berbagai hal. Salah satu yang disorot  tajam adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Selain regulasi perkawinan, disorot pula kesehatan perempuan,  buruh migran, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan,  dan peraturan-peraturan daerah bernuansa diskriminatif. Undang- Undang Perkawinan sangat disoroti oleh Komite CEDAW, ujar A.D.  Kusumaningtyas dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI). Secara khusus Komite ini juga melihat bahwa Undang- Undang Perkawinan masih mengabadikan pandangan streotip  yang mendudukkan laki-laki selalu sebagai kepala keluarga dan  perempuan sebagai ibu rumah tangga. Regulasi perkawinan  di Indonesia juga dianggap masih memperbolehkan poligami.  Selain itu, dikritik pula penetapan 16 tahun sebagai usia minimum  perkawinan yang sah bagi perempuan. Ini berarti sudah dua kali  Komite CEDAW menyoroti masalah perkawinan, yakni pada  laporan 1998 dan 2007. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa  jauh komitmen dari pemerintah untuk menepatinya.   hak dan kewajiban yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga  maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, juga diberi- kan suatu kewajiban yang sama untuk membina dan membangun  rumah tangga yang diharapkan dapat menjadi dasar dari susunan  masyarakat yang baik. Pembinaan rumah tangga tersebut haruslah  didasari rasa saling mencintai, menyayangi, menghormati dan  saling setia agar tercipta suatu keluarga yang harmonis. Dalam  hal ini pun tidak kurang pentingnya ialah tempat kediaman atau  tempat tinggal yang tetap yang ditentukan secara bersama.   C.  Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi  C.  Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi   Manusia  Manusia    Hukum internasional juga mengatur mengenai perkawinan  dimana dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16  disebutkan aturan mengenai perkawinan adalah sebagai berikut. 1.  Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan  tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama  berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.  Semua mempunyai hal yang sama dalam soal perkawinan  di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; 2.  Perkawinan hanya dengan dilakukan berdasarkan pilihan  bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; 3.  Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan  dari masyarakat dan negara. Melihat isi Pasal 16 di atas, jelas disebutkan bahwa perkawinan  merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihargai  dan dilindungi oleh masyarakat dan negara. Dalam prakteknya      32 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 33  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   3.  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan; 4.  Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang  Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor  10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi  Pegawai Negeri Sipil; 5.  Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi  Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI). Sedangkan hukum internasional yang memuat tentang  perkawinan adalah: a.  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia   Pasal 16 berbunyi: (1)  Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan  tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama  berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.  Semua mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan  di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; (2)  Perkawinan hanya dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas  dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; (3)  Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan  dari masyarakat dan negara b.  Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan  Budaya   Pasal 10 berbunyi:Negara-negara Pihak pada Kovenan ini  mengakui bahwa:   Sehubungan dengan hal tersebut di atas, akhirnya Komite  CEDAW berpendapat bahwa revisi Undang-Undang Perkawinan  merupakan stressing poin. Hal ini dituangkan dalam  concluding  comments, bahwa Komite CEDAW mengungkapkan kekhawatiran  akibat minimnya kemajuan dalam proses reformasi hukum  perkawinan dan keluarga. Akibatnya, tetap ada ketentuan- ketentuan diskriminatif yang menyangkal kesetaraan hak antara  perempuan dan laki-laki. Apalagi amandemen terhadap Undang- Undang Perkawinan masih belum kunjung selesai.  Terkait aturan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan  dalam prakteknya sudah pernah dimohonkan  judicial review ke  Mahkamah Konstitusi. Pemerintah, diwakili Menteri Agama M.  Maftuh Basyuni, menegaskan bahwa poligami bukanlah hak asasi  ma nusia sebagaimana didalilkan M. Insa (pemohon judicial review).  Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi malah menegaskan  bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas  monogami. Kalaupun poligami diperbolehkan, harus dipenuhi  syarat yang ketat.   D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan  D.  Perkawinan dalam Hukum Nasional dan   Kovenan Internasional Kovenan Internasional   Hukum nasional mengatur bahwa dasar hukum perkawinan  di Indonesia yang berlaku sekarang ini, antara lain adalah sebagai  berikut: 1.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2.  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan  Agama      32 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 33  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   3.  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan; 4.  Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang  Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor  10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi  Pegawai Negeri Sipil; 5.  Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi  Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI). Sedangkan hukum internasional yang memuat tentang  perkawinan adalah: a.  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia   Pasal 16 berbunyi: (1)  Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan  tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama  berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.  Semua mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan  di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; (2)  Perkawinan hanya dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas  dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; (3)  Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan  dari masyarakat dan negara b.  Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan  Budaya   Pasal 10 berbunyi:Negara-negara Pihak pada Kovenan ini  mengakui bahwa:   Sehubungan dengan hal tersebut di atas, akhirnya Komite  CEDAW berpendapat bahwa revisi Undang-Undang Perkawinan  merupakan stressing poin. Hal ini dituangkan dalam  concluding  comments, bahwa Komite CEDAW mengungkapkan kekhawatiran  akibat minimnya kemajuan dalam proses reformasi hukum  perkawinan dan keluarga. Akibatnya, tetap ada ketentuan- ketentuan diskriminatif yang menyangkal kesetaraan hak antara  perempuan dan laki-laki. Apalagi amandemen terhadap Undang- Undang Perkawinan masih belum kunjung selesai.  Terkait aturan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan  dalam prakteknya sudah pernah dimohonkan  judicial review ke  Mahkamah Konstitusi. Pemerintah, diwakili Menteri Agama M.  Maftuh Basyuni, menegaskan bahwa poligami bukanlah hak asasi  ma nusia sebagaimana didalilkan M. Insa (pemohon judicial review).  Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi malah menegaskan  bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas  monogami. Kalaupun poligami diperbolehkan, harus dipenuhi  syarat yang ketat.   D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan  D.  Perkawinan dalam Hukum Nasional dan   Kovenan Internasional Kovenan Internasional   Hukum nasional mengatur bahwa dasar hukum perkawinan  di Indonesia yang berlaku sekarang ini, antara lain adalah sebagai  berikut: 1.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2.  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan  Agama      34 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 35  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2)  Hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk menikah  dan untuk membentuk keluarga harus diakui. (3) Ada pernikahan akan dimasukkan ke dalam tanpa  persetujuan bebas dan penuh dari pasangan mereka. (4)  Negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah  yang tepat untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung  jawab pasangan untuk pernikahan, selama pernikahan dan  pada pembubarannya. Dalam hal pembubaran, ketentuan  harus dibuat untuk perlindungan yang diperlukan dari  setiap anak. d. Konvensi Amerika   Pasal 17 tentang Hak-hak Keluarga berbunyi: (1)  Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh  masyarakat dan negara; (2) Aktifi tas laki-laki dan perempuan usia kawin untuk  menikah dan membina keluarga harus diakui jika mereka  memenuhi kondisi yang diperlukan oleh hukum domestik,  sejauh kondisi tersebut tidak mempengaruhi prinsip non  diskriminasi yang didirikan dalam konvensi ini; (3) Pernikahan harus berdasarkan persetujuan bebas dan  penuh dari pasangan mempelai; (4) Negara Pihak harus mengambil langkah yang tepat  untuk menjamin kesetaraan hak dan keseimbangan yang  memadai tanggung jawab dari pasangan untuk menikah,  selama pernikahan dan dalam hal perceraian. Dalam hal  perceraian ketentuan harus dibuat untuk perlindungan   (1)  Perlindungan dan bantuan seluas mungkin harus diberi- kan kepada keluarga, yang merupakan unit kelompok  alamiah dan mendasar dari masyarakat, terutama bagi  pembentukannya dan sementara itu bertanggung jawab  atas perawatan dan pendidikan anak-anak tergantung. Pernikahan harus dimasukkan ke dalam dengan persetu- ju an bebas dari pasangan. (2) Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu  selama jangka waktu yang wajar sebelum dan setelah  melahirkan. Selama periode tersebut ibu yang bekerja  harus diberikan cuti atau cuti dengan tunjangan jaminan  sosial yang memadai. (3)  Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan  harus diambil atas nama semua anak dan orang muda tanpa  diskriminasi apapun karena alasan keturunan atau kondisi  lainnya. Anak-anak dan orang muda harus dilindungi dari  eksploitasi ekonomi dan sosial.Pemanfaatan mereka dalam  pekerjaan yang merusak moral atau kesehatan atau yang  membahayakan kehidupan atau mungkin menghambat  perkembangan mereka secara normal harus dikenai sanksi  hukum. Negara-negara juga harus menetapkan batas umur  di bawah mana pekerjaan yang dibayar pekerja anak harus  dilarang dan dikenai sanksi hukum. c.  Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik   Pasal 23 berbunyi: (1)  Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh  masyarakat dan Negara.      34 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 35  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2)  Hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk menikah  dan untuk membentuk keluarga harus diakui. (3) Ada pernikahan akan dimasukkan ke dalam tanpa  persetujuan bebas dan penuh dari pasangan mereka. (4)  Negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah  yang tepat untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung  jawab pasangan untuk pernikahan, selama pernikahan dan  pada pembubarannya. Dalam hal pembubaran, ketentuan  harus dibuat untuk perlindungan yang diperlukan dari  setiap anak. d. Konvensi Amerika   Pasal 17 tentang Hak-hak Keluarga berbunyi: (1)  Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh  masyarakat dan negara; (2) Aktifi tas laki-laki dan perempuan usia kawin untuk  menikah dan membina keluarga harus diakui jika mereka  memenuhi kondisi yang diperlukan oleh hukum domestik,  sejauh kondisi tersebut tidak mempengaruhi prinsip non  diskriminasi yang didirikan dalam konvensi ini; (3) Pernikahan harus berdasarkan persetujuan bebas dan  penuh dari pasangan mempelai; (4) Negara Pihak harus mengambil langkah yang tepat  untuk menjamin kesetaraan hak dan keseimbangan yang  memadai tanggung jawab dari pasangan untuk menikah,  selama pernikahan dan dalam hal perceraian. Dalam hal  perceraian ketentuan harus dibuat untuk perlindungan   (1)  Perlindungan dan bantuan seluas mungkin harus diberi- kan kepada keluarga, yang merupakan unit kelompok  alamiah dan mendasar dari masyarakat, terutama bagi  pembentukannya dan sementara itu bertanggung jawab  atas perawatan dan pendidikan anak-anak tergantung. Pernikahan harus dimasukkan ke dalam dengan persetu- ju an bebas dari pasangan. (2) Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu  selama jangka waktu yang wajar sebelum dan setelah  melahirkan. Selama periode tersebut ibu yang bekerja  harus diberikan cuti atau cuti dengan tunjangan jaminan  sosial yang memadai. (3)  Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan  harus diambil atas nama semua anak dan orang muda tanpa  diskriminasi apapun karena alasan keturunan atau kondisi  lainnya. Anak-anak dan orang muda harus dilindungi dari  eksploitasi ekonomi dan sosial.Pemanfaatan mereka dalam  pekerjaan yang merusak moral atau kesehatan atau yang  membahayakan kehidupan atau mungkin menghambat  perkembangan mereka secara normal harus dikenai sanksi  hukum. Negara-negara juga harus menetapkan batas umur  di bawah mana pekerjaan yang dibayar pekerja anak harus  dilarang dan dikenai sanksi hukum. c.  Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik   Pasal 23 berbunyi: (1)  Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental  dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh  masyarakat dan Negara.      36 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 37  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (f)  Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan  perwalian, dan adopsi anak, atau lembaga serupa  di mana konsep-konsep ini ada dalam perundang- undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan  anak harus diutamakan; (g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan isteri,  termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi  dan pekerjaan;’ (h) Hak yang sama bagi kedua pasangan sehubungan  dengan, akuisisi kepemilikan, manajemen,  kenikmatan administrasi, dan disposisi dari properti,  baik secara gratis atau untuk pertimbangan berharga. (2)  Para pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan  memiliki efek hukum, dan semua tindakan yang diperlukan,  termasuk perundang-undangan, harus diambil untuk  menetapkan usia minimum untuk menikah dan membuat  pendaftaran pernikahan dalam registri resmi wajib.   E.  Peran Negara dalam Memfasilitasi  E.  Peran Negara dalam Memfasilitasi   Perkawinan Warga Negaranya Perkawinan Warga Negaranya   Nancy F Cott dalam bukunya Public Vows: A History of Marriage  and the Nation mengungkapkan bahwa perkawinan selalu menjadi  urusan publik. Buku yang merupakan hasil penelitian atas sejarah  perkawinan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sepanjang  sejarah kehidupan bernegara, lembaga perkawinan tidak pernah  lepas dari kebijakan-kebijakan publik, seperti politik dan hukum.  Peran negara dalam urusan perkawinan tidak lepas dari tugas utama  negara, yakni menciptakan kesejahteraan umum bagi warganya.   yang diperlukan dari setiap anak-anak semata-mata  berdasarkan kepentingan terbaik mereka sendiri; (5)  Hukum harus mengakui hak yang sama bagi anak yang  lahir di luar nikah dan mereka yang lahir di luar nikah. e.  Konvensi Internasional tentang Penghapusan  Semua Bentuk  Diskriminasi Terhadap Perempuan   Pasal 16 berbunyi: (1)  Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah  yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap  perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan  hubungan pernikahan dan keluarga dan khususnya wajib  menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan wanita: (a)  Hak yang sama untuk masuk ke dalam pernikahan; (b)  Hak yang sama bebas untuk memilih pasangan dan  untuk masuk ke dalam pernikahan hanya dengan  persetujuan bebas dan penuh; (c)  Hak dan tanggung jawab yang sama selama perni kah- an dan pada pembubaran tersebut; (d) Hak-hak yang sama dan tanggung jawab sebagai  orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka,  dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak  mereka, dalam semua kasus kepentingan anak harus  diutamakan; (e)  Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan  bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak- anak mereka dan untuk memiliki akses ke pendidikan,  informasi dan sarana untuk memungkinkan mereka  melaksanakan hak-hak ini;      36 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 37  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (f)  Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan  perwalian, dan adopsi anak, atau lembaga serupa  di mana konsep-konsep ini ada dalam perundang- undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan  anak harus diutamakan; (g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan isteri,  termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi  dan pekerjaan;’ (h) Hak yang sama bagi kedua pasangan sehubungan  dengan, akuisisi kepemilikan, manajemen,  kenikmatan administrasi, dan disposisi dari properti,  baik secara gratis atau untuk pertimbangan berharga. (2)  Para pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan  memiliki efek hukum, dan semua tindakan yang diperlukan,  termasuk perundang-undangan, harus diambil untuk  menetapkan usia minimum untuk menikah dan membuat  pendaftaran pernikahan dalam registri resmi wajib.   E.  Peran Negara dalam Memfasilitasi  E.  Peran Negara dalam Memfasilitasi   Perkawinan Warga Negaranya Perkawinan Warga Negaranya   Nancy F Cott dalam bukunya Public Vows: A History of Marriage  and the Nation mengungkapkan bahwa perkawinan selalu menjadi  urusan publik. Buku yang merupakan hasil penelitian atas sejarah  perkawinan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sepanjang  sejarah kehidupan bernegara, lembaga perkawinan tidak pernah  lepas dari kebijakan-kebijakan publik, seperti politik dan hukum.  Peran negara dalam urusan perkawinan tidak lepas dari tugas utama  negara, yakni menciptakan kesejahteraan umum bagi warganya.   yang diperlukan dari setiap anak-anak semata-mata  berdasarkan kepentingan terbaik mereka sendiri; (5)  Hukum harus mengakui hak yang sama bagi anak yang  lahir di luar nikah dan mereka yang lahir di luar nikah. e.  Konvensi Internasional tentang Penghapusan  Semua Bentuk  Diskriminasi Terhadap Perempuan   Pasal 16 berbunyi: (1)  Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah  yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap  perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan  hubungan pernikahan dan keluarga dan khususnya wajib  menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan wanita: (a)  Hak yang sama untuk masuk ke dalam pernikahan; (b)  Hak yang sama bebas untuk memilih pasangan dan  untuk masuk ke dalam pernikahan hanya dengan  persetujuan bebas dan penuh; (c)  Hak dan tanggung jawab yang sama selama perni kah- an dan pada pembubaran tersebut; (d) Hak-hak yang sama dan tanggung jawab sebagai  orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka,  dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak  mereka, dalam semua kasus kepentingan anak harus  diutamakan; (e)  Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan  bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak- anak mereka dan untuk memiliki akses ke pendidikan,  informasi dan sarana untuk memungkinkan mereka  melaksanakan hak-hak ini;      38 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 39  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   F.  Teori Pendukung F. Teori Pendukung   Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan disatu sisi telah menjamin hak-hak perempuan  sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki. Dalam  perkembangannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan yang di dalam Pasal 3 ayat (1,2), Pasal 4 ayat (1,2) Pasal  5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24, telah digunakan oleh  kaum perempuan untuk melindungi hak-hak asasinya sebagai  manusia dan sebagai warga negara sesuai dengan Undang-Undang  Dasar 1945. Perpektif perempuan ini memberikan implikasi bagi  pentingnya dalam penelitian ini menggunakan alat analisis dengan  beberapa teori pendukung, yakni,  pertama teori feminisme yang  berperspektif hak asasi manusia,  kedua teori tentang kesetaraan  gender dan ketiga teori keadilan. Alasan penggunaan ketiga teori  ini sebagai alat analisis adalah karena masalah perkawinan merupa- kan masalah  perempuan yang sebagian besar selalu menjadi  korban. Perkawinan yang tidak sah menurut Undang-Undang  banyak dilakukan di berbagai daerah dan dampaknya adalah  ketidakadilan bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan.  Dengan pendekatan teori-teori diharapkan menjadi dasar dalam  melakukan analisa masalah tentang perkawinan.   1.  Teori Feminisme 1. Teori Feminisme   Teori-teori feminisme sangat beragam dan telah berubah  secara dramatis sejak awal kemunculannya. Di bawah ini adalah  tinjauan sistematik mengenai teori-teori feminis utama, diambil   Dalam upaya mencapai tujuan umum tersebut, negara membuat  berbagai kebijakan yang tujuannya mengatur kehidupan sosial  masyarakat. Demi mencapai tujuan sosial itu jugalah negara dapat  saja membuat kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan privat  warganya. Tentunya, keikutsertaan negara dalam mencampuri  kehidupan pribadi warganya harus dibatasi. John Stuart Mill dalam karyanya yang berjudul  On Liberty  (1859) memberikan batasan yang sangat jelas bagi keterlibatan  negara dalam urusan pribadi warganya. Dengan berlandaskan pada  ”dictum utilitarian ”the greatest happiness of the greatest number  of people”, negara dibolehkan menetapkan aturan bagi warganya.  Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk memberikan  ruang dan menjamin kebebasan individu sekaligus memastikan  bahwa kehendak bebas seseorang tidak sampai membahayakan  kebebasan warga lainnya.  Dalam pemahaman yang demikian, negara tidak boleh  membuat kebijakan yang mencampuri urusan pribadi warganya  yang tidak berimplikasi pada kebebasan orang lain. Negara boleh  saja mencampuri urusan pribadi warganya dalam upaya mencegah  terjadinya kekerasan dalam keluarga, seperti aturan untuk mence- gah tindakaan penganiayaan suami atau isteri oleh pasangannya,  atau aturan yang mewajibkan orang tua untuk memberikan  pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Negara seharusnya mengambil peran yang strategis yaitu  membuat kebijakan yang tidak mempersulit dilaksanakan  perkawinan, memberi ruang dan menjamin kebebasan individu  dan memastikan kehendak bebas seseorang tidak membahayakan  kebebasan warga masyarakat lainnya.      38 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 39  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   F.  Teori Pendukung F. Teori Pendukung   Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan disatu sisi telah menjamin hak-hak perempuan  sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki. Dalam  perkembangannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan yang di dalam Pasal 3 ayat (1,2), Pasal 4 ayat (1,2) Pasal  5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24, telah digunakan oleh  kaum perempuan untuk melindungi hak-hak asasinya sebagai  manusia dan sebagai warga negara sesuai dengan Undang-Undang  Dasar 1945. Perpektif perempuan ini memberikan implikasi bagi  pentingnya dalam penelitian ini menggunakan alat analisis dengan  beberapa teori pendukung, yakni,  pertama teori feminisme yang  berperspektif hak asasi manusia,  kedua teori tentang kesetaraan  gender dan ketiga teori keadilan. Alasan penggunaan ketiga teori  ini sebagai alat analisis adalah karena masalah perkawinan merupa- kan masalah  perempuan yang sebagian besar selalu menjadi  korban. Perkawinan yang tidak sah menurut Undang-Undang  banyak dilakukan di berbagai daerah dan dampaknya adalah  ketidakadilan bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan.  Dengan pendekatan teori-teori diharapkan menjadi dasar dalam  melakukan analisa masalah tentang perkawinan.   1.  Teori Feminisme 1. Teori Feminisme   Teori-teori feminisme sangat beragam dan telah berubah  secara dramatis sejak awal kemunculannya. Di bawah ini adalah  tinjauan sistematik mengenai teori-teori feminis utama, diambil   Dalam upaya mencapai tujuan umum tersebut, negara membuat  berbagai kebijakan yang tujuannya mengatur kehidupan sosial  masyarakat. Demi mencapai tujuan sosial itu jugalah negara dapat  saja membuat kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan privat  warganya. Tentunya, keikutsertaan negara dalam mencampuri  kehidupan pribadi warganya harus dibatasi. John Stuart Mill dalam karyanya yang berjudul  On Liberty  (1859) memberikan batasan yang sangat jelas bagi keterlibatan  negara dalam urusan pribadi warganya. Dengan berlandaskan pada  ”dictum utilitarian ”the greatest happiness of the greatest number  of people”, negara dibolehkan menetapkan aturan bagi warganya.  Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk memberikan  ruang dan menjamin kebebasan individu sekaligus memastikan  bahwa kehendak bebas seseorang tidak sampai membahayakan  kebebasan warga lainnya.  Dalam pemahaman yang demikian, negara tidak boleh  membuat kebijakan yang mencampuri urusan pribadi warganya  yang tidak berimplikasi pada kebebasan orang lain. Negara boleh  saja mencampuri urusan pribadi warganya dalam upaya mencegah  terjadinya kekerasan dalam keluarga, seperti aturan untuk mence- gah tindakaan penganiayaan suami atau isteri oleh pasangannya,  atau aturan yang mewajibkan orang tua untuk memberikan  pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Negara seharusnya mengambil peran yang strategis yaitu  membuat kebijakan yang tidak mempersulit dilaksanakan  perkawinan, memberi ruang dan menjamin kebebasan individu  dan memastikan kehendak bebas seseorang tidak membahayakan  kebebasan warga masyarakat lainnya.      40 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 41  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau  kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya, yaitu menambah  kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi- institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini  muncul selama revolusi Prancis dan masa pencerahan Eropa Barat 5.  Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut, menyediakan  baik argumen-argumen politik maupun moral, untuk gagasan- gagasan mengenai ”kemajuan, kontrak, sifat dasar, dan alasan”  yang memutuskan ikatan-ikatan  dan norma-norma tradisional 6.  Asumsinya, apabila, perempuan diberi akses yang sama untuk  bersaing, mereka akan berhasil. Kaum feminis Marxis tradisional mencari asal penindasan  terhadap perempuan dari permulaan pemilikan kekayaan pribadi.  Penyebab penindasan perempuan dihubungkan dengan tipe  organisasi sosial, khususnya tatanan perekonomian. Sistem kelas  yang berdasarkan pemilikan pribadi, secara inheren bersifat  menindas, dan kaum lelaki kulit putih mempunyai kedudukan  istimewa di dalamnya. Unsur kunci yang membedakan feminisme  Marxis dari teori-teori feminis  terletak pada anggapan nya, bahwa  kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama 7.  Di dalam kapitalisme, kemampuan untuk memaksakan gagasan  mengenai keluarga, masa kanak-kanak, feminitas, dan seksualitas,  memperkuat serta mempertahankan kekuasaan laki-laki borjuis.   5 Mery Wollstonecraft menerbitkan  A. Vindication of The Right of Women  (1779). 6 Kandal, 1985:5 7 Sheila Rowwbothan  Women’s Conciosness, Man’s World, 1973.   dari kerangka konseptual yang digambarkan oleh Jagger dan  Rothenberg3. Dalam tahun 1960-an, tujuan-tujuan politik feminis terfokus  pada penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah  berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan diremehkan oleh  disiplin-disiplin patriarkis, wanita berusaha masuk menjadi obyek  penelitian. Teori-teori tradisional kerap dimodi fi kasi  oleh  kaum  feminis untuk menerangkan peminggiran peran perempuan,  dengan memusatkan pada pencantuman persamaan wanita ke  dalam kerangka teoritis masa lalu itu, kesamaan-kesamaan wanita  dengan laki-laki ditekankan (Gross, 1986). Perubahan politik feminis terjadi, ketika kaum feminis  menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi  perempuan ”yaitu, hak wanita untuk politik, sosial, ekonomi, dan  penentuan diri secara intelektual (Gross, 1986:193).  Pendekatan-pendekatan studi perempuan yang dicakup oleh  beberapa sosiolog meliputi tradisi Feminisme Liberal, Feminisme  Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, 4 Feminisme  Kultural dan Feminisme Pasca Struktural. Teori-teori tersebut  mempunyai kesamaan dalam fokus mengenai penindasan  terhadap perempuan di dalam masyarakat, namun teori-teori itu  berbeda dalam defi nisi tentang penyebab-penyebab penindasan  perempuan itu, serta cara-cara pemecahan yang ditawarkannya  bagi perubahan sosial atau individual. Dalam tradisi feminisme- liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya    3  Feminist Framework (1984). 4  Kategorisasi teori-teori feminis ke dalam empat kerangka ini, dikembangkan  oleh Jegger dan Rothenberg di dalam Feminist Frameworks (1984)      40 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 41  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau  kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya, yaitu menambah  kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi- institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini  muncul selama revolusi Prancis dan masa pencerahan Eropa Barat 5.  Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut, menyediakan  baik argumen-argumen politik maupun moral, untuk gagasan- gagasan mengenai ”kemajuan, kontrak, sifat dasar, dan alasan”  yang memutuskan ikatan-ikatan  dan norma-norma tradisional 6.  Asumsinya, apabila, perempuan diberi akses yang sama untuk  bersaing, mereka akan berhasil. Kaum feminis Marxis tradisional mencari asal penindasan  terhadap perempuan dari permulaan pemilikan kekayaan pribadi.  Penyebab penindasan perempuan dihubungkan dengan tipe  organisasi sosial, khususnya tatanan perekonomian. Sistem kelas  yang berdasarkan pemilikan pribadi, secara inheren bersifat  menindas, dan kaum lelaki kulit putih mempunyai kedudukan  istimewa di dalamnya. Unsur kunci yang membedakan feminisme  Marxis dari teori-teori feminis  terletak pada anggapan nya, bahwa  kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama 7.  Di dalam kapitalisme, kemampuan untuk memaksakan gagasan  mengenai keluarga, masa kanak-kanak, feminitas, dan seksualitas,  memperkuat serta mempertahankan kekuasaan laki-laki borjuis.   5 Mery Wollstonecraft menerbitkan  A. Vindication of The Right of Women  (1779). 6 Kandal, 1985:5 7 Sheila Rowwbothan  Women’s Conciosness, Man’s World, 1973.   dari kerangka konseptual yang digambarkan oleh Jagger dan  Rothenberg3. Dalam tahun 1960-an, tujuan-tujuan politik feminis terfokus  pada penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah  berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan diremehkan oleh  disiplin-disiplin patriarkis, wanita berusaha masuk menjadi obyek  penelitian. Teori-teori tradisional kerap dimodi fi kasi  oleh  kaum  feminis untuk menerangkan peminggiran peran perempuan,  dengan memusatkan pada pencantuman persamaan wanita ke  dalam kerangka teoritis masa lalu itu, kesamaan-kesamaan wanita  dengan laki-laki ditekankan (Gross, 1986). Perubahan politik feminis terjadi, ketika kaum feminis  menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi  perempuan ”yaitu, hak wanita untuk politik, sosial, ekonomi, dan  penentuan diri secara intelektual (Gross, 1986:193).  Pendekatan-pendekatan studi perempuan yang dicakup oleh  beberapa sosiolog meliputi tradisi Feminisme Liberal, Feminisme  Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, 4 Feminisme  Kultural dan Feminisme Pasca Struktural. Teori-teori tersebut  mempunyai kesamaan dalam fokus mengenai penindasan  terhadap perempuan di dalam masyarakat, namun teori-teori itu  berbeda dalam defi nisi tentang penyebab-penyebab penindasan  perempuan itu, serta cara-cara pemecahan yang ditawarkannya  bagi perubahan sosial atau individual. Dalam tradisi feminisme- liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya    3  Feminist Framework (1984). 4  Kategorisasi teori-teori feminis ke dalam empat kerangka ini, dikembangkan  oleh Jegger dan Rothenberg di dalam Feminist Frameworks (1984)      42 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 43  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   pendidikan,dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan  biasanya lebih sedikit dari pada laki-laki, apalagi masyarakat  tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan  kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di  rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya  era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad  XVIII11 yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke  seluruh dunia. Aktor pegiat perlawanan terhadap diskriminasi perempuan  tidak terbatas pada kaum perempuan saja, melainkan melibatkan  secara aktif kaum laki-laki. Beberapa intelektual masyhur dunia  dikenal sebagai aktivis perempuan. Sebut misalnya John Stuart  Mill, Thornstein Veblen dan, Friedrich Engels. Ekonom besar  dan utilitiaris Inggris John Stuart Mill selain menulis karya klasik  Principles of Political Economy (1845) ternyata menulis juga sebuah  buku yang membahas soal-soal perempuan berjudul The Subjection  of Woman. Harriet Hardy, wanita yang kemudian ia nikahi setelah  sekian lama menjadi teman diskusinya, dipandang berperan  signifi kan dalam karya dan pemikiran Mill berikutnya. Demikian  halnya dengan Thorstein Veblen, ekonom orisinal dan sosiolog besar  di akhir abad 19. Karya besarnya The Theory of The Leisure Class    11  Liberalisme yang dimaksud adalah Liberalisme Klasik yang dicetuskan  Adam Smith (1723-1790) di bidang ekonomi dan John Locke (1632-1704), di  bidang politik dan paham agama. Paham ini beranggapan bahwa kebebasan  individual adalah nilai tertinggi dalam kehidupan sosial. Setiap individu itu  harus dibiarkan memburu nilai dan kepentingannya, sejauh ia tidak melanggar  kebebasan orang lain, melakukan kekerasan dan paksaan. Pikiran Liberalisme  Klasik inilah yang mengilhami gerakan feminisme Eropa. Baca: Liberalism:  Its Meaning and History, J. Salwyn Schapiro, Princeton. N.J.: D. Van Nostrand  Company, 1958.   Dalam beberapa perspektif Feminisme Radikal digambarkan  bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis,  yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Penindasan  berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme,  dan kelasisme, terjadi secara signifi  kan dalam hubungannya dengan  penindasan patriarkis. Agar wanita terbebas dari penindasan, perlu  mengubah masyarkat yang berstruktur patriarkis8. Dalam feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas,  dianggap merupakan penindasan utama. Suatu bentuk penindas- an tidaklah mencontoh penindasan lain sebelumnya. Feminisme  sosialis meliputi pemusatan dan pengarahan kembali, oleh  femenisme terhadap pendekatan historis Marxian untuk mema- hami struktur penindasan perempuan, terutama dalam kaitannya  dengan struktur jenis kelamin, keluarga, dan hierarki pembagian  kerja seksual9.  Fokus feminisme kultural adalah pandangan, bahwa feminisme  merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan.  Untuk menoleh pandangan ideal melalui maskulinitas, dan cap-cap  yang diberikan pada feminitas oleh dunia patriarkis, kaum feminis  kultural mendefi nisikan kembali feminis dalam suatu kerangka  positif10. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum  perempuan dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan  (subordinasi) oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat  yang patriakal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan,    8  Shulamith Firestone, The Dialection of Sex, 1976. 9 Eisentein, 1979. 10  Jessic Bernard, The Female World, 1981.      42 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 43  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   pendidikan,dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan  biasanya lebih sedikit dari pada laki-laki, apalagi masyarakat  tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan  kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di  rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya  era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad  XVIII11 yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke  seluruh dunia. Aktor pegiat perlawanan terhadap diskriminasi perempuan  tidak terbatas pada kaum perempuan saja, melainkan melibatkan  secara aktif kaum laki-laki. Beberapa intelektual masyhur dunia  dikenal sebagai aktivis perempuan. Sebut misalnya John Stuart  Mill, Thornstein Veblen dan, Friedrich Engels. Ekonom besar  dan utilitiaris Inggris John Stuart Mill selain menulis karya klasik  Principles of Political Economy (1845) ternyata menulis juga sebuah  buku yang membahas soal-soal perempuan berjudul The Subjection  of Woman. Harriet Hardy, wanita yang kemudian ia nikahi setelah  sekian lama menjadi teman diskusinya, dipandang berperan  signifi kan dalam karya dan pemikiran Mill berikutnya. Demikian  halnya dengan Thorstein Veblen, ekonom orisinal dan sosiolog besar  di akhir abad 19. Karya besarnya The Theory of The Leisure Class    11  Liberalisme yang dimaksud adalah Liberalisme Klasik yang dicetuskan  Adam Smith (1723-1790) di bidang ekonomi dan John Locke (1632-1704), di  bidang politik dan paham agama. Paham ini beranggapan bahwa kebebasan  individual adalah nilai tertinggi dalam kehidupan sosial. Setiap individu itu  harus dibiarkan memburu nilai dan kepentingannya, sejauh ia tidak melanggar  kebebasan orang lain, melakukan kekerasan dan paksaan. Pikiran Liberalisme  Klasik inilah yang mengilhami gerakan feminisme Eropa. Baca: Liberalism:  Its Meaning and History, J. Salwyn Schapiro, Princeton. N.J.: D. Van Nostrand  Company, 1958.   Dalam beberapa perspektif Feminisme Radikal digambarkan  bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis,  yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Penindasan  berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme,  dan kelasisme, terjadi secara signifi  kan dalam hubungannya dengan  penindasan patriarkis. Agar wanita terbebas dari penindasan, perlu  mengubah masyarkat yang berstruktur patriarkis8. Dalam feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas,  dianggap merupakan penindasan utama. Suatu bentuk penindas- an tidaklah mencontoh penindasan lain sebelumnya. Feminisme  sosialis meliputi pemusatan dan pengarahan kembali, oleh  femenisme terhadap pendekatan historis Marxian untuk mema- hami struktur penindasan perempuan, terutama dalam kaitannya  dengan struktur jenis kelamin, keluarga, dan hierarki pembagian  kerja seksual9.  Fokus feminisme kultural adalah pandangan, bahwa feminisme  merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan.  Untuk menoleh pandangan ideal melalui maskulinitas, dan cap-cap  yang diberikan pada feminitas oleh dunia patriarkis, kaum feminis  kultural mendefi nisikan kembali feminis dalam suatu kerangka  positif10. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum  perempuan dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan  (subordinasi) oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat  yang patriakal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan,    8  Shulamith Firestone, The Dialection of Sex, 1976. 9 Eisentein, 1979. 10  Jessic Bernard, The Female World, 1981.      44 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 45  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   dalam proses penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam  perbuatan dosa. Dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya  terusir dari sorga. Ketiga, perempuan bukan saja dari laki-laki  tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi-asumsi ini berimplikasi  pada pemahaman bahwa perempuan sekedar instrumental bagi  kepentingan laki-laki dan tidaklah fundamental, dan karena itu  tidak berhak mendefi nisikan status dan martabatnya. Gerakan feminisme di Eropa pada abad ke-18 gaungnya kurang  keras, namun setelah terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika  Serikat, perhatian terhadap hak-hak perempuan mulai  muncul.  Pada 1792 Mary Wollstonecraft menulis buku Vindication of the  Right of Woman 12, yang isinya merupakan dasar prinsip-prinsip  feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun antara 1830-1840  sejalan dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum  perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai  diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan  dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh  kaum laki-laki. Gelombang feminisme di Amerika Serikat mendapat mo- mentum yang besar pada era 1960-an yakni pada era reformasi  dengan terbitnya buku The Feminine Mystique, yang ditulis oleh  Betty Friedan pada 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih- lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama  National Organization for Woman pada 1966 gemanya kemudian  merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan,  tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal    12  Buku ini diterbitkan oleh Boston: Peter Edes, 1972   (1899) sarat gugatan terhadap kepincangan masyarakat kapitalis  yang berwatak semu. Ia menyoal kaum ningrat yang berkecimpung  dalam bisnis raksasa serta pola hidup kaum perempuan kelas atas  yang ”glamour” dan tidak berguna. Bagi pemikir yang sempat  membuat banyak mahasiswi-nya tergila-gila itu, masyarakat  kapitalis adalah masyarakat pemboros, kelas pemboros (the leisure  class). Ciri-cirinya, menurut Veblen adalah tingkat konsumsi yang  berlebihan. Oleh Veblen masyarakat seperti ini juga disebutnya  memiliki ciri predatory instinct (naluri memangsa) yang tentu  saja merugikan orang lain. Sementara Friederich Engels tampak  jelas menjadi bagain dari pemikir feminis melalui karyanya The  Origins of the Family, Private Property and State (1884). Di situlah  ia mengupas bagaimana sistem kapitalisme telah mensubordinasi  perempuan sebagai sekadar milik kaum lelaki.  Dengan sejarah yang amat panjang dan beragam tokoh  pemikirnya, gerakan perempuan terus tumbuh sesuai kondisi  obyektif masyarakatnya. Gerakan perempuan akhirnya juga  berdialektika dan menghasilkan banyak sekali varian gerakan.  Dasar pemikiran yang memunculkan dan menyatukan gerakan  feminisme adalah struktur masyarakat patriarkhi yang dianggap  sebagai biang keladi persoalan. Ideologi patriarkhi ini menelusup  dalam hampir seluruh aspek kehidupan ( all sphere of life) bahkan  sampai dalam tafsir keagamaan. Dalam kaitan dengan dominasi  patriarkhi dalam agama misalnya, seorang feminis Amerika, Prof.  Rifaat Hassan melihat bahwa dalam masyarakat patriarkhi ada  tersimpan tiga asumsi dasar ketika mencoba memahami kaum  perempuan. Pertama, manusia pertama adalah laki-laki; dan  perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah ”makhluk  sekunder” Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua      44 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 45  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   dalam proses penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam  perbuatan dosa. Dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya  terusir dari sorga. Ketiga, perempuan bukan saja dari laki-laki  tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi-asumsi ini berimplikasi  pada pemahaman bahwa perempuan sekedar instrumental bagi  kepentingan laki-laki dan tidaklah fundamental, dan karena itu  tidak berhak mendefi nisikan status dan martabatnya. Gerakan feminisme di Eropa pada abad ke-18 gaungnya kurang  keras, namun setelah terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika  Serikat, perhatian terhadap hak-hak perempuan mulai  muncul.  Pada 1792 Mary Wollstonecraft menulis buku Vindication of the  Right of Woman 12, yang isinya merupakan dasar prinsip-prinsip  feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun antara 1830-1840  sejalan dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum  perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai  diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan  dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh  kaum laki-laki. Gelombang feminisme di Amerika Serikat mendapat mo- mentum yang besar pada era 1960-an yakni pada era reformasi  dengan terbitnya buku The Feminine Mystique, yang ditulis oleh  Betty Friedan pada 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih- lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama  National Organization for Woman pada 1966 gemanya kemudian  merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan,  tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal    12  Buku ini diterbitkan oleh Boston: Peter Edes, 1972   (1899) sarat gugatan terhadap kepincangan masyarakat kapitalis  yang berwatak semu. Ia menyoal kaum ningrat yang berkecimpung  dalam bisnis raksasa serta pola hidup kaum perempuan kelas atas  yang ”glamour” dan tidak berguna. Bagi pemikir yang sempat  membuat banyak mahasiswi-nya tergila-gila itu, masyarakat  kapitalis adalah masyarakat pemboros, kelas pemboros (the leisure  class). Ciri-cirinya, menurut Veblen adalah tingkat konsumsi yang  berlebihan. Oleh Veblen masyarakat seperti ini juga disebutnya  memiliki ciri predatory instinct (naluri memangsa) yang tentu  saja merugikan orang lain. Sementara Friederich Engels tampak  jelas menjadi bagain dari pemikir feminis melalui karyanya The  Origins of the Family, Private Property and State (1884). Di situlah  ia mengupas bagaimana sistem kapitalisme telah mensubordinasi  perempuan sebagai sekadar milik kaum lelaki.  Dengan sejarah yang amat panjang dan beragam tokoh  pemikirnya, gerakan perempuan terus tumbuh sesuai kondisi  obyektif masyarakatnya. Gerakan perempuan akhirnya juga  berdialektika dan menghasilkan banyak sekali varian gerakan.  Dasar pemikiran yang memunculkan dan menyatukan gerakan  feminisme adalah struktur masyarakat patriarkhi yang dianggap  sebagai biang keladi persoalan. Ideologi patriarkhi ini menelusup  dalam hampir seluruh aspek kehidupan ( all sphere of life) bahkan  sampai dalam tafsir keagamaan. Dalam kaitan dengan dominasi  patriarkhi dalam agama misalnya, seorang feminis Amerika, Prof.  Rifaat Hassan melihat bahwa dalam masyarakat patriarkhi ada  tersimpan tiga asumsi dasar ketika mencoba memahami kaum  perempuan. Pertama, manusia pertama adalah laki-laki; dan  perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah ”makhluk  sekunder” Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua      46 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 47  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas  untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada  perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada pe- rempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu  sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa  bersaing di dunia dalam kerangka ”persaingan bebas” dan punya  kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf 16, sebagai ”Feminisme  Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mem- punyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan pe- rempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya  kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.  Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan  wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang  dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal  yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub- ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur  segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung  keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah,  berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Feminisme liberal memusatkan perhatiannya pada persamaan  hak (equal rights). Asumsi dasar mereka adalah semua manusia  memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama dalam berpikir  dan bertindak rasional. Kerangka kerja feminis liberal dalam  memperjuangkan persoalan masyarakat, tertuju pada kesempatan  dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya    16  Naomi Wolf, The Beauty Myth, HarperCollins Publisher Inc, 1991.    Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi  kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki  untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana  kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala  bidang.13   Sebelumnya di Prancis,  terbit buku The Second Sex (1953) 14  karya Simone de Beauvoir, seorang ilmuwan politik yang  memutar  haluan menjadi aktivis gerakan pembebasan perempuan dan  bergabung dengan Partai Sosialis Prancis. Buku ini sarat ideologi  tentang apa yang kemudian disebut sebagai pemikiran feminisme  eksistensialis. Buku setebal hampir 1.000 halaman karya Simone de  Beauvoir itu seperti landmark studi feminisme yang berkembang  pesat 40 tahun terakhir ini. The Second Sex juga mengilhami  gerakan feminisme baik di Amerika Serikat maupun di berbagai  belahan dunia lainnya.  Adapun gerakan feminisme terdiri dari beberapa varian, di  antaranya:   a.  Feminisme Liberal  a. Feminisme Liberal  Feminis Liberal merupakan pandangan untuk menem  patkan  perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.  Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar  pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik 15.    13 Jo Freeman,  The Women’s Liberation Movement: Its Origin, Structures and  Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c.1971. 14  Simone de Beauvoir, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. 15  Judith Hole and Ellen Levine, ”The First Feminist”  dalam Women: A Feminist  Perspective (ed), Jo Freeman,  California, Mayfi eld Publishing Co. 1979, m.s.  544.      46 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 47  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas  untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada  perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada pe- rempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu  sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa  bersaing di dunia dalam kerangka ”persaingan bebas” dan punya  kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf 16, sebagai ”Feminisme  Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mem- punyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan pe- rempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya  kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.  Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan  wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang  dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal  yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub- ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur  segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung  keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah,  berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Feminisme liberal memusatkan perhatiannya pada persamaan  hak (equal rights). Asumsi dasar mereka adalah semua manusia  memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama dalam berpikir  dan bertindak rasional. Kerangka kerja feminis liberal dalam  memperjuangkan persoalan masyarakat, tertuju pada kesempatan  dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya    16  Naomi Wolf, The Beauty Myth, HarperCollins Publisher Inc, 1991.    Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi  kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki  untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana  kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala  bidang.13   Sebelumnya di Prancis,  terbit buku The Second Sex (1953) 14  karya Simone de Beauvoir, seorang ilmuwan politik yang  memutar  haluan menjadi aktivis gerakan pembebasan perempuan dan  bergabung dengan Partai Sosialis Prancis. Buku ini sarat ideologi  tentang apa yang kemudian disebut sebagai pemikiran feminisme  eksistensialis. Buku setebal hampir 1.000 halaman karya Simone de  Beauvoir itu seperti landmark studi feminisme yang berkembang  pesat 40 tahun terakhir ini. The Second Sex juga mengilhami  gerakan feminisme baik di Amerika Serikat maupun di berbagai  belahan dunia lainnya.  Adapun gerakan feminisme terdiri dari beberapa varian, di  antaranya:   a.  Feminisme Liberal  a. Feminisme Liberal  Feminis Liberal merupakan pandangan untuk menem  patkan  perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.  Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar  pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik 15.    13 Jo Freeman,  The Women’s Liberation Movement: Its Origin, Structures and  Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c.1971. 14  Simone de Beauvoir, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. 15  Judith Hole and Ellen Levine, ”The First Feminist”  dalam Women: A Feminist  Perspective (ed), Jo Freeman,  California, Mayfi eld Publishing Co. 1979, m.s.  544.      48 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 49  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Women’s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan  dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat  kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan  yang dijajah dan penjajah. Pada 1968 kelompok ini secara terbuka  memprotes diadakannya Miss America Pegeant di Atlantic City  yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita  dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema pembebasan kaum  perempuan ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di  seluruh dunia.  Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur  seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat  pada 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri  pornografi . Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan  adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan  gerakan ini adalah sesuai namanya yang ”radikal”. Berbeda dengan feminisme liberal dan Marxis, kaum feminis  radikal tidak melihat problem penindasan perempuan semata  pada keterbelakangan pendidikan ala feminis lieberal, serta  bahkan, bukan oleh sistem eksploitasi kapitalisme. Feminis  radikal mengkritik para feminis Marxis yang gagal menjelaskan  bagaimana sistem patriarkhi berjalan independen dari keterkaitan  dengan kapitalisme (menurut Engels, patriarki memang sudah  ada sebelum kapitalisme) dan bagaimana kaum pria dari semua  kelas dan ras dapat memperoleh keuntungan besar dari tata sosial  yang didominasi mereka itu. Penyebab penindasan, terutama  adalah patriarkhi, begitulah pendapat yang dipegang kaum feminis  radikal. Persoalan inilah yang menyebabkan dominasi, dan tentu  saja penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dengan begitu  kaum feminis radikal tidak bisa mengelak dari pengkritisan yang   kesempatan dan hak bagi kaum perempuan. Pembagian kerja  masyarakat modern yang terlanjur sebelumnya didominasi laki- laki, kini harus diubah karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan  dan teknologi. Tidak ada alasan seorang perempuan tidak bisa  menjadi astronot, dokter dan profesi lainnya sesuai pembagian  kerja masyarakat industri dalam sistem ekonomi dan sosial liberal.  Perempuan yang sekedar berada di rumah, hanyalah hegemoni yang  coba dipertahankan oleh sistem masyarakat patriarkhi. Penyele- sai an kaum feminis liberal terhadap problem perempuan adalah  dengan meningkatkan semakin banyak perempuan dalam posisi- posisi penting kebijakan. Dominasi pria dalam bisnis dan media  massa misalnya harus diimbangi oleh jumlah perempuan dalam  institusi-institusi tersebut. Cara menyiapkan kaum perempuan  agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh pesaingan bebas  adalah titik tolak permasalahannya. Feminis liberal memegang  anggapan bahwa masalah keterbelakangan kaum perempuan itu  terletak pada diri kaum perempuan sendiri.   b.  Feminisme Radikal  b. Feminisme Radikal  Trend ini muncul sejak pertengahan 1970-an di mana aliran  ini menawarkan ideologi ”perjuangan separatisme perempuan”.  Feminisme radikal mula-mula muncul di Amerika Serikast pada  1967 ketika dibentuk Student for a Democratic Society (SDS)  yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian  dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai  muncul kelompok feminisme radikal dengan membentuk Women’s  Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan Women’s  Lib.      48 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 49  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Women’s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan  dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat  kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan  yang dijajah dan penjajah. Pada 1968 kelompok ini secara terbuka  memprotes diadakannya Miss America Pegeant di Atlantic City  yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita  dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema pembebasan kaum  perempuan ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di  seluruh dunia.  Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur  seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat  pada 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri  pornografi . Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan  adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan  gerakan ini adalah sesuai namanya yang ”radikal”. Berbeda dengan feminisme liberal dan Marxis, kaum feminis  radikal tidak melihat problem penindasan perempuan semata  pada keterbelakangan pendidikan ala feminis lieberal, serta  bahkan, bukan oleh sistem eksploitasi kapitalisme. Feminis  radikal mengkritik para feminis Marxis yang gagal menjelaskan  bagaimana sistem patriarkhi berjalan independen dari keterkaitan  dengan kapitalisme (menurut Engels, patriarki memang sudah  ada sebelum kapitalisme) dan bagaimana kaum pria dari semua  kelas dan ras dapat memperoleh keuntungan besar dari tata sosial  yang didominasi mereka itu. Penyebab penindasan, terutama  adalah patriarkhi, begitulah pendapat yang dipegang kaum feminis  radikal. Persoalan inilah yang menyebabkan dominasi, dan tentu  saja penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dengan begitu  kaum feminis radikal tidak bisa mengelak dari pengkritisan yang   kesempatan dan hak bagi kaum perempuan. Pembagian kerja  masyarakat modern yang terlanjur sebelumnya didominasi laki- laki, kini harus diubah karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan  dan teknologi. Tidak ada alasan seorang perempuan tidak bisa  menjadi astronot, dokter dan profesi lainnya sesuai pembagian  kerja masyarakat industri dalam sistem ekonomi dan sosial liberal.  Perempuan yang sekedar berada di rumah, hanyalah hegemoni yang  coba dipertahankan oleh sistem masyarakat patriarkhi. Penyele- sai an kaum feminis liberal terhadap problem perempuan adalah  dengan meningkatkan semakin banyak perempuan dalam posisi- posisi penting kebijakan. Dominasi pria dalam bisnis dan media  massa misalnya harus diimbangi oleh jumlah perempuan dalam  institusi-institusi tersebut. Cara menyiapkan kaum perempuan  agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh pesaingan bebas  adalah titik tolak permasalahannya. Feminis liberal memegang  anggapan bahwa masalah keterbelakangan kaum perempuan itu  terletak pada diri kaum perempuan sendiri.   b.  Feminisme Radikal  b. Feminisme Radikal  Trend ini muncul sejak pertengahan 1970-an di mana aliran  ini menawarkan ideologi ”perjuangan separatisme perempuan”.  Feminisme radikal mula-mula muncul di Amerika Serikast pada  1967 ketika dibentuk Student for a Democratic Society (SDS)  yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian  dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai  muncul kelompok feminisme radikal dengan membentuk Women’s  Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan Women’s  Lib.      50 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 51  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Pembagian  kerja secara sexual dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai  penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mengacu pada  karya Friederich Engels, The Origins of the Family, Private Property  and State (1884), para penganut aliran ini melihat bahwa penindasan  perempuan diawali oleh diperkenalkannya kepemilikan pribadi  dalam masyarakat. Masyarakat kapitalis ditandai oleh pembedaan  antara ”rumah” dan ”tempat bekerja” (pabrik). Ini paralel artinya  dengan ”wilayah publik” dan ”wilayah pribadi”. Menurut Engels,  dalam masyarakat pra industrial, meskipun masih bersifat patriarkal,  ”woman’s work” (pekerjaan perempuan) yang menyiapkan  kebutuhan hidup sehari-hari dianggap sama pentingnya dengan  pekerjaan lelaki. Akan tetapi setelah kedatangan industralisasi dan  kapitalisme, produksi telah ditransfer dari rumah ke pabrik. Pada  saat itulah proses produksi menjadi seolah-olah dianggap dasar  dari dunia yang bebas. Melalui proses perubahan segala sesuatu  yang dianggap bermanfaat dan perubahan hakikat manusia ke  dalam wilayah publik, serta valorization (pengutamaan) produksi  diatas reproduksi, maka kaum perempuan dihargai sekedar seperti  halnya benda milik pribadi kaum lelaki. Tidak seperti feminisme Liberal, feminis Marxis percaya bahwa  kapitalisme hanya dapat membuat ”sukses” untuk sejumlah kecil  perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah  tekanan dari bawah 19. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan  tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual  adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang    19  Engels, F., The Origin of The Family, Private Property  and the State, Foreign  Languages Press, Peking 1978.   ekstrem. Mereka juga melihat jenis kelamin laki-laki sebagai  bagian dari permasalahan. Penguasaan fi sik perempuan oleh laki- laki seperti dalam hubungan seksual adalah bentuk penindasan  terhadap kaum perempuan. Revolusi (perubahan atas situasi ini)  terjadi hanya kalau setiap perempuan telah mengambil aksi untuk  mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri  terhadap kaum laki-laki. Dengan begitu, tak jarang, para penganut  aliran ini memilih untuk tidak menikah sebagai konsekuensinya.  Orientasi sexual semacam lesbian misalnya ikut menjadi counter  aksi atas penindasan laki-laki.    c.  Feminisme Sosialis  c. Feminisme Sosialis  Sebuah faham yang berpendapat ”Tak Ada Sosialisme tanpa  Pembebasan Perempuan17. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa  Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan  sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan  pria atas harta dan pemilikan suami atas isteri dihapuskan seperti  ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa  pembedaan gender.18   d.  Feminisme Marxis  d. Feminisme Marxis  Mengikuti Marx dan Engels, feminisme Marxis menganggap  penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam  hubungan produksi. Ciri khas aliran ini adalah persoalan perempuan    17  Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature,  Brighton, Harverster  1983. 18  Rendakk, Jane, The Origins if Modern Feminism: Women  in Britain, France  and the United States (1780-1860), London 1990.      50 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 51  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Pembagian  kerja secara sexual dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai  penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mengacu pada  karya Friederich Engels, The Origins of the Family, Private Property  and State (1884), para penganut aliran ini melihat bahwa penindasan  perempuan diawali oleh diperkenalkannya kepemilikan pribadi  dalam masyarakat. Masyarakat kapitalis ditandai oleh pembedaan  antara ”rumah” dan ”tempat bekerja” (pabrik). Ini paralel artinya  dengan ”wilayah publik” dan ”wilayah pribadi”. Menurut Engels,  dalam masyarakat pra industrial, meskipun masih bersifat patriarkal,  ”woman’s work” (pekerjaan perempuan) yang menyiapkan  kebutuhan hidup sehari-hari dianggap sama pentingnya dengan  pekerjaan lelaki. Akan tetapi setelah kedatangan industralisasi dan  kapitalisme, produksi telah ditransfer dari rumah ke pabrik. Pada  saat itulah proses produksi menjadi seolah-olah dianggap dasar  dari dunia yang bebas. Melalui proses perubahan segala sesuatu  yang dianggap bermanfaat dan perubahan hakikat manusia ke  dalam wilayah publik, serta valorization (pengutamaan) produksi  diatas reproduksi, maka kaum perempuan dihargai sekedar seperti  halnya benda milik pribadi kaum lelaki. Tidak seperti feminisme Liberal, feminis Marxis percaya bahwa  kapitalisme hanya dapat membuat ”sukses” untuk sejumlah kecil  perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah  tekanan dari bawah 19. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan  tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual  adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang    19  Engels, F., The Origin of The Family, Private Property  and the State, Foreign  Languages Press, Peking 1978.   ekstrem. Mereka juga melihat jenis kelamin laki-laki sebagai  bagian dari permasalahan. Penguasaan fi sik perempuan oleh laki- laki seperti dalam hubungan seksual adalah bentuk penindasan  terhadap kaum perempuan. Revolusi (perubahan atas situasi ini)  terjadi hanya kalau setiap perempuan telah mengambil aksi untuk  mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri  terhadap kaum laki-laki. Dengan begitu, tak jarang, para penganut  aliran ini memilih untuk tidak menikah sebagai konsekuensinya.  Orientasi sexual semacam lesbian misalnya ikut menjadi counter  aksi atas penindasan laki-laki.    c.  Feminisme Sosialis  c. Feminisme Sosialis  Sebuah faham yang berpendapat ”Tak Ada Sosialisme tanpa  Pembebasan Perempuan17. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa  Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan  sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan  pria atas harta dan pemilikan suami atas isteri dihapuskan seperti  ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa  pembedaan gender.18   d.  Feminisme Marxis  d. Feminisme Marxis  Mengikuti Marx dan Engels, feminisme Marxis menganggap  penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam  hubungan produksi. Ciri khas aliran ini adalah persoalan perempuan    17  Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature,  Brighton, Harverster  1983. 18  Rendakk, Jane, The Origins if Modern Feminism: Women  in Britain, France  and the United States (1780-1860), London 1990.      52 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 53  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status,  peranan dan kedudukannya  dalam keluarga dan masyarakat.  Penolakan terhadap masuknya perempuan dalam bidang  profesi dan  pekerjaan, lebih disebabkan karena dia seorang  perempuan, bukan karena kemampuannya yang kurang dari  kaum laki-laki. Kondisi semacam ini terjadi karena adanya citra  baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki, dimana  masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak  kepada peran  dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di  sektor publik yang produktif (bukan reproduktif) untuk menopang  ekonomi rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah maka  laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh pendidikan dan  keterampilan dibandingkan kaum perempuan. Dalam memandang perjuangan kaum perempuan untuk  mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender, Edward Wilson  dari Harvard University (1975) mengemukakan dua kelompok  besar konsep yaitu: konsep nurture (konstruksi sosial  budaya) dan  konsep nature (alamiah).   a.  Konsep/Aliran  a. Konsep/Aliran  Nurture Nurture Perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah  hasil konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas  yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan perempuan selalu  tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup  berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi  sosial ini menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan  kelas, kelas borjuis untuk laki-laki dan kelas proletar untuk kaum  perempuan.  berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan  dalam kapitalisme.  Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang  berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri,  diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup- kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk  pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan,  eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas.  Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah,  keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal. Gerakan-gerakan feminisme dengan berbagai variannya terse- but mempengaruhi sikap hidup perempuan di dunia bahkan hingga  ke Indonesia. Pengaruh ini sangat kuat sehingga banyak perempuan  Indonesia menyadari bahwa meningkatkan kemampuan diri sangat  penting untuk keluar dari ketidakadilan gender.   2.  Teori Kesetaraan Gender 2.  Teori Kesetaraan Gender   Masalah kesetaraan dan keadilan gender tidak dapat dipisahkan  dari proses perjuangan hak-hak asasi manusia PBB tahun 1948.  Pada tahap awal hak-hak asasi manusia hanya menekankan pada  pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga  negara dalam hidup berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.  Titik perhatian tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang  selanjutnya sesuai perkembangan zaman meliputi hak-hak sosial,  ekonomi dan budaya seseorang. Ketidak adilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menem- patkan perempuan dalam status di belakang kaum laki-laki telah      52 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 53  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status,  peranan dan kedudukannya  dalam keluarga dan masyarakat.  Penolakan terhadap masuknya perempuan dalam bidang  profesi dan  pekerjaan, lebih disebabkan karena dia seorang  perempuan, bukan karena kemampuannya yang kurang dari  kaum laki-laki. Kondisi semacam ini terjadi karena adanya citra  baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki, dimana  masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak  kepada peran  dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di  sektor publik yang produktif (bukan reproduktif) untuk menopang  ekonomi rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah maka  laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh pendidikan dan  keterampilan dibandingkan kaum perempuan. Dalam memandang perjuangan kaum perempuan untuk  mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender, Edward Wilson  dari Harvard University (1975) mengemukakan dua kelompok  besar konsep yaitu: konsep nurture (konstruksi sosial  budaya) dan  konsep nature (alamiah).   a.  Konsep/Aliran  a. Konsep/Aliran  Nurture Nurture Perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah  hasil konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas  yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan perempuan selalu  tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup  berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi  sosial ini menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan  kelas, kelas borjuis untuk laki-laki dan kelas proletar untuk kaum  perempuan.  berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan  dalam kapitalisme.  Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang  berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri,  diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup- kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk  pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan,  eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas.  Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah,  keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal. Gerakan-gerakan feminisme dengan berbagai variannya terse- but mempengaruhi sikap hidup perempuan di dunia bahkan hingga  ke Indonesia. Pengaruh ini sangat kuat sehingga banyak perempuan  Indonesia menyadari bahwa meningkatkan kemampuan diri sangat  penting untuk keluar dari ketidakadilan gender.   2.  Teori Kesetaraan Gender 2.  Teori Kesetaraan Gender   Masalah kesetaraan dan keadilan gender tidak dapat dipisahkan  dari proses perjuangan hak-hak asasi manusia PBB tahun 1948.  Pada tahap awal hak-hak asasi manusia hanya menekankan pada  pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga  negara dalam hidup berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.  Titik perhatian tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang  selanjutnya sesuai perkembangan zaman meliputi hak-hak sosial,  ekonomi dan budaya seseorang. Ketidak adilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menem- patkan perempuan dalam status di belakang kaum laki-laki telah      54 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 55  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum  laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama  dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,  masyarakat, bangsa dan negara.  Karena itu penerapan kesetaraan  dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual  dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan matematis (quota)  dan tidak bersifat universal. Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan  saling mengisi yang dapat diwujudkan melalui strategi pengarus- utamaan gender (gender mainstreaming), yaitu strategi  untuk  menyeimbangkan peranan,  kedudukan, dan status antara laki-laki  dan perempuan, mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan,  pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil pembangunan melalui  gerakan dan pelatihan.  Dalam dekade yang lalu sejumlah pendekatan pelatihan  yang berbeda telah dikembangkan dan menghasilkan strategi- strategi dan teknik-teknik pelatihan yang berbeda. Dari berbagai  pendekatan, tiga pendekatan muncul sebagai pendekatan- pendekatan yang dominan. Pelatihan analisis gender, pertama  kali dikembangkan tahun 1980 oleh Chaterine Overholt, Mary  Anderson, dan Kathleen Cloud dari Harvard dan karenanya juga  disebut ”Pendekatan Harvard”. Pendekatan ini merupakan suatu  alat diagnosis yang didasarkan pada analisis gender. Ia terdiri  dari kerangka kerja analitis rangkap tiga yang secara berurutan  mempermasalahkan pembagian kerja antara perempuan dan  laki-laki serta perbedaan akses dan penguasaan mereka terhadap  sumber-sumber kehidupan. Tujuannya adalah melatih peserta agar  mampu menggunakan analisis gender sebagai peralatan dalam  tugas mereka. Pendekatan kedua, yang muncul pada akhir tahun   Perjuangan persamaan ini dipelopori oleh kaum feminis  internasional yang cenderung mengejar kesamaan kuantitas/ jumlah atau kesamaan proporsional dalam segala aktivitas  masyarakat. Perjuangan ini mendapat hambatan baik nilai agama  maupun budaya, sehingga metode perjuangannya menggunakan  pendekatan sosial konfl ik.  Konsep sosial kon fl ik  menempatkan  kaum laki-laki sebagai kaum  penindas (borjuis) dan perempuan  sebagai kaum tertindas (proletar).    b.  Konsep/Aliran Nature   b.  Konsep/Aliran Nature   Aliran ini menerima perbedaan kodrat biologis secara  alamiah antara laki-laki dan perempuan.  Perbedaan biologis itu  memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan  peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat  dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda  secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak  kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori  nurture lalu beralih ke aliran nature. Pendekatan nurture dirasa  tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup  berkeluarga dan bermasyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya  maka dikembangkan konsep pemberdayaan perempuan ( women  empowerment), suatu program khusus ( affi  rmative action) untuk  memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan.    c.  Aliran Keseimbangan ( c.  Aliran Keseimbangan (Equilibrium Equilibrium)  )  Di samping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis  yang dikenal dengan keseimbangan yang menekankan pada konsep  kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan      54 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 55  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum  laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama  dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,  masyarakat, bangsa dan negara.  Karena itu penerapan kesetaraan  dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual  dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan matematis (quota)  dan tidak bersifat universal. Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan  saling mengisi yang dapat diwujudkan melalui strategi pengarus- utamaan gender (gender mainstreaming), yaitu strategi  untuk  menyeimbangkan peranan,  kedudukan, dan status antara laki-laki  dan perempuan, mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan,  pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil pembangunan melalui  gerakan dan pelatihan.  Dalam dekade yang lalu sejumlah pendekatan pelatihan  yang berbeda telah dikembangkan dan menghasilkan strategi- strategi dan teknik-teknik pelatihan yang berbeda. Dari berbagai  pendekatan, tiga pendekatan muncul sebagai pendekatan- pendekatan yang dominan. Pelatihan analisis gender, pertama  kali dikembangkan tahun 1980 oleh Chaterine Overholt, Mary  Anderson, dan Kathleen Cloud dari Harvard dan karenanya juga  disebut ”Pendekatan Harvard”. Pendekatan ini merupakan suatu  alat diagnosis yang didasarkan pada analisis gender. Ia terdiri  dari kerangka kerja analitis rangkap tiga yang secara berurutan  mempermasalahkan pembagian kerja antara perempuan dan  laki-laki serta perbedaan akses dan penguasaan mereka terhadap  sumber-sumber kehidupan. Tujuannya adalah melatih peserta agar  mampu menggunakan analisis gender sebagai peralatan dalam  tugas mereka. Pendekatan kedua, yang muncul pada akhir tahun   Perjuangan persamaan ini dipelopori oleh kaum feminis  internasional yang cenderung mengejar kesamaan kuantitas/ jumlah atau kesamaan proporsional dalam segala aktivitas  masyarakat. Perjuangan ini mendapat hambatan baik nilai agama  maupun budaya, sehingga metode perjuangannya menggunakan  pendekatan sosial konfl ik.  Konsep sosial kon fl ik  menempatkan  kaum laki-laki sebagai kaum  penindas (borjuis) dan perempuan  sebagai kaum tertindas (proletar).    b.  Konsep/Aliran Nature   b.  Konsep/Aliran Nature   Aliran ini menerima perbedaan kodrat biologis secara  alamiah antara laki-laki dan perempuan.  Perbedaan biologis itu  memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan  peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat  dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda  secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak  kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori  nurture lalu beralih ke aliran nature. Pendekatan nurture dirasa  tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup  berkeluarga dan bermasyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya  maka dikembangkan konsep pemberdayaan perempuan ( women  empowerment), suatu program khusus ( affi  rmative action) untuk  memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan.    c.  Aliran Keseimbangan ( c.  Aliran Keseimbangan (Equilibrium Equilibrium)  )  Di samping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis  yang dikenal dengan keseimbangan yang menekankan pada konsep  kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan      56 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 57  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Ada dua bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal  budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan- kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi  dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat  pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan  akal budi untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu  konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Di sini terlihat  ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang  universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini  akan menghasilkan public conception of justice. Ada beberapa basic assumption agar dalam masyarakat bekerja  sama dalam kondisi Fair, pertama, anggota masyarakat tidak  memandang tatanan sosial masyarakat tidak berubah. Masyarakat  harus menuju keadilan, sehingga masyarakat terbuka pada  perubahan, terutama perubahan struktur sosial. Kedua, kerjasama  dibedakan dengan aktifi tas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat  dari: a.  Bentuk kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan  coordinated activity berpijak pada efektifi tas/ efi siensi; b. Kerjasama ( organizing principle ) aturan dibuat untuk  mengatur anggota-anggotanya (mengikat, mengatur  kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam  coordinated activity aturan dibuat untuk kepentingan yang  membuat aturan; c.  Dalam kerjasama ( organizing principle) harus sah secara  publik (harus disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam  coordinated activity tidak ada organisasi, aturan tidak harus  sah secara publik.  80-an adalah Pelatihan Perencanaan gender yang dikembangkan  oleh Caroline Moser di London. Basis dari pendekatan ini  adalah perencanaan dan bukan analisis. Tujuan pelatihan adalah  memberikan peralatan, tidak hanya untuk analisis suatu situasi  yang responsif gender tapi juga terjemahannya ke dalam intervensi  khusus yang berupa praktek perencanaan. Dinamika gender  adalah yang ketiga, dan merupakan pendekatan pelatihan yang  sangat berbeda. Pendekatan ini utamanya datang dari pengalaman  pelatihan organisasi masyarakat akar-rumput di negara-negara  Dunia Ketiga. Filipina memiliki banyak pengalaman dengan  pendekatan ini. Dinamika gender adalah pelatihan penumbuhan  kesadaran untuk mengidentifi kasikan bias gender.   3.  Teori Keadilan 3. Teori Keadilan   Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory  of Justice bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk  mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur  berfi kir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang  Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right  dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu di ff erent  principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata  lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada  yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan  ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls  ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip  ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan  secara ekonomi akan valid jik tidak merampas hak dasar manusia.      56 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 57  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Ada dua bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal  budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan- kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi  dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat  pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan  akal budi untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu  konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Di sini terlihat  ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang  universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini  akan menghasilkan public conception of justice. Ada beberapa basic assumption agar dalam masyarakat bekerja  sama dalam kondisi Fair, pertama, anggota masyarakat tidak  memandang tatanan sosial masyarakat tidak berubah. Masyarakat  harus menuju keadilan, sehingga masyarakat terbuka pada  perubahan, terutama perubahan struktur sosial. Kedua, kerjasama  dibedakan dengan aktifi tas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat  dari: a.  Bentuk kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan  coordinated activity berpijak pada efektifi tas/ efi siensi; b. Kerjasama ( organizing principle ) aturan dibuat untuk  mengatur anggota-anggotanya (mengikat, mengatur  kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam  coordinated activity aturan dibuat untuk kepentingan yang  membuat aturan; c.  Dalam kerjasama ( organizing principle) harus sah secara  publik (harus disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam  coordinated activity tidak ada organisasi, aturan tidak harus  sah secara publik.  80-an adalah Pelatihan Perencanaan gender yang dikembangkan  oleh Caroline Moser di London. Basis dari pendekatan ini  adalah perencanaan dan bukan analisis. Tujuan pelatihan adalah  memberikan peralatan, tidak hanya untuk analisis suatu situasi  yang responsif gender tapi juga terjemahannya ke dalam intervensi  khusus yang berupa praktek perencanaan. Dinamika gender  adalah yang ketiga, dan merupakan pendekatan pelatihan yang  sangat berbeda. Pendekatan ini utamanya datang dari pengalaman  pelatihan organisasi masyarakat akar-rumput di negara-negara  Dunia Ketiga. Filipina memiliki banyak pengalaman dengan  pendekatan ini. Dinamika gender adalah pelatihan penumbuhan  kesadaran untuk mengidentifi kasikan bias gender.   3.  Teori Keadilan 3. Teori Keadilan   Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory  of Justice bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk  mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur  berfi kir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang  Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right  dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu di ff erent  principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata  lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada  yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan  ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls  ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip  ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan  secara ekonomi akan valid jik tidak merampas hak dasar manusia.      58 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 59  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB III  HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN   A. Pengantar A. Pengantar   Hukum nasional telah mengatur secara khusus mengenai  perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia  melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berikut peraturan  pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.  Undang-Undang Perkawinan ini tidak hanya menjadi dasar, asas  dan syarat-syarat legalitas sebuah perkawinan di Indonesia namun  juga diharapkan dapat menjamin hak-hak semua pihak yang terikat  dalam perkawinan tersebut, baik suami, isteri maupun anak-anak  yang lahir dalam perkawinan tersebut. Faktanya, perempuan dan  anak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM,  termasuk dalam sebuah perkawinan. Hal ini disebabkan karena  banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok  rentan ini telah mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi,  bahkan kekerasan termasuk di dalam rumah tangga yang terbentuk  akibat sebuah perkawinan. Studi ini meneliti bagaimana Undang-Undang Perkawinan  dalam implementasinya dapat melindungi perempuan dan anak   Ketiga, gagasan kerjasama yang fair mengandaikan kebaikan  akan keuntungan partisipan (partisipan punya gagasan sendiri dan  bertemu dengan gagasan lainnya dengan cara rasionalitas) bukan  masing-masing pihak melepaskan kepentingan tapi masing-masing  ingin punya keuntungan yang rasional (karena ingin mendapatkan  untung maka ada kerjasama, kalau saling mengalah tidak akan  tercapai kerjasama) Resiprositas dalam kerjasama yang fair mempunyai arti bukan  meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama  dan juga bukan merumuskan aturan berdasarkan kekinian dan  ekspektasinya.      58 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 59  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB III  HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN   A. Pengantar A. Pengantar   Hukum nasional telah mengatur secara khusus mengenai  perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia  melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berikut peraturan  pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.  Undang-Undang Perkawinan ini tidak hanya menjadi dasar, asas  dan syarat-syarat legalitas sebuah perkawinan di Indonesia namun  juga diharapkan dapat menjamin hak-hak semua pihak yang terikat  dalam perkawinan tersebut, baik suami, isteri maupun anak-anak  yang lahir dalam perkawinan tersebut. Faktanya, perempuan dan  anak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM,  termasuk dalam sebuah perkawinan. Hal ini disebabkan karena  banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok  rentan ini telah mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi,  bahkan kekerasan termasuk di dalam rumah tangga yang terbentuk  akibat sebuah perkawinan. Studi ini meneliti bagaimana Undang-Undang Perkawinan  dalam implementasinya dapat melindungi perempuan dan anak   Ketiga, gagasan kerjasama yang fair mengandaikan kebaikan  akan keuntungan partisipan (partisipan punya gagasan sendiri dan  bertemu dengan gagasan lainnya dengan cara rasionalitas) bukan  masing-masing pihak melepaskan kepentingan tapi masing-masing  ingin punya keuntungan yang rasional (karena ingin mendapatkan  untung maka ada kerjasama, kalau saling mengalah tidak akan  tercapai kerjasama) Resiprositas dalam kerjasama yang fair mempunyai arti bukan  meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama  dan juga bukan merumuskan aturan berdasarkan kekinian dan  ekspektasinya.      60 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 61  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia  dengan mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama  yang dianut oleh calon suami atau calon istri. Agama yang dianutpun  sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di  Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha  dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui  pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan  Pasal 11 sebagai berikut:  (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai  dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah  ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan  yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan  ketentuan yang berlaku.   C.  Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan  C.  Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan   Menurut Adat dan Kepercayaan Menurut Adat dan Kepercayaan   Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar hukum perkawinan  di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan,  diantaranya adalah: 1.  Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- winan; 3.  Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan  Agama Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975  tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974;    yang rentan mengalami pelanggaran HAM tersebut dan bagaimana  hak-hak mereka dipenuhi. Berbagai hasil penelitian dan studi- studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa Undang-Undang  Perkawinan yang seharusnya dapat melindungi kepentingan  warga negara yang rentan terdiskriminasi melalui perlindungan  perempuan dan anak dalam perkawinan, dalam prakteknya  sangat sulit untuk diimplementasikan. Hal ini dapat ditunjukkan  dengan kenyataan bahwa dalam Undang-Undang ini masih  terdapat sejumlah norma hukum yang cenderung melanggengkan  diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, mengabaikan  fakta keberagaman di tanah air, dan menjauhkan perempuan dari  haknya untuk mendapatkan perlakuan sama di depan hukum.  Sebagai contoh terkait pembedaan posisi dan peran perempuan  dalam rumah tangga berhadapan dengan suami yang ditetapkan  sebagai kepala rumah tangga; diijinkannya perkawinan usia anak;  pembedaan batasan usia kawin bagi perempuan lebih muda dari  laki-laki; dan dibukanya peluang untuk poligami. Banyak faktor  yang mempengaruhi lemahnya implementasi Undang-Undang  Perkawinan ini dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak,  salah satunya adalah terkait dengan masalah legalitas perkawinan.   B. Permasalahan Legalitas Perkawinan B.  Permasalahan Legalitas Perkawinan   Aturan mengenai legalitas perkawinan diatur dalam dalam  Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut. (1)  Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan  perundang-undangan yang berlaku.      60 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 61  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia  dengan mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama  yang dianut oleh calon suami atau calon istri. Agama yang dianutpun  sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di  Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha  dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui  pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan  Pasal 11 sebagai berikut:  (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai  dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah  ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan  yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan  ketentuan yang berlaku.   C.  Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan  C.  Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan   Menurut Adat dan Kepercayaan Menurut Adat dan Kepercayaan   Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar hukum perkawinan  di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan,  diantaranya adalah: 1.  Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- winan; 3.  Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan  Agama Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975  tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974;    yang rentan mengalami pelanggaran HAM tersebut dan bagaimana  hak-hak mereka dipenuhi. Berbagai hasil penelitian dan studi- studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa Undang-Undang  Perkawinan yang seharusnya dapat melindungi kepentingan  warga negara yang rentan terdiskriminasi melalui perlindungan  perempuan dan anak dalam perkawinan, dalam prakteknya  sangat sulit untuk diimplementasikan. Hal ini dapat ditunjukkan  dengan kenyataan bahwa dalam Undang-Undang ini masih  terdapat sejumlah norma hukum yang cenderung melanggengkan  diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, mengabaikan  fakta keberagaman di tanah air, dan menjauhkan perempuan dari  haknya untuk mendapatkan perlakuan sama di depan hukum.  Sebagai contoh terkait pembedaan posisi dan peran perempuan  dalam rumah tangga berhadapan dengan suami yang ditetapkan  sebagai kepala rumah tangga; diijinkannya perkawinan usia anak;  pembedaan batasan usia kawin bagi perempuan lebih muda dari  laki-laki; dan dibukanya peluang untuk poligami. Banyak faktor  yang mempengaruhi lemahnya implementasi Undang-Undang  Perkawinan ini dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak,  salah satunya adalah terkait dengan masalah legalitas perkawinan.   B. Permasalahan Legalitas Perkawinan B.  Permasalahan Legalitas Perkawinan   Aturan mengenai legalitas perkawinan diatur dalam dalam  Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut. (1)  Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan  perundang-undangan yang berlaku.      62 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 63  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa,  perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat  dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan  menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.  Dalam memahami perkawinan beda agama menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada tiga  penafsiran yang berbeda.  Pertama, penafsiran yang berpendapat  bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal  2 ayat (1) jo Pasal 8 f. Pendapat  kedua, bahwa perkawinan antar  agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup  dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57  tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua  orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,  yang berarti Pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang  berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda  agama. Pendapat  ketiga bahwa perkawinan antar agama sama  sekali tidak diatur dalam Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974.  Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk  pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam  Undang-Undang Perkawinan.20   Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,  maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan    20  Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor  Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum  Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996, h. 17-18   4.  Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi  Hukum Islam di Indonesia  Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan  antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada Pasal  40 point c dinyatakan bahwa ”dilarang melangsungkan perkawinan  antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama  Islam.” Kemudian dalam Pasal 44 dinyatakan bahwa seorang  wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang  pria yang tidak beragama Islam.  Kompilasi Hukum Islam tersebut  selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan  Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak  ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum  agamanya.  Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dinyatakan dengan jelas  bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan  selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak  ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk  melaksanakan perkawinan antar agama.  Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia,  perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan  peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan  peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat  memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar  agama.  Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh  pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat (1),  bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum      62 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 63  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa,  perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat  dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan  menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.  Dalam memahami perkawinan beda agama menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada tiga  penafsiran yang berbeda.  Pertama, penafsiran yang berpendapat  bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal  2 ayat (1) jo Pasal 8 f. Pendapat  kedua, bahwa perkawinan antar  agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup  dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57  tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua  orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,  yang berarti Pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang  berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda  agama. Pendapat  ketiga bahwa perkawinan antar agama sama  sekali tidak diatur dalam Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974.  Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk  pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam  Undang-Undang Perkawinan.20   Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,  maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan    20  Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor  Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum  Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996, h. 17-18   4.  Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi  Hukum Islam di Indonesia  Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan  antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada Pasal  40 point c dinyatakan bahwa ”dilarang melangsungkan perkawinan  antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama  Islam.” Kemudian dalam Pasal 44 dinyatakan bahwa seorang  wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang  pria yang tidak beragama Islam.  Kompilasi Hukum Islam tersebut  selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan  Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak  ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum  agamanya.  Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dinyatakan dengan jelas  bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan  selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak  ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk  melaksanakan perkawinan antar agama.  Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia,  perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan  peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan  peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat  memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar  agama.  Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh  pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat (1),  bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum      64 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 65  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   sehingga kantor Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan  dengan alasan hukum agama dan kepercayaan yang tidak jelas. Hal  ini tentu menjadi fakta yang cukup memprihatinkan mengingat  aliran kepercayaan  di berbagai wilayah Indonesia masih banyak  dianut oleh sebagian besar masyarakat. Data yang paling signifi kan terkait keberadaan berbagai aliran  kepercayaan ditemukan oleh tim peneliti di Provinsi Jawa Tengah.  Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Kepercayaan, Dinas  Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah (Rahardjo),  menyatakan penghayat  kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha  Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang  yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan  terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Data Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, anggota penganut kepercayaan  berjumlah 188.116 orang. Sebagaimana di bawah ini (Tabel 2 Data  Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa  Se-Jawa tengah).  sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi  Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran.  Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak  diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa legalitas perkawinan  menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menimbulkan  banyak kendala di Indonesia. Kendala  pertama adalah terkait  hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang  kedua adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di  Indonesia mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu  agama saja, sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk  menikah bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif  HAM, membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak  pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban  negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta  perkawinannya. Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi  tempat bagi perkawinan beda agama.  Dalam penelitian di lapangan juga ditemukan kendala terkait  perkawinan menurut adat dan kepercayaan yang tidak bisa disahkan  oleh negara. Khususnya yang berkenaan dengan Pasal 57 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan beda agama di  Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga  pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor  Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil seringkali ditolak.  Fakta ini ditemukan di hampir semua lokasi penelitian, baik  Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat maupun Papua.  Ada beberapa kepercayaan yang belum didaftar oleh pemerintah      64 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 65  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   sehingga kantor Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan  dengan alasan hukum agama dan kepercayaan yang tidak jelas. Hal  ini tentu menjadi fakta yang cukup memprihatinkan mengingat  aliran kepercayaan  di berbagai wilayah Indonesia masih banyak  dianut oleh sebagian besar masyarakat. Data yang paling signifi kan terkait keberadaan berbagai aliran  kepercayaan ditemukan oleh tim peneliti di Provinsi Jawa Tengah.  Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Kepercayaan, Dinas  Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah (Rahardjo),  menyatakan penghayat  kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha  Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang  yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan  terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Data Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, anggota penganut kepercayaan  berjumlah 188.116 orang. Sebagaimana di bawah ini (Tabel 2 Data  Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa  Se-Jawa tengah).  sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi  Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran.  Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak  diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa legalitas perkawinan  menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menimbulkan  banyak kendala di Indonesia. Kendala  pertama adalah terkait  hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang  kedua adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di  Indonesia mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu  agama saja, sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk  menikah bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif  HAM, membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak  pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban  negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta  perkawinannya. Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi  tempat bagi perkawinan beda agama.  Dalam penelitian di lapangan juga ditemukan kendala terkait  perkawinan menurut adat dan kepercayaan yang tidak bisa disahkan  oleh negara. Khususnya yang berkenaan dengan Pasal 57 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan beda agama di  Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga  pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor  Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil seringkali ditolak.  Fakta ini ditemukan di hampir semua lokasi penelitian, baik  Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat maupun Papua.  Ada beberapa kepercayaan yang belum didaftar oleh pemerintah      66 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 67  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   12   Paguyuban  Warga Theosofi   Indonesia  (PERWATHIN)   Jl. Gayam 10 Wonodri Kec.  Semarang Selatan   S/K: Tjondro  Prasodjo/Coni  Sri Mayawati                             20  13 Gunung Damar  Jl. Jatingaleh Jatiluhur 273  RT 01/RW IV Ngesrep,  Gayamsari Semarang   S/K: Hartami/ Yusuf Sugio                          300  14 SUBUD  Jl. Lempongsari Timur  II 54 RT 04/RW 04  Gajahmungkur, Semarang   S/K: Soediyoto/ Purnomo  Wahyu Adi                           250  15 PERSADA  Jl. Karaggawang Baru RT 07/ RW VI Tandang, Tembalang,  Semarang    K: Martin  Martono                            25  16 Ngudi Utomo   Bakoh Pujihanto, Jl.  Purwosari RT 02/RW III  Tambakrejo, Gayamsari,  Semarang   S/K: Agustinur  Gulung/ Samiono                             60  17 Perguruan Trijaya Bp. Harto, Jl. Candi Pawon  VI/11A Panjangan Semarang K: Edi mintono                            25  18 Pangestu Jl. Mugas Barat X 16  Semarang  S/K: Suroso/ Sunaryo Hadik                          700  19  Pag. Anggayuh  Ketentreman Urip  (AKU)   Jl. Satriya Selatan V/A 362A  Smg  S:Bambang  Hudi  5  20 Kapribaden Jl. Mahesa Selatan III C-1  Semarang S: Senarto 100  21 Badan Kebatinan  Indonesia Jl. Tegalsari 118 B Semarang   S/K: Hj. Yuni  Pudji Rahayu  R. Moh Benady,  SE/ Drs. H.  Woeryono, MM.  MBA.   100  22 Kalima Husada  Rasa Sejati   Jl. Karangaingas Barat  14 RT 04/RW V Siwalan,  Gayamsari  S: Hardjosuwito 200  23 Pag. Merah Putih Jl. Cokrokusumo RT 08/ RW 05 K: Suwarno     Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP  TUHAN YANG MAHA ESA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010   NO. NAMA  ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA  PENGURUS  JUMLAH  ANGGOTA   1 KOTA  SEMARANG:      1 Manengku Jl. Mahesa Raya 1  P: Andaryoko  Wisnu Prbu     2.000  2 PERSADA Jl. Tmn Srinindito III  Simongan  K: Martin  Martono   3.000  3 Tri Tunggal Bayu Jl. Mugas Dalam XII/7 K: Moelyono 38  4 Ngudi Utomo Jl. Gayamsari V/126 K: Riyanto  Prasetyo  160     Jl. Purwosari RT 02/RW XIII  Tambakrejo, Gayamsari K: Samiono 60  5 PARABA Jl. Sendang Utara 4/11 P: Slamet  Siswadi  72  6 AKU Jl. Satriya Selatan V/A 362A  Smg  Sek: Bowo  Hadiyanto  60  7 Paguyuban  Noormanto Jl. Tegalsari 185 K: Noor Edy  Bintoro  7.326  8 Aliran Kebatinan  Perjalanan  Ngesrep Barat IV 30 RT 08/X  Srondol Kulon K: Suwahyo 139  9 Badan Keluarga  Kebatinan Wisnu Jl. Gajah Raya 54 Semarang S: S.  Hadisumanto  4.000  10 Perjalanan Tri  Luhur  Jl. R. Patah Kp. Demang 135- 136 Semarang S: Djoko Sutowo 50  11 Paguyuban  Sumarah  Jl. Pamularsih Barat III/7  Semarang K: Susi Wiyanto 20      66 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 67  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   12   Paguyuban  Warga Theosofi   Indonesia  (PERWATHIN)   Jl. Gayam 10 Wonodri Kec.  Semarang Selatan   S/K: Tjondro  Prasodjo/Coni  Sri Mayawati                             20  13 Gunung Damar  Jl. Jatingaleh Jatiluhur 273  RT 01/RW IV Ngesrep,  Gayamsari Semarang   S/K: Hartami/ Yusuf Sugio                          300  14 SUBUD  Jl. Lempongsari Timur  II 54 RT 04/RW 04  Gajahmungkur, Semarang   S/K: Soediyoto/ Purnomo  Wahyu Adi                           250  15 PERSADA  Jl. Karaggawang Baru RT 07/ RW VI Tandang, Tembalang,  Semarang    K: Martin  Martono                            25  16 Ngudi Utomo   Bakoh Pujihanto, Jl.  Purwosari RT 02/RW III  Tambakrejo, Gayamsari,  Semarang   S/K: Agustinur  Gulung/ Samiono                             60  17 Perguruan Trijaya Bp. Harto, Jl. Candi Pawon  VI/11A Panjangan Semarang K: Edi mintono                            25  18 Pangestu Jl. Mugas Barat X 16  Semarang  S/K: Suroso/ Sunaryo Hadik                          700  19  Pag. Anggayuh  Ketentreman Urip  (AKU)   Jl. Satriya Selatan V/A 362A  Smg  S:Bambang  Hudi  5  20 Kapribaden Jl. Mahesa Selatan III C-1  Semarang S: Senarto 100  21 Badan Kebatinan  Indonesia Jl. Tegalsari 118 B Semarang   S/K: Hj. Yuni  Pudji Rahayu  R. Moh Benady,  SE/ Drs. H.  Woeryono, MM.  MBA.   100  22 Kalima Husada  Rasa Sejati   Jl. Karangaingas Barat  14 RT 04/RW V Siwalan,  Gayamsari  S: Hardjosuwito 200  23 Pag. Merah Putih Jl. Cokrokusumo RT 08/ RW 05 K: Suwarno     Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP  TUHAN YANG MAHA ESA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010   NO. NAMA  ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA  PENGURUS  JUMLAH  ANGGOTA   1 KOTA  SEMARANG:      1 Manengku Jl. Mahesa Raya 1  P: Andaryoko  Wisnu Prbu     2.000  2 PERSADA Jl. Tmn Srinindito III  Simongan  K: Martin  Martono   3.000  3 Tri Tunggal Bayu Jl. Mugas Dalam XII/7 K: Moelyono 38  4 Ngudi Utomo Jl. Gayamsari V/126 K: Riyanto  Prasetyo  160     Jl. Purwosari RT 02/RW XIII  Tambakrejo, Gayamsari K: Samiono 60  5 PARABA Jl. Sendang Utara 4/11 P: Slamet  Siswadi  72  6 AKU Jl. Satriya Selatan V/A 362A  Smg  Sek: Bowo  Hadiyanto  60  7 Paguyuban  Noormanto Jl. Tegalsari 185 K: Noor Edy  Bintoro  7.326  8 Aliran Kebatinan  Perjalanan  Ngesrep Barat IV 30 RT 08/X  Srondol Kulon K: Suwahyo 139  9 Badan Keluarga  Kebatinan Wisnu Jl. Gajah Raya 54 Semarang S: S.  Hadisumanto  4.000  10 Perjalanan Tri  Luhur  Jl. R. Patah Kp. Demang 135- 136 Semarang S: Djoko Sutowo 50  11 Paguyuban  Sumarah  Jl. Pamularsih Barat III/7  Semarang K: Susi Wiyanto 20      68 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 69  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional           Karanglo, Kenteng,  Bandungan K: Santoso 150  Ngonto, Candi, Bandungan K: Abadi 20  Gintungan, Bandungan K: Pono 80  Gondangsari, Mendongan,  Sumowono  K: Soewito  Hendri Hoesodo  Bumen, Sumowono K: Soewito  Hendri Hoesodo                          150  Glatak, Jembrak, Pabelan K: Soeharno, BA 234  Butuh, Tengaran K: Rusmin    25  Ngancah, Kaliwungu K: Supangat                              2  6     PERSADA     Krajan, Susukan, Ungaran K: Waiman   Randugunting, Bergas K: Ngadiman                            55  Ngempon, Begas K: Marsidi                            13  Derekan, Pringapus K: Suharti                            10  Glodogan, Harjosari K: Sundari                          100  Kupang Lor, Kupang,  Ambarawa K: Suginem                            50  Tambakrejo, Tambakboyo,  Ambarawa K: Suwatno                            53  Warunglanang, Lodoyong,  Ambarawa K: Darmo S 95  Ngablak, Candi, Bandungan K: Pajan   Blater, Jimbaran, Bandungan K: Suharno   Piyoto, Bandungan K: Sudarwanto 128  Candi, Candingaron,  Sumowono K: Budi                          225    24 Sodo Sewu Jl. Koala Mas IV/176 K: Bambang  Darmono       Jumlah   18.710  2 KABUPATEN  SEMARANG:      1     Esa Tunggal Sejati Bogo, Timpik, Susukan K: Suparto K                          480  Tanuboyo, Duren, Tengaran K: Sarmin  Ismanto                          101  Koripan, Susukan K: Maryono 28  Kragonan RT 06/06  Kenteng, Susukan K: Maryono                            28  2     PRABU     Barukan, Tengaran P: Ki Adi Samidi                          300  Candi, Bandungan K: Sumarno 25  Patemon, Tengaran K: Warno 101  Dukuh, Kopeng, Getasan K: Marsan 11  3 PARABA Jl. Kartini 1 Banyubiru K: Agus Priyono 71  4     Pelajar Kawruh  Jiwa     Gombang 10 Segiri Pabelan K: Ki Wagiman  Danu R.     700  Gondangsari, Sumberjejo,  Pabelan K: Somo S   Bringin K: Ki Imam  Sarjono                              8  Pucuk, Bancak K: Sudjut 3  Ngabeyan, Koripan, Susukan K: Purwoharjono 37  5    Pangestu    Jl. Brigjen Katamso III,  Ungaran  K: Ramelan  Giyasaputra  75  Tanjungsari RT 05/XI  Kupang, Ambarawa K: Toekijat 28      68 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 69  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional           Karanglo, Kenteng,  Bandungan K: Santoso 150  Ngonto, Candi, Bandungan K: Abadi 20  Gintungan, Bandungan K: Pono 80  Gondangsari, Mendongan,  Sumowono  K: Soewito  Hendri Hoesodo  Bumen, Sumowono K: Soewito  Hendri Hoesodo                          150  Glatak, Jembrak, Pabelan K: Soeharno, BA 234  Butuh, Tengaran K: Rusmin    25  Ngancah, Kaliwungu K: Supangat                              2  6     PERSADA     Krajan, Susukan, Ungaran K: Waiman   Randugunting, Bergas K: Ngadiman                            55  Ngempon, Begas K: Marsidi                            13  Derekan, Pringapus K: Suharti                            10  Glodogan, Harjosari K: Sundari                          100  Kupang Lor, Kupang,  Ambarawa K: Suginem                            50  Tambakrejo, Tambakboyo,  Ambarawa K: Suwatno                            53  Warunglanang, Lodoyong,  Ambarawa K: Darmo S 95  Ngablak, Candi, Bandungan K: Pajan   Blater, Jimbaran, Bandungan K: Suharno   Piyoto, Bandungan K: Sudarwanto 128  Candi, Candingaron,  Sumowono K: Budi                          225    24 Sodo Sewu Jl. Koala Mas IV/176 K: Bambang  Darmono       Jumlah   18.710  2 KABUPATEN  SEMARANG:      1     Esa Tunggal Sejati Bogo, Timpik, Susukan K: Suparto K                          480  Tanuboyo, Duren, Tengaran K: Sarmin  Ismanto                          101  Koripan, Susukan K: Maryono 28  Kragonan RT 06/06  Kenteng, Susukan K: Maryono                            28  2     PRABU     Barukan, Tengaran P: Ki Adi Samidi                          300  Candi, Bandungan K: Sumarno 25  Patemon, Tengaran K: Warno 101  Dukuh, Kopeng, Getasan K: Marsan 11  3 PARABA Jl. Kartini 1 Banyubiru K: Agus Priyono 71  4     Pelajar Kawruh  Jiwa     Gombang 10 Segiri Pabelan K: Ki Wagiman  Danu R.     700  Gondangsari, Sumberjejo,  Pabelan K: Somo S   Bringin K: Ki Imam  Sarjono                              8  Pucuk, Bancak K: Sudjut 3  Ngabeyan, Koripan, Susukan K: Purwoharjono 37  5    Pangestu    Jl. Brigjen Katamso III,  Ungaran  K: Ramelan  Giyasaputra  75  Tanjungsari RT 05/XI  Kupang, Ambarawa K: Toekijat 28      70 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 71  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   7     Paguyuban  Kawru Kodrating  Pangeran/PKKP     Munding, Bergas K: Minto Semin                            60  Jambe, Candigaron,  Sumowono K: Minto Semin                            20  Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sudarso                            25  Gondanngsari, Candirejo,  Pabelan K: Joko Pramono                            31  Jangnglengan RT 1/RW 2  Dadap Ayam, Suruh K: Widodo                            19  8    Kapribaden    Kupang, Dalangan RT 03/08  Kupang, Ambarawa K: Edi Nugroho                            35  Kedayon, Wates, Getasan K: Sukardi, Suko                            84  9 Hardo Pusoro Garung, Ngampin RT 08/VI  Ambarawa K: Iswandi                            70  10 Sumarah Pojoksari, Ambarawa K: Sungkono                            21  11 Sastro Jendro Jetak, Duren, Bandungan K: Akhmad  Kardiyan                            40    NO. NAMA  ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA  PENGURUS  JUMLAH  ANGGOTA   12     Ilmu Sejati     Duren, Bandundan K: Bandoko                            25  Candi, Candingaron,  Sumowono K: Mujiyanto                            25  Karangduren, Tengaran K: Danu Purwito                            18  Ngasinan, Timpik, Susukan K: Latip  Semopawiro                            58  Kradenan, Kaliwungi K: Larif                            10            Plimbungan, Genting,  Jambu K: Tohani   Sedono, Genting, Jambu K: Purwito   Kaligaleh, Kelurahan RT  04/4 Jambu K: Subiyanto                           20  Tapak, Kelurahan RT 01-03/5  Jambu K: Samuji                            21  Kunir, Brongkol RT 03/3  Jambu K: Nur Yahya                            27  Sodong, Genting, Jambu K: Muhjiyono   Kebonsari, Kebondalem,  Jambu K: Lusi                            15  Krajan, Bedono, Jambu K: Tulus Budi  Sanjoyo                            20  Gembongan, Brongko; RT  01-04/5 Jambu K: Triyanto 22  Bedali, Brongkol, Jambu K: Royin   Worawit. Gening, Jambu     Kalipucung, Genting, Jambu K: Sucipto   Kebumen, Banyubiru K: Jumadi Wiryo  Rejo                            30  Plakaran, Karanganyar,  Tuntang  K: Jamat  Sumarmo                            13  Ngentak, Klero, Tengaran K: Sri Yekti                              5  Kadirejo, Kaliwungu K: Karmanto                         100  Pringapus, Somagede,  Getasan K: Slamet                            56  Jetak, Getasan K: Sukimin                            56      70 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 71  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   7     Paguyuban  Kawru Kodrating  Pangeran/PKKP     Munding, Bergas K: Minto Semin                            60  Jambe, Candigaron,  Sumowono K: Minto Semin                            20  Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sudarso                            25  Gondanngsari, Candirejo,  Pabelan K: Joko Pramono                            31  Jangnglengan RT 1/RW 2  Dadap Ayam, Suruh K: Widodo                            19  8    Kapribaden    Kupang, Dalangan RT 03/08  Kupang, Ambarawa K: Edi Nugroho                            35  Kedayon, Wates, Getasan K: Sukardi, Suko                            84  9 Hardo Pusoro Garung, Ngampin RT 08/VI  Ambarawa K: Iswandi                            70  10 Sumarah Pojoksari, Ambarawa K: Sungkono                            21  11 Sastro Jendro Jetak, Duren, Bandungan K: Akhmad  Kardiyan                            40    NO. NAMA  ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA  PENGURUS  JUMLAH  ANGGOTA   12     Ilmu Sejati     Duren, Bandundan K: Bandoko                            25  Candi, Candingaron,  Sumowono K: Mujiyanto                            25  Karangduren, Tengaran K: Danu Purwito                            18  Ngasinan, Timpik, Susukan K: Latip  Semopawiro                            58  Kradenan, Kaliwungi K: Larif                            10            Plimbungan, Genting,  Jambu K: Tohani   Sedono, Genting, Jambu K: Purwito   Kaligaleh, Kelurahan RT  04/4 Jambu K: Subiyanto                           20  Tapak, Kelurahan RT 01-03/5  Jambu K: Samuji                            21  Kunir, Brongkol RT 03/3  Jambu K: Nur Yahya                            27  Sodong, Genting, Jambu K: Muhjiyono   Kebonsari, Kebondalem,  Jambu K: Lusi                            15  Krajan, Bedono, Jambu K: Tulus Budi  Sanjoyo                            20  Gembongan, Brongko; RT  01-04/5 Jambu K: Triyanto 22  Bedali, Brongkol, Jambu K: Royin   Worawit. Gening, Jambu     Kalipucung, Genting, Jambu K: Sucipto   Kebumen, Banyubiru K: Jumadi Wiryo  Rejo                            30  Plakaran, Karanganyar,  Tuntang  K: Jamat  Sumarmo                            13  Ngentak, Klero, Tengaran K: Sri Yekti                              5  Kadirejo, Kaliwungu K: Karmanto                         100  Pringapus, Somagede,  Getasan K: Slamet                            56  Jetak, Getasan K: Sukimin                            56      72 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 73  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2    Pangestu    Tanjung, Cepiring K: Sutejo                            40  Bumiayu, Weleri K: Sucipto                          159  3 Persada Jl. Pahlawan II Gg. Mawar 9 K: Soepandi                       1.150  4 Ilmu Kasedan Jati Jl. Boja S: M. Sukaeri                          173  5 Induk Wargo  Kawruh Utomo  Manggunmangu,  Plantungan K: Sugino                          150  6 Setia Budi  Perjanjian 45  Gentan Kidul RT 01/RW 04  Boja  K: L. Purnomo  A.A.                            46  7 Cahya Buana Padepokan Sanitya Waluyo  Jl Raya Kendal 201  K: RT Gidenon  Hertanto                            80  8 Keluarga Sabtu  Pahing Sidokumpul, Patean K: Jemin                          233  9 Wayah Kaki Penyangkringan, Weleri K: Subanti                            95   Jumlah 2.319  5 KABUPATEN  GROBOGAN:      1 Persada Jl. Kyai Busro Getas  Pendowo 102 Pwd K: Ir. Suharsono 180  2 Perguruan Triyaja Jl. Raya Ketitang Godong –  Purwodadi  K: Trubus Eko,  S, ST                          175  3 Sastro Jendro Purwodado – Simpanglima Sek: Djoko  Mulyono                          100  4 SUBUD Jl. Lapangan Kedungjati K: Handono  Warih                            31  5 Sapto Darmo Wonorejo RT 02/RW 08  Kedungjati Groboogan K: Suwoto                            49       Jumlah                          535  6 KOTA SALATIGA:       1 Esa Tungga Sejati Jl. Jend. Sudirman 268 K: Soemarmo  Atmojo                       1.150           Ngrancah, Kaliwungi K: Suwardi 40  Kaliwungu K: Sarjono                            50  13 Setya Budi  Perjanjian ’45  Bodean, Candigaron,  Sumowono K: Yanto                            20  14 Jiwo Sejati Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sumiyanto                            50  15 Yoga Brata Kaligintung, Karangduren,  Tengaran  K: Bambang  Purwanto                            50  16    Prana Jati   Koripan RT 08, Susukan K: Parto Wiyono                            12  Bubakan, Kaliwungu K: Nindya Tri  Rahayu, S. Pd.                          266  17 Nurul Jati Gejayan, Nogosaren K: Jasmin JS                            18       Jumlah 4.818  3 KABUPATEN  DEMAK:      1 Paguyuban Ngesti  Jati (Pangesti)  Gg. Mandura 286 RT10/03,  Cabean, Demak S: Tasripan   2 PKKP Kedunguter, Karangtengah K: Suratman   3 Sumarah Trengguli, Wonosalam K: M. Sofyan   4 Kapribaden Ngrajeg, Jragung,  Karangawen K: Saidi   5 Tri Jaya Jl. Rimbu RT 02/06 Rejosari,  Karangawen  K: Bambang  Permadi  6 SUBUD Krapyak, Bintoro K: Rokwan   7 PERSADA Mranak, Wonosalam K: Sumber   4 KABUPATEN  KENDAL:      1 Perhimpunan  Kamanungsan Jl. A. Yani VI 45 Weleri K: Soetjipto S.P.                          193      72 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 73  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2    Pangestu    Tanjung, Cepiring K: Sutejo                            40  Bumiayu, Weleri K: Sucipto                          159  3 Persada Jl. Pahlawan II Gg. Mawar 9 K: Soepandi                       1.150  4 Ilmu Kasedan Jati Jl. Boja S: M. Sukaeri                          173  5 Induk Wargo  Kawruh Utomo  Manggunmangu,  Plantungan K: Sugino                          150  6 Setia Budi  Perjanjian 45  Gentan Kidul RT 01/RW 04  Boja  K: L. Purnomo  A.A.                            46  7 Cahya Buana Padepokan Sanitya Waluyo  Jl Raya Kendal 201  K: RT Gidenon  Hertanto                            80  8 Keluarga Sabtu  Pahing Sidokumpul, Patean K: Jemin                          233  9 Wayah Kaki Penyangkringan, Weleri K: Subanti                            95   Jumlah 2.319  5 KABUPATEN  GROBOGAN:      1 Persada Jl. Kyai Busro Getas  Pendowo 102 Pwd K: Ir. Suharsono 180  2 Perguruan Triyaja Jl. Raya Ketitang Godong –  Purwodadi  K: Trubus Eko,  S, ST                          175  3 Sastro Jendro Purwodado – Simpanglima Sek: Djoko  Mulyono                          100  4 SUBUD Jl. Lapangan Kedungjati K: Handono  Warih                            31  5 Sapto Darmo Wonorejo RT 02/RW 08  Kedungjati Groboogan K: Suwoto                            49       Jumlah                          535  6 KOTA SALATIGA:       1 Esa Tungga Sejati Jl. Jend. Sudirman 268 K: Soemarmo  Atmojo                       1.150           Ngrancah, Kaliwungi K: Suwardi 40  Kaliwungu K: Sarjono                            50  13 Setya Budi  Perjanjian ’45  Bodean, Candigaron,  Sumowono K: Yanto                            20  14 Jiwo Sejati Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sumiyanto                            50  15 Yoga Brata Kaligintung, Karangduren,  Tengaran  K: Bambang  Purwanto                            50  16    Prana Jati   Koripan RT 08, Susukan K: Parto Wiyono                            12  Bubakan, Kaliwungu K: Nindya Tri  Rahayu, S. Pd.                          266  17 Nurul Jati Gejayan, Nogosaren K: Jasmin JS                            18       Jumlah 4.818  3 KABUPATEN  DEMAK:      1 Paguyuban Ngesti  Jati (Pangesti)  Gg. Mandura 286 RT10/03,  Cabean, Demak S: Tasripan   2 PKKP Kedunguter, Karangtengah K: Suratman   3 Sumarah Trengguli, Wonosalam K: M. Sofyan   4 Kapribaden Ngrajeg, Jragung,  Karangawen K: Saidi   5 Tri Jaya Jl. Rimbu RT 02/06 Rejosari,  Karangawen  K: Bambang  Permadi  6 SUBUD Krapyak, Bintoro K: Rokwan   7 PERSADA Mranak, Wonosalam K: Sumber   4 KABUPATEN  KENDAL:      1 Perhimpunan  Kamanungsan Jl. A. Yani VI 45 Weleri K: Soetjipto S.P.                          193      74 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 75  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   6   Sastra Jendra  Hayuningrat  Pangruwating  Diyu   Jl. P. Sudirman IV/24 K: Widodo HP                            16  7 SUBUD  INDONESIA Trangkil RT 07/V Trangkil K: Rusmani                            80  8    Suci Rahayu    Sekarjalak RT 04/02  Margoyoso S: Sugeng                            62  Jl. Jambu 19 RT 02 RW 05  Wedarijaksa     9 Purnomo Sidi Bulungan RT 05/RW 02 Tayu S: H. Harsono                            27  10 Ilmu  Kasampurnan Jati  Jl. Medani 119 RT 5/2  Bambang, Cluwak S: Koernen                            37  11 Latihan Kajiwan Mojoagung, Trangkil S: Murdianto                          325  12 Kawruh Hak Ngageri, Dukuh Seti S: Suwono                            65  13 Tunggul Sabdo  Jati Sidokerto K: Ali Setiawan                            22  14 Kebatinan 09  Pambuko Jiwi Muktiharjo K: Heri  Sutristianto                            57  15 Aliran Kebatinan  Perjalanan  Mbingung, Polorejo RT 03/2,  Winong K: Ngatijo                            43  16 Pangestu Jl. Kol. R. Sugiono 2B K: Ny. Tukimin                            84       Jumlah                       5.278  8 KABUPATEN  KUDUS:      1 Budi Luhur Jepang, Mejobo K: Ragu  Rochman                            75    2   Pag. Badan  Keluarga  Kebatinan  WISNU   Jl. Purbaya Raya 34  Sp: adisumarto                            35  3 Pag Sumarah Jl. Kalibodri 101B  Kutawinangun Tingkir K: Suwarno                            15  4 Kejiwaan Krajan – Salatiga K: Hadi Wijoyo                            15  5 Pag. Kapribaden Jl. Kalitaman Gg Melati 7 K: Ed.  Pudjiyanto                          100  6    Pangestu    Jl. Imam Bonjol Gg. Cendana  Warih 29 S: Radji’an                          250  Jl. Nanggulan RT 03/RW X  Tingkir                              20  7  Pangudi  Rahayuning Budi  (PRABU)   Jl. Sukarno Hatta Pos  Tingkir Salatiga K: Prastowo                            15       Jumlah 1.600  7 KABUPATEN  PATI:      1 Paguyuban  Purnomo Sidi Dukuhseti P: KH Masykur                              9  2 Budi Luhur Kletek, Pucakwangi P: Lamidjan                            95  3 PERSADA II Jl. Komodo 110 Juwana S: Soerip Sastro  Widjoyo                       3.500  4    Pramono Sejati   Bulumulyuo Batangan P: Hadi Suyitno                          356  Sentul, Cluwak S: Mirasana                          175  5 Roso Sejati Jl. Flamboyan XII/5 Kutoarjo S: Ngatmin  Al’Amin                          325      74 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 75  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   6   Sastra Jendra  Hayuningrat  Pangruwating  Diyu   Jl. P. Sudirman IV/24 K: Widodo HP                            16  7 SUBUD  INDONESIA Trangkil RT 07/V Trangkil K: Rusmani                            80  8    Suci Rahayu    Sekarjalak RT 04/02  Margoyoso S: Sugeng                            62  Jl. Jambu 19 RT 02 RW 05  Wedarijaksa     9 Purnomo Sidi Bulungan RT 05/RW 02 Tayu S: H. Harsono                            27  10 Ilmu  Kasampurnan Jati  Jl. Medani 119 RT 5/2  Bambang, Cluwak S: Koernen                            37  11 Latihan Kajiwan Mojoagung, Trangkil S: Murdianto                          325  12 Kawruh Hak Ngageri, Dukuh Seti S: Suwono                            65  13 Tunggul Sabdo  Jati Sidokerto K: Ali Setiawan                            22  14 Kebatinan 09  Pambuko Jiwi Muktiharjo K: Heri  Sutristianto                            57  15 Aliran Kebatinan  Perjalanan  Mbingung, Polorejo RT 03/2,  Winong K: Ngatijo                            43  16 Pangestu Jl. Kol. R. Sugiono 2B K: Ny. Tukimin                            84       Jumlah                       5.278  8 KABUPATEN  KUDUS:      1 Budi Luhur Jepang, Mejobo K: Ragu  Rochman                            75    2   Pag. Badan  Keluarga  Kebatinan  WISNU   Jl. Purbaya Raya 34  Sp: adisumarto                            35  3 Pag Sumarah Jl. Kalibodri 101B  Kutawinangun Tingkir K: Suwarno                            15  4 Kejiwaan Krajan – Salatiga K: Hadi Wijoyo                            15  5 Pag. Kapribaden Jl. Kalitaman Gg Melati 7 K: Ed.  Pudjiyanto                          100  6    Pangestu    Jl. Imam Bonjol Gg. Cendana  Warih 29 S: Radji’an                          250  Jl. Nanggulan RT 03/RW X  Tingkir                              20  7  Pangudi  Rahayuning Budi  (PRABU)   Jl. Sukarno Hatta Pos  Tingkir Salatiga K: Prastowo                            15       Jumlah 1.600  7 KABUPATEN  PATI:      1 Paguyuban  Purnomo Sidi Dukuhseti P: KH Masykur                              9  2 Budi Luhur Kletek, Pucakwangi P: Lamidjan                            95  3 PERSADA II Jl. Komodo 110 Juwana S: Soerip Sastro  Widjoyo                       3.500  4    Pramono Sejati   Bulumulyuo Batangan P: Hadi Suyitno                          356  Sentul, Cluwak S: Mirasana                          175  5 Roso Sejati Jl. Flamboyan XII/5 Kutoarjo S: Ngatmin  Al’Amin                          325      76 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 77  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   3 Pag. Silat Roh Jati  Kembang Jl. Nusantara II/23 K: Heri Suroso,  SE                            92  4 Liman Seto Jl. Reksodipuro   P: Sukiyanto 750  5 Wringin Seto Jl. A. Yani 56 Blora S: Koesemo S.  Suwardi    27.000  6 Murtitomo  Waskito Tunggal Ngadipurwo RT 02/RW 5 S: Hartoyo                            87       Jumlah 28.448  11 KABUPATEN  JEPARA:      1     Pramono Sejati     Tubanan, Guyangan K: Samidi                     21.643  Jl. PLTU Tanjungjati,  Tubanan, Kembang  K: Suwantara  CW  Sekuping, Tubanan, Bangsri K: Samidi   2 Mastika Tubanan, Kembang S: Subri                          118  3  Pag. Kawruh  Kodrating  Pangeran  Ngetuk, Nalumsari, Jepara K: Nasirin   4 Pag. Penghayat  Kapribaden   Jl. Arjuna II/84 Griya  Tahunan Indah Telp. 0291  59427  K: Soedarto   5    Perguruan llmu  Sejati     Ngramberl/Damarwulan  Jepara  K: Kembar Karya  Utama  Damarwulan, Jepara K: Basuki   6 SUBUD  Puri Handayani,  Sengonbugel RT 03/03  Mayong  K: Soelistijono   7  Purwane Dumadi  Kautaman  Kasampurnan  Deling, Kaliganang K: Hartoyo     2    Pramono Sejati    Jl. Pucangkerep III/94  Kramat K: Rumadji                            26  Tenggele, Mejobo K: Sukamto                          143  3 Persada Mlati Lor RT 04/04 Gg  Bondhan 18 K: Nurlan                          420  4 Sumarah  Jl. Kusaumadya 29 Gg.  Setyaki RT 08 1 Jatiwetan,  Jati  K: Sulkhan                          273  5 PKKP Ds. Hadipolo RT 1/RW 11  Jekuko K: Suratno                            27  6 Pag. Hardo  Pusoro  Dlingo, Peganjaran Rt 4/1  Bae K: Ngawijan                            49  7 SUBUD Getas Pejaten 840 RT 03/02  Jati K: Kuswanto                            80       Jumlah                       1.093  9 KABUPATEN  REMBANG:      1 Sapto Darma  Kabongan Lor, Plawangan  RT 02/RWIII Kragan  Rembang  K: Sutrisno                          300  2 Pangestu Jl. Sareyan 20 Sidowayah  Rembang K: Rumiyati                            60  3    Wringin Seto Jl. Demangwaru 48  Rembang K: Suroso                            45   Jumlah                          405  10 KABUPATEN  BLORA:      1 KEJATEN Jl. Duku 1 K: Suhari, MH,  Amd.                          369  2  Sastro Jendro  Hayuningrat  Mustiko Sejati  Jl. Reksodipuro 59 K: Suharrso                          150      76 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 77  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   3 Pag. Silat Roh Jati  Kembang Jl. Nusantara II/23 K: Heri Suroso,  SE                            92  4 Liman Seto Jl. Reksodipuro   P: Sukiyanto 750  5 Wringin Seto Jl. A. Yani 56 Blora S: Koesemo S.  Suwardi    27.000  6 Murtitomo  Waskito Tunggal Ngadipurwo RT 02/RW 5 S: Hartoyo                            87       Jumlah 28.448  11 KABUPATEN  JEPARA:      1     Pramono Sejati     Tubanan, Guyangan K: Samidi                     21.643  Jl. PLTU Tanjungjati,  Tubanan, Kembang  K: Suwantara  CW  Sekuping, Tubanan, Bangsri K: Samidi   2 Mastika Tubanan, Kembang S: Subri                          118  3  Pag. Kawruh  Kodrating  Pangeran  Ngetuk, Nalumsari, Jepara K: Nasirin   4 Pag. Penghayat  Kapribaden   Jl. Arjuna II/84 Griya  Tahunan Indah Telp. 0291  59427  K: Soedarto   5    Perguruan llmu  Sejati     Ngramberl/Damarwulan  Jepara  K: Kembar Karya  Utama  Damarwulan, Jepara K: Basuki   6 SUBUD  Puri Handayani,  Sengonbugel RT 03/03  Mayong  K: Soelistijono   7  Purwane Dumadi  Kautaman  Kasampurnan  Deling, Kaliganang K: Hartoyo     2    Pramono Sejati    Jl. Pucangkerep III/94  Kramat K: Rumadji                            26  Tenggele, Mejobo K: Sukamto                          143  3 Persada Mlati Lor RT 04/04 Gg  Bondhan 18 K: Nurlan                          420  4 Sumarah  Jl. Kusaumadya 29 Gg.  Setyaki RT 08 1 Jatiwetan,  Jati  K: Sulkhan                          273  5 PKKP Ds. Hadipolo RT 1/RW 11  Jekuko K: Suratno                            27  6 Pag. Hardo  Pusoro  Dlingo, Peganjaran Rt 4/1  Bae K: Ngawijan                            49  7 SUBUD Getas Pejaten 840 RT 03/02  Jati K: Kuswanto                            80       Jumlah                       1.093  9 KABUPATEN  REMBANG:      1 Sapto Darma  Kabongan Lor, Plawangan  RT 02/RWIII Kragan  Rembang  K: Sutrisno                          300  2 Pangestu Jl. Sareyan 20 Sidowayah  Rembang K: Rumiyati                            60  3    Wringin Seto Jl. Demangwaru 48  Rembang K: Suroso                            45   Jumlah                          405  10 KABUPATEN  BLORA:      1 KEJATEN Jl. Duku 1 K: Suhari, MH,  Amd.                          369  2  Sastro Jendro  Hayuningrat  Mustiko Sejati  Jl. Reksodipuro 59 K: Suharrso                          150      78 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 79  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   5 Paguyuban Cahyo  Buana  Adipala Srandil/Glempang  Pasir    K: Drs.  KRA Sarwo  Dadingudiono                        1.500  6    Kapribaden    Jl. Kapt Tendean  K: Soewardi                          200  Mekarsari RT 04/05  Sidamulya K: Gunardi                            43  7  Pag. Eko Samudra  Manuggaling  Roso Sejati   Jl. Martadinata RT 08/RW 12  Cilacap K: Sastro Pawiro                       2.000  8 Pag. Anggayuh  Palereming Napsu Jl. Cendrawasih 1 Cilacap K: Suhardjo                          250  9 Pag. Hidup Betul Jl. Welahan Wetan RT 02/04  Adipala K: Kartomiarso                          111  10 Pag. Payungapung Banjarsari RT 03/03  Nusawungu K: Suparno                          142  11 Pag. Wayah Kaki Jl. Raya Kubangkangkung,  Kawunganten K: Samino                            29  12 Pag. Sumarah Jl. Sindoro 73 RT 08/05  Kroya K: Nurzaeni                          192  13 Pag.  Kamanungsan   Jl. Gandul RT 07/05  Karangbawang,  Kawunganten  K: Sukirno                            26  14 Pag. Kawruh Hak Jl. Kapiro RT 01/07  Ayamalas. Kroya K: Rachmat                          300  15 Pag. PWSKK Jepara Kulon RT 01/01  Binangun K: San Karji                       1.371  16 Pag. Tunngul  Sabda Jati  Jl. Srandil RT 03/01  Glempangpasir, Adipala K: Suparno                       2.200  17 Pag. Jawa Naluri Jl. Jambu 20 Karangbenda K: Wito Miarso                          142  18 Pag. Ngudi Luhur Jl. Sukarno 20 Karangbenda K: Noto Miharjo                            60    8 PERSADA Jl. Sombo RT 08/II  Bendowangen, Mayong K: Djamari   9 Kalima Usada  Roso Sejati  Blimbingrejo, Nalumsari,  Jepara K: Sariyun        Jumlah                     21.761  12 KABUPATEN  BANYUMAS:      1 Tri Tunggal Bayu Jl. Raya Patikraja 17 K: Suwardi                            78  2 Ilmu Ketuhanan  (KWN)  Banjarpanepen RT 02/04  Sumpiuh – Banyumas K: Turimin                          115  3 Kerokhanian  Sapto Darmo  Jl. Dr. Suharso Gg Anggrek II  RT 05/RW 3 Pwt K: Edy Siswanto                          150  4 Rukun Warga Kel. Berkoh Purwokerto K: Supriyono  BCID                          600  5 Perjalanan Tri  Luhur Kalibener Purwokerto K: Ekosusmanto                          500       Jumlah                       1.443  13 KABUPATEN  CILACAP:      1 PAJATI Jl. Pertamina RT 01/RW 01  Segaralangu Cipari  K: Katim  Hadikarta                          754  2 Suci Hati  Kasampurnan Jl. Cendrawasih 12 K: Basuki  Raharja                          195  3    Kerochanian  Sapta Darma     Jl. Gatot Subroto 42  Sidanegara K: Agus Hartono                          200  Jl. Munggur RT 01/08  Mertasinga K: Haryati                          300  4    Resik Kubur Jero  Tengah     Jl. Mataram RT 05/2  Pekuncen Kroya  K: Amin  Nurhadi                     18.000  Jl. RA. Mangkupaja 47 Kroya K: Agus Sugiarto      78 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 79  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   5 Paguyuban Cahyo  Buana  Adipala Srandil/Glempang  Pasir    K: Drs.  KRA Sarwo  Dadingudiono                        1.500  6    Kapribaden    Jl. Kapt Tendean  K: Soewardi                          200  Mekarsari RT 04/05  Sidamulya K: Gunardi                            43  7  Pag. Eko Samudra  Manuggaling  Roso Sejati   Jl. Martadinata RT 08/RW 12  Cilacap K: Sastro Pawiro                       2.000  8 Pag. Anggayuh  Palereming Napsu Jl. Cendrawasih 1 Cilacap K: Suhardjo                          250  9 Pag. Hidup Betul Jl. Welahan Wetan RT 02/04  Adipala K: Kartomiarso                          111  10 Pag. Payungapung Banjarsari RT 03/03  Nusawungu K: Suparno                          142  11 Pag. Wayah Kaki Jl. Raya Kubangkangkung,  Kawunganten K: Samino                            29  12 Pag. Sumarah Jl. Sindoro 73 RT 08/05  Kroya K: Nurzaeni                          192  13 Pag.  Kamanungsan   Jl. Gandul RT 07/05  Karangbawang,  Kawunganten  K: Sukirno                            26  14 Pag. Kawruh Hak Jl. Kapiro RT 01/07  Ayamalas. Kroya K: Rachmat                          300  15 Pag. PWSKK Jepara Kulon RT 01/01  Binangun K: San Karji                       1.371  16 Pag. Tunngul  Sabda Jati  Jl. Srandil RT 03/01  Glempangpasir, Adipala K: Suparno                       2.200  17 Pag. Jawa Naluri Jl. Jambu 20 Karangbenda K: Wito Miarso                          142  18 Pag. Ngudi Luhur Jl. Sukarno 20 Karangbenda K: Noto Miharjo                            60    8 PERSADA Jl. Sombo RT 08/II  Bendowangen, Mayong K: Djamari   9 Kalima Usada  Roso Sejati  Blimbingrejo, Nalumsari,  Jepara K: Sariyun        Jumlah                     21.761  12 KABUPATEN  BANYUMAS:      1 Tri Tunggal Bayu Jl. Raya Patikraja 17 K: Suwardi                            78  2 Ilmu Ketuhanan  (KWN)  Banjarpanepen RT 02/04  Sumpiuh – Banyumas K: Turimin                          115  3 Kerokhanian  Sapto Darmo  Jl. Dr. Suharso Gg Anggrek II  RT 05/RW 3 Pwt K: Edy Siswanto                          150  4 Rukun Warga Kel. Berkoh Purwokerto K: Supriyono  BCID                          600  5 Perjalanan Tri  Luhur Kalibener Purwokerto K: Ekosusmanto                          500       Jumlah                       1.443  13 KABUPATEN  CILACAP:      1 PAJATI Jl. Pertamina RT 01/RW 01  Segaralangu Cipari  K: Katim  Hadikarta                          754  2 Suci Hati  Kasampurnan Jl. Cendrawasih 12 K: Basuki  Raharja                          195  3    Kerochanian  Sapta Darma     Jl. Gatot Subroto 42  Sidanegara K: Agus Hartono                          200  Jl. Munggur RT 01/08  Mertasinga K: Haryati                          300  4    Resik Kubur Jero  Tengah     Jl. Mataram RT 05/2  Pekuncen Kroya  K: Amin  Nurhadi                     18.000  Jl. RA. Mangkupaja 47 Kroya K: Agus Sugiarto      80 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 81  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   7    Wayah Kaki    Ds. Semampir Banjarnegara K: Sahadi                          202  Gemuruh RT 02/I Bawang K: Sodikin                          202  8 Paguyuban Cahya  Buana Ds.Kutayasa Madukara K: Sutarjo                            38  9 Tunggul Sabdo  Jati Perum PJKA 8 Banjarnegara K: Kuswedi                            75  10    PERSADA    Jl. Letjen 217 Banjarnegara K: Soewaryo                            17  Klampok RT 03/XI  Purworejo Klampok K: Triyanto                            60  11 Pangestu Pungkuran RT 01/V  Kutabanjarnegara K: Ibu Yadi                          346       Jumlah                       2.965  15 KABUPATEN  PURBALINGGA:      1  Kawruh Rasa  Sejati Padepokan  Kawinduran  Jl. Sudirman 167  S: Supono Harjo  Suwito    170  2 Seserepan  Kepribadian 45 Jl. Inyong 1 Bojongsari S: Dayat                          360  3 Kepribadian  Sabdo Tunggal Jl. Kom. Notosudarmo 61 S: Sumardi   4 Sapto Darmo Gg. Jengkol K: Joyo   5 Pangestu Jl. AW Sumarmo 6     6 Hardo Pusoro Gembong, Bojongsari K: Sutomo                            17  7 Perjalanan Tri  Luhur Kalikabong, Kalimanah K: Subandi   8 Kawruh Hak Jawa Karanglewas, Kutasari K: Suwandi                            21  9 Hidup Betul Wlahar, Rembang          Jumlah 568    19 Pag. Perjalanan  Tri Luhur Jl. Rinjani K: Sukoco                            60  20 Pag. PBB Purwayasa, Wanareja K: Sukarjo                          300  21 Pag. Tunggul Jati Wlahar, Adipala K: Riyadi                            50  22 Pag. PIKIR Gandrungmangu K: Sumardi                          300  23  Kelompok  Penghayat  Perorangan   Pesawahan Wetan,  Nusawungu  K: Hendro  Mulyono                          400  24 Pag. Sekartaji Jl. Wersud, Cilacap K: Kaminem                          250  25 Hardo Pusoro Kp. Laut Uj Alng, RT 02/04  Kadus Paniten K: Daroji                            44       Jumlah                     29.419  14 KABUPATEN  BANJARNEGARA:      1 Perjalanan Tri  Luhur  Krandegan RT 02/II Jl.  Kijagapati  K: Pardi  Souekanto                          290  2    Paguyuban  Budaya Bangsa     Jl. Katimangir R/06/1 K: Siswo  Hadiwardoyo                          600  Ds. Sumawangi RT 03/03  Mandiraja  K: Wasis Siswa  Wardaya                          809  3  Paguyuban  Tunggal Sando  Jati  Jl. Perumka 11 K: Kuwadi                            75  4 Hidup Betul Ds. Danaraja RT 06/05  Purwonegoro K: Martoyo                            33  5  Paguyuban  Kawruh Hardo  Pusoro   Ds. Bojanegara RT 06/05  Sigaluh K: Djasman Pr.                            85  6  Seserepan  Kepribadian  Intisar 45   Ds. Purwareja Klampok RT  03/01 Purwarejo Klampok K: Sumarwan                          133      80 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 81  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   7    Wayah Kaki    Ds. Semampir Banjarnegara K: Sahadi                          202  Gemuruh RT 02/I Bawang K: Sodikin                          202  8 Paguyuban Cahya  Buana Ds.Kutayasa Madukara K: Sutarjo                            38  9 Tunggul Sabdo  Jati Perum PJKA 8 Banjarnegara K: Kuswedi                            75  10    PERSADA    Jl. Letjen 217 Banjarnegara K: Soewaryo                            17  Klampok RT 03/XI  Purworejo Klampok K: Triyanto                            60  11 Pangestu Pungkuran RT 01/V  Kutabanjarnegara K: Ibu Yadi                          346       Jumlah                       2.965  15 KABUPATEN  PURBALINGGA:      1  Kawruh Rasa  Sejati Padepokan  Kawinduran  Jl. Sudirman 167  S: Supono Harjo  Suwito    170  2 Seserepan  Kepribadian 45 Jl. Inyong 1 Bojongsari S: Dayat                          360  3 Kepribadian  Sabdo Tunggal Jl. Kom. Notosudarmo 61 S: Sumardi   4 Sapto Darmo Gg. Jengkol K: Joyo   5 Pangestu Jl. AW Sumarmo 6     6 Hardo Pusoro Gembong, Bojongsari K: Sutomo                            17  7 Perjalanan Tri  Luhur Kalikabong, Kalimanah K: Subandi   8 Kawruh Hak Jawa Karanglewas, Kutasari K: Suwandi                            21  9 Hidup Betul Wlahar, Rembang          Jumlah 568    19 Pag. Perjalanan  Tri Luhur Jl. Rinjani K: Sukoco                            60  20 Pag. PBB Purwayasa, Wanareja K: Sukarjo                          300  21 Pag. Tunggul Jati Wlahar, Adipala K: Riyadi                            50  22 Pag. PIKIR Gandrungmangu K: Sumardi                          300  23  Kelompok  Penghayat  Perorangan   Pesawahan Wetan,  Nusawungu  K: Hendro  Mulyono                          400  24 Pag. Sekartaji Jl. Wersud, Cilacap K: Kaminem                          250  25 Hardo Pusoro Kp. Laut Uj Alng, RT 02/04  Kadus Paniten K: Daroji                            44       Jumlah                     29.419  14 KABUPATEN  BANJARNEGARA:      1 Perjalanan Tri  Luhur  Krandegan RT 02/II Jl.  Kijagapati  K: Pardi  Souekanto                          290  2    Paguyuban  Budaya Bangsa     Jl. Katimangir R/06/1 K: Siswo  Hadiwardoyo                          600  Ds. Sumawangi RT 03/03  Mandiraja  K: Wasis Siswa  Wardaya                          809  3  Paguyuban  Tunggal Sando  Jati  Jl. Perumka 11 K: Kuwadi                            75  4 Hidup Betul Ds. Danaraja RT 06/05  Purwonegoro K: Martoyo                            33  5  Paguyuban  Kawruh Hardo  Pusoro   Ds. Bojanegara RT 06/05  Sigaluh K: Djasman Pr.                            85  6  Seserepan  Kepribadian  Intisar 45   Ds. Purwareja Klampok RT  03/01 Purwarejo Klampok K: Sumarwan                          133      82 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 83  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   4 Pangestu Rejosari 273 RT 7/II Bojong K: Rasmani                          100  5 Budi Luhur Bebel, Wonokerto  K: Suryat                          100  6 Tri Tunggal Bayu Karangsari 03/02  Karanganyar   K: Sugiarto                            90  7 Pambuko Jiwo Gebangkerep, Sragi K: Sudiyo                            75  8 Perguruan Ilmu  Sejati  Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5  Kandangpanjang S: Supriyantoko                          720  9 Perguruan Ilmu  Sejati  Ds. Kadipaten RT 03/02 no.  16 Wiradesa S: Sumito                          963       Jumlah                       4.018  18 KABUPATEN  PEMALANG:      1    Persada II    Pecangakan Comal K: Wardi HR                       1.000   Jumlah                       1.000  19 KABUPATEN  TEGAL:      1 Sumber Nyawa Jatiwangi Pagerbarang K: M. Urip/ Sumarto                       1.025  2 Perguruan Trijaya Ds. Dukuhtengah, Kec.  Bojong   K: Efi   Kuswarjanti/ Suharto                        3.000  3 Perguruan Jawa  Naluri Somowangi RT 06 RW I K: Sujari                          600  5 Pangestu Jl. Pramuka 42/09/01  Balapulang  K: Toid  Darmowiyoto                          196  6 Sri Murni Karangmangu, Tarub K: M. Muchidin                       1.564  7 Persada Blubuk RT 04/RW IX  Dukuhwaru K: Wakhrun                          138  8 Yoga Swastika Ds. Karangmalang,  Kedungbanteng   K: Heri  Kushendro/ Djenuri                           257    16 KABUPATEN  BATANG:      1 SUBUD Kalisalak Batang K: Slamet  Siswantoro                          100  2     PERSADA     Kenconorejo RT 02/RW I  Tulis  K: Indriyo  Raharjo, S. Pd.                            99  Jl. Jend. Sudirman 34 K: Dasari                            37  Jl. Raya Sambong Kacepak  RT 01/RW I Batang K: Indriyo                             59  3    Perguruan Ilmu  Sejati     Dracek S: Ramelan                          160  Kasepuhan, Kedungreja,  Karangasem K: Kasluwi                          139  4 Kapribaden  Karangjati RT 11/RW4  Cepagan Warungasem  Batang  S: Hartono                            40  5 Ilmu Roso Sejati Plosowangi, Tersono K: Khaeran                            65  6    Pangestu    Amongrogo. Limpung K: Suharno 299  Jl. RE Martadinata Gg  Gurameh 539 K: Poniman                            40  7  Persaudaraan  Setia Hati  ”TERATE”   Jl. Raya Selokarto,  Pecalungan K: Ekowibowo 210       Jumlah 1.248  17 KABUPATEN  PEKALONGAN:      1 Kawruh Jawa  Jawata Sumurjomblang Bogo K: Darim                          320  2  Paguyuban  Penghayat  Kapribaden   Ds. Singangohprendeng  Kajen K: Mardjijo                       1.500  3 Sapto Darmo Wonokerto Kulon  K: Casnari                          150      82 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 83  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   4 Pangestu Rejosari 273 RT 7/II Bojong K: Rasmani                          100  5 Budi Luhur Bebel, Wonokerto  K: Suryat                          100  6 Tri Tunggal Bayu Karangsari 03/02  Karanganyar   K: Sugiarto                            90  7 Pambuko Jiwo Gebangkerep, Sragi K: Sudiyo                            75  8 Perguruan Ilmu  Sejati  Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5  Kandangpanjang S: Supriyantoko                          720  9 Perguruan Ilmu  Sejati  Ds. Kadipaten RT 03/02 no.  16 Wiradesa S: Sumito                          963       Jumlah                       4.018  18 KABUPATEN  PEMALANG:      1    Persada II    Pecangakan Comal K: Wardi HR                       1.000   Jumlah                       1.000  19 KABUPATEN  TEGAL:      1 Sumber Nyawa Jatiwangi Pagerbarang K: M. Urip/ Sumarto                       1.025  2 Perguruan Trijaya Ds. Dukuhtengah, Kec.  Bojong   K: Efi   Kuswarjanti/ Suharto                        3.000  3 Perguruan Jawa  Naluri Somowangi RT 06 RW I K: Sujari                          600  5 Pangestu Jl. Pramuka 42/09/01  Balapulang  K: Toid  Darmowiyoto                          196  6 Sri Murni Karangmangu, Tarub K: M. Muchidin                       1.564  7 Persada Blubuk RT 04/RW IX  Dukuhwaru K: Wakhrun                          138  8 Yoga Swastika Ds. Karangmalang,  Kedungbanteng   K: Heri  Kushendro/ Djenuri                           257    16 KABUPATEN  BATANG:      1 SUBUD Kalisalak Batang K: Slamet  Siswantoro                          100  2     PERSADA     Kenconorejo RT 02/RW I  Tulis  K: Indriyo  Raharjo, S. Pd.                            99  Jl. Jend. Sudirman 34 K: Dasari                            37  Jl. Raya Sambong Kacepak  RT 01/RW I Batang K: Indriyo                             59  3    Perguruan Ilmu  Sejati     Dracek S: Ramelan                          160  Kasepuhan, Kedungreja,  Karangasem K: Kasluwi                          139  4 Kapribaden  Karangjati RT 11/RW4  Cepagan Warungasem  Batang  S: Hartono                            40  5 Ilmu Roso Sejati Plosowangi, Tersono K: Khaeran                            65  6    Pangestu    Amongrogo. Limpung K: Suharno 299  Jl. RE Martadinata Gg  Gurameh 539 K: Poniman                            40  7  Persaudaraan  Setia Hati  ”TERATE”   Jl. Raya Selokarto,  Pecalungan K: Ekowibowo 210       Jumlah 1.248  17 KABUPATEN  PEKALONGAN:      1 Kawruh Jawa  Jawata Sumurjomblang Bogo K: Darim                          320  2  Paguyuban  Penghayat  Kapribaden   Ds. Singangohprendeng  Kajen K: Mardjijo                       1.500  3 Sapto Darmo Wonokerto Kulon  K: Casnari                          150      84 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 85  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2  Paguyuban  Ulah Rasa Batin  (PURBA)  Magersari, Mijil 345 S: Ilyas Sugeng,  SP                          250       Jumlah                          366  24 KABUPATEN  MAGELANG:      1 Kapribaden Kudusan, Tirto, Grabag S: Hadi  Waryanto                            50  2 Persada Gaten, Bondowoso,  Mertoyudan  K: Suwito  Bintoro                          385  3 Ngesthi  Kasampurnan Mungkidan, Mertoyudan S: Kahono                          500  4 Kejawen Urip  Sejati  Onggosoro, Giri Tengah,  Borobudur K: Ki Kamijan                          850  5 Ngudi Utomo Jawahan, Warurejo,  Borobudur S: Ych. Suwarso                          285  6 Hidup Betul Kadirejo RT 01/01 Muntilan S: Subiyanto                             -    7 Hardo Pusoro Sanggrahan, Glagahombo,  Tegalrejo  S/K: Alex  Suparno                          470  8 Sumarah Probolinggo, Gulon. Salam K: Mudakir   9 Paguyuban  Kawruh Jiwo  Cebongan, Mangunsari,  Windusari K: Ki Trimo   10 Urip Sejati Wonogiri, Sapuan,  Sawangan K: Ki Rekso Jiwo   11 Pangestu Jl. Pemuda 39A Pucungrejo,  Muntilan  K: I Wayan  Kerto Pratiwa  12 Soggo Buwono Salon Juwita, Prajenan,  Sumberejo, Mertoyudan K: Budi Utomo        Jumlah 2.540         Jumlah                       6.780  20 KABUPATEN  BREBES:      1 Paguyuban Medal  Urip  Ds. Wanasari RT 05/02  Brebes K: Murani                       2.169  2 Nooemanto Jl. Bali 206 Limbangan  Wetan K: Syamsudin                            75  3 Perguruan Trijaya Jl. Diponegoro 01 Salem K: Karyoto                            40       Jumlah                   2.284  21 KOTA  PEKALONGAN:      1 Sapto Darmo Jl. Jend Sudirman 43  Pekalongan S: Suratman                            18  2 Perguruan Ilmu  Sejati  Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5  Pekalongan Utara  Slamet  Supriyantoko                          300       Jumlah                          318  22 KOTA TEGAL:       1 Perguruan Trijaya Jl. Layang 9 K: Etiko  Kusjatmiko, S.H.                          600  2 Pagngestu Mangkukusuman 17 RT 02/II  K: Prayitno                            80  3 Persada Jl. Bandeng 04 RT 04/X  Tegalsari K: Arif Soenaryo                            87       Jumlah                          767  23 KOTA  MAGELANG:      1 Hardo Pusoro Kp. Bungas, RT 03/01  Ngasem, Tegalreja Magelang Daliman                          116      84 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 85  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2  Paguyuban  Ulah Rasa Batin  (PURBA)  Magersari, Mijil 345 S: Ilyas Sugeng,  SP                          250       Jumlah                          366  24 KABUPATEN  MAGELANG:      1 Kapribaden Kudusan, Tirto, Grabag S: Hadi  Waryanto                            50  2 Persada Gaten, Bondowoso,  Mertoyudan  K: Suwito  Bintoro                          385  3 Ngesthi  Kasampurnan Mungkidan, Mertoyudan S: Kahono                          500  4 Kejawen Urip  Sejati  Onggosoro, Giri Tengah,  Borobudur K: Ki Kamijan                          850  5 Ngudi Utomo Jawahan, Warurejo,  Borobudur S: Ych. Suwarso                          285  6 Hidup Betul Kadirejo RT 01/01 Muntilan S: Subiyanto                             -    7 Hardo Pusoro Sanggrahan, Glagahombo,  Tegalrejo  S/K: Alex  Suparno                          470  8 Sumarah Probolinggo, Gulon. Salam K: Mudakir   9 Paguyuban  Kawruh Jiwo  Cebongan, Mangunsari,  Windusari K: Ki Trimo   10 Urip Sejati Wonogiri, Sapuan,  Sawangan K: Ki Rekso Jiwo   11 Pangestu Jl. Pemuda 39A Pucungrejo,  Muntilan  K: I Wayan  Kerto Pratiwa  12 Soggo Buwono Salon Juwita, Prajenan,  Sumberejo, Mertoyudan K: Budi Utomo        Jumlah 2.540         Jumlah                       6.780  20 KABUPATEN  BREBES:      1 Paguyuban Medal  Urip  Ds. Wanasari RT 05/02  Brebes K: Murani                       2.169  2 Nooemanto Jl. Bali 206 Limbangan  Wetan K: Syamsudin                            75  3 Perguruan Trijaya Jl. Diponegoro 01 Salem K: Karyoto                            40       Jumlah                   2.284  21 KOTA  PEKALONGAN:      1 Sapto Darmo Jl. Jend Sudirman 43  Pekalongan S: Suratman                            18  2 Perguruan Ilmu  Sejati  Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5  Pekalongan Utara  Slamet  Supriyantoko                          300       Jumlah                          318  22 KOTA TEGAL:       1 Perguruan Trijaya Jl. Layang 9 K: Etiko  Kusjatmiko, S.H.                          600  2 Pagngestu Mangkukusuman 17 RT 02/II  K: Prayitno                            80  3 Persada Jl. Bandeng 04 RT 04/X  Tegalsari K: Arif Soenaryo                            87       Jumlah                          767  23 KOTA  MAGELANG:      1 Hardo Pusoro Kp. Bungas, RT 03/01  Ngasem, Tegalreja Magelang Daliman                          116      86 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 87  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   27 KABUPTEN  KEBUMEN:      1 Paguyuban  Pancasila  Grenggeng RT 03/08  Karanganyar Kebumen K: Rejowitono                            95  2    Paguyuban  Sukmo Sejati     Jl. Guyangan Petanahan Km.  1 Kebumen S: Drs. Sukiman                            60  Kr. Wuni RT 01/RW 03  Purwodeso, Sruweng S: Drs. Sukiman                            20  3 Jaya Sempurna Karangmaja, Karanganyar K: Warsa  Sarwadiwangsa                          674  4 Paguyuban Jawa  Sejati Jl. Sulawesi Gombong K: Sanmardi                          700  5 Paguyuban  Budaya Bangsa  Jl. Sumatra 9 RT 02  Wonokriyo K: Aji Caroko                       4.000  6 Pandan Wangi Krenceng, Pandansari  Sruweng Kebumen K: Ki Sunu                            80  7 MAPAN (Resi  Sangga Buana)  Grenggeng RT 03/RW 8  Karanganyar S: Jasmin SW                            90  8 PERSADA Sempor, Gombong K: Partimi                          200  9 Tri Luhur Grenggeng RT 01/RW 10  Karanganyar K: Sakirin                            12  10 Sumarah Jl. Ampera 47 Karanganyar K: Drs. Suwondo   11 Pangestu Ds. Panjer, Kebumen K: Drs. Kundari                          100       Jumlah  6.031  28 KABUPATEN  WONOSOBO:      1    Tunggul Sabdo  Jati     Binangun, Mudal,  Mojotengah, Wonosobo  P: Sarno  Kusnandar                       7.000  Kalierang, Selomerto K: Sarno                       5.000  2 Perjalanan Tri  Luhur  Jl. Raya Dieng 088 Garung  Wonosobo  S: H. Slamet  Much Ridwan                          350    25 KABUPATEN  PURWOREJO:      1 Hardo Pusoro Kemanukan, Bagelen,  Purworejo   S: Prof.  Damarjati  Supajar                           350  2 Setya Budi  Perjanjian 45  Jl. Setia Budi 52 Sindurjan  Purworejo  S: Ny.  Sastrosarjono                       1.227  3 SUBUD Jl. Kesatriyan 23 Purworejo K: Dra. Siti  Chomsatun                            49  4 Persada Jl. Urip Sumoharjo 267 K: Sutopo HP                       1.027  5 PURWO AYU  MARDI UTOMO Jl. Kantor Pos 14A Kutoarjo K: Umar  Marjono                            61  6 Imbal Wacono RT 01/RW 01 Kedungsari S: Kartodihardjo                            12  7 Pangestu Jl. Jend. Sudirman 31 S: Suripto Cokro  Sumarto                            57  8 Ngudi Utomo Depan pasar Grabag S: TM Sunaryo                          113  9  Kawruh Naluri  Batin Tulis Tanpa  Kasunyatan Jati   Ukirsari RT 02/RW 01  Grabag  S: RBG Heru  Waluyo                            50  10 Pag. Muda  Dharma Ploso, Tegalrejo, Banyuurip S: Pudjo                            25  11 Kapribaden RT 03/RW 02 Semayan,  Bajangrejo, Banyuurip S: Sonto Utomo                          215       Jumlah 3.186  26 KABUPATEN  TEMANGGUNG:      1 Hidup Betul Lamuk Gunung RT 02/RW  02 Legoksari Tlogomulyo S: Darsono                          163  2 Cahyo Buana Tempuran, Lempuyang,  Candiroto S: Suro                            99       Jumlah 262      86 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 87  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   27 KABUPTEN  KEBUMEN:      1 Paguyuban  Pancasila  Grenggeng RT 03/08  Karanganyar Kebumen K: Rejowitono                            95  2    Paguyuban  Sukmo Sejati     Jl. Guyangan Petanahan Km.  1 Kebumen S: Drs. Sukiman                            60  Kr. Wuni RT 01/RW 03  Purwodeso, Sruweng S: Drs. Sukiman                            20  3 Jaya Sempurna Karangmaja, Karanganyar K: Warsa  Sarwadiwangsa                          674  4 Paguyuban Jawa  Sejati Jl. Sulawesi Gombong K: Sanmardi                          700  5 Paguyuban  Budaya Bangsa  Jl. Sumatra 9 RT 02  Wonokriyo K: Aji Caroko                       4.000  6 Pandan Wangi Krenceng, Pandansari  Sruweng Kebumen K: Ki Sunu                            80  7 MAPAN (Resi  Sangga Buana)  Grenggeng RT 03/RW 8  Karanganyar S: Jasmin SW                            90  8 PERSADA Sempor, Gombong K: Partimi                          200  9 Tri Luhur Grenggeng RT 01/RW 10  Karanganyar K: Sakirin                            12  10 Sumarah Jl. Ampera 47 Karanganyar K: Drs. Suwondo   11 Pangestu Ds. Panjer, Kebumen K: Drs. Kundari                          100       Jumlah  6.031  28 KABUPATEN  WONOSOBO:      1    Tunggul Sabdo  Jati     Binangun, Mudal,  Mojotengah, Wonosobo  P: Sarno  Kusnandar                       7.000  Kalierang, Selomerto K: Sarno                       5.000  2 Perjalanan Tri  Luhur  Jl. Raya Dieng 088 Garung  Wonosobo  S: H. Slamet  Much Ridwan                          350    25 KABUPATEN  PURWOREJO:      1 Hardo Pusoro Kemanukan, Bagelen,  Purworejo   S: Prof.  Damarjati  Supajar                           350  2 Setya Budi  Perjanjian 45  Jl. Setia Budi 52 Sindurjan  Purworejo  S: Ny.  Sastrosarjono                       1.227  3 SUBUD Jl. Kesatriyan 23 Purworejo K: Dra. Siti  Chomsatun                            49  4 Persada Jl. Urip Sumoharjo 267 K: Sutopo HP                       1.027  5 PURWO AYU  MARDI UTOMO Jl. Kantor Pos 14A Kutoarjo K: Umar  Marjono                            61  6 Imbal Wacono RT 01/RW 01 Kedungsari S: Kartodihardjo                            12  7 Pangestu Jl. Jend. Sudirman 31 S: Suripto Cokro  Sumarto                            57  8 Ngudi Utomo Depan pasar Grabag S: TM Sunaryo                          113  9  Kawruh Naluri  Batin Tulis Tanpa  Kasunyatan Jati   Ukirsari RT 02/RW 01  Grabag  S: RBG Heru  Waluyo                            50  10 Pag. Muda  Dharma Ploso, Tegalrejo, Banyuurip S: Pudjo                            25  11 Kapribaden RT 03/RW 02 Semayan,  Bajangrejo, Banyuurip S: Sonto Utomo                          215       Jumlah 3.186  26 KABUPATEN  TEMANGGUNG:      1 Hidup Betul Lamuk Gunung RT 02/RW  02 Legoksari Tlogomulyo S: Darsono                          163  2 Cahyo Buana Tempuran, Lempuyang,  Candiroto S: Suro                            99       Jumlah 262      88 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 89  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2 PEBM Getasan, Glodogan, Klaten  Selatan K: Drs. Wusono                          625  3 PKKP Gempol, Kadilangu, Wedi K: Suyanto, S.,  Pd.                          700  4 Ngudi Utomo Canan, Wedi K: Y. Slamet  Widodo                            98  5 Swatmoyo Boto, Wonosari, Delanggu  K: Sukro  Pranotosiswo,  BA  437  6 Sumarah Klepu, Ceper K: Warsono 137  7 Kawruhono Kadilaju, Karangnongko K: Samijo 176  8 Kepribadian Taji RT 02/RW 01,  Prambanan K: Ny. Sumantri 87  9 Sapto Darmo Karanganom, Klaten Utara K: Tugiyo TS 926  10 Perjalanan Gereh, Kadilaju,  Karangnongko K: Sudirman 567  11 Pangestu Cokro. Daleman, Tulung K: Lumintu  1.054       Jumlah 6.182  31 KABUPATEN  WONOGIRI:      1    Waspodo    Jl. Mawar Pokoh RT 02/I  Wonoboyo  S: Sujud  Hadiatmojo                       1.900  Ngargosari, Tirto,oyo K: Soelarso   2 Hardo Busoro Mlokomanis, Ngadirojo K:Paino   3 Mapan Budi Jl. Ir. Sutamo 11/2 Wonogiri K: Harso  Susanto  4 Pangestu Jl. Bima VI Wonokarto Telp.  321013 K: C. Soerojo   5 Margaluyu Kedungringin K: Nadi, Bc. Hk.   6 Sumarah Giripurwo RT 02/01  Wonogiri K: Sriyanto     3 Pangestu Betengsari 53 Wonosobo K: Subiyoto                          950  4    Ngudi Utomo    G. Kopensari RT 05/01  Anggrung Gondol Kertek S: Ych. Suwarso                          114  Ds. Anggunggondok Reco K: Sukono W                            72  5 Hidup Betul Wulungsari, Selomerto K: Yoso Utomo                            40  6  Seserepan  Kepribadian  Intisari  Jl. Kol Karjono 135 S: Joyo Tego                            48  7 SKI 45 Kp. Stasiun  K: Wahyono                            50  8 SUBUD Ngadikusuman – Kertek K: Sunaryo  Budi H                            35  9 Sapto Darmo Jonggolsari, Leksono K: Sumarjo                            55  10 Sumber Nyowo Binangun, Wringinanom,  Kertek K: Panji Susanto                            45       Jumlah 4 13.759  29 KOTA  SURAKARTA:      1 Purnomo Sidi Jl. Senopati Kedunglumbu  Surakarta  S: Khaelane  Jaelani                            13  2 PKKP Jantirejo RT 01/RW 15  Surakarta K: Djumadi                            50  3 Papandaya Jl. Diponegoro S: Sahid                            90  4 Pelajar Kawruh  Jiwa  Jl. Sibela Raya 47 RT 04/RW  24 Perumnas Mojosongo   K: Argo  Mudharso, A.  M.D                             30       Jumlah                          183  30 KABUPATEN  KLATEN:      1 Kapribaden Ds. Kebon, Bayat Klaten K: Projosugito                       1.375      88 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 89  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   2 PEBM Getasan, Glodogan, Klaten  Selatan K: Drs. Wusono                          625  3 PKKP Gempol, Kadilangu, Wedi K: Suyanto, S.,  Pd.                          700  4 Ngudi Utomo Canan, Wedi K: Y. Slamet  Widodo                            98  5 Swatmoyo Boto, Wonosari, Delanggu  K: Sukro  Pranotosiswo,  BA  437  6 Sumarah Klepu, Ceper K: Warsono 137  7 Kawruhono Kadilaju, Karangnongko K: Samijo 176  8 Kepribadian Taji RT 02/RW 01,  Prambanan K: Ny. Sumantri 87  9 Sapto Darmo Karanganom, Klaten Utara K: Tugiyo TS 926  10 Perjalanan Gereh, Kadilaju,  Karangnongko K: Sudirman 567  11 Pangestu Cokro. Daleman, Tulung K: Lumintu  1.054       Jumlah 6.182  31 KABUPATEN  WONOGIRI:      1    Waspodo    Jl. Mawar Pokoh RT 02/I  Wonoboyo  S: Sujud  Hadiatmojo                       1.900  Ngargosari, Tirto,oyo K: Soelarso   2 Hardo Busoro Mlokomanis, Ngadirojo K:Paino   3 Mapan Budi Jl. Ir. Sutamo 11/2 Wonogiri K: Harso  Susanto  4 Pangestu Jl. Bima VI Wonokarto Telp.  321013 K: C. Soerojo   5 Margaluyu Kedungringin K: Nadi, Bc. Hk.   6 Sumarah Giripurwo RT 02/01  Wonogiri K: Sriyanto     3 Pangestu Betengsari 53 Wonosobo K: Subiyoto                          950  4    Ngudi Utomo    G. Kopensari RT 05/01  Anggrung Gondol Kertek S: Ych. Suwarso                          114  Ds. Anggunggondok Reco K: Sukono W                            72  5 Hidup Betul Wulungsari, Selomerto K: Yoso Utomo                            40  6  Seserepan  Kepribadian  Intisari  Jl. Kol Karjono 135 S: Joyo Tego                            48  7 SKI 45 Kp. Stasiun  K: Wahyono                            50  8 SUBUD Ngadikusuman – Kertek K: Sunaryo  Budi H                            35  9 Sapto Darmo Jonggolsari, Leksono K: Sumarjo                            55  10 Sumber Nyowo Binangun, Wringinanom,  Kertek K: Panji Susanto                            45       Jumlah 4 13.759  29 KOTA  SURAKARTA:      1 Purnomo Sidi Jl. Senopati Kedunglumbu  Surakarta  S: Khaelane  Jaelani                            13  2 PKKP Jantirejo RT 01/RW 15  Surakarta K: Djumadi                            50  3 Papandaya Jl. Diponegoro S: Sahid                            90  4 Pelajar Kawruh  Jiwa  Jl. Sibela Raya 47 RT 04/RW  24 Perumnas Mojosongo   K: Argo  Mudharso, A.  M.D                             30       Jumlah                          183  30 KABUPATEN  KLATEN:      1 Kapribaden Ds. Kebon, Bayat Klaten K: Projosugito                       1.375      90 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 91  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   5     Pangestu     Jl. Brigrjen Katamso 67  Sukoharjo K: Drs. Satiman 150  Bangsan RT 01/II Jetis Telp.  0271 593791 K: Drs. Satiman 260  Jl. Raya Serang 11 Larangan,  Gayam  K: Sindoe  Hardjono  300  Jl. Candirejo RT 02/08 Joho,  Mojolaban Telp. 0271 611270 K: Suharto 37  Windan RT 01/07 Gumpang,  Kartosuo   K: Hadi  Soekarni  Soedirdjo  72  6     PERSADA     Jetis RT 02/X Ponowaren  Tawangsari K: Suhono 708  Mamengan RT 03/04 Weru K: Murdiyo  Sunarto  38  Banmati RT 03/04 Sukoharjo K: Hadi Sutarno 60  Nguter RT 02/07 Nguter K: Sunardi 16  Gadingan RT 03/10 Jombor,  Bendansari Telp 0271 593690 K: Suwartono 46  Bulak RT 01/04 Dukuh,  Mojolaban  K: Narmin  Budiwiyono  10  Soko RT 02/03 Baki K: Sardi Sastro  Diharjo  30  Purbayan RT 02/03 Baki K: Harjo Semito 22  Cupitan, Luwang, Gatak K: Haryanto 396  Mendorakan RT 02/054  Wirogunan, Kartosuro K: Wagiyo 22  7  Pag. Kawruh  Kodrating  Pangeran   Tegalmulyo, Pabelan,  Kartosura K: Mujiyono 65       Jumlah 13.184    7 PERSADA  Jl. Perwakilan 4 Sanggrahan  Giripurwo   K: Sarman  Wiyono             Jumlah 1.900    32 KABUPATEN  SUKOHARJO:        1    Kapribaden    Kayen, Sonorejo, Sukoharjo S: Sumarwan 26  Mojo RT 01/08 Gayam Telp.  0271 591544  K: Sunarwan  Hadi P  200  2 Perhimpunan  Perikemanusiaan  Mancasan RT 03/05 Baki  Sukoharjo K: Suradi 67  3 Perguruan Ilmu  Sejati  Sirahan RT 03/RW 07  Pundungrejo Tawangsari K: Mulyono 10.135  4     Paguyuban  Sumarah     Jl. Jawa 4 Jombor kota  Sukoharjo  S: Sikam  Siswokamto, BA  262  Mamengan RT 02/08 Krajan,  Weru  K: Suranto  Hardiwiranto  35  Peron RT 01/1 Bulu Telp.  0272 881178 K: Suyadi, HS 113  Pundungrejo RT 01/1 Bulu K: Tiknyo  Sudiarso  34  Jl. Nangka 36 K: Sudarno 25  Gunungan RT 03/IX Nguter K: Siswo  Sukamto  20  Jl. Raya Grogol 99  Madegondo Telp. 0271 20541 K: Sunardji 35      90 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 91  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   5     Pangestu     Jl. Brigrjen Katamso 67  Sukoharjo K: Drs. Satiman 150  Bangsan RT 01/II Jetis Telp.  0271 593791 K: Drs. Satiman 260  Jl. Raya Serang 11 Larangan,  Gayam  K: Sindoe  Hardjono  300  Jl. Candirejo RT 02/08 Joho,  Mojolaban Telp. 0271 611270 K: Suharto 37  Windan RT 01/07 Gumpang,  Kartosuo   K: Hadi  Soekarni  Soedirdjo  72  6     PERSADA     Jetis RT 02/X Ponowaren  Tawangsari K: Suhono 708  Mamengan RT 03/04 Weru K: Murdiyo  Sunarto  38  Banmati RT 03/04 Sukoharjo K: Hadi Sutarno 60  Nguter RT 02/07 Nguter K: Sunardi 16  Gadingan RT 03/10 Jombor,  Bendansari Telp 0271 593690 K: Suwartono 46  Bulak RT 01/04 Dukuh,  Mojolaban  K: Narmin  Budiwiyono  10  Soko RT 02/03 Baki K: Sardi Sastro  Diharjo  30  Purbayan RT 02/03 Baki K: Harjo Semito 22  Cupitan, Luwang, Gatak K: Haryanto 396  Mendorakan RT 02/054  Wirogunan, Kartosuro K: Wagiyo 22  7  Pag. Kawruh  Kodrating  Pangeran   Tegalmulyo, Pabelan,  Kartosura K: Mujiyono 65       Jumlah 13.184    7 PERSADA  Jl. Perwakilan 4 Sanggrahan  Giripurwo   K: Sarman  Wiyono             Jumlah 1.900    32 KABUPATEN  SUKOHARJO:        1    Kapribaden    Kayen, Sonorejo, Sukoharjo S: Sumarwan 26  Mojo RT 01/08 Gayam Telp.  0271 591544  K: Sunarwan  Hadi P  200  2 Perhimpunan  Perikemanusiaan  Mancasan RT 03/05 Baki  Sukoharjo K: Suradi 67  3 Perguruan Ilmu  Sejati  Sirahan RT 03/RW 07  Pundungrejo Tawangsari K: Mulyono 10.135  4     Paguyuban  Sumarah     Jl. Jawa 4 Jombor kota  Sukoharjo  S: Sikam  Siswokamto, BA  262  Mamengan RT 02/08 Krajan,  Weru  K: Suranto  Hardiwiranto  35  Peron RT 01/1 Bulu Telp.  0272 881178 K: Suyadi, HS 113  Pundungrejo RT 01/1 Bulu K: Tiknyo  Sudiarso  34  Jl. Nangka 36 K: Sudarno 25  Gunungan RT 03/IX Nguter K: Siswo  Sukamto  20  Jl. Raya Grogol 99  Madegondo Telp. 0271 20541 K: Sunardji 35      92 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 93  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   4  Paguyuban  Kawruh Kodrating  Pangeran  Tlawong, Sawit S: Sumiyati 87  5   Paguyuban  Pangudi  Karohanen  Mahayana   Tlawa, Pecukan, Juwangi K: Taru Sudarmo 50  6 Pag. Sumarah Sarirejo, Bendosari, Sawit K: S. Yitno  Subroto  78  7 Pelajar Kawruh  Jiwa  Tempuran, Kalinanas,  Wonosegoro K: Harsono 578  8 Perguruan Ilmu  Sejati Jl. Kutilang, Banaran K: E. Sutikno  102  9 PERSADA Jl. Cendana Boyolali K: Temu Marto   57  10 Esa Tunggal Sejati Jl. Raya 19 Ampel Boyolali K: Suratman  HW  87  11 Purnomo Sidi Gumukrejo, Banyudono K: Parmo 75  12 Yayasan Prono Jati Jl. Pandanarang 139 Boyolalo K: Rudi        Jumlah 3.022        Jumlah  seluruhnya  188.116    Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah   Data penghayat kepercayaan di atas, dapat ditafsirkan menjadi  tiga, pertama adalah apakah penghayat kepercayaan murni, dalam  arti penghayat kepercayaan tersebut tidak berinduk atau menganut  pada salah satu agama resmi (agama yang sudah mendapat  pengakuan legalitas dari negara) di Indonesia; kedua, penghayat  kepercayaan tersebut menganut salah satu agama resmi, karena  belum ada pengakuan dari negara penghayat kepercayaan dijadikan  agama, maka untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang    33 KABUPATEN  KARANGANYAR:      1 Padepokan Telaga  Biru  Kalongan, Gerdu,  Karangpandan, Karanganyar S: Sularto 50  2 Trijaya Cangakan Timur Rt 01/Rw03  Karanganyar K: Sujimin 118  3 Sumarah Colomadu K: Wignyo  Larsito  98  4    Sapto Darmo    Tuban, Gondangrejo K: Sugito 540  Selokaton, Gondangrejo K: Heru Sayoto 425  5 Kapribaden  Jl. Lawu Kandang  Menjangan RT 04/47  Karangpandan   K: Sardjo  Gondosarjono  155  6 Ilmu Sejati Tanen, Kemuning  Ngargoyoso K: Kartono 218  7 Putro Wayah  Lawu  Tegalasri, Bejen,  Karanganyar K: Ir. Sunarto 120       Jumlah 1.724  34 KABUPATEN  SRAGEN:      35 KABUPATEN  BOYOLALI:      1    Perjalanan    Ds. Kalimati, Juwangi,  Boyolali S: Sugeng 25  Pondok, Kalimati, Juwangi K:  Mulyodikromo  58  2  Paguyuban  Eklasing Budi  Murko   Ngipik Karanganyar, Musuk,  Boyolali K: R. Sumarsono 1.200  3 Pangestu Karanggeneng, Boyolali S: Suyasa 550      Jl. Donowarih Boyolali K: Haryanti  75      92 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 93  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   4  Paguyuban  Kawruh Kodrating  Pangeran  Tlawong, Sawit S: Sumiyati 87  5   Paguyuban  Pangudi  Karohanen  Mahayana   Tlawa, Pecukan, Juwangi K: Taru Sudarmo 50  6 Pag. Sumarah Sarirejo, Bendosari, Sawit K: S. Yitno  Subroto  78  7 Pelajar Kawruh  Jiwa  Tempuran, Kalinanas,  Wonosegoro K: Harsono 578  8 Perguruan Ilmu  Sejati Jl. Kutilang, Banaran K: E. Sutikno  102  9 PERSADA Jl. Cendana Boyolali K: Temu Marto   57  10 Esa Tunggal Sejati Jl. Raya 19 Ampel Boyolali K: Suratman  HW  87  11 Purnomo Sidi Gumukrejo, Banyudono K: Parmo 75  12 Yayasan Prono Jati Jl. Pandanarang 139 Boyolalo K: Rudi        Jumlah 3.022        Jumlah  seluruhnya  188.116    Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah   Data penghayat kepercayaan di atas, dapat ditafsirkan menjadi  tiga, pertama adalah apakah penghayat kepercayaan murni, dalam  arti penghayat kepercayaan tersebut tidak berinduk atau menganut  pada salah satu agama resmi (agama yang sudah mendapat  pengakuan legalitas dari negara) di Indonesia; kedua, penghayat  kepercayaan tersebut menganut salah satu agama resmi, karena  belum ada pengakuan dari negara penghayat kepercayaan dijadikan  agama, maka untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang    33 KABUPATEN  KARANGANYAR:      1 Padepokan Telaga  Biru  Kalongan, Gerdu,  Karangpandan, Karanganyar S: Sularto 50  2 Trijaya Cangakan Timur Rt 01/Rw03  Karanganyar K: Sujimin 118  3 Sumarah Colomadu K: Wignyo  Larsito  98  4    Sapto Darmo    Tuban, Gondangrejo K: Sugito 540  Selokaton, Gondangrejo K: Heru Sayoto 425  5 Kapribaden  Jl. Lawu Kandang  Menjangan RT 04/47  Karangpandan   K: Sardjo  Gondosarjono  155  6 Ilmu Sejati Tanen, Kemuning  Ngargoyoso K: Kartono 218  7 Putro Wayah  Lawu  Tegalasri, Bejen,  Karanganyar K: Ir. Sunarto 120       Jumlah 1.724  34 KABUPATEN  SRAGEN:      35 KABUPATEN  BOYOLALI:      1    Perjalanan    Ds. Kalimati, Juwangi,  Boyolali S: Sugeng 25  Pondok, Kalimati, Juwangi K:  Mulyodikromo  58  2  Paguyuban  Eklasing Budi  Murko   Ngipik Karanganyar, Musuk,  Boyolali K: R. Sumarsono 1.200  3 Pangestu Karanggeneng, Boyolali S: Suyasa 550      Jl. Donowarih Boyolali K: Haryanti  75      94 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 95  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   dapat mencatatkan perkawinan disertai surat keterangan peristiwa  perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Temuan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat menemukan  fakta lain terkait perkawinan adat yang yang banyak dilakukan  masyarakat etnis Tionghoa. Di  Provinsi Nusa Tenggara Barat (Suku  Sasak)  mengenal kawin lari (Melari). Proses Melari ini dapat terjadi  dugaan adanya pelanggaran hak perempuan,  karena bisa saja gadis  tersebut telah disetubuhi oleh laki-laki yang telah membawanya. Dalam penelitian di Provinsi Papua, pernikahan umumnya belum  diberkati di gereja, namun telah sah secara adat. Hal semacam ini  di Kalimantan Barat bahkan menjadi modus bagi tindak pidana  perdagangan orang dan penyelundupan hukum dalam kasus kawin  kontrak, kawin foto dan pengantin pesanan. Pihak yang paling  dirugikan dalam hal ini adalah perempuan dan anak, terutama  terkait status keperdataan mereka dalam hak na ah dan perwalian  yang tidak bisa dituntut secara hukum. Mengacu pada kovenan internasional, kondisi tersebut di atas  tentu menjadi pelanggaran HAM, karena sebagaimana telah diatur  dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 bahwa  perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang  sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan  atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk  keluarga.    1.  Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan 1.  Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan   Masalah legalitas perkawinan juga berdampak serius saat  terjadi pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan dalam rumah  tangga, khususnya jika korbannya adalah perempuan dan anak.   mempunyai agama, mereka penganut salah satu agama; ketiga,  penghayat kepercayaan meyakini bahwa semua agama itu adalah  baik, sehingga sebagai seseorang penghayat kepercayaan meyakini  semua agama, tetapi tidak mungkin memeluk semua agama itu  dalam bentuk pengakuan legal, yang bisa dilakukan meyakini dalam  hati atau diteruskan sampai bentuk legalitasnya, tetapi hanya salah  satu agama saja yang dipilih. Pada dasarnya, setiap pemeluk agama resmi boleh melakukan  perkawinan, hal ini sudah diatur dalam undang-undang.  Permasalahan terjadi, apabila yang melakukan perkawinan adalah  penghayat kepercayaan. Pemerintah sudah mengakomodir dalam  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi  Kependudukan (Aminduk), yaitu perkawinan itu mendapat  pengesahan di pengadilan. Hal yang sama, ditegaskan oleh Kepala  Sub Bidang Kepercayaan (Setyono), para penganut aliran/penghayat  kepercayaan dapat  mencatatkan dan melaporkan perkawinan ke  Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil  (termasuk perkawinan yang   dilangsungkan di luar negeri), aturan hukumnya yaitu Peraturan  Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 Pedoman Pencatatan  Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan oleh Negara Lain.   Dasar pelaksanaan dengan menyertakan surat keterangan terja- dinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Mekanisme  penunjukan pemuka penghayat kepercayaan, melalui pengusulan  oleh organisasi penghayat kepercayaan yang ditujukan kepada  Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya  berupa Surat Keputusan  menjadi pemuka penghayat dengan  tembusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi. Begitu  pula, bagi warga negara asing penganut penghayat kepercayaan,      94 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 95  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   dapat mencatatkan perkawinan disertai surat keterangan peristiwa  perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Temuan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat menemukan  fakta lain terkait perkawinan adat yang yang banyak dilakukan  masyarakat etnis Tionghoa. Di  Provinsi Nusa Tenggara Barat (Suku  Sasak)  mengenal kawin lari (Melari). Proses Melari ini dapat terjadi  dugaan adanya pelanggaran hak perempuan,  karena bisa saja gadis  tersebut telah disetubuhi oleh laki-laki yang telah membawanya. Dalam penelitian di Provinsi Papua, pernikahan umumnya belum  diberkati di gereja, namun telah sah secara adat. Hal semacam ini  di Kalimantan Barat bahkan menjadi modus bagi tindak pidana  perdagangan orang dan penyelundupan hukum dalam kasus kawin  kontrak, kawin foto dan pengantin pesanan. Pihak yang paling  dirugikan dalam hal ini adalah perempuan dan anak, terutama  terkait status keperdataan mereka dalam hak na ah dan perwalian  yang tidak bisa dituntut secara hukum. Mengacu pada kovenan internasional, kondisi tersebut di atas  tentu menjadi pelanggaran HAM, karena sebagaimana telah diatur  dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 bahwa  perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang  sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan  atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk  keluarga.    1.  Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan 1.  Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan   Masalah legalitas perkawinan juga berdampak serius saat  terjadi pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan dalam rumah  tangga, khususnya jika korbannya adalah perempuan dan anak.   mempunyai agama, mereka penganut salah satu agama; ketiga,  penghayat kepercayaan meyakini bahwa semua agama itu adalah  baik, sehingga sebagai seseorang penghayat kepercayaan meyakini  semua agama, tetapi tidak mungkin memeluk semua agama itu  dalam bentuk pengakuan legal, yang bisa dilakukan meyakini dalam  hati atau diteruskan sampai bentuk legalitasnya, tetapi hanya salah  satu agama saja yang dipilih. Pada dasarnya, setiap pemeluk agama resmi boleh melakukan  perkawinan, hal ini sudah diatur dalam undang-undang.  Permasalahan terjadi, apabila yang melakukan perkawinan adalah  penghayat kepercayaan. Pemerintah sudah mengakomodir dalam  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi  Kependudukan (Aminduk), yaitu perkawinan itu mendapat  pengesahan di pengadilan. Hal yang sama, ditegaskan oleh Kepala  Sub Bidang Kepercayaan (Setyono), para penganut aliran/penghayat  kepercayaan dapat  mencatatkan dan melaporkan perkawinan ke  Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil  (termasuk perkawinan yang   dilangsungkan di luar negeri), aturan hukumnya yaitu Peraturan  Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 Pedoman Pencatatan  Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan oleh Negara Lain.   Dasar pelaksanaan dengan menyertakan surat keterangan terja- dinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Mekanisme  penunjukan pemuka penghayat kepercayaan, melalui pengusulan  oleh organisasi penghayat kepercayaan yang ditujukan kepada  Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya  berupa Surat Keputusan  menjadi pemuka penghayat dengan  tembusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi. Begitu  pula, bagi warga negara asing penganut penghayat kepercayaan,      96 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 97  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   korban untuk memperkarakannya. Biasanya mereka menasehati  agar menyelesaikan pekara ini, memohon agar bersabar dan  terkadang mengingatkan nasib-nasib anak-anaknya. Berarti  disini memamg masih kuat nilai yang tertanam dalam masyarakat  bahwa sejak kecil seorang isteri harus selalu mendampingi suami,  apapun yang terjadi, keterikatan yang kuat dan rasa tak berdaya,  menjadi alasan para isteri untuk tidak mengadukan kekerasan yang  dilakukan oleh suaminya. Dalam Undang-Undang  ini, kekerasan terhadap perempuan  dirumuskan sebagai: ”Setiap perbuatan terhadap seseorang,  terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau  penderitaan secara fi  sik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan  rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,  pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum  dalam lingkup rumah tangga”.   Undang-Undang tersebut juga merumuskan upaya  penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai jaminan yang  diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam  rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,  dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya, dalam praktek penggunaan Undang-Undang  Penghapusan KDRT ini hanya berlaku bagi rumah tangga dengan  perkawinan yang sah dengan ditunjukkan adalah akta perkawinan.  Jika legalitas perkawinan tidak terpenuhi, perempuan dan anak  yang paling banyak menjadi korban dalam KDRT akhirnya akan  sulit untuk memproses hukum dan memperoleh hak-haknya, meski  telah hidup dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang cukup  lama. Ini kembali menunjukkan kelemahan implementasi hukum  nasional di Indonesia yang gagal memberikan perlindungan bagi   Kekerasan dalam rumah tangga telah lama menjadi perhatian  karena data-data korban yang terus meningkat secara signi fi kan.  Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah  mengeluarkan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengaturan  mengenai upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga  merupakan terobosan hukum karena mengatur ruang privat dalam  hal ini rumah tangga menjadi sesuatu yang diatur oleh negara.  Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, kasus kekerasan  terhadap perempuan diatur seperti tindak pidana pada umumnya  menggunakan KUHPerdata. Namun dalam proses hukum  seringkali vonis di pengadilan tidak memberikan keadilan bagi  korban karena sanksi hukum yang ringan. Di samping itu, sejumlah  bentuk kekerasan fi sik lainnya ternyata tidak diberi sanksi pidana,  akibatnya, meski telah jatuh korban dari pihak perempuan, tidak  dapat dilakukan tindakan hukum apapun terhadap pelakunya,  misalnya incest, perkosaan dalam rumah tangga dan pelecehan  seksual21. Kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah wacana  yang memprihatinkan karena banyak menimpa kaum perempuan,  dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Masalah ini ada kalanya  menjadi kompleks karena korban enggan melapor karena selain  untuk melindungi suaminya sendiri, mereka berharap sang suami  suatu saat dapat berubah tidak melakukan kekerasan lagi, meski  harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Masyarakat  sendiripun terutama keluarga pada umumnya tidak memotivasi si    21  Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan.  PT Alumni 2000      96 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 97  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   korban untuk memperkarakannya. Biasanya mereka menasehati  agar menyelesaikan pekara ini, memohon agar bersabar dan  terkadang mengingatkan nasib-nasib anak-anaknya. Berarti  disini memamg masih kuat nilai yang tertanam dalam masyarakat  bahwa sejak kecil seorang isteri harus selalu mendampingi suami,  apapun yang terjadi, keterikatan yang kuat dan rasa tak berdaya,  menjadi alasan para isteri untuk tidak mengadukan kekerasan yang  dilakukan oleh suaminya. Dalam Undang-Undang  ini, kekerasan terhadap perempuan  dirumuskan sebagai: ”Setiap perbuatan terhadap seseorang,  terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau  penderitaan secara fi  sik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan  rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,  pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum  dalam lingkup rumah tangga”.   Undang-Undang tersebut juga merumuskan upaya  penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai jaminan yang  diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam  rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,  dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya, dalam praktek penggunaan Undang-Undang  Penghapusan KDRT ini hanya berlaku bagi rumah tangga dengan  perkawinan yang sah dengan ditunjukkan adalah akta perkawinan.  Jika legalitas perkawinan tidak terpenuhi, perempuan dan anak  yang paling banyak menjadi korban dalam KDRT akhirnya akan  sulit untuk memproses hukum dan memperoleh hak-haknya, meski  telah hidup dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang cukup  lama. Ini kembali menunjukkan kelemahan implementasi hukum  nasional di Indonesia yang gagal memberikan perlindungan bagi   Kekerasan dalam rumah tangga telah lama menjadi perhatian  karena data-data korban yang terus meningkat secara signi fi kan.  Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah  mengeluarkan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengaturan  mengenai upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga  merupakan terobosan hukum karena mengatur ruang privat dalam  hal ini rumah tangga menjadi sesuatu yang diatur oleh negara.  Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, kasus kekerasan  terhadap perempuan diatur seperti tindak pidana pada umumnya  menggunakan KUHPerdata. Namun dalam proses hukum  seringkali vonis di pengadilan tidak memberikan keadilan bagi  korban karena sanksi hukum yang ringan. Di samping itu, sejumlah  bentuk kekerasan fi sik lainnya ternyata tidak diberi sanksi pidana,  akibatnya, meski telah jatuh korban dari pihak perempuan, tidak  dapat dilakukan tindakan hukum apapun terhadap pelakunya,  misalnya incest, perkosaan dalam rumah tangga dan pelecehan  seksual21. Kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah wacana  yang memprihatinkan karena banyak menimpa kaum perempuan,  dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Masalah ini ada kalanya  menjadi kompleks karena korban enggan melapor karena selain  untuk melindungi suaminya sendiri, mereka berharap sang suami  suatu saat dapat berubah tidak melakukan kekerasan lagi, meski  harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Masyarakat  sendiripun terutama keluarga pada umumnya tidak memotivasi si    21  Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan.  PT Alumni 2000      98 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 99  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   pada hilangnya hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari  kedua orangtuanya yang lengkap.    D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang  D.  Masalah Perceraian dalam Undang-Undang   Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan   Ada kalanya sebuah perkawinan tidak berjalan dengan baik  hingga akhirnya berakhir dengan perceraian karena berbagai  alasan. Meski perkawinan telah berakhir, hak-hak yang melekat  pada semua pihak akibat perkawinan sebelumnya tetap melekat  sejauh tidak diatur menurut peraturan perundang-undangan yang  berlaku.  MenurutUndang-Undang Perkawinan, pada dasarnya suami  isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah  tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Namun  secara khusus hak-hak perempuan sebagai isteri antara lain: 1.  Mendapatkan pemenuhan biaya hidup, biaya perawatan  dan biaya pengobatan dari suami; 2.  Mendapatkan pemenuhan kebutuhan pakaian; 3.  Mendapatkan tempat kediaman/tinggal sesuai kemampuan  suami. Jika terjadi putusnya perkawinan kewajiban suami dan isteri  diutamakan untuk memenuhi hak anak, sebagaimana diatur dalam  Pasal 41 sebagai berikut. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1.  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara  dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan  kepentingan anak; bilamana ada perselisihan   warga negaranya, khususnya perempuan dan anak dan memenuhi  hak-hak mereka sebagai korban. Dalam banyak kasus, perkawinan  siri atau perkawinan di bawah tangan juga banyak menjadi kendala  dalam implementasi kasus KDRT.   2.  Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan 2.  Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan   Legalitas perkawinan juga memberikan pengakuan bagi status  keperdataan anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan. Ba- nyak masalah terjadi di Indonesia dimana anak sulit mendapatkan  akta kelahiran karena orangtuanya tidak memiliki akta kelahiran.  Meski dalam setahun terakhir kebijakan pemerintah telah  mengijinkan anak yang lahir diluar perkawinan, termasuk yang  perkawinannya tidak sah untuk mendapatkan akta kelahiran,  namun fakta di lapangan hal ini masih belum dilaksanakan secara  maksimal. Dalam praktek perkawinan di luar Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka  dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang  dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan  yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat  dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal  43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan  tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk  mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat  melakukan pengakuan anak. Namun bagaimanapun, pengakuan  anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana  diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata. Ini tentu akan berimplikasi      98 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 99  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   pada hilangnya hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari  kedua orangtuanya yang lengkap.    D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang  D.  Masalah Perceraian dalam Undang-Undang   Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan   Ada kalanya sebuah perkawinan tidak berjalan dengan baik  hingga akhirnya berakhir dengan perceraian karena berbagai  alasan. Meski perkawinan telah berakhir, hak-hak yang melekat  pada semua pihak akibat perkawinan sebelumnya tetap melekat  sejauh tidak diatur menurut peraturan perundang-undangan yang  berlaku.  MenurutUndang-Undang Perkawinan, pada dasarnya suami  isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah  tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Namun  secara khusus hak-hak perempuan sebagai isteri antara lain: 1.  Mendapatkan pemenuhan biaya hidup, biaya perawatan  dan biaya pengobatan dari suami; 2.  Mendapatkan pemenuhan kebutuhan pakaian; 3.  Mendapatkan tempat kediaman/tinggal sesuai kemampuan  suami. Jika terjadi putusnya perkawinan kewajiban suami dan isteri  diutamakan untuk memenuhi hak anak, sebagaimana diatur dalam  Pasal 41 sebagai berikut. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1.  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara  dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan  kepentingan anak; bilamana ada perselisihan   warga negaranya, khususnya perempuan dan anak dan memenuhi  hak-hak mereka sebagai korban. Dalam banyak kasus, perkawinan  siri atau perkawinan di bawah tangan juga banyak menjadi kendala  dalam implementasi kasus KDRT.   2.  Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan 2.  Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan   Legalitas perkawinan juga memberikan pengakuan bagi status  keperdataan anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan. Ba- nyak masalah terjadi di Indonesia dimana anak sulit mendapatkan  akta kelahiran karena orangtuanya tidak memiliki akta kelahiran.  Meski dalam setahun terakhir kebijakan pemerintah telah  mengijinkan anak yang lahir diluar perkawinan, termasuk yang  perkawinannya tidak sah untuk mendapatkan akta kelahiran,  namun fakta di lapangan hal ini masih belum dilaksanakan secara  maksimal. Dalam praktek perkawinan di luar Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka  dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang  dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan  yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat  dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal  43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan  tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk  mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat  melakukan pengakuan anak. Namun bagaimanapun, pengakuan  anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana  diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata. Ini tentu akan berimplikasi      100 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 101  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   a.  pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum  berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b.  pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan  kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya  sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c.  biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.  2.  Hak Mendapatkan Na ah Undang-Undang Perkawinan tidak secara speci fi k  mengatur hak na ah bagi isetri yang bercerai ini. Pasal 41  point c dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan  bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami  memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu  kewajiban bagi bekas istri. Namun untuk yang beragama Islam dan bagi pegawai  negeri memang ada ketentuan mengenai hal ini. Yakni untuk  yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam  sedangkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan  Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 dinyatakan  bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak maka bekas  suami wajib: a. memberikan  mut’ah yang layak kepada bekas  isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas  istri tersebut  qobla al dukhul  (belum melakukan  hubungan suami isteri); b. memberikan na  ah, maskan dan kiswah kepada  bekas istri dalam  iddah kecuali bekas istri telah   mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi  keputusannya; 2.  Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya peme- liharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila- mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi  kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa  ibu ikut memikul biaya tersebut; 3.  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk  memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan  sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Aturan ini dalam prakteknya belum responsive terhadap  pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Biasanya gugatan  perceraian tidak hanya menggunakan Undang-Undang Perkawinan  namun juga kompilasi Hukum Islam yang lebih khusus mengatur  tentang pemenuhan hak, terutama bagi perempuan dan anak.  Adapun hak-hak istri yang dapat dituntut dalam gugatan perceraian  adalah sebagai berikut. 1. Hak Pemeliharaan Anak Dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur bahwa jika  terjadi perceraian antara suami dan istri mempunyai hak yang  sama untuk memelihara anak. Jika terjadi perselisihan, maka  pengadilan dapat memutuskan siapa yang lebih berhak  me- melihara anak tersebut. Namun dalam praktek di pengadilan,  bagi anak yang masih di bawah umur, biasanya hak perwalian  dan pemeliharaan diberikan langsung kepada ibunya. Seperti yang juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam  Pasal 105 yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian:      100 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 101  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   a.  pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum  berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b.  pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan  kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya  sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c.  biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.  2.  Hak Mendapatkan Na ah Undang-Undang Perkawinan tidak secara speci fi k  mengatur hak na ah bagi isetri yang bercerai ini. Pasal 41  point c dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan  bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami  memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu  kewajiban bagi bekas istri. Namun untuk yang beragama Islam dan bagi pegawai  negeri memang ada ketentuan mengenai hal ini. Yakni untuk  yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam  sedangkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan  Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 dinyatakan  bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak maka bekas  suami wajib: a. memberikan  mut’ah yang layak kepada bekas  isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas  istri tersebut  qobla al dukhul  (belum melakukan  hubungan suami isteri); b. memberikan na  ah, maskan dan kiswah kepada  bekas istri dalam  iddah kecuali bekas istri telah   mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi  keputusannya; 2.  Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya peme- liharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila- mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi  kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa  ibu ikut memikul biaya tersebut; 3.  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk  memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan  sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Aturan ini dalam prakteknya belum responsive terhadap  pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Biasanya gugatan  perceraian tidak hanya menggunakan Undang-Undang Perkawinan  namun juga kompilasi Hukum Islam yang lebih khusus mengatur  tentang pemenuhan hak, terutama bagi perempuan dan anak.  Adapun hak-hak istri yang dapat dituntut dalam gugatan perceraian  adalah sebagai berikut. 1. Hak Pemeliharaan Anak Dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur bahwa jika  terjadi perceraian antara suami dan istri mempunyai hak yang  sama untuk memelihara anak. Jika terjadi perselisihan, maka  pengadilan dapat memutuskan siapa yang lebih berhak  me- melihara anak tersebut. Namun dalam praktek di pengadilan,  bagi anak yang masih di bawah umur, biasanya hak perwalian  dan pemeliharaan diberikan langsung kepada ibunya. Seperti yang juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam  Pasal 105 yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian:      102 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 103  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Tabel 3  Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan   Kompilasi Hukum  Islam   Undang- Undang  Nomor 1  Tahun 1974  tentang  Perkawinan   Analisis   Alasan  perceraian  Bahwa menurut Pasal 113  Kompilasi hukum Islam:  Perkawinan dapat putus  karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Bahwa menurut Pasal114  Kompilasi hukum Islam:  Putusnya perkawinan yang  disebabkan karena perceraian  dapat terjadi karena talak  atau berdasarkan gugatan  perceraian. Bahwa menurut Pasal 116  huruf f Kompilasi Hukum  Islam (KHI) jo Pasal 19  huruf f PP No 9 Tahun  1975, yang menjadi alasan  dimungkinkannya perceraian,  dinyatakan: ”Perceraian dapat  terjadi karena Perceraian  dapat terjadi karena alasan  atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat  zina atau menjadi  pemabuk, pemadat,  penjudi dan lain sebagainya  yangsukar disembuhkan;   Bahwa menurut  Pasal 38 Perkawinan dapat  putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan  Pengadilan.   Bahwa Undang- Undang Nomor 1  Tahun 1974 Tentang  Perkawinan  tidak  memberikan defi nisi  mengenai perceraian  secara khusus. Bahwa merujuk dari  alasan perceraian  yang tercantum dalam  Undang-Undang  Perkawinan dan juga  kompilasi Hukum  Islam, banyaknya  kasus perceraian yang  diakibatkan adanya  Kekerasan Dalam  Rumah Tangga. Baik  itu kekerasan fi sik,  psikis, penelantaran  bahkan kekerasan  seksual.   dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam keadaan tidak  hamil; c.  Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya  dan separuhnya apabila qobla al dukhul. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa putusan-putusan dalam  gugatan perceraian akhirnya mengacu pada Kompilasi Hukum  Islam yang lebih responsive pada pemenuhan hak korban. Lebih  jelas mengenai perbandingan perceraian menurut Undang-Undang  Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di bawah ini (Tabel 3  Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).      102 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 103  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Tabel 3  Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan   Kompilasi Hukum  Islam   Undang- Undang  Nomor 1  Tahun 1974  tentang  Perkawinan   Analisis   Alasan  perceraian  Bahwa menurut Pasal 113  Kompilasi hukum Islam:  Perkawinan dapat putus  karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Bahwa menurut Pasal114  Kompilasi hukum Islam:  Putusnya perkawinan yang  disebabkan karena perceraian  dapat terjadi karena talak  atau berdasarkan gugatan  perceraian. Bahwa menurut Pasal 116  huruf f Kompilasi Hukum  Islam (KHI) jo Pasal 19  huruf f PP No 9 Tahun  1975, yang menjadi alasan  dimungkinkannya perceraian,  dinyatakan: ”Perceraian dapat  terjadi karena Perceraian  dapat terjadi karena alasan  atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat  zina atau menjadi  pemabuk, pemadat,  penjudi dan lain sebagainya  yangsukar disembuhkan;   Bahwa menurut  Pasal 38 Perkawinan dapat  putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan  Pengadilan.   Bahwa Undang- Undang Nomor 1  Tahun 1974 Tentang  Perkawinan  tidak  memberikan defi nisi  mengenai perceraian  secara khusus. Bahwa merujuk dari  alasan perceraian  yang tercantum dalam  Undang-Undang  Perkawinan dan juga  kompilasi Hukum  Islam, banyaknya  kasus perceraian yang  diakibatkan adanya  Kekerasan Dalam  Rumah Tangga. Baik  itu kekerasan fi sik,  psikis, penelantaran  bahkan kekerasan  seksual.   dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam keadaan tidak  hamil; c.  Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya  dan separuhnya apabila qobla al dukhul. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa putusan-putusan dalam  gugatan perceraian akhirnya mengacu pada Kompilasi Hukum  Islam yang lebih responsive pada pemenuhan hak korban. Lebih  jelas mengenai perbandingan perceraian menurut Undang-Undang  Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di bawah ini (Tabel 3  Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).      104 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 105  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Hak dan  kewajiban  terhadap  anak   Bahwa berdasarkan Pasal  105 Kompilasi Hukum Islam  (KHI) dinyatakan: ” Dalam  hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang  belum mumayyiz atau  belum berumur 12 tahun  adalah hak ibunya; b. pemeliharaan anak  yang sudah mumayyiz  diserahkan anak kepada  anak untuk memilih  antara ayah dan ibunya  sebagai  pemegang hak  pemeliharaannya; c. biaya pemeliharaannya  ditanggung oleh ayahnya;   Bahwa berdasarkan  Pasal 41 Undang- Undang  Perkawinan:   Akibat putusnya  perkawinan karena  perceraian ialah: a Baik ibu atau  bapak tetap  berkewajiban  memelihara  dan mendidik  anak-anaknya,  semata-mata  berdasarkan  kepentingan  anak; bilamana  ada perselisihan  mengenai  penguasaan  anak-anak,  Pengadilan  memberi  keputusannya; b. Bapak yang  bertanggung- jawab atas  semua biaya  pemeliharaan  dan pendidikan  yang diperlukan  anak itu;  bilamana bapak  dalam kenyataan  tidak dapat  memenuhi  kewajiban  tersebut,  Pengadilan dapat  menentukan  bahwa ibu ikut  memikul biaya  tersebut;   Bahwa dalam KHI  menegaskan bahwa  anak yang berumur  12 tahun anak berada  dalam asuhan ibunya.   b. salah satu pihak  mninggalkan pihak lain  selama 2 (dua) tahun  berturut-turut tanpa izin  pihak laindan tanpa alasan  yang sah atau karena hal  lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat  hukuman penjara 5 (lima)  tahun atau hukuman  yang lebih beratsetelah  perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak  melakukan kekejaman atau  penganiayaan berat yang  membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat  cacat badan atau penyakit  dengan akibat tidak dapat  menjalankankewajibannya  sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri  terus menerus terjadi  perselisihan dan  pertengkaran dan tidak  adaharapan akan hidup  rukun lagi dalam rumah  tangga; g. Suami melanggar taklik  talak; h. peralihan agama tau  murtad yang menyebabkan  terjadinya ketidak rukunan  dalam rumah tangga.      104 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 105  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Hak dan  kewajiban  terhadap  anak   Bahwa berdasarkan Pasal  105 Kompilasi Hukum Islam  (KHI) dinyatakan: ” Dalam  hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang  belum mumayyiz atau  belum berumur 12 tahun  adalah hak ibunya; b. pemeliharaan anak  yang sudah mumayyiz  diserahkan anak kepada  anak untuk memilih  antara ayah dan ibunya  sebagai  pemegang hak  pemeliharaannya; c. biaya pemeliharaannya  ditanggung oleh ayahnya;   Bahwa berdasarkan  Pasal 41 Undang- Undang  Perkawinan:   Akibat putusnya  perkawinan karena  perceraian ialah: a Baik ibu atau  bapak tetap  berkewajiban  memelihara  dan mendidik  anak-anaknya,  semata-mata  berdasarkan  kepentingan  anak; bilamana  ada perselisihan  mengenai  penguasaan  anak-anak,  Pengadilan  memberi  keputusannya; b. Bapak yang  bertanggung- jawab atas  semua biaya  pemeliharaan  dan pendidikan  yang diperlukan  anak itu;  bilamana bapak  dalam kenyataan  tidak dapat  memenuhi  kewajiban  tersebut,  Pengadilan dapat  menentukan  bahwa ibu ikut  memikul biaya  tersebut;   Bahwa dalam KHI  menegaskan bahwa  anak yang berumur  12 tahun anak berada  dalam asuhan ibunya.   b. salah satu pihak  mninggalkan pihak lain  selama 2 (dua) tahun  berturut-turut tanpa izin  pihak laindan tanpa alasan  yang sah atau karena hal  lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat  hukuman penjara 5 (lima)  tahun atau hukuman  yang lebih beratsetelah  perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak  melakukan kekejaman atau  penganiayaan berat yang  membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat  cacat badan atau penyakit  dengan akibat tidak dapat  menjalankankewajibannya  sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri  terus menerus terjadi  perselisihan dan  pertengkaran dan tidak  adaharapan akan hidup  rukun lagi dalam rumah  tangga; g. Suami melanggar taklik  talak; h. peralihan agama tau  murtad yang menyebabkan  terjadinya ketidak rukunan  dalam rumah tangga.      106 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 107  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   a. menentukan  hal-hal yang perlu  untuk menjamin  terpeliharanya  barang-barang yang  menjadi hak bersama  suami isteri atau  barang-barang yang  menjadi hak suami  atau barang-barang  yang menjadi hak  isteri Pengertian  istilah  perceraian    Bahwa menurut Pasal 117  Kompilasi Hukum Islam: Talak adalah ikrar suami di  hadapan sidang Pengadilan  Agama yang menjadi salah  satu sebab putusnya perkawinan, dengan  cara sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 129, 130, dan 131. Bahwa menurut Pasal 118  Kompilasi Hukum Islam  1. Talak Raj`I adalah talak  kesatu atau kedua, dimana  suami berhak rujujk  selamaisteri dalam masa  iddah.Bahwa menurut  Pasal 119 Kompilasi Hukum  Islam 2. Talak Ba`in Shughraa  adalah talak yang tidak  boleh dirujuk tapi boleh  akad nikah baru dengan  bekas suaminya meskipun  dalam iddah.Talak Ba`in  Shughraa sebagaimana  tersebut pada ayat (1)  adalah: a. talak yang terjadi qabla  al dukhul; b.  talak dengan tebusan  atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan  oleh Pengadilan Agama.   Tidak disebutkan  secara terperinci  Perceraian yang  diajukan suami  disebut permohonan  talak dimana suami  disebut pemohon dan  istri disebut termohon,    c. Pengadilan dapat  mewajibkan  kepada bekas  suami untuk  memberikan  biaya  penghidupan  dan/atau  menentukan  sesuatu  kewajiban bagi  bekas isteri. Pengajuan  Perceraian  Bahwa berdasarkan Pasal  136 Kompilasi Hukum Islam  menyatakan: 1. Selama berlangsungnya  gugatan perceraian  atas permohonan  penggugat atau  tergugat berdasarkan  pertimbangan bahaya  yang mungkin  ditimbulkan,  Penghadilan Agama  dapat mengizinkan  suami isteri tersebut  untuk tidak tinggal  dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya  gugatan perceraian  atas permohonan  penggugat atau tergugat,  Pengadilan Agama  dapat: menentukan  na ah yang harus  ditanggung oleh suami;   Menurut Pasal 39  Undang-Undang  perkawinan bahwa: Perceraian hanya 1.  dapat dilakukan  didepan Sidang  Pengadilan  setelah  Pengadilan yang  bersangkutan  berusaha dan  tidak berhasil  mendamaikan  kedua belah  pihak. Untuk 2.  melakukan  perceraian harus  ada cukup alasan,  bahwa antara  suami isteri itu  tidak akan dapat  hidup rukun  sebagai suami  isteri. Tatacara 3.  perceraian  didepan sidang  Pengadilan diatur  dalam peraturan  perundangan  tersendiri      106 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 107  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   a. menentukan  hal-hal yang perlu  untuk menjamin  terpeliharanya  barang-barang yang  menjadi hak bersama  suami isteri atau  barang-barang yang  menjadi hak suami  atau barang-barang  yang menjadi hak  isteri Pengertian  istilah  perceraian    Bahwa menurut Pasal 117  Kompilasi Hukum Islam: Talak adalah ikrar suami di  hadapan sidang Pengadilan  Agama yang menjadi salah  satu sebab putusnya perkawinan, dengan  cara sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 129, 130, dan 131. Bahwa menurut Pasal 118  Kompilasi Hukum Islam  1. Talak Raj`I adalah talak  kesatu atau kedua, dimana  suami berhak rujujk  selamaisteri dalam masa  iddah.Bahwa menurut  Pasal 119 Kompilasi Hukum  Islam 2. Talak Ba`in Shughraa  adalah talak yang tidak  boleh dirujuk tapi boleh  akad nikah baru dengan  bekas suaminya meskipun  dalam iddah.Talak Ba`in  Shughraa sebagaimana  tersebut pada ayat (1)  adalah: a. talak yang terjadi qabla  al dukhul; b.  talak dengan tebusan  atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan  oleh Pengadilan Agama.   Tidak disebutkan  secara terperinci  Perceraian yang  diajukan suami  disebut permohonan  talak dimana suami  disebut pemohon dan  istri disebut termohon,    c. Pengadilan dapat  mewajibkan  kepada bekas  suami untuk  memberikan  biaya  penghidupan  dan/atau  menentukan  sesuatu  kewajiban bagi  bekas isteri. Pengajuan  Perceraian  Bahwa berdasarkan Pasal  136 Kompilasi Hukum Islam  menyatakan: 1. Selama berlangsungnya  gugatan perceraian  atas permohonan  penggugat atau  tergugat berdasarkan  pertimbangan bahaya  yang mungkin  ditimbulkan,  Penghadilan Agama  dapat mengizinkan  suami isteri tersebut  untuk tidak tinggal  dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya  gugatan perceraian  atas permohonan  penggugat atau tergugat,  Pengadilan Agama  dapat: menentukan  na ah yang harus  ditanggung oleh suami;   Menurut Pasal 39  Undang-Undang  perkawinan bahwa: Perceraian hanya 1.  dapat dilakukan  didepan Sidang  Pengadilan  setelah  Pengadilan yang  bersangkutan  berusaha dan  tidak berhasil  mendamaikan  kedua belah  pihak. Untuk 2.  melakukan  perceraian harus  ada cukup alasan,  bahwa antara  suami isteri itu  tidak akan dapat  hidup rukun  sebagai suami  isteri. Tatacara 3.  perceraian  didepan sidang  Pengadilan diatur  dalam peraturan  perundangan  tersendiri      108 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 109  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Bahwa menurut Pasal 124  Kompilasi Hukum Islam Li`an menyebabkan putusnya  perkawinan antara suami  isteri untuk selama-lamnya. Bahwa menurut Pasal 126  Kompilasi Hukum Islam  Li`an terjadi karena suami  menuduh isteri berbuat zinah  dan atau mengingkari anak  dalam kandungan atau yang sudah lahir dari  isterinya, sedangkan isteri  menolak tuduhan dan atau  pengingkaran tersebut. Bahwa berdasarkan Pasal  132Kompilasi Hukum Islam 1. Gugatan perceraian  diajukan oleh isteri  atau kuasanya pada  Pengadilan Agama,.  Yang daerahhukumnya  mewilayahi tempat tinggal  penggugat kecuali isteri  meninggalkan tempat  kediamanbersama tanpa  izin suami. 2. Dalam hal tergugat  bertempat kediaman  diluar negeri, Ketua  Pengadilan Agama  memberitahukangugatan  tersebut kepada tergugat  melalui perwakilan  Republik Indonesia  setempat.   Perceraian yang  diajukan oleh istri  disebut gugatan cerai  dimana suami disebut  tergugat dan istri  disebut penggugat.   Bahwa menurut Pasal 120  Kompilasi Hukum Islam:  Talak Ba`in Kubraa adalah  talak yang terjadi untuk  ketiga kalinya. Talak jenis ini  tidak dapat dirujuk dan tidak  dapat dinikahkan kembali,  kecuali apabila pernikahan  itu dilakukan setelah bekas  isteri, menikah dengan orang  lain dan kemudian terjadi  perceraian ba`da al dukhul  dan hadis masa iddahnya. Bahwa menurut Pasal 121  Kompilasi Hukum Islam  Talak sunny adalah talak yang  dibolehkan yaitu talak yang  dijatuhkan terhadap isteri  yang sedang suci dan tidak  dicampuri dalam waktu suci  tersebut. Bahwa menurut Pasal 122  Kompilasi Hukum Islam  Talak bid`I adalahtalak yang  dilarang, yaitu talak yang  dijatuhkan pada waktu isteri  dalam keadaan haid atau  isteri dalam keadaan suci tapi  sudah dicampuri pada waktu  suci tersebut. Bahwa menurut Pasal  123 Kompilasi Hukum  Islam Perceraian itu  terjadi terhitung pada saat  perceraian itu dinyatakan di  depan sidang pengadilan      108 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 109  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Bahwa menurut Pasal 124  Kompilasi Hukum Islam Li`an menyebabkan putusnya  perkawinan antara suami  isteri untuk selama-lamnya. Bahwa menurut Pasal 126  Kompilasi Hukum Islam  Li`an terjadi karena suami  menuduh isteri berbuat zinah  dan atau mengingkari anak  dalam kandungan atau yang sudah lahir dari  isterinya, sedangkan isteri  menolak tuduhan dan atau  pengingkaran tersebut. Bahwa berdasarkan Pasal  132Kompilasi Hukum Islam 1. Gugatan perceraian  diajukan oleh isteri  atau kuasanya pada  Pengadilan Agama,.  Yang daerahhukumnya  mewilayahi tempat tinggal  penggugat kecuali isteri  meninggalkan tempat  kediamanbersama tanpa  izin suami. 2. Dalam hal tergugat  bertempat kediaman  diluar negeri, Ketua  Pengadilan Agama  memberitahukangugatan  tersebut kepada tergugat  melalui perwakilan  Republik Indonesia  setempat.   Perceraian yang  diajukan oleh istri  disebut gugatan cerai  dimana suami disebut  tergugat dan istri  disebut penggugat.   Bahwa menurut Pasal 120  Kompilasi Hukum Islam:  Talak Ba`in Kubraa adalah  talak yang terjadi untuk  ketiga kalinya. Talak jenis ini  tidak dapat dirujuk dan tidak  dapat dinikahkan kembali,  kecuali apabila pernikahan  itu dilakukan setelah bekas  isteri, menikah dengan orang  lain dan kemudian terjadi  perceraian ba`da al dukhul  dan hadis masa iddahnya. Bahwa menurut Pasal 121  Kompilasi Hukum Islam  Talak sunny adalah talak yang  dibolehkan yaitu talak yang  dijatuhkan terhadap isteri  yang sedang suci dan tidak  dicampuri dalam waktu suci  tersebut. Bahwa menurut Pasal 122  Kompilasi Hukum Islam  Talak bid`I adalahtalak yang  dilarang, yaitu talak yang  dijatuhkan pada waktu isteri  dalam keadaan haid atau  isteri dalam keadaan suci tapi  sudah dicampuri pada waktu  suci tersebut. Bahwa menurut Pasal  123 Kompilasi Hukum  Islam Perceraian itu  terjadi terhitung pada saat  perceraian itu dinyatakan di  depan sidang pengadilan      110 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 111  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Bahwa berdasarkan Pasal 159  Kompilasi Hukum Islam:  Mut`ah sunnat diberikan  oleh bekas suami tanpa syarat  tersebut pada Pasal 158 Bahwa berdasarkan Pasal 160  Kompilasi Hukum Islam:  Besarnya mut`ah disesuaikan  dengan kepatutan dan  kemampuan suami.   Sumber : Analisa Tim   Dalam praktik, pemenuhan kewajiban mantan suami pasca  perceraian tak selamanya berjalan dengan baik. Banyak isteri  yang tak dina ahi pasca perceraian. Putusan pengadilan agama  yang mewajibkan suami membayar biaya-biaya tersebut masih  sering diabaikan. Perempuan korban perceraian seringkali  mempertanyakan eksekusi putusan pengadilan agama. Eksekusi  putusan pengadilan atas harta bersama lebih mudah ketimbang  pemenuhan hak na  ah. Banyak sekali kasus-kasus pasca perceraian  dimana isteri itu tidak mendapatkan na ah, meskipun itu sudah  diputuskan di pengadilan. Pemenuhan kewajiban itu memang  sangat bergantung pada iktikad baik mantan suami. Kalau usaha  isteri mendapatkan hak na  ah tidak bisa, biasanya dimungkinkan  untuk kembali mendatangi Pengadilan Agama. Tetapi di depan  hakim, tidak ada jaminan hak na  ah itu langsung terealisir.  Biasanya Pengadilan Agama hanya memberikan teguran, atau  peringatan kepada si pihak suaminya. Isteri bisa mengajukan  permohonan eksekusi paksa ke pengadilan agama berkaitan dengan  pemenuhan na  ah. Pada dasarnya, dalam eksekusi paksa mantan  isteri harus membuktikan sejumlah harta yang dimiliki suami yang    Hak  Perempuan  Pasca  Putusan  Perceraian   Bahwa berdasarkan Pasal  149 Kompilasi Hukum Islam:  Bilamana perkawinan putus  karena talak, maka bekas  suami wajib: a. memberikan mut`ah  yang layak kepada bekas  isterinya, baik berupa uang  atau benda, kecuali bekas  isteri tersebut qobla al  dukhul; b. memberi na ah, maskan  dan kiswah kepada bekas  isteri selama dalam iddah,  kecuali bekas isteri telahdi  jatuhi talak ba1in atau  nusyur dan dalam keadaan  tidak hamil; c. melunasi mahar yang  masih terhutang  seluruhnya, dan separoh  apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya  hadhanan untuk anak- anaknya yang belum  mencapai umur 21 tahun. Bahwa berdasarkan Pasal  152 Kompilasi Hukum  Islam: Bekas isteri berhak  mendapatkan na ah iddah  dari bekas suaminya kecuali  ia nusyuz Bahwa berdasarkan Pasal 152  Kompilasi Hukum Islam:  Mut`ah wajib diberikan oleh  bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar  bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas  kehendak suami.   Tidak merinci  mengenai hak-hak  kedua belah pihak  pasca perceraian  sehingga untuk  hak-hak akibat  putusnya perceraian  dapat dilihat dalam  KUH Perdata atau  Undang-Undang   lainnya yang  kompeten.      110 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 111  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Bahwa berdasarkan Pasal 159  Kompilasi Hukum Islam:  Mut`ah sunnat diberikan  oleh bekas suami tanpa syarat  tersebut pada Pasal 158 Bahwa berdasarkan Pasal 160  Kompilasi Hukum Islam:  Besarnya mut`ah disesuaikan  dengan kepatutan dan  kemampuan suami.   Sumber : Analisa Tim   Dalam praktik, pemenuhan kewajiban mantan suami pasca  perceraian tak selamanya berjalan dengan baik. Banyak isteri  yang tak dina ahi pasca perceraian. Putusan pengadilan agama  yang mewajibkan suami membayar biaya-biaya tersebut masih  sering diabaikan. Perempuan korban perceraian seringkali  mempertanyakan eksekusi putusan pengadilan agama. Eksekusi  putusan pengadilan atas harta bersama lebih mudah ketimbang  pemenuhan hak na  ah. Banyak sekali kasus-kasus pasca perceraian  dimana isteri itu tidak mendapatkan na ah, meskipun itu sudah  diputuskan di pengadilan. Pemenuhan kewajiban itu memang  sangat bergantung pada iktikad baik mantan suami. Kalau usaha  isteri mendapatkan hak na  ah tidak bisa, biasanya dimungkinkan  untuk kembali mendatangi Pengadilan Agama. Tetapi di depan  hakim, tidak ada jaminan hak na  ah itu langsung terealisir.  Biasanya Pengadilan Agama hanya memberikan teguran, atau  peringatan kepada si pihak suaminya. Isteri bisa mengajukan  permohonan eksekusi paksa ke pengadilan agama berkaitan dengan  pemenuhan na  ah. Pada dasarnya, dalam eksekusi paksa mantan  isteri harus membuktikan sejumlah harta yang dimiliki suami yang    Hak  Perempuan  Pasca  Putusan  Perceraian   Bahwa berdasarkan Pasal  149 Kompilasi Hukum Islam:  Bilamana perkawinan putus  karena talak, maka bekas  suami wajib: a. memberikan mut`ah  yang layak kepada bekas  isterinya, baik berupa uang  atau benda, kecuali bekas  isteri tersebut qobla al  dukhul; b. memberi na ah, maskan  dan kiswah kepada bekas  isteri selama dalam iddah,  kecuali bekas isteri telahdi  jatuhi talak ba1in atau  nusyur dan dalam keadaan  tidak hamil; c. melunasi mahar yang  masih terhutang  seluruhnya, dan separoh  apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya  hadhanan untuk anak- anaknya yang belum  mencapai umur 21 tahun. Bahwa berdasarkan Pasal  152 Kompilasi Hukum  Islam: Bekas isteri berhak  mendapatkan na ah iddah  dari bekas suaminya kecuali  ia nusyuz Bahwa berdasarkan Pasal 152  Kompilasi Hukum Islam:  Mut`ah wajib diberikan oleh  bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar  bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas  kehendak suami.   Tidak merinci  mengenai hak-hak  kedua belah pihak  pasca perceraian  sehingga untuk  hak-hak akibat  putusnya perceraian  dapat dilihat dalam  KUH Perdata atau  Undang-Undang   lainnya yang  kompeten.      112 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 113  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   E.  Upaya Pemerintah dalam Implementasi  E.  Upaya Pemerintah dalam Implementasi   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang   Perkawinan Perkawinan   Dalam prakteknya upaya pemerintah masih banyak memusat- kan perhatiannya pada masalah administrasi dalam implementasi  Undang-Undang, termasuk dalam masalah perkawinan. Dalam  temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung  meminta para calon pasangan atau pihak suami atau isteri yang  telah menikah untuk mencatatkan perkawinannya. Padahal dalam  Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 11 telah diatur  bahwa sesaat setelah berlangsungnya pernikahan petugas wajib  menyiapkan akta perkawinan untuk ditandatangani oleh kedua  mempelai. Selama ini sosialisasi Undang-Undang Perkawinan ma- sih dirasakan sangat lemah terutama dalam kelompok masyarakat  adat dan penganut kepercayaan yang tidak bisa mencatatkan  perkawinannya. Banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat,  disamping mahalnya biaya kepengurusan akta, jalur birokrasi yang  rumit dan juga kondisi geografi s yang menghalangi akses ke catatan  sipil di beberapa wilayah, khususnya di Papua. Hal ini mendorong beberapa pemerintah daerah untuk  melakukan perkawinan resmi secara massal untuk memenuhi hak  warga negara untuk mendapatkan akta perkawinan. Tim peneliti  menemukan kebijakan tersebut dilaksanakan di Kota Mataram  untuk pembuatan akta perkawinan tidak dikenakan biaya untuk  mempermudah pasangan dicatat secara resmi oleh negara.  Sedangkan Kabupaten Jayapura, dimana pemerintah kabupaten  memberikan akta perkawinan bagi 125 pasang pengantin dari  berbagai usia yang berasal dari Distrik  Sentani Timur, Sentani   kira-kira bisa diambil pengadilan. Ini penting untuk melaksanakan  sita eksekusi terhadap sejumlah harta tersebut. Apabila mantan  suami tetap tidak mau bayar, kemudian dilelang. Hasil dari lelang  akan diberikan kepada mantan isteri sesuai dengan jumlah yang  diputuskan pengadilan. Apabila ada sisa, maka akan dikembalikan  ke mantan suami.  Dengan demikian maka eksekusi paksa akan memakan banyak  biaya. Biaya eksekusi dengan biaya yang diminta tidak seimbang.  Biaya yang dikeluarkan justru lebih banyak untuk dana keamanan,  yaitu biaya kepolisian untuk melakukan penyitaan. Untuk harta  yang wajib diberikan ketika suami menceraikan isteri (mut’ah) dan  na ah selama masa tunggu (na ah iddah) sebaiknya dimintakan  ketika membacakan ikrar talak. Dengan begitu, suami tidak akan  mangkir menjalankan kewajibannya setelah bercerai. Jadi pada  waktu itu juga dilakukan serah terima kewajban suami. Namun,  hal ini tidak berlaku untuk na  ah yang harus diberikan secara  berkala.  Mengenai hak asuh anak, memiliki kendala yang lain yakni:  pertama kendala psikologis dimana anak itu bukan barang dan  tidak dimungkinkan untuk melibatkan kepolisian. Dan yang  kedua kendala biaya dimana apabila dalam keadaan terpaksa  harus melibatkan kepolisian maka biaya yang harus dibayarkan  dibebankan kepada siapa? Sedangkan Pengadilan tidak mungkin  membayar. Untuk itu maka dapat pula ditempuh dengan jalan  mediasi dan shock therapy dimana bagi mantan suami yang tidak  memberi na ah akan dibawa ke ranah hukum pidana melalui  laporan ke Polisi atas kasus penelantaran anak.      112 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 113  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   E.  Upaya Pemerintah dalam Implementasi  E.  Upaya Pemerintah dalam Implementasi   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang   Perkawinan Perkawinan   Dalam prakteknya upaya pemerintah masih banyak memusat- kan perhatiannya pada masalah administrasi dalam implementasi  Undang-Undang, termasuk dalam masalah perkawinan. Dalam  temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung  meminta para calon pasangan atau pihak suami atau isteri yang  telah menikah untuk mencatatkan perkawinannya. Padahal dalam  Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 11 telah diatur  bahwa sesaat setelah berlangsungnya pernikahan petugas wajib  menyiapkan akta perkawinan untuk ditandatangani oleh kedua  mempelai. Selama ini sosialisasi Undang-Undang Perkawinan ma- sih dirasakan sangat lemah terutama dalam kelompok masyarakat  adat dan penganut kepercayaan yang tidak bisa mencatatkan  perkawinannya. Banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat,  disamping mahalnya biaya kepengurusan akta, jalur birokrasi yang  rumit dan juga kondisi geografi s yang menghalangi akses ke catatan  sipil di beberapa wilayah, khususnya di Papua. Hal ini mendorong beberapa pemerintah daerah untuk  melakukan perkawinan resmi secara massal untuk memenuhi hak  warga negara untuk mendapatkan akta perkawinan. Tim peneliti  menemukan kebijakan tersebut dilaksanakan di Kota Mataram  untuk pembuatan akta perkawinan tidak dikenakan biaya untuk  mempermudah pasangan dicatat secara resmi oleh negara.  Sedangkan Kabupaten Jayapura, dimana pemerintah kabupaten  memberikan akta perkawinan bagi 125 pasang pengantin dari  berbagai usia yang berasal dari Distrik  Sentani Timur, Sentani   kira-kira bisa diambil pengadilan. Ini penting untuk melaksanakan  sita eksekusi terhadap sejumlah harta tersebut. Apabila mantan  suami tetap tidak mau bayar, kemudian dilelang. Hasil dari lelang  akan diberikan kepada mantan isteri sesuai dengan jumlah yang  diputuskan pengadilan. Apabila ada sisa, maka akan dikembalikan  ke mantan suami.  Dengan demikian maka eksekusi paksa akan memakan banyak  biaya. Biaya eksekusi dengan biaya yang diminta tidak seimbang.  Biaya yang dikeluarkan justru lebih banyak untuk dana keamanan,  yaitu biaya kepolisian untuk melakukan penyitaan. Untuk harta  yang wajib diberikan ketika suami menceraikan isteri (mut’ah) dan  na ah selama masa tunggu (na ah iddah) sebaiknya dimintakan  ketika membacakan ikrar talak. Dengan begitu, suami tidak akan  mangkir menjalankan kewajibannya setelah bercerai. Jadi pada  waktu itu juga dilakukan serah terima kewajban suami. Namun,  hal ini tidak berlaku untuk na  ah yang harus diberikan secara  berkala.  Mengenai hak asuh anak, memiliki kendala yang lain yakni:  pertama kendala psikologis dimana anak itu bukan barang dan  tidak dimungkinkan untuk melibatkan kepolisian. Dan yang  kedua kendala biaya dimana apabila dalam keadaan terpaksa  harus melibatkan kepolisian maka biaya yang harus dibayarkan  dibebankan kepada siapa? Sedangkan Pengadilan tidak mungkin  membayar. Untuk itu maka dapat pula ditempuh dengan jalan  mediasi dan shock therapy dimana bagi mantan suami yang tidak  memberi na ah akan dibawa ke ranah hukum pidana melalui  laporan ke Polisi atas kasus penelantaran anak.      114 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 115  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB IV  KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI   A. Kesimpulan   A. Kesimpulan     1.  Implementasi aturan tentang legalitas perkawinan di  Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan belum dapat memenuhi hak-hak  perempuan dan anak secara maksimal, terkait per- lindungan hukum dan status keperdataan. Berdasarkan  temuan penelitian, legalitas perkawinan masih terken- da la pada masalah hukum agama yang mengesahkan  sebuah perkawinan dan pencatatan perkawinan yang  masih menggunakan metode partisipasi aktif warga  negara bukan diwajibkan pemerintah dalam tata cara  perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan  perundang-undangan. Kendala terpenuhinya legalitas  perkawinan bagi warga negara ini akhirnya berdampak  pada masalah perlindungan perempuan dan anak, mulai  dari diskriminasi, penelantaran dan sulitnya mendapatkan  status keperdataan dan dokumen kependudukan lainnya.  Barat, Gresi Selatan, Nimbokrang dan Waibu. Selain di Papua, tim  peneliti juga menemukan di Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan  oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung, yang menikahkan 21  pasangan untuk mendapatkan akta perkawinan. Dijelaskan oleh  Kepala Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Pengelolaan Data  Elektronik (Dispendukcapil dan PDE) Kabupaten Temanggung,  Eddy Winarso bahwa sebanyak 17.231 pasangan warga yang telah  hidup bersama di Kabupaten Temanggung,  tidak memiliki surat  nikah sebagai bentuk kepastian hukum pernikahan atau perkawinan  mereka. Disebutkan penduduk Islam yang menikah sekitar 358.836  orang, potensi kepemilikan surat nikah 179.418, tetapi dari hasil  rekapitulasi hanya terdapat 163.265 pasangan yang mempunyai surat  nikah. Dari data Pemerintah Kabupaten Temanggung, sebanyak  9.9% persen pasangan saat ini tidak memiliki akta perkawinan  namun telah hidup berumah tangga. Sebagai pembanding di luar daerah penelitian, baru-baru  ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan  melakukan perkawinan massal untuk 4.541 pasangan dari berbagai  agama dan usia untuk fakir miskin di Istora Senayan pada 19 Juli  2011. Data pasangan perkawinan ini merupakan yang terbanyak di  Indonesia hingga memecahkan rekor MURI.      114 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 115  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB IV  KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI   A. Kesimpulan   A. Kesimpulan     1.  Implementasi aturan tentang legalitas perkawinan di  Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan belum dapat memenuhi hak-hak  perempuan dan anak secara maksimal, terkait per- lindungan hukum dan status keperdataan. Berdasarkan  temuan penelitian, legalitas perkawinan masih terken- da la pada masalah hukum agama yang mengesahkan  sebuah perkawinan dan pencatatan perkawinan yang  masih menggunakan metode partisipasi aktif warga  negara bukan diwajibkan pemerintah dalam tata cara  perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan  perundang-undangan. Kendala terpenuhinya legalitas  perkawinan bagi warga negara ini akhirnya berdampak  pada masalah perlindungan perempuan dan anak, mulai  dari diskriminasi, penelantaran dan sulitnya mendapatkan  status keperdataan dan dokumen kependudukan lainnya.  Barat, Gresi Selatan, Nimbokrang dan Waibu. Selain di Papua, tim  peneliti juga menemukan di Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan  oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung, yang menikahkan 21  pasangan untuk mendapatkan akta perkawinan. Dijelaskan oleh  Kepala Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Pengelolaan Data  Elektronik (Dispendukcapil dan PDE) Kabupaten Temanggung,  Eddy Winarso bahwa sebanyak 17.231 pasangan warga yang telah  hidup bersama di Kabupaten Temanggung,  tidak memiliki surat  nikah sebagai bentuk kepastian hukum pernikahan atau perkawinan  mereka. Disebutkan penduduk Islam yang menikah sekitar 358.836  orang, potensi kepemilikan surat nikah 179.418, tetapi dari hasil  rekapitulasi hanya terdapat 163.265 pasangan yang mempunyai surat  nikah. Dari data Pemerintah Kabupaten Temanggung, sebanyak  9.9% persen pasangan saat ini tidak memiliki akta perkawinan  namun telah hidup berumah tangga. Sebagai pembanding di luar daerah penelitian, baru-baru  ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan  melakukan perkawinan massal untuk 4.541 pasangan dari berbagai  agama dan usia untuk fakir miskin di Istora Senayan pada 19 Juli  2011. Data pasangan perkawinan ini merupakan yang terbanyak di  Indonesia hingga memecahkan rekor MURI.      116 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 117  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar  materi-materinya dapat disempurnakan, sehingga mampu  memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di  masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil,  dalam rangka memenuhi hak asasi manusia, terutama  perempuan dan anak yang seringkali rentan menjadi  korban. 2.  Pencatatan perkawinan dalam rangka legalitas perkawinan  merupakan bagian dari hak warga negara yang harus  dilindungi dan dipenuhi haknya, dengan asumsi dasar  bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian akti fi tas  ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai  perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga  dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legali- tas yang bersifat yuridis-formal. Maka dari itu, pemerintah  melalui instansi terkait harus mengupayakannya secara  merata dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara tanpa  kecuali. 3.  Perlunya peraturan yang mengatur tentang hak-hak isteri  dan anak pasca perceraian dan mekanisme penanganan  eksekusi putusan pengadilan yang jelas dan mengikat. 4.  Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kembali secara  intens mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006  Tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk) di  kalangan instansi terkait dan seluruh masyarakat, karena  peraturan perundang-undangan ini memberikan peluang  bagi pengesahan perkawinan yang berdasarkan pada  aliran kepercayaan. Hal ini penting untuk memenuhi  hak-hak warga negara penganut kepercayaan untuk    2. Hukum nasional dan kovenan internasional yang  mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota  rumah tangga telah mengalami perubahan pesat dalam 20  tahun terakhir. Mulai dari Undang-Undang Perkawinan,  ratifi kasi CEDAW, Kompilasi Hukum Islam, Undang- Undang Perlindungan Anak hingga Undang-Undang  Penghapusan Dalam Rumah Tangga, telah mampu  mengakomodasi hak-hak perempuan dan anak untuk  mendapatkan perlindungan. Sayangnya untuk menuntut  hak-hak tersebut legalitas perkawinan menjadi syarat  utama, padahal untuk mencapainya warga negara masih  mengalami banyak kendala. 3.  Peran pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan  masih terbatas pada pemberian akta perkawinan secara  massal, dan itupun belum merata di semua daerah.  Sosialisasi tentang pentingnya legalitas perkawinan  menurut Undang-Undanng Perkawinan juga masih  kurang dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian  pemerintah telah menggunakan peraturan perundangan  lain dalam upaya perlindungan perempuan dan anak dari  pelanggaran HAM, telah menunjukkan langkah maju,  meski masih menemui banyak kendala dan tantangan  dalam implementasi.   B. Rekomendasi B. Rekomendasi   1.  Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat  melalui berbagai kelompok civil society untuk melakukan  revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974      116 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 117  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar  materi-materinya dapat disempurnakan, sehingga mampu  memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di  masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil,  dalam rangka memenuhi hak asasi manusia, terutama  perempuan dan anak yang seringkali rentan menjadi  korban. 2.  Pencatatan perkawinan dalam rangka legalitas perkawinan  merupakan bagian dari hak warga negara yang harus  dilindungi dan dipenuhi haknya, dengan asumsi dasar  bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian akti fi tas  ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai  perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga  dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legali- tas yang bersifat yuridis-formal. Maka dari itu, pemerintah  melalui instansi terkait harus mengupayakannya secara  merata dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara tanpa  kecuali. 3.  Perlunya peraturan yang mengatur tentang hak-hak isteri  dan anak pasca perceraian dan mekanisme penanganan  eksekusi putusan pengadilan yang jelas dan mengikat. 4.  Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kembali secara  intens mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006  Tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk) di  kalangan instansi terkait dan seluruh masyarakat, karena  peraturan perundang-undangan ini memberikan peluang  bagi pengesahan perkawinan yang berdasarkan pada  aliran kepercayaan. Hal ini penting untuk memenuhi  hak-hak warga negara penganut kepercayaan untuk    2. Hukum nasional dan kovenan internasional yang  mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota  rumah tangga telah mengalami perubahan pesat dalam 20  tahun terakhir. Mulai dari Undang-Undang Perkawinan,  ratifi kasi CEDAW, Kompilasi Hukum Islam, Undang- Undang Perlindungan Anak hingga Undang-Undang  Penghapusan Dalam Rumah Tangga, telah mampu  mengakomodasi hak-hak perempuan dan anak untuk  mendapatkan perlindungan. Sayangnya untuk menuntut  hak-hak tersebut legalitas perkawinan menjadi syarat  utama, padahal untuk mencapainya warga negara masih  mengalami banyak kendala. 3.  Peran pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan  masih terbatas pada pemberian akta perkawinan secara  massal, dan itupun belum merata di semua daerah.  Sosialisasi tentang pentingnya legalitas perkawinan  menurut Undang-Undanng Perkawinan juga masih  kurang dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian  pemerintah telah menggunakan peraturan perundangan  lain dalam upaya perlindungan perempuan dan anak dari  pelanggaran HAM, telah menunjukkan langkah maju,  meski masih menemui banyak kendala dan tantangan  dalam implementasi.   B. Rekomendasi B. Rekomendasi   1.  Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat  melalui berbagai kelompok civil society untuk melakukan  revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974      118 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 119  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA   Buku Buku   Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum  Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary,  Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta,  PT Pustaka Firdaus, 1996. Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature,  Brighton,  Harverster 1983. Beauvoir, Simone de, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. Cl. Selltiz et.al, Research Methods in Social Relations, 1964. Engels, F., The Origin of The Family, Private Property  and the  State, Foreign Languages Press, Peking 1978. Harkristuti Harkrisnowo,  Hukum Pidana dan Kekerasan  terhadap Perempuan. PT Alumni, 2000. Hole, Judith and Ellen Levine, ”The First Feminist”  dalam  Women: A Feminist Perspective (ed), Jo Freeman,  California,  Mayfi eld Publishing Co, 1979.  Jaggar, Allison, Feminist Politics and Human Nature,  Brighton,  Harverster 1983.  mendapatkan pengesahan perkawinan dan hak-hak lain  yang mengikutinya.      118 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 119  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA   Buku Buku   Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum  Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary,  Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta,  PT Pustaka Firdaus, 1996. Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature,  Brighton,  Harverster 1983. Beauvoir, Simone de, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. Cl. Selltiz et.al, Research Methods in Social Relations, 1964. Engels, F., The Origin of The Family, Private Property  and the  State, Foreign Languages Press, Peking 1978. Harkristuti Harkrisnowo,  Hukum Pidana dan Kekerasan  terhadap Perempuan. PT Alumni, 2000. Hole, Judith and Ellen Levine, ”The First Feminist”  dalam  Women: A Feminist Perspective (ed), Jo Freeman,  California,  Mayfi eld Publishing Co, 1979.  Jaggar, Allison, Feminist Politics and Human Nature,  Brighton,  Harverster 1983.  mendapatkan pengesahan perkawinan dan hak-hak lain  yang mengikutinya.      120 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 121  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Instrumen Nasional Instrumen Nasional   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan  Agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan  Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang  Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor  10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi  Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan  Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan    Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan  Anak Korban Kekerasan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi  Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).   Instrumen Internasional Instrumen Internasional   Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Konvensi Amerika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan  Budaya.  Jo Freeman,  The Women’s Liberation Movement: Its Origin,  Structures and Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c,1971. Komnas Perempuan,  Tak Hanya Di Rumah: Pengalaman  Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan  yang Timpang,  Catatan Tahunan Komnas Perempuan ,  2009. Naomi Wolf,  The Beauty Myth , HarperCollins Publisher Inc,  1991. Nisbet, J. dan J. Watt,  Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis ,  disadur oleh L. Wilardjo, 1994. Puslitbang Hak-hak Sipil dan Politik Balitbang Departemen  Hukum dan HAM, 2005,  Pelaksanaan Advokasi terhadap  Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif  Hukum dan HAM. Rahmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga  di Indonesia, cet I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006. Rendakk, Jane,  The Origins if Modern Feminism: Women  in  Britain, France and the United States (1780-1860), London,  1990. Selltiz, Cl.  et. al,  Research Methods in Social Relation , Holt,  Rinehart and Winston, New York, 1964.  Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi  Cahyono,  Hukum Perdata (Suatu Pengantar) , Jakarta:  Gitama Jaya Jakarta, 2005. Strauss A, Corbin J,  Basics of Qualitative Research: Grounded  Theory Procedures and Techniques, London, Sage, 1990.      120 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 121  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Instrumen Nasional Instrumen Nasional   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan  Agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan  Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang  Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor  10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi  Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan  Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan    Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan  Anak Korban Kekerasan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi  Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).   Instrumen Internasional Instrumen Internasional   Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Konvensi Amerika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan  Budaya.  Jo Freeman,  The Women’s Liberation Movement: Its Origin,  Structures and Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c,1971. Komnas Perempuan,  Tak Hanya Di Rumah: Pengalaman  Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan  yang Timpang,  Catatan Tahunan Komnas Perempuan ,  2009. Naomi Wolf,  The Beauty Myth , HarperCollins Publisher Inc,  1991. Nisbet, J. dan J. Watt,  Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis ,  disadur oleh L. Wilardjo, 1994. Puslitbang Hak-hak Sipil dan Politik Balitbang Departemen  Hukum dan HAM, 2005,  Pelaksanaan Advokasi terhadap  Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif  Hukum dan HAM. Rahmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga  di Indonesia, cet I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006. Rendakk, Jane,  The Origins if Modern Feminism: Women  in  Britain, France and the United States (1780-1860), London,  1990. Selltiz, Cl.  et. al,  Research Methods in Social Relation , Holt,  Rinehart and Winston, New York, 1964.  Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi  Cahyono,  Hukum Perdata (Suatu Pengantar) , Jakarta:  Gitama Jaya Jakarta, 2005. Strauss A, Corbin J,  Basics of Qualitative Research: Grounded  Theory Procedures and Techniques, London, Sage, 1990.      122 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 123  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1   Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang rati fi kasi  konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang penghapusan  berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan  (Committe on the Elimination of Discrimination Against  Women – CEDAW).   Program Nasional Program Nasional   Program Legislasi Nasional 2010-2014.      122 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 123  IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN   dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak   dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1   Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang rati fi kasi  konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang penghapusan  berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan  (Committe on the Elimination of Discrimination Against  Women – CEDAW).   Program Nasional Program Nasional   Program Legislasi Nasional 2010-2014.      125   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974    TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu  adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat : 1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 2.  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.        Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri  dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa.       Pasal 2 (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan  kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.  Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila  dikehendaki oleh fi hak-fi hak yang bersangkutan.   Pasal 4 (1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3  ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah  tempat tinggalnya. (2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang  akan beristeri lebih dari seorang apabila:      125   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974    TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu  adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat : 1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 2.  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.        Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri  dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa.       Pasal 2 (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan  kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.  Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila  dikehendaki oleh fi hak-fi hak yang bersangkutan.   Pasal 4 (1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3  ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah  tempat tinggalnya. (2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang  akan beristeri lebih dari seorang apabila:      126   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   127   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   e.  berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal  seorang suami beristeri lebih dari seorang; f.  mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal  yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk  kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah  lebih lanjut.  Pasal 12 Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal l3 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan  perkawinan.  Pasal 14 (1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan  kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak  yang berkepentingan. (2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan  apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan  perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya,  yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak  dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak  mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 (1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan- ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini  tidak dipenuhi. (2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut  dalam peraturan perundang-undangan.  Pasal 17 (1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan  akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.  a.  isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b.  isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.  isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4  ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.  adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b.  adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan  anak-anak mereka; c.  adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami  apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak  dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)  tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 (1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun  harus mendapat izin kedua orang tua. (3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak  mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari  orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk  menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga  yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup  dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4)  pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka  Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas  permintaan orang tersebut dapat memberikan izin sete-lah lebih dahulu mendengar orang-orang  tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan  pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan  atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal  6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat  (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a.  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b.  berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang  dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c.  berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d.  berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman  susuan;      126   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   127   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   e.  berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal  seorang suami beristeri lebih dari seorang; f.  mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal  yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk  kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah  lebih lanjut.  Pasal 12 Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal l3 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan  perkawinan.  Pasal 14 (1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan  kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak  yang berkepentingan. (2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan  apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan  perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya,  yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak  dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak  mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 (1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan- ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini  tidak dipenuhi. (2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut  dalam peraturan perundang-undangan.  Pasal 17 (1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan  akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.  a.  isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b.  isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.  isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4  ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.  adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b.  adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan  anak-anak mereka; c.  adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami  apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak  dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)  tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 (1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun  harus mendapat izin kedua orang tua. (3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak  mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari  orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk  menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga  yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup  dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4)  pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka  Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas  permintaan orang tersebut dapat memberikan izin sete-lah lebih dahulu mendengar orang-orang  tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan  pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan  atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal  6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat  (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a.  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b.  berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang  dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c.  berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d.  berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman  susuan;      128   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   129   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana  perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 (1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,  wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat  dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau  isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini  gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte  perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan  harus diperbaharui supaya sah.  Pasal 27 (1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila  perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada  waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan  dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak  mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 (1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum  yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a.  Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b.  Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila  pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c.  Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka mem-peroleh hak- hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum  tetap.  BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama  dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah  mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan  kesusilaan. (3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua  belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi  dasar dari susunan masyarakat.  (2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan  dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali  permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan  perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,  Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 (1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan  menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan.  oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut  disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan  didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan  untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan,  apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan  dilangsungkan. (5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan  tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberi-tahuan tentang maksud  mereka.  BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan  perkawinan.  Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a.  Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b.  Suami atau isteri; c.  Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d.  Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang  mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya  setelah perkawinan itu putus.  Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan  atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan  tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.      128   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   129   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana  perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 (1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,  wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat  dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau  isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini  gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte  perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan  harus diperbaharui supaya sah.  Pasal 27 (1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila  perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada  waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan  dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak  mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 (1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum  yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a.  Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b.  Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila  pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c.  Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka mem-peroleh hak- hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum  tetap.  BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama  dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah  mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan  kesusilaan. (3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua  belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi  dasar dari susunan masyarakat.  (2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan  dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali  permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan  perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,  Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 (1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan  menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan.  oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut  disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan  didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan  untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan,  apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan  dilangsungkan. (5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan  tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberi-tahuan tentang maksud  mereka.  BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan  perkawinan.  Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a.  Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b.  Suami atau isteri; c.  Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d.  Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang  mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya  setelah perkawinan itu putus.  Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan  atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan  tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.      130   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   131   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan  dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 40 (1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan  tersendiri.  Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a.  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata  berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,  Pengadilan memberi keputusannya; b.  Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan  anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan  dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c.  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan  keluarga ibunya. (2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat  membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang  berkepentingan.  BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau  dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua  putus.  Pasal 46 (1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga  dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.  Pasal 31 (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan  rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri  bersama.  Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin  yang satu kepada yang lain.  Pasal 34 (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah  tangga sesuai dengan kemampuannya. (2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada  Pengadilan.  BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 (1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing  sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak  tidak menentukan lain.  Pasal 36 (1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk  melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan c.  atas keputusan Pengadilan.  Pasal 39 (1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang  bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.      130   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   131   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan  dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 40 (1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan  tersendiri.  Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a.  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata  berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,  Pengadilan memberi keputusannya; b.  Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan  anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan  dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c.  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan  keluarga ibunya. (2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat  membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang  berkepentingan.  BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau  dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua  putus.  Pasal 46 (1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga  dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.  Pasal 31 (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan  rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri  bersama.  Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin  yang satu kepada yang lain.  Pasal 34 (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah  tangga sesuai dengan kemampuannya. (2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada  Pengadilan.  BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 (1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing  sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak  tidak menentukan lain.  Pasal 36 (1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk  melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan c.  atas keputusan Pengadilan.  Pasal 39 (1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang  bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.      132   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   133   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas  tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat  diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut  BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak Pasal 55 (1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang  dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan  penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan  bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang  ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak  yang bersangkutan.  Bagian Kedua Perkawinan diluar Indonesia Pasal 56 (1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau  seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan  menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara  Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. (2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti  perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua  orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan  salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat  memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya,  menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia  yang berlaku.  Pasal 59 (1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan  menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum  perdata. (2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang  Perkawinan ini.  Pasal 47 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari  kekuasaannya. (2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar  Pengadilan.  Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang  dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih  untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus  keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan  Pengadilan dalam hal-hal : a.  la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b.  la berkelakuan buruk sekali. (2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi  biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. (2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia  meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa,  berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. (3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya,  dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu  memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak- anak itu. (5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta  kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang- undang ini. (2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh  Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.      132   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   133   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas  tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat  diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut  BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak Pasal 55 (1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang  dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan  penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan  bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang  ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak  yang bersangkutan.  Bagian Kedua Perkawinan diluar Indonesia Pasal 56 (1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau  seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan  menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara  Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. (2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti  perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua  orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan  salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat  memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya,  menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia  yang berlaku.  Pasal 59 (1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan  menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum  perdata. (2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang  Perkawinan ini.  Pasal 47 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari  kekuasaannya. (2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar  Pengadilan.  Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang  dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih  untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus  keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan  Pengadilan dalam hal-hal : a.  la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b.  la berkelakuan buruk sekali. (2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi  biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. (2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia  meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa,  berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. (3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya,  dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu  memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak- anak itu. (5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta  kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang- undang ini. (2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh  Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.      134   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   135   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   c.  Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya  masing-masing. (2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini  tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. B A B XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas  Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur  dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia  Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran  (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur  tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 (1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara  efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini  dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.  Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SOEHARTO JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.  Pasal 60 (1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan  yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. (2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu  tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut  hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat  keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. (3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas  permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta  tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan  itu beralasan atau tidak. (4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi  pengganti keterangan yang tersebut ayat (3). (5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika  perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu  diberikan.  Pasal 61 (1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. (2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada  pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang  disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (satu) bulan. (3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa  keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan  selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang  ini.  Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 (1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah : a.  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b.  Pengadilan Umum bagi lainnya. (2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum  Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 (1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun  berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a.  Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; b.  Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada  sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;      134   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   135   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   c.  Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya  masing-masing. (2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini  tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. B A B XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas  Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur  dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia  Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran  (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur  tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 (1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara  efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini  dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.  Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SOEHARTO JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.  Pasal 60 (1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan  yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. (2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu  tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut  hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat  keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. (3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas  permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta  tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan  itu beralasan atau tidak. (4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi  pengganti keterangan yang tersebut ayat (3). (5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika  perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu  diberikan.  Pasal 61 (1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. (2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada  pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang  disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (satu) bulan. (3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa  keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan  selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang  ini.  Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 (1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah : a.  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b.  Pengadilan Umum bagi lainnya. (2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum  Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 (1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun  berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a.  Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; b.  Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada  sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;      136   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   137   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan  perkawinan. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan  perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan  dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah  ini.  Pasal 3 (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada  Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja    sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang  penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau  wakilnya.  Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon  mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau  suaminya terdahulu.  Pasal 6 (1)  Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti  apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan  menurut Undang-undang. (2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula : a.  Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran  atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu; b.  Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua  calon mempelai; c.  Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang- undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua  puluh satu) tahun; d.  Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah  seorang suami yang masih mempunya isteri; e.  Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; f.  Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan  perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g.  Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang  calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ; h.  Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah  seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang  penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Pasal 7 (1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar  yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang- undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan  Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua  atau kepada wakilnya.   LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975   TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019),  dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan  pelaksanaan dari Undang-undang tersebut;  Mengingat : 1.  Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2.  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor  1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG  NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a.  Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b.  Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri  bagi yang lainnya; c.  Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; d.  Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian. BAB II PENCATATAN PERKAWINAN Pasal 2 (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam,  dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun  1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. (2)  Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan  kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor      136   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   137   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan  perkawinan. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan  perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan  dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah  ini.  Pasal 3 (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada  Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja    sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang  penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau  wakilnya.  Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon  mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau  suaminya terdahulu.  Pasal 6 (1)  Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti  apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan  menurut Undang-undang. (2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula : a.  Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran  atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu; b.  Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua  calon mempelai; c.  Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang- undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua  puluh satu) tahun; d.  Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah  seorang suami yang masih mempunya isteri; e.  Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; f.  Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan  perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g.  Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang  calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ; h.  Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah  seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang  penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Pasal 7 (1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar  yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang- undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan  Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua  atau kepada wakilnya.   LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975   TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019),  dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan  pelaksanaan dari Undang-undang tersebut;  Mengingat : 1.  Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2.  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor  1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG  NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a.  Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b.  Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri  bagi yang lainnya; c.  Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; d.  Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian. BAB II PENCATATAN PERKAWINAN Pasal 2 (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam,  dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun  1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. (2)  Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan  kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor      138   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   139   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan  dilakukan melalui seorang kuasa.  Pasal 13 (1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat,  helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu  berada. (2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. BAB V TATACARA PERCERAIAN Pasal 14 Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan  isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan  bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada  Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 15 Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu  selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta  penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian  yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam  Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang  bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 17 Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam  Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat  keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan  pencatatan perceraian.  Pasal 18 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Pasal 19 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a.  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang  sukar disembuhkan; b.  Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain  dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c.  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah  perkawinan berlangsung; d.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang  lain; e.  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan  kewajibannya sebagai suami/isteri; f.  Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan  akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.  Pasal 8 Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan  perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak  melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang  ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah  dibaca oleh umum.  Pasal 9 Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat : a.  Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari  orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama  isteri dan atau suami mereka terdahulu ; b.  Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan BAB III TATACARA PERKAWINAN Pasal 10 (1)  Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh  Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya  itu. (3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan  kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua  orang saksi.  Pasal 11 (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10  Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan  oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2)  Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh  kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan  perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. BAB IV AKTA PERKAWINAN Pasal 12 Akta perkawinan memuat : a.  Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami- isteri;    Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami  terdahulu; b.  Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c.  zin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang; d.  Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; e.  Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang; f.  Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang; g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan  Bersenjata; h.  Perjanjian perkawinan apabila ada; i.  Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi  yang beragama Islam ;      138   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   139   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan  dilakukan melalui seorang kuasa.  Pasal 13 (1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat,  helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu  berada. (2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. BAB V TATACARA PERCERAIAN Pasal 14 Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan  isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan  bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada  Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 15 Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu  selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta  penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian  yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam  Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang  bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 17 Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam  Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat  keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan  pencatatan perceraian.  Pasal 18 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Pasal 19 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a.  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang  sukar disembuhkan; b.  Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain  dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c.  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah  perkawinan berlangsung; d.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang  lain; e.  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan  kewajibannya sebagai suami/isteri; f.  Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan  akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.  Pasal 8 Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan  perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak  melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang  ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah  dibaca oleh umum.  Pasal 9 Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat : a.  Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari  orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama  isteri dan atau suami mereka terdahulu ; b.  Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan BAB III TATACARA PERKAWINAN Pasal 10 (1)  Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh  Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya  itu. (3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan  kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua  orang saksi.  Pasal 11 (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10  Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan  oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2)  Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh  kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan  perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. BAB IV AKTA PERKAWINAN Pasal 12 Akta perkawinan memuat : a.  Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami- isteri;    Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami  terdahulu; b.  Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c.  zin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang; d.  Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; e.  Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang; f.  Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang; g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan  Bersenjata; h.  Perjanjian perkawinan apabila ada; i.  Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi  yang beragama Islam ;      140   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   141   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah  diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari  sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan  dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan  mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan  oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1)  dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama  dan kedua. (3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan  ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4)  Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya  tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak  atau tidak beralasan.  Pasal 28 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan  disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 29 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. (2)  Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan  tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat  atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang  pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak  dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan. Pasal 30 Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan  kepada kuasanya.  Pasal 31 (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang  pemeriksaan.  Pasal 32 Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan  atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu  dicapainya perdamaian.  Pasal 33 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang  tertutup.  Pasal 34 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.  Pasal 20 (1)  Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah  hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat  kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman  penggugat. (3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada  Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan  tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 21 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan  di tempat kediaman penggugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak  tergugat meninggalkan rumah. (3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi  kembali ke rumah kediaman bersama.  Pasal 22 (1)  Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di  tempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan  mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga  serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu. Pasal 23 Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5  (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk  mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan  Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  Pasal 24 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau  berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan  suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,  Pengadilan dapat : a.  Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b.  Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c.  Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi  hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang  yang menjadi hak isteri.  Pasal 25 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan  mengenai gugatan perceraian itu.  Pasal 26 (1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat  maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. (2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan  dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. (3)  Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat  dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.      140   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   141   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah  diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari  sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan  dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan  mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan  oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1)  dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama  dan kedua. (3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan  ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4)  Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya  tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak  atau tidak beralasan.  Pasal 28 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan  disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 29 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. (2)  Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan  tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat  atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang  pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak  dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan. Pasal 30 Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan  kepada kuasanya.  Pasal 31 (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang  pemeriksaan.  Pasal 32 Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan  atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu  dicapainya perdamaian.  Pasal 33 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang  tertutup.  Pasal 34 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.  Pasal 20 (1)  Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah  hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat  kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman  penggugat. (3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada  Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan  tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 21 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan  di tempat kediaman penggugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak  tergugat meninggalkan rumah. (3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi  kembali ke rumah kediaman bersama.  Pasal 22 (1)  Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di  tempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan  mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga  serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu. Pasal 23 Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5  (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk  mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan  Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  Pasal 24 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau  berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan  suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,  Pengadilan dapat : a.  Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b.  Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c.  Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi  hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang  yang menjadi hak isteri.  Pasal 25 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan  mengenai gugatan perceraian itu.  Pasal 26 (1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat  maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. (2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan  dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. (3)  Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat  dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.      142   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   143   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   b.  Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan  ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang  tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c.  Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan  sampai melahirkan. (2)  Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda  tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. (3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya  putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan  yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SEORANG Pasal 40 Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan  permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: -  bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; -  bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; -  bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b.  Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan  itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c.  Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak- anak, dengan memperlihatkan: -  surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat  bekerja; atau -  surat keterangan pajak penghasilan; atau -  surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d.  Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak  mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk  itu.  Pasal 42 (1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus    memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. (2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pasal 43 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang,  maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 44 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan  beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.  (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat  pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi  mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  Pasal 35 (1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai  salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai  kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat  ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah  daftar yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai  Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1)  yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan  pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat  tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang  dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. (3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera  yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri  atau keduanya.  Pasal 36 (1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan  menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan  Negeri untuk dikukuhkan. (2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan” dan  ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut. (3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari  Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama. BAB VI PEMBATALAN PERKAWINAN Pasal 37 Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Pasal 38 (1)  Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya  kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di  tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. (2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara  pengajuan gugatan perceraian. (3)  Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan,  dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan  Pemerintah ini.  BAB VII WAKTU TUNGGU Pasal 39 (1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang  ditentukan sebagai berikut: a.  Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)  hari;      142   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   143   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   b.  Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan  ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang  tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c.  Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan  sampai melahirkan. (2)  Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda  tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. (3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya  putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan  yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SEORANG Pasal 40 Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan  permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: -  bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; -  bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; -  bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b.  Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan  itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c.  Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak- anak, dengan memperlihatkan: -  surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat  bekerja; atau -  surat keterangan pajak penghasilan; atau -  surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d.  Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak  mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk  itu.  Pasal 42 (1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus    memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. (2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pasal 43 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang,  maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 44 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan  beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.  (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat  pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi  mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap.  Pasal 35 (1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai  salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai  kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat  ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah  daftar yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai  Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1)  yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan  pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat  tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang  dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. (3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera  yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri  atau keduanya.  Pasal 36 (1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan  menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan  Negeri untuk dikukuhkan. (2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan” dan  ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut. (3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari  Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama. BAB VI PEMBATALAN PERKAWINAN Pasal 37 Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Pasal 38 (1)  Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya  kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di  tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. (2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara  pengajuan gugatan perceraian. (3)  Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan,  dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan  Pemerintah ini.  BAB VII WAKTU TUNGGU Pasal 39 (1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang  ditentukan sebagai berikut: a.  Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)  hari;      144   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   145   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1975 NOMOR 12   PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UMUM: Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan  pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara  lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara  perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus  perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari  seorang dan sebagainya. Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang  diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut.  Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara  efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah pada tanggal 1 Oktober 1975. Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan  serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan,  khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri,  sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam  bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan  tersebut.  PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.  Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh  dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/  pejabat yang membantunya. Ayat (3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara pencatatan perkawinan pada  dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3 sampai dengan Pasal  9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara  pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan  Pemerintah ini.  Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.  BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka : a.  Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan  Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima  ratus rupiah); b.  Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11,  13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)  bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). (2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. BAB X PENUTUP Pasal 46 Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan  lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi  anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB. Pasal 47 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini  dinyatakan tidak berlaku.  Pasal 48 Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan  Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama,  baik bersama-sama maupun dalam bidangnya masing-masing. Pasal 49 (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975; (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah  ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975      144   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   145   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1975 NOMOR 12   PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UMUM: Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan  pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara  lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara  perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus  perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari  seorang dan sebagainya. Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang  diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut.  Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara  efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah pada tanggal 1 Oktober 1975. Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan  serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan,  khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri,  sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam  bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan  tersebut.  PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.  Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh  dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/  pejabat yang membantunya. Ayat (3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara pencatatan perkawinan pada  dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3 sampai dengan Pasal  9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara  pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan  Pemerintah ini.  Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.  BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka : a.  Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan  Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima  ratus rupiah); b.  Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11,  13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)  bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). (2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. BAB X PENUTUP Pasal 46 Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan  lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi  anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB. Pasal 47 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini  dinyatakan tidak berlaku.  Pasal 48 Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan  Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama,  baik bersama-sama maupun dalam bidangnya masing-masing. Pasal 49 (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975; (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah  ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975      146   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   147   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 10 Cukup jelas.  Pasal 11 Cukup jelas.  Pasal 12 Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di dalarn pasal ini merupakan  ketentuan minimal sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai  nomor akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun pernikahan dilakukan;  nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para  saksi, dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari maskawin atau  izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara tertulis atas  dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan. Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB  mengatur lebih lanjut mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota  Angkatan Bersenjata.  Pasal 13 Cukup jelas.  Pasal 14 Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai talak. Pasal 15. Cukup jelas.  Pasal 16 Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk  perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian  menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut. Pasal 17 Cukup jelas.  Pasal 18 Cukup jelas  Pasal 19 Cukup jelas.  Pasal 20 Ayat (1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan  menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya  menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.  Ayat (3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera melangsungkan perkawinan  meskipun belum lampau 10 (sepuluh) hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan  segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian itu dimungkinkan  dengan mengajukan permohonan dispensasi.  Pasal 4 Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah  satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu  alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin  dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili  calon mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah wali atau orang  lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.  Pasal 5 Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak  melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi  mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun  namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan  berlangsungnya perkawinan. Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan ketentuan minimal, sehingga  masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang  beragama Islam.  Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf f : Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau  isteri terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat memberikan keterangan dimaksud berhubung  tidak adanya laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain yang sah, atau  keterangan yang diberikan di bawah sumpah oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau kepada orang tua atau kepada  wakilnya”, adalah bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus ditujukan  dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu yang datang memberitahukan kehendak  untuk melangsungkan perkawinan.  Pasal 8 Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui  dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian  itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan  atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 9 Pengumuman dilakukan : -  di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan  dilangsungkan, dan -  di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing-masing calon mempelai.      146   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   147   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 10 Cukup jelas.  Pasal 11 Cukup jelas.  Pasal 12 Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di dalarn pasal ini merupakan  ketentuan minimal sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai  nomor akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun pernikahan dilakukan;  nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para  saksi, dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari maskawin atau  izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara tertulis atas  dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan. Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB  mengatur lebih lanjut mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota  Angkatan Bersenjata.  Pasal 13 Cukup jelas.  Pasal 14 Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai talak. Pasal 15. Cukup jelas.  Pasal 16 Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk  perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian  menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut. Pasal 17 Cukup jelas.  Pasal 18 Cukup jelas  Pasal 19 Cukup jelas.  Pasal 20 Ayat (1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan  menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya  menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.  Ayat (3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera melangsungkan perkawinan  meskipun belum lampau 10 (sepuluh) hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan  segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian itu dimungkinkan  dengan mengajukan permohonan dispensasi.  Pasal 4 Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah  satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu  alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin  dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili  calon mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah wali atau orang  lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.  Pasal 5 Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak  melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi  mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun  namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan  berlangsungnya perkawinan. Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan ketentuan minimal, sehingga  masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang  beragama Islam.  Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf f : Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau  isteri terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat memberikan keterangan dimaksud berhubung  tidak adanya laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain yang sah, atau  keterangan yang diberikan di bawah sumpah oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau kepada orang tua atau kepada  wakilnya”, adalah bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus ditujukan  dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu yang datang memberitahukan kehendak  untuk melangsungkan perkawinan.  Pasal 8 Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui  dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian  itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan  atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 9 Pengumuman dilakukan : -  di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan  dilangsungkan, dan -  di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing-masing calon mempelai.      148   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   149   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak  maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi  sidang tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya  mempelajari secara baik isi gugatan. Ayat (3) Cukup jelas.  Pasal 30 Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri  sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan  membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk  mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara  perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam  mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain  yang dianggap perlu.  Pasal 32 Cukup jelas.  Pasal 33 Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, maka  gugatan perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku  juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian,  hakim mengabulkan kehendak suami atau isteri untuk melakukan perceraian. Pasal 34 Cukup jelas.  Pasal 35 Cukup jelas.  Pasal 36 Ayat (1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan Pengadilan Agama hanya dilakukan  apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hakim yang tetap. Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan Agama yang dimintakan banding  atau kasasi, masih belum dilakukan pengukuhan. Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak melakukan pemeriksaan ulang  terhadap putusan Pengadilan Agama dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.  Pasal 37  Pasal 21 Cukup jelas.  Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah  benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri. Pasal 3 Cukup jelas.  Pasal 24 Ayat (1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya  diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya. Ayat (2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi  suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban  suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki  bersama-sama oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau tidak  terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami-isteri  itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga. Pasal 25 Cukup jelas.  Pasal 26 Cukup jelas.  Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian itu tidak dengan sendirinya  merupakan alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan  pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 28 Cukup jelas.  Pasal 29 Ayat (1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah  sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu  dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi  keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya. Ayat (2)      148   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   149   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak  maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi  sidang tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya  mempelajari secara baik isi gugatan. Ayat (3) Cukup jelas.  Pasal 30 Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri  sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan  membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk  mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara  perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam  mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain  yang dianggap perlu.  Pasal 32 Cukup jelas.  Pasal 33 Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, maka  gugatan perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku  juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian,  hakim mengabulkan kehendak suami atau isteri untuk melakukan perceraian. Pasal 34 Cukup jelas.  Pasal 35 Cukup jelas.  Pasal 36 Ayat (1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan Pengadilan Agama hanya dilakukan  apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hakim yang tetap. Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan Agama yang dimintakan banding  atau kasasi, masih belum dilakukan pengukuhan. Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak melakukan pemeriksaan ulang  terhadap putusan Pengadilan Agama dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.  Pasal 37  Pasal 21 Cukup jelas.  Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah  benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri. Pasal 3 Cukup jelas.  Pasal 24 Ayat (1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya  diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya. Ayat (2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi  suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban  suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki  bersama-sama oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau tidak  terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami-isteri  itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga. Pasal 25 Cukup jelas.  Pasal 26 Cukup jelas.  Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian itu tidak dengan sendirinya  merupakan alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan  pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 28 Cukup jelas.  Pasal 29 Ayat (1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah  sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu  dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi  keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya. Ayat (2)      150   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   151   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   b.  peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya; c.  peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 Cukup jelas.  Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050  Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap  suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan  terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan. Pasal 38 Cukup jelas.  Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu dengan bekas suaminya  belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat  melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu. Ayat (3) Cukup jelas.  Pasal 40 Cukup jelas.  Pasal 41 Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada sub  i atau ii, maka dapat diusahakan suatu surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat  menerimanya.  Pasal 42 Cukup jelas  Pasal 43 Cukup jelas.  Pasal 44 Cukup jelas.  Pasal 45 Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan  Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan  yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3  (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Pasal 46 Cukup jelas.  Pasal 47 Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan  Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain hal yang tersebut di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang diatur dalam Peraturan  Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan perundangan tentang perkawinan yang ada maka  diperlakukan Peraturan Pemerintah ini yakni apabila : a.  peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama dengan Peraturan  Pemerintah;      150   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   151   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   b.  peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya; c.  peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 Cukup jelas.  Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050  Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap  suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan  terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan. Pasal 38 Cukup jelas.  Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu dengan bekas suaminya  belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat  melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu. Ayat (3) Cukup jelas.  Pasal 40 Cukup jelas.  Pasal 41 Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada sub  i atau ii, maka dapat diusahakan suatu surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat  menerimanya.  Pasal 42 Cukup jelas  Pasal 43 Cukup jelas.  Pasal 44 Cukup jelas.  Pasal 45 Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan  Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan  yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3  (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Pasal 46 Cukup jelas.  Pasal 47 Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan  Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain hal yang tersebut di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang diatur dalam Peraturan  Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan perundangan tentang perkawinan yang ada maka  diperlakukan Peraturan Pemerintah ini yakni apabila : a.  peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama dengan Peraturan  Pemerintah;      LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2      LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2      155   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   KOMPILASI HUKUM ISLAM   BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I  KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan : a.  Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara  seorang pria dengan seorang wanita, b.  Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,  yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; c.  Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai  pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; d.  Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk  barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang  dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan  tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang; f.  Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri- sendiriatau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut  harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; g.  Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak  hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; h.  Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu  perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai  kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum; i.  Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau  iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya; j.  Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang  dan lainnya.  BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan  ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan  rahmah.  Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.      155   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   KOMPILASI HUKUM ISLAM   BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I  KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan : a.  Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara  seorang pria dengan seorang wanita, b.  Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,  yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; c.  Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai  pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; d.  Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk  barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang  dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan  tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang; f.  Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri- sendiriatau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut  harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; g.  Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak  hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; h.  Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu  perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai  kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum; i.  Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau  iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya; j.  Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang  dan lainnya.  BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan  ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan  rahmah.  Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.      156   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   157   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria  tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita. (4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan  atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang  dipinang.  Pasal 13 (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan  peminangan. (2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik  sesuaidengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan  saling menghargai.  BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Bagian Kesatu Rukun Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d.  Dua orang saksi dan; e.  Ijab dan Kabul.  Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon  mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun  1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya  berumur 16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana  yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974. Pasal 16 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan  tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang  tegas.  Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu  persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu  tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan  dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.  Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah  sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32  Tahun 1954.  Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan  dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai  kekuatan Hukum.  Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat  Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya  ke Pengadilan Agama. (3)  Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan  dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c)  Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;  (e)  Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan  menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4)  Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali  nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pasal 8 Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan  Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik  talak.  Pasal 9 (1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat  dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. (2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan  permohonan ke Pengadilan Agama.  Pasal 10 Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai  Pencatat Nikah.  BAB III PEMINANGAN Pasal 11 Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi  dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya. Pasal 12 (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda  yang telah habis masa iddahya. (2)  Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk  dipinang.      156   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   157   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria  tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita. (4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan  atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang  dipinang.  Pasal 13 (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan  peminangan. (2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik  sesuaidengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan  saling menghargai.  BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Bagian Kesatu Rukun Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d.  Dua orang saksi dan; e.  Ijab dan Kabul.  Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon  mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun  1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya  berumur 16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana  yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974. Pasal 16 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan  tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang  tegas.  Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu  persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu  tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan  dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.  Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah  sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32  Tahun 1954.  Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan  dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai  kekuatan Hukum.  Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat  Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya  ke Pengadilan Agama. (3)  Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan  dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c)  Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;  (e)  Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan  menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4)  Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali  nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pasal 8 Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan  Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik  talak.  Pasal 9 (1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat  dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. (2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan  permohonan ke Pengadilan Agama.  Pasal 10 Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai  Pencatat Nikah.  BAB III PEMINANGAN Pasal 11 Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi  dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya. Pasal 12 (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda  yang telah habis masa iddahya. (2)  Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk  dipinang.      158   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   159   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Bagian Keempat Saksi Nikah Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,  tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah  pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Bagian Kelima Akad Nikah Pasal 27 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah  mewakilkan kepada orang lain.  Pasal 29 (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan  calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas  akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad  nikah tidak boleh dilangsungkan.  BAB V MAHAR Pasal 30 Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan  jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.  Pasal 31 Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran  Islam.  Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. Pasal 33 (1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.  Pasal 18 Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan  perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. Bagian Ketiga Wali Nikah Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang  bertindak untuk menikahkannya  Pasal 20 (1)  Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni  muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim.  Pasal 21 (1)  Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan  dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai  wanita.   Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan  seterusnya.   Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan  laki-laki mereka.   Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan  keturunan laki-laki mereka.   Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki- laki mereka. (2)  Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi  wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan  calon mempelai wanita. (3)  Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah  ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung  atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan  mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh  karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali  bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya. Pasal 23 (1)  Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin  menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (2)  Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah  ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.      158   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   159   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Bagian Keempat Saksi Nikah Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,  tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah  pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Bagian Kelima Akad Nikah Pasal 27 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah  mewakilkan kepada orang lain.  Pasal 29 (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan  calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas  akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad  nikah tidak boleh dilangsungkan.  BAB V MAHAR Pasal 30 Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan  jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.  Pasal 31 Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran  Islam.  Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. Pasal 33 (1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.  Pasal 18 Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan  perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. Bagian Ketiga Wali Nikah Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang  bertindak untuk menikahkannya  Pasal 20 (1)  Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni  muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim.  Pasal 21 (1)  Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan  dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai  wanita.   Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan  seterusnya.   Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan  laki-laki mereka.   Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan  keturunan laki-laki mereka.   Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki- laki mereka. (2)  Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi  wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan  calon mempelai wanita. (3)  Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah  ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung  atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan  mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh  karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali  bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya. Pasal 23 (1)  Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin  menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (2)  Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah  ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.      160   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   161   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan  tertentu: a.  karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b.  seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c.  seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan  pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; a.  saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya; b.  wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj‘i, tetapi  masih dalam masa iddah.  Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut  sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau  masih dalam iddah talak raj‘i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan  sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj‘i. Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; b.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili‘an. (2)  Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain,  kemudian perkawinan tersebut putus ba‘da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama  Islam.  BAB VII  PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45 Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1.  Taklik talak dan 2.  Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 (1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan  sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya  ke pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi  sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Pasal 47 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat  perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam  perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta  pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.  (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk  seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon  mempelai pria.  Pasal 34 (1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan. (2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya  perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya  perkawinan.  Pasal 35 (1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah  ditentukan dalam akad nikah. (2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka  sumai wajib membayar mahar mitsil.  Pasal 36 Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama  bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai  dengan harga barang mahar yang hilang.  Pasal 37 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan  ke Pengadilan Agama.  Pasal 38 (1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap  bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas. (2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan  mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih  belum dibayar.  BAB VI  LARANGAN KAWIN Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab : a.  dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b.  dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c.  dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya (2) Karena pertalian kerabat semenda : a.  dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b.  dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c.  dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan  perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d.  dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan : a.  dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b.  dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c.  dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; d.  dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e.  dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.      160   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   161   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan  tertentu: a.  karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b.  seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c.  seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan  pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; a.  saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya; b.  wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj‘i, tetapi  masih dalam masa iddah.  Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut  sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau  masih dalam iddah talak raj‘i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan  sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj‘i. Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; b.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili‘an. (2)  Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain,  kemudian perkawinan tersebut putus ba‘da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama  Islam.  BAB VII  PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45 Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1.  Taklik talak dan 2.  Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 (1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan  sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya  ke pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi  sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Pasal 47 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat  perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam  perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta  pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.  (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk  seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon  mempelai pria.  Pasal 34 (1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan. (2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya  perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya  perkawinan.  Pasal 35 (1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah  ditentukan dalam akad nikah. (2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka  sumai wajib membayar mahar mitsil.  Pasal 36 Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama  bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai  dengan harga barang mahar yang hilang.  Pasal 37 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan  ke Pengadilan Agama.  Pasal 38 (1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap  bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas. (2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan  mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih  belum dibayar.  BAB VI  LARANGAN KAWIN Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab : a.  dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b.  dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c.  dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya (2) Karena pertalian kerabat semenda : a.  dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b.  dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c.  dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan  perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d.  dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan : a.  dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b.  dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c.  dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; d.  dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e.  dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.      162   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   163   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 54 (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga  boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram  perkawinannya tidak sah.  BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG Pasal 55 (1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. (2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri  dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri  dari seorang.  Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2)  Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana  diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan  Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari  seorang apabila : a.  isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b.  isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.  isteri tidak dapat melahirkan keturunan.  Pasal 58 (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan  Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1  Tahun 1974 yaitu : a.  adanya pesetujuan isteri; b.  adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak  mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,  persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun  telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada  sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri  atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam  perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun  atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari  satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan  Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang  bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat  mengajukan banding atau kasasi.  (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan  kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta  bersama atau harta syarikat.  Pasal 48 (1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka  perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah  tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap  tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung  biaya kebutuhan rumah tangga.  Pasal 49 (1)  Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing  ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa  percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga  percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 50 (1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung  mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan  wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan (3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak  ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam  suatu surat kabar setempat. (4)  Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran  pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah  diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 51 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan  nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Pasal 52 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan  dinikahinya itu.  BAB VIII KAWIN HAMIL Pasal 53 (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2)  Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu  lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang  setelah anak yang dikandung lahir.      162   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   163   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 54 (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga  boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram  perkawinannya tidak sah.  BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG Pasal 55 (1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. (2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri  dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri  dari seorang.  Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2)  Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana  diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan  Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari  seorang apabila : a.  isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b.  isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.  isteri tidak dapat melahirkan keturunan.  Pasal 58 (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan  Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1  Tahun 1974 yaitu : a.  adanya pesetujuan isteri; b.  adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak  mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,  persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun  telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada  sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri  atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam  perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun  atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari  satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan  Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang  bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat  mengajukan banding atau kasasi.  (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan  kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta  bersama atau harta syarikat.  Pasal 48 (1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka  perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah  tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap  tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung  biaya kebutuhan rumah tangga.  Pasal 49 (1)  Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing  ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa  percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga  percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 50 (1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung  mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan  wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan (3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak  ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam  suatu surat kabar setempat. (4)  Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran  pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah  diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 51 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan  nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Pasal 52 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan  dinikahinya itu.  BAB VIII KAWIN HAMIL Pasal 53 (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2)  Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu  lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang  setelah anak yang dikandung lahir.      164   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   165   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan  oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut  disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan  Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan  untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan  ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya  perkawinan dilangsungkan. (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan  tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud  mereka.  BAB XI  BATALNYA PERKAWINAN Pasal 70 Perkawinan batal apabila : a.  Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah  mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj‘i; b.  seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili‘annya; c.  seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila  bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba‘da al dukhul dan  priatersebut dan telah habis masa iddahnya; d.  perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan  sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1  Tahun 1974, yaitu : 1.  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas. 2.  berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang  dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3.  berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4.  berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman  sesusuan. e.  isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. Pasal 71 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a.  seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b.  perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c.  perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; d.  perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7  Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; e.  perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f.  perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila  perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada  waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau  isteri (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam  jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat  menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.  BAB X  PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 60 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum  Islam dan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan  melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan  menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. Pasal 61 Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena  perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.  Pasal 62 (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan  lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak- pihak yang bersangkutan (2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak  kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain. Pasal 63 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan  dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan  perkawinan.  Pasal 64 Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun  dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.  Pasal 65 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana  perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah. (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan  dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pasal 66 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut. Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama. Pasal 68 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan  perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal  9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan  perkawinan.  Pasal 69 (1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut  Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.      164   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   165   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan  oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut  disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan  Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan  untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan  ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya  perkawinan dilangsungkan. (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan  tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud  mereka.  BAB XI  BATALNYA PERKAWINAN Pasal 70 Perkawinan batal apabila : a.  Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah  mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj‘i; b.  seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili‘annya; c.  seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila  bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba‘da al dukhul dan  priatersebut dan telah habis masa iddahnya; d.  perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan  sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1  Tahun 1974, yaitu : 1.  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas. 2.  berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang  dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3.  berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4.  berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman  sesusuan. e.  isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. Pasal 71 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a.  seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b.  perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c.  perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; d.  perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7  Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; e.  perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f.  perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila  perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada  waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau  isteri (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam  jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat  menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.  BAB X  PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 60 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum  Islam dan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan  melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan  menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. Pasal 61 Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena  perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.  Pasal 62 (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan  lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak- pihak yang bersangkutan (2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak  kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain. Pasal 63 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan  dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan  perkawinan.  Pasal 64 Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun  dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.  Pasal 65 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana  perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah. (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan  dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pasal 66 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut. Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama. Pasal 68 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan  perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal  9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan  perkawinan.  Pasal 69 (1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut  Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.      166   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   167   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan  rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Bagian Ketiga Kewajiban Suami Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal  urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. (2)  Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga  sesuai dengan kemampuannya (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar  pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a.  nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b.  biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c.  biaya pendididkan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai  berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada  ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Bagian Keempat Tempat Kediaman Pasal 81 (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang  masih dalam iddah. (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan,  atau dalam iddah talak atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,  sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat  menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan  dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga  maupun sarana penunjang lainnya.  Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang Pasal 82 (1)  Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya  hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga  yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat  kediaman.  Pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a.  para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri; b.  Suami atau isteri; c.  Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. d.  para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan  menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal  67.  Pasal 74 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi  tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan  hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a.  perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b.  anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c.  pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber‘itikad baik, sebelum keputusan  pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. Pasal 76 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang  tuanya.  BAB XII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu Umum Pasal 77 (1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,  mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat (2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir  bathin yang satui kepada yang lain; (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik  mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; (4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya; (5) Jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada  Pengadilan Agama.  Pasal 78 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama. Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri Pasal 79 (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.      166   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   167   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan  rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Bagian Ketiga Kewajiban Suami Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal  urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. (2)  Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga  sesuai dengan kemampuannya (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar  pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a.  nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b.  biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c.  biaya pendididkan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai  berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada  ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Bagian Keempat Tempat Kediaman Pasal 81 (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang  masih dalam iddah. (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan,  atau dalam iddah talak atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,  sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat  menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan  dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga  maupun sarana penunjang lainnya.  Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang Pasal 82 (1)  Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya  hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga  yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat  kediaman.  Pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a.  para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri; b.  Suami atau isteri; c.  Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. d.  para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan  menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal  67.  Pasal 74 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi  tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan  hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a.  perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b.  anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c.  pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber‘itikad baik, sebelum keputusan  pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. Pasal 76 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang  tuanya.  BAB XII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu Umum Pasal 77 (1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,  mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat (2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir  bathin yang satui kepada yang lain; (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik  mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; (4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya; (5) Jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada  Pengadilan Agama.  Pasal 78 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama. Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri Pasal 79 (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.      168   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   169   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan  pihak lainnya.  Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta  bersama.  Pasal 93 1.  Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing- masing. 2.  Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan  kepada harta bersama. 3.  Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4.  Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri Pasal 94 1.  Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing- masing terpisah dan berdiri sendiri. 2.  Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang  sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,  ketiga atau keempat.  Pasal 95 1.  Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun  1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan  gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta  bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2.  Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan  izin Pengadilan Agama.  Pasal 96 1.  Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih  lama. 2.  Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus  ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas  dasar putusan Pengadilan Agama.  Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan  lain dalam perjanjian perkawinan.  BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak  tersebut tidak bercacat fi sik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar  Pengadilan. (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan  kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Anak yang sah adalah :  Bagian Keenam Kewajiban Isteri Pasal 83 (1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang  dibenarkan oleh hukum islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan  sebaikbaiknya.  Pasal 84 (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana  dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah (2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)  huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik  masingmasing suami atau isteri.  Pasal 86 (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap  menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Pasal 87 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai  hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak  menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta  masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. Pasal 90 Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau  tidak berwujud. (2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat  berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.      168   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   169   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan  pihak lainnya.  Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta  bersama.  Pasal 93 1.  Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing- masing. 2.  Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan  kepada harta bersama. 3.  Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4.  Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri Pasal 94 1.  Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing- masing terpisah dan berdiri sendiri. 2.  Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang  sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,  ketiga atau keempat.  Pasal 95 1.  Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun  1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan  gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta  bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2.  Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan  izin Pengadilan Agama.  Pasal 96 1.  Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih  lama. 2.  Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus  ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas  dasar putusan Pengadilan Agama.  Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan  lain dalam perjanjian perkawinan.  BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak  tersebut tidak bercacat fi sik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar  Pengadilan. (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan  kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Anak yang sah adalah :  Bagian Keenam Kewajiban Isteri Pasal 83 (1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang  dibenarkan oleh hukum islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan  sebaikbaiknya.  Pasal 84 (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana  dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah (2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)  huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik  masingmasing suami atau isteri.  Pasal 86 (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap  menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Pasal 87 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai  hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak  menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta  masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. Pasal 90 Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau  tidak berwujud. (2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat  berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.      170   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   171   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB XV PERWALIAN Pasal 107 (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah  melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan  Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan  kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa,  berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Pasal 108 Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas  diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Pasal 109 Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,  pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi  kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Pasal 110 (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan  sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan  lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah  perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah  perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3)  Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti  kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1  tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang  ditutup tiap satu tahun satu kali.  Pasal 111 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila  yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. (2)  Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara  wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Pasal 112 Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan  untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma‘ruf kalau wali fakir.  Pasal 99 a.  anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b.  hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 100 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga  ibunya.  Pasal 101 Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan  pengingkarannya dengan li‘an.  Pasal 102 (1)  Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada  Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah  putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan  berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima Pasal 103 (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama  dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan  yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran  yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak  yang bersangkutan.  Pasal 104 (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah  meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi  nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa  kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian : a.  Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b.  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah  atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c.  biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. Pasal 106 (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau  dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali  karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau  suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. (2)  Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari  kewajiban tersebut pada ayat (1).      170   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   171   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB XV PERWALIAN Pasal 107 (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah  melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan  Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan  kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa,  berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Pasal 108 Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas  diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Pasal 109 Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,  pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi  kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Pasal 110 (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan  sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan  lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah  perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah  perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3)  Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti  kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1  tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang  ditutup tiap satu tahun satu kali.  Pasal 111 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila  yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. (2)  Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara  wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Pasal 112 Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan  untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma‘ruf kalau wali fakir.  Pasal 99 a.  anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b.  hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 100 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga  ibunya.  Pasal 101 Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan  pengingkarannya dengan li‘an.  Pasal 102 (1)  Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada  Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah  putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan  berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima Pasal 103 (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama  dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan  yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran  yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak  yang bersangkutan.  Pasal 104 (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah  meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi  nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa  kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian : a.  Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b.  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah  atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c.  biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. Pasal 106 (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau  dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali  karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau  suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. (2)  Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari  kewajiban tersebut pada ayat (1).      172   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   173   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 120 Talak Ba‘in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan  tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah  degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‘da al dukhul dan hadis masa iddahnya. Pasal 121 Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci  dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid‘I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan  haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan Pasal 125 Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. Pasal 126 Li‘an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan  atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran  tersebut.  Pasal 127 Tata cara li‘an diatur sebagai berikut : a.  Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut  diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau  pengingkaran tersebut dusta” b.  Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata  “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata  murka Allah atas dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; c.  tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d.  apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li‘an. Pasal 128 Li‘an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Bagian Kedua Tata Cara Perceraian Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan  maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan  alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan  tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi  BAB XVI  PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 113 Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c.  atas putusan Pengadilan.  Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan  gugatan perceraian.  Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama  tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a.  salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang  sukar disembuhkan; b.  salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain  dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c.  salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah  perkawinan berlangsung; d.  salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak  lain; e.  sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan  kewajibannya sebagai suami atau isteri; f.  antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan  akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g.  Suami menlanggar taklik talak; k.  peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab  putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. Pasal 118 Talak Raj‘I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa  iddah.  Pasal 119 1.  talak Ba‘in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan  bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2.  Talak Ba‘in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a.  talak yang terjadi qabla al dukhul; b.  talak dengan tebusan atahu khuluk; c.  talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.      172   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   173   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 120 Talak Ba‘in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan  tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah  degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‘da al dukhul dan hadis masa iddahnya. Pasal 121 Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci  dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid‘I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan  haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan Pasal 125 Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. Pasal 126 Li‘an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan  atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran  tersebut.  Pasal 127 Tata cara li‘an diatur sebagai berikut : a.  Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut  diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau  pengingkaran tersebut dusta” b.  Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata  “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata  murka Allah atas dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; c.  tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d.  apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li‘an. Pasal 128 Li‘an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Bagian Kedua Tata Cara Perceraian Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan  maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan  alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan  tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi  BAB XVI  PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 113 Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c.  atas putusan Pengadilan.  Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan  gugatan perceraian.  Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama  tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a.  salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang  sukar disembuhkan; b.  salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain  dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c.  salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah  perkawinan berlangsung; d.  salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak  lain; e.  sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan  kewajibannya sebagai suami atau isteri; f.  antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan  akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g.  Suami menlanggar taklik talak; k.  peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab  putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. Pasal 118 Talak Raj‘I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa  iddah.  Pasal 119 1.  talak Ba‘in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan  bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2.  Talak Ba‘in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a.  talak yang terjadi qabla al dukhul; b.  talak dengan tebusan atahu khuluk; c.  talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.      174   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   175   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 137 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan  Agama mengenai gugatan perceraian itu.  Pasal 138 1.  Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman  yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman  di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass  media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 2.  Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1)  dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama  dan kedua 3.  Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan  persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4.  Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya  tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak  atau tidak beralasan.  Pasal 140 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),  panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat Pasal 141 1.  Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian 2.  Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan  dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka. 3.  Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang  pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak  dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. Pasal 142 1.  Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada  kuasanya. 2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat  memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 143 1.  Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2.  Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang  pemeriksaan.  Pasal 144 Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan  atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu  dicapainya perdamaian.  Pasal 145 Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 146 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.  Pasal 131 1.  Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam  waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta  penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2.  Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan  untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalam rumah  tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan  talak. 3.  Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan  sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 4.  Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan  Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka  hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh. 5.  Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya  Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama  beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat  tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada  suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama Pasal 132 1.  Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, Yang daerah  hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman  bersama tanpa izin suami. 2.  Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan  gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 133 1.  Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah  lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. 2.  Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi  kembali ke rumah kediaman besama.  Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah  cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan  setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman  yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan  perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan  perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum  yang tetap.  Pasal 136 1.  Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan  suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,  Pengadilan Agama dapat : a.  menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b.  menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi  hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang  yang menjadi hak isteri      174   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   175   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 137 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan  Agama mengenai gugatan perceraian itu.  Pasal 138 1.  Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman  yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman  di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass  media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 2.  Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1)  dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama  dan kedua 3.  Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan  persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4.  Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya  tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak  atau tidak beralasan.  Pasal 140 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),  panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat Pasal 141 1.  Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian 2.  Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan  dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka. 3.  Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang  pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak  dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. Pasal 142 1.  Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada  kuasanya. 2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat  memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 143 1.  Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2.  Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang  pemeriksaan.  Pasal 144 Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan  atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu  dicapainya perdamaian.  Pasal 145 Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 146 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.  Pasal 131 1.  Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam  waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta  penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2.  Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan  untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalam rumah  tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan  talak. 3.  Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan  sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 4.  Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan  Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka  hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh. 5.  Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya  Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama  beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat  tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada  suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama Pasal 132 1.  Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, Yang daerah  hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman  bersama tanpa izin suami. 2.  Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan  gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 133 1.  Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah  lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. 2.  Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi  kembali ke rumah kediaman besama.  Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah  cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan  setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman  yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan  perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan  perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum  yang tetap.  Pasal 136 1.  Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan  suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,  Pengadilan Agama dapat : a.  menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b.  menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi  hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang  yang menjadi hak isteri      176   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   177   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju‘ kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. Pasal 151 Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah  dengan pria lain.  Pasal 152 Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. Bagian Kedua Waktu Tunggu  Pasal 153 1.  Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al  dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2.  Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a.  Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan  130 (seratus tiga puluh) hari: b.  Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3  (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid  ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c.  Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,  waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d.  Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,  waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3.  Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda  tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 4.  Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya,  Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi  perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami. 5.  Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena  menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 6.  Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun,  akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali  waktu suci.  Pasal 154 Apabila isteri bertalak raj‘I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)  huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi  empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Pasal 155 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li‘an berlaku iddah  talak.  Bagian Ketiga Akibat Perceraian Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a.  anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah  meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1.  wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3.  wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4.  saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;  (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan  Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap Pasal 147 (1)  Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan  surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari  masing-masing yang bersangkutan. (2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan  Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai  Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan. (3)  Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteriatau  kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan  merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. (4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta  Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya  perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. (5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka  dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam  ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan  dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan  kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. (6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera  yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau  isteri atau keduanya.  Pasal 148 1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan  permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan  atau lasan-alasannya. 2.  Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar  keterangannya masing-masing. 3.  Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk,  dan memberikan nasehat-nasehatnya. 4.  Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama  memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang  Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5.  Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 6.  Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama  memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. BAB XVII AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Talak Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a.  memberikan mut‘ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali  bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b.  memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri  telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c.  melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d.  memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun      176   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   177   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju‘ kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. Pasal 151 Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah  dengan pria lain.  Pasal 152 Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. Bagian Kedua Waktu Tunggu  Pasal 153 1.  Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al  dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2.  Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a.  Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan  130 (seratus tiga puluh) hari: b.  Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3  (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid  ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c.  Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,  waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d.  Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,  waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3.  Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda  tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 4.  Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya,  Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi  perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami. 5.  Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena  menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 6.  Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun,  akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali  waktu suci.  Pasal 154 Apabila isteri bertalak raj‘I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)  huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi  empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Pasal 155 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li‘an berlaku iddah  talak.  Bagian Ketiga Akibat Perceraian Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a.  anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah  meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1.  wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3.  wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4.  saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;  (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan  Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap Pasal 147 (1)  Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan  surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari  masing-masing yang bersangkutan. (2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan  Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai  Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan. (3)  Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteriatau  kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan  merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. (4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta  Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya  perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. (5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka  dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam  ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan  dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan  kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. (6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera  yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau  isteri atau keduanya.  Pasal 148 1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan  permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan  atau lasan-alasannya. 2.  Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar  keterangannya masing-masing. 3.  Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk,  dan memberikan nasehat-nasehatnya. 4.  Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama  memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang  Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5.  Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 6.  Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama  memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. BAB XVII AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Talak Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a.  memberikan mut‘ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali  bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b.  memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri  telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c.  melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d.  memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun      178   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   179   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB XVIII RUJUK Bagian Kesatu Umum Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a.  putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan  qobla al dukhul; b.  putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan  selain zina dan khuluk.  Pasal 164 Seorang wanita dalam iddah talak raj‘I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas  suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi Pasal 165 Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan  Pengadilan Agama.  Pasal 166 Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang  atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang  mengeluarkannya semula.  Bagian Kedua Tata Cara Rujuk Pasal 167 (1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah  atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan  membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan (2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu  Pegawai Pencatat Nikah. (3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki  apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat,  apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj‘i, apakah perempuan yang akan  dirujuk itu adalah isterinya. (4)  Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi  menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. (5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat  Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan  dengan rujuk.  Pasal 168 (1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat  rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta  saksisaksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat- surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain  disimpan.  5.  wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b.  anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c.  apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak,  meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang  bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang  mempunyai hak hadhanah pula; d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut  kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri  (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama  membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f.  pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk  pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97 Bagian Keempat Mut‘ah Pasal 158 Mut‘ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a.  belum ditetapkan mahar bagi isteriba‘da al dukhul; b.  perceraian itu atas kehendak suami.  Pasal 159 Mut‘ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 Pasal 160 Besarnya mut‘ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Bagian Kelima Akibat Khuluk Pasal 161 Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk Bagian Keenam Akibat Li‘an Pasal 162 Bilamana li‘an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung  dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.      178   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia   179   IMPLEMENTASI  IMPLEMENTASI    UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN  UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN    dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak  dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak    dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional   BAB XVIII RUJUK Bagian Kesatu Umum Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a.  putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan  qobla al dukhul; b.  putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan  selain zina dan khuluk.  Pasal 164 Seorang wanita dalam iddah talak raj‘I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas  suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi Pasal 165 Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan  Pengadilan Agama.  Pasal 166 Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang  atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang  mengeluarkannya semula.  Bagian Kedua Tata Cara Rujuk Pasal 167 (1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah  atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan  membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan (2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu  Pegawai Pencatat Nikah. (3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki  apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat,  apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj‘i, apakah perempuan yang akan  dirujuk itu adalah isterinya. (4)  Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi  menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. (5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat  Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan  dengan rujuk.  Pasal 168 (1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat  rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta  saksisaksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat- surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain  disimpan.  5.  wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b.  anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c.  apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak,  meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang  bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang  mempunyai hak hadhanah pula; d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut  kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri  (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama  membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f.  pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk  pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97 Bagian Keempat Mut‘ah Pasal 158 Mut‘ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a.  belum ditetapkan mahar bagi isteriba‘da al dukhul; b.  perceraian itu atas kehendak suami.  Pasal 159 Mut‘ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 Pasal 160 Besarnya mut‘ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Bagian Kelima Akibat Khuluk Pasal 161 Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk Bagian Keenam Akibat Li‘an Pasal 162 Bilamana li‘an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung  dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.      180   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia  (2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan  selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. (3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah  membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab  hilangnya.  Pasal 169 (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya  kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada  suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang  ditetapkan oleh Menteri Agama. (2)  Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke  Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan  akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama  dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan  benar telah rujuk. (3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor  dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. BAB XIX MASA BERKABUNG Pasal 170 (1)  Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah  sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fi tnah. (2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.      180   Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia  (2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan  selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. (3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah  membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab  hilangnya.  Pasal 169 (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya  kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada  suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang  ditetapkan oleh Menteri Agama. (2)  Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke  Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan  akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama  dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan  benar telah rujuk. (3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor  dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. BAB XIX MASA BERKABUNG Pasal 170 (1)  Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah  sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fi tnah. (2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.       
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk " "

 
Template By AgamaKejawen
Back To Top