Pengertian.
Alam hutan dengan segala kemurahannya adalah lingkungan asli
kehidupan sehari-hari Suku Anak Dalam. Di dalam hutan mereka dilahirkan,
dibesarkan dan kemudian mereka matipun tetap berada di dalam hutan.
Pendek kata hutan bagi Suku Anak Dalam adalah kampung halamannya. Di
dalam hutan warga Suku Anak Dalam di daerah Jambi telah mengembangkan
suatu corak kebudayaan yakni kebudayaan Melangun.
Melangun merupakan suatu bentuk sistem (tatanan) sosial budaya
masyarakat Suku Anak Dalam. Istilah Melangun hanya dikenal pada budaya
Suku Anak Dalam dan tidak dikenal pada masyarakat lainnya di Provinsi
Jambi. Secara umum melangun mengatur dan berlaku untuk anggota kelompok
bila mendapat musibah kematian salah satu anggota kelompoknya.
Maka sejak jenazah diantar (diletakkan di hutan yang jauh
dari permukiman) seluruh keluarga dan kerabat seladang harus pergi
meninggalkan tempat itu dengan membawa semua peralatan, mengembara di
hutan dan berpindah tempat sampai rasa sedih ditinggal mati anggota
keluarga itu sembuh. Inilah hakikat hidup mengembara di dalam hutan.
Tempat di mana salah satu keluarga meninggal dianggap sial dan banyak
setannya, karena itu harus ditinggalkan, walaupun lading sedang
berbuah. Namun tanaman yang berupa ubi kayu, ubi jalar, tebu, keladi
masih bisa diambil, tetapi tempay tersebut tidak boleh dijadikan tempat
tinggal meskipun sementara.
Kata melangun berasal dari bahasa Melayu, yang hanya dijumpai dalam
bahasa percakapan Suku Anak Dalam di Jambi. Kata melangun dapat dilihat
dari 2 pengertian, yakni dalam arti terbatas (sempit) dan dalam arti
luas (umum). Dalam arti terbatas, kata melangun berarti
hidup mengembara (nomad) di dalam hutan. Faktor pertama penyebab mereka
melakukan pengembaraan di dalam hutan karena adanya kepercayaan bahwa
kematian itu disebabkan oleh gangguan roh jahat dan roh jahat itu harus
dijauhi karena dapat mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup.
Faktor kedua ialah lokasi di mana kematian itu terjadi dipandang sebagai
tempat sial atau tempat celaka. Oleh karenanya maka manusia yang masih
hidup perlu menjauhi tempat celaka itu secepat mungkin.
Dalam arti luas menurut Fachruddin Saudagar (1995), kata melangun mengandung banyak makna antara lain adalah sebagai berikut.
1) Melangun adalah perwujudan rasa cinta (sayang) sayang terhadap si mati.
a) Semakin cinta dan sayang terhadap si mati maka rasa sedih
(ibo-hati) semakin tinggi, sehingga semakin lama pula rasa menderita.
b) Semakin cinta kepada seseorang maka kegiatan melangun semakin lama.
c) Semakin lama waktu melangun maka semakin jauh jarak wilayah (jelajah) melangun.
2) Melangun adalah upaya mengatasi rasa menderita (penderitaan) karena ditinggal mati anggota keluarga.
- Keluarga si mati selama kegiatan melangun akan menangis (mekhatop/beratap).
3) Melangun sebagai wujud penghormatan terhadap roh si mati.
4) Melangun sebagai wujud kesetiakawanan sosial.
5) Melangun sebagai satu sistem nilai budaya (Kultural value system).
6) Melangun sebagai perlambang prosesi perjalanan roh si mati.
Hormat Kepada Mayat
Suku Anak Dalam di Jambi masih memberikan penghormatan kepada mayat
si mati. Wujud penghormatan terhadap mayat ada yang di pendem, di pasar,
di kubur, dan ditanam (makam).
Di pendem ialah perlakuan mayat dengan meletakkannya di dalam pondok
tinggi, lalu ditinggalkan di dalam hutan sepi yang tidak dilewati
manusia. Di pasar ialah perlakukan mayat dengan jalan meletakkannya
(menyandarkan) di dalam banir batang kayu besar d tengah hutan sepi. Di
kubur ialah meletakkan mayat di dalam pondok tinggi, di bawahnya diberi
api unggun, lalu ditinggalkan di dalam hutan yang tidak dilewati
manusia. Di tanam artinya mayat itu diletakkan di dalam lobang (tanah
berlobang), lalu ditutupi dengan tanah.
Sejak mayat si mati diletakkan di hutan yang jauh dari permukiman,
maka seluruh keluarga dan kerabat dekat harus pergi meninggalkan tempat
itu dengan membawa semua peralatan yang dipunyai dan dapat dibawa,
mengembara di hutan sekitar mereka dan selalu berpindah sampai rasa
sedih atau menderita hilang.
Peserta Melangun
Kegiatan melangun adalah tradisi leluhur Suku Anak Dalam di Provinsi
Jambi. Pada dasarnya kegiatan melangun diikuti oleh seluruh anggota
kelompok dan sanak-famili terdekat. Jumlah peserta melangun dapat
dibedakan sebagai berikut.
Tabel. Peserta Melangun
KATEGORI PEMUKIM
|
||
Mengembara (Melangun) | Ngekem (Betalang) | Berdusun |
Peserta melangun adalah semua anggota kelompok (tua, muda, laki-laki, wanita) | Peserta melangun adalah keluarga terdekat dengan si mati. Sebagian anggota kelompok bertugas menunggu lokasi pemukiman | Tidak melangun di dalam hutan lagi, tetapi sanak saudara berdatangan kerumah dengan ramai-ramai menangis. |
Mekhatop
Dalam perjalanan melangun inilah perasaan sedih hati mereka
lampiaskan dengan menangis sambil meraung keras-keras (mekhatop).
Lamanya mereka melakukan perjalanan melangun sebanding dengan perasaan
sedih itu menghilang di dalam kalbu.
Selama dalam perjalanan melangun bila malam tiba, mereka akan
mendirikan sudung (pondok) sederhana, sebagai tempat tinggal sementara
begitu seterusnya. Mereka makan apa adanya yang ditemukan dalam hutan
seperti hewan buruan, buah-buahan, umbi-umbian, tumbuh-tumbuhan.
Pada waktu bersedih hati karena kematian, kesemua sanak saudara ikut
melangun dan larut dalam kesedihan. Mereka mengembara dalam hutan sambil
menangis, terkadang mereka melupakan kondisi fisiknya sendiri, kurang
makan dan minum. Di kala menangis itu dikeluarkan ratapan kesedihan guna
menekan rasa menderita. Menangis di saat melangun disebut mekhatop.
Selama 2 – 3 bulan awal kegiatan melangun suasana melangun masih
didominasi oleh kesedihan dan ratapan tangisan (mekhatop). Perasaan
sedih peserta melangun seolah-olah ingin ikut mati pula. Selera makan
dan minum hilang. Ucapan yang sering keluar dari mulut peserta melangun
antara lain adalah sebagai berikut.
Anak ake mati —–hik-hik.
Ake… pimbio baik lagi
Cepatlah ake.. bawo balik lagi
Daripado aku menanggung sedih
Jemputlah ake jangan lama menanggung sedih
Tuhan (Allah) ngampo bumi.
Setelah itu suasana kesedihan mulai menurun yang ditandai dengan
suara tangisan mulai redah. Berikutnya peserta melangun mulai mau bicara
dan mulai pula timbul selera makan dan minum.
Kata Tuhan/Allah diucapkan oleh Suku Anak Dalam yang terpengaruh
ajaran Islam di Bungku, Bahar, Jebak, Tanjung Lebar, Bungku, Markanding,
Nyogan, Batu Ampar, dll.
Waktu Melangun
Lama kegiatan melangun yang dilakukan Suku Anak Dalam erat kaitannya
dengan rasa cinta terhadap si mati selama hidupnya. Semakin sayang maka
semakin lama melangun. Lamanya melangun memang ada perbedaan antara lain
adalah sebagai berikut.
Tabel. Lamanya Kegiatan Melangun
No | ROH SI MATI | KATEGORI PEMUKIM | KET | ||
Mengembara (Melangun) | Ngekem | Berdusun | |||
1 | Balita | 4-6 Tahun | 2-3 Tahun | 0 | Pada saat-saat awal menetap, kegiatan melangun masih dilakukan selama 2-4 bulan saja. |
2 | Anak-Anak | 3-4 Tahun | 1-2 Tahun | 0 | |
3 | Bujang | 2-3 Tahun | 1-2 Tahun | 0 | |
Bujang Tuo | 0,5 – 1 Tahun | 0,5 Tahun | 0 | ||
4 | Gadis | 2-3 Tahun | 1-2 Tahun | 0 | |
Gadis Tuo | 0,5 – 1 Tahun | 0,5 Tahun | 0 | ||
5 | Orang Tua | 4-6 Tahun | 2-3 Tahun | 0 | |
6 | Ninik | 1-2 Tahun | 0,5 Tahun | 0 |
Rasa menderita ini biasanya berkisar antara 2 bulan sampai 2 tahun,
tampaknya sangat dipengaruhi luasnya hutan yang ada dalam arti waktu
hutan masih perawan dan belum dijamah oleh orang luar untuk HPH maupun
untuk keperluan Iainnya, melangun masih berkisar dua tahun,
sedangkan sekarang hanya berkisar antara dua bulan sampai enam bulan
saja karena hutan yang menjadi ‘perkampungan’ mereka sudah sangat
berkurang, banyak yang berubah menjadi perkebunan ke-lapa sawit, areal
transmigrasi, dan keperluan pembangunan lainnya sehingga dijumpai
melangun selama 4-6 tahun. Biasanya semakin baik seseorang itu selama
hidupnya maka melangun cenderung semakin lama.
Wilayah Melangun
Peserta melangun yang tradisional adalah seluruh anggota kelompok,
sedangkan yang telah mengalami perubahan adalah anggota keluarga
terdekatnya saja. Jauhnya melangun yang masih tradisional sampai sejauh
70-100 km, sedangkan yang telah berubah dalam radius 15-20 km saja.
Dalam kepercayaan mereka adalah berpanting kembali atau melihat tempat
di mana kematian itu terjadi.
Daerah pengembaraan Suku Anak Dalam sangat Iuas yang mengkait empat
Provinsi lambi, Riau. Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Daerah
pengembaraan tergantung kepada hasil hutan, buah-buahan, dan makanan
lainnya seperti ikan. Juga ada semacam pembagian wilayah antara sesama
kelompok. Daerah pengembaraannya selalu menghindari sungai besar seperti
Sungai Batanghari, Tembesi, TabÃr. Sebaliknya lebih menyukai anak
sungaÑ– yang diwaktu musim kemarau dapat di bendung dan dituba (dijenuh)
untuk diarnbil іkаnnуа.
Untuk Suku Anak Dalam secara umum mereka mempunyai daerah pengembaraan tertentu yaitu :
- Wilayah melangun di sekitar Bukit 12 yang terletak di antara 4 Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaaten Batanghari dan Kabupaten Tebo, wilayah pengembaraannya mulai “Dari batu Nangsi, Jelutih, Ila.Tupang, Nitih Bakul, (Lacang Temberas, Dangku kureng, Nangko Berkampung, Terap Lamban, Kayu Aro, Lentung, lepas ke Sukolado, Lomban Sebasah, Parit Sialang Kentu, terjun ke Kejasung Kecil, Lubuk Buayo, Padang Lalang, lepas ke Kejasung Besar, Telun Alai Belang, terjun Beresan Sungkai, lepas kemuara Inai, Mengkekal dan Tanah Garo.
- Untuk yang berada di Kabupaten Batanghari sampai batas Bayung Lincir
(Sumatera Selatan) secara adat menempati 9 sungai sebagai berikut ;
- Sungai Bahar.
- Sungai Jebak.
- Sungai Jangga.
- Sungai Bulian / Semak.
- Sungai Sekisak (Si Lisak).
- Sungai Sekamis.
- Sungai Burung Hantu (Sungai Pemayung).
- Sungai Penerokan.
- Sungai Merkanding.
- Berdasarkan piagam Raja (Sultan Jambi), maka tempat tinggal Suku Anak Dalam terutama di kawasan Batanghari adalah berawaql (bertapak) “Dari Sungai Bulian bernama Lubuk Talang, Belukar Pinang, ke Rimbo Bulian, Penantian Sago, Sungai Rengas, Payo rotan duduk, Pulau Selaman, meniti pematang Bayas, Pematang Salak, Sungai Kuro Betino, Pematang Gambir, Ulu Sungai Rengas, Sungai Pematung Bedarah, Bukit Tembesu, Jebak dan Sungai Rengas Ii, Muara Pelajo Bujang, Hutan Sago, Tanggeris Jangga, Sungai Pandan, Bakal Ruyung, Ibul Genting, Tayas Bungkuk, Serdan, Patal, Mengala, Sei Badak, Sei Lalan Lubuk Udang, Lubuk Tadau, Merkandang, Bayas Gantung, Kendi, Danau Masuli, Mendak, Penukal, Sei Hantu dan Lubuk Belang, Kesemuanya ini di sebut tanah watas Suku Anak Dalam dari cucu Raden Nagasari. https://melangun.wordpress.com/2005/03/01/makna-melangun/
0 Komentar untuk "Suku Kubu :MAKNA MELANGUN "