Javanese beliefs (Kebatinan or Kejawen) have principles embodying a "search for inner self" but at the core is the concept of Peace Of Mind. Although Kejawen is a religious category(Agama), it addresses ethical and spiritual values as inspired by Javanese tradition. That can as religion in usual sense of the world, like Christianity, Judaism, Budha or Islam. Kejawen adalah Agama Jawa yang di Ajarkan dalam Budaya Jawa yang di sebut Kejawen. Kawruh kejawen. Ilmu Kejawen, Agama Kejawen

Jalan Panjang Perkawinan Penghayat Aliran Kepercayaan

PERKAWINAN antara Asep Setia Pujanegara, penduduk Jl. Wastukencana,
Bandung, dengan Rela Susanti, penduduk Kampung Cipaku Desa Pakutandang
Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, ternyata harus menempuh perjalanan yang
panjang hanya karena mereka adalah penganut Penghayat Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Pasangan itu menikah dengan tata cara adat Sunda pada hari Kamis 23
Agustus 2001 di rumah orangtua Rela Susanti, Kampung Cipaku, Desa
Pakutandang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Kampung itu memang dikenal
sebagai tempat komunitas sejumlah keluarga masyarakat Sunda yang menganut
Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sanalah mereka secara
turun temurun tinggal dan tidak pernah menganut salah satu agama, melainkan
menganut Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pestanya cukup meriah, dihadiri kerabat, tetangga dan keluarga mereka.
Akan tetapi, perkawinan mereka "tidak diakui negara", karena ketika pasangan
itu mengajukan agar perkawinan mereka dicatatkan di Kantor Badan
Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung, instansi pemerintah
itu menolak. Sekalipun surat pengajuan pencatatan perkawinan Asep dan Rela
itu ditandatangani pula oleh Ketua RT/RW dan Kepala Desa setempat.

Kantor BKCS Kabupaten Bandung mengirim surat penolakan tanggal 1
Oktober 2001, ditandatangani Kepala BKCS Dra. Tintin K.

Menurut kantor BKCS, berdasarkan surat Mendagri tanggal 19 Oktober
1995 no. 474.2/3069/PUOD jo surat Gubernur Jawa Barat tanggal 16 Februari
2000 no. 474.2/406/Pem Um, perkawinan kaum Penghayat Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dicatatkan pada kantor BKCS, walaupun telah
dikukuhkan dengan penetapan Pengadilan Negeri. Hal ini dikarenakan belum
sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menurut kantor BKCS, dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 disebutkan,
"Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Hal ini berarti di Indonesia
dijamin hak asasi kemerdekaan memeluk agama, bukan hak asasi kemerdekaan
tidak beragama. Istilah "kepercayaan" yang disebutkan dalam ketentuan
tersebut mengandung pengertian kepercayaan terhadap agamanya dalam
menjalankan ibadat.

Menurut kantor BKCS lagi, dalam GBHN tertuang pengertian bahwa
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama, tetapi
merupakan kekayaan budaya rohani bangsa Indonesia, sehingga sejak Kabinet
Pembangunan III pengurusannya ditangani Departemen P dan K.

UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 mendudukkan hukum Perkawinan Agama dalam posisi kuat. Artinya,
perkawinan yang diakui sah oleh negara hanyalah perkawinan menurut agama dan
kepercayaan terhadap agamanya.

Kantor BKCS Kab. Bandung berpendapat, surat edaran Menteri Dalam
Negeri nomor 447/805/Sj tanggal 31 Maret 2000 menyatakan bahwa Pencatatan
Perkawinan dan Perceraian harus berpedoman kepada instruksi Menteri Agama RI
nomor 4 Tahun 1978 yang menyebutkan bahwa Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan agama.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kantor BKCS Kab. Bandung
berpendirian, perkawinan berdasarkan Aliran Kepercayaan tidak ada landasan
hukumnya. Karena itu tidak dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Melanggar hak asasi

Sehubungan dengan adanya surat penolakan dari kantor BKCS Kab. Bandung
itu, pasangan Asep Setia Pujanagara dan Rela Susanti yang kini sedang
menantikan kelahiran anak pertama mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Bandung.

Melalui penasihat hukumnya, Dr. Wila Chandrawila, SH, mereka
mendaftarkan surat gugatan tanggal 27 Desember 2001.

Menurut Wila, tatacara perkawinan yang dilakukan Asep dan Rela adalah
tatacara perkawinan yang sejak berabad-abad telah dilangsungkan keluarga
besar mereka dan sesuai dengan apa yang dipedomankan h Pasal 2 ayat 1 UU No.
1/74 yang bunyinya, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya".

Setelah perkawinan dilaksanakan, untuk mendapatkan keabsahan menurut
Hukum Negara (UU No. 1/1974) harus dicatatkan di Kantor Pencatat Perkawinan
bagi penduduk non-Islam yaitu di Kantor Catatan Sipil.

"Penolakan pencatatan perkawinan oleh kantor BKCS Kab. Bandung adalah
bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang dilakukan Negara
Republik Indonesia cq Depdagri cq Kantor BKCS Kab. Bandung," kata Wila
Chandrawila.

Selain itu, katanya, pihak kantor BKCS Kab. Bandung telah salah dalam
menggunakan dasar hukum yang menjadi dasar pengambilan keputusan penolakan
pencatatan perkawinan Asep dan Rela.

Perkawinan itu dilaksanakan dengan tatacara adat Sunda, bukan dengan
tatacara perkawinan aliran kepercayaan, dalam arti konform dengan Penjelasan
Umum poin 2 ayat b UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Menurut Wila, tidak ada satu pun ketentuan perundang-undangan dalam
Hukum Positif Indonesia yang menetapkan "setiap warganegara Indonesia harus
memeluk agama". Bahkan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menetapkan "Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Penjelasannya berbunyi, "Ayat ini
menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa" dalam
arti negara Indonesia bukan negara agama tetapi adalah sebuah negara hukum
dan negara yang berdasarkan kepada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung itu, agama hanyalah lembaga
(institusi) keyakinan dalam bentuk formal. Begitu pula Penghayatan
Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah lembaga formal keyakinan
non-agama. Jelas, keduanya adalah lembaga keyakinan yang isinya (materiil)
adalah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Surat kantor BKCS Kab. Bandung, juga menggunakan alasan penolakan
pencatatan perkawinan yang sangat mengada-ada. Sebab pernyataan yang
menyebutkan bahwa "perkawinan yang diakui negara hanyalah perkawinan yang
menurut agama dan kepercayaan terhadap agama" adalah pernyataan yang sangat
berbahaya terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Fakta yang tak dapat
dibantah dan dipungkiri adalah, tidak semua warganegara Indonesia memeluk
salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah sebagai "agama
resmi".

Di samping itu, kantor BKCS Kab. Bandung juga berbuat rancu dan
sengaja membuat keraguan karena tanpa menyebutkan perihal dikeluarkannya
surat Mendagri tertanggal 31 Maret 2000 No 477/085/Sj yaitu pencabutan dan
pernyataan tidak berlakunya SE Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November
1978.

Status istri dan anak

Wila Chandrawila mengemukakan, penolakan pencatatan perkawinan itu
membawa dampak sosial yang luas dan berat yaitu berbentuk "hidup bersama"
yang menurut hukum negara adalah tanpa ikatan perkawinan yang sah. Hal ini
pun mempunyai akibat hukum yakni apabila lahir anak-anak dari perkawinan
yang tidak dicatatkan, akan menyebabkan anak-anak tersebut adalah anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah. Artinya, anak itu adalah anak yang tidak
sah, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya dan keluarga
bapaknya. Hal ini sangat merugikan dan melanggar hak asasi anak-anak
tersebut untuk mendapatkan status sebagai anak yang sah dari bapaknya.
Selain itu juga anak-anak tersebut tidak mempunyai hak waris atas harta
peninggalan bapaknya dan keluarga bapaknya.

Selain itu, para perempuan yang perkawinannya tidak dicatatkan, tidak
dapat menikmati keuntungan yang ditawarkan oleh UU No. 1 tahun 1974 yaitu
bukan istri sah, tidak mempunyai hak atas harta gono gini dan masih banyak
lagi kerugian yang diderita, baik dari segi finansial maupun segi moral
kemasyarakatan.

PTUN mengabulkan

Kasus ini disidangkan di PTUN Bandung dalam beberapa kali persidangan
dengan menghadirkan sejumlah saksi dari berbagai pihak, termasuk saksi ahli
antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung.

Dua orang saksi memberikan penjelasan dan menyampaikan bukti bahwa
perkawinan pasangan penganut Aliran Kepercayaan sudah ada yang dicatatkan di
Kantor Catatan Sipil, di antaranya di Jakarta dan Cilacap.

Akhir pada sidang Kamis 25 April 2002, Majelis Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Bandung memutuskan mengabulkan permohonan suami- istri
Asep Setia Pujanegara dan Ny. Rela Susanti sehingga perkawinannya yang
dilangsungkan dengan cara adat Sunda dapat dicatatkan di Kantor Badan
Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung.

Keputusan itu dibacakan Majelis Hakim PTUN Bandung yang terdiri dari
Ratna Harnani, SH (Ketua) Nettie Sompie, SH (anggota) dan Dra. Maria
Mawarnie, SH (anggota). Atas keputusan ini, tergugat kantor BKCS Kab.
Bandung yang diwakili salah seorang dari 4 kuasa hukumnya, Virgilio Do
Carmo, SH, langsung menyatakan banding.

Sidang perkara ini dihadiri oleh puluhan orang Penghayat Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dari berbagai daerah di Jawa Barat, yang
memberikan dukungan kepada pasangan Asep Setia dan Rela Susanti.

Setelah Majelis Hakim memutuskan bahwa permohonan pasangan suami istri
itu dikabulkan, puluhan penganut Penghayat Kepercayan kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang memadati ruang sidang, langsung tepuk tangan dan menyalami majelis
hakim. Kemudian mereka mengangkat tubuh pengacara Dr. Wila Chandrawila
sebagai tanda terima kasih.

Dua hari setelah itu, mereka mengadakan syukuran di sebuah tempat di
Bandung, meskipun perkawinan Asep dan Rela Susanti masih belum bisa
dicatatkan di kantor BKCS Kab. Bandung karena belum ada kekuatan tetap.
Mereka harus menunggu hasil banding pihak kantor BKCS Kab. Bandung ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta. Waktu masih panjang
bagi mereka. (Dadang Bainur).***


Mereka Kini Tengah Menunggu Anak Pertama
PASANGAN Asep Setia Pujanagara dan Rela Susanti asli Sunda. Bukan
hanya ayah sampai buyutnya adalah Sunda, juga keduanya dilahirkan di
Bandung. Asep dilahirkan di Bandung 28 Oktober 1970, sedangkan Rela Susanti
lahir di Bandung 22 April 1976.

Asep adalah pengusaha muda di bidang alat-alat besi dan bertempat
tinggal di Jalan Wastukancana, Bandung, yang juga merangkap sebagai tempat
usahanya. Adapun Rela Susanti, lahir dan besar di Kampung Cipaku, Desa
Pakutandang, Kec. Ciparay, Kabupaten Bandung. Ayahnya seorang seniman.

Keluarga kedua belah pihak benar-benar Sunda. Kesehariannya, bukan
hanya berbicara dengan bahasa Sunda, tetapi juga tata cara hidup mereka
adalah Sunda.

"Kami memang sering bertemu di pertemuan para Penghayat Kepercayan
kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Asep.

Pertemuan mereka banyak dilakukan di sekitar tempat tinggal Rela
Susanti di Kampung Cipaku, Ciparay, karena di sana terdapat komunitas
Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dari berulang-ulang "tatap muka", tumbuhlah benih cinta dan akhirnya
mereka memutuskan menikah dengan cara adat Sunda di ruang pertemuan
"Pasewakan", khusus untuk para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha
Esa yang terletak di Kampung Cipaku. Upacara pernikahan mereka cukup meriah.
Kini mereka sedang menunggu kelahiran anak pertama yang kelak bisa
dicatatkan di kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bandung.

Pencatatan itu penting, karena dengan pencatatan pernikahan kedua
orang tuanya maka si anak dapat memperoleh akta kelahiran sehingga status
hukumnya menjadi jelas. (Dadang Bainur/"PR")***

http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/8238
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Jalan Panjang Perkawinan Penghayat Aliran Kepercayaan"

 
Template By AgamaKejawen
Back To Top