Javanese beliefs (Kebatinan or Kejawen) have principles embodying a "search for inner self" but at the core is the concept of Peace Of Mind. Although Kejawen is a religious category(Agama), it addresses ethical and spiritual values as inspired by Javanese tradition. That can as religion in usual sense of the world, like Christianity, Judaism, Budha or Islam. Kejawen adalah Agama Jawa yang di Ajarkan dalam Budaya Jawa yang di sebut Kejawen. Kawruh kejawen. Ilmu Kejawen, Agama Kejawen

PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BERSAMA

MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

NOMOR : 43 TAHUN 2009

NOMOR: 41 TAHUN 2009

TENTANG

PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN

TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,

Menimbang

:

a.

bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu modal sosial dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya yang lahir dan tumbuh dari leluhur Bangsa Indonesia;

b.

bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warga negara Republik Indonesia, berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya;

c.

bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, pemerintah daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan nilai sosial budaya;

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

Mengingat

:

1.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);

2.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

3.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674);

4.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3350);

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4736);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TENTANG PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan:

1. Pelayanan adalah layanan diberikan oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan administrasi organisasi, pemakaman, dan sasana sarasehan atau sebutan lain.

2. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

3. Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4. Organisasi Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat Kepercayaan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri dan terinventarisasi di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

5. Sasana Sarasehan atau sebutan lain adalah tempat untuk melakukan kegiatan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk kegiatan ritual.

6. Tanda Inventarisasi adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah terinventarisasi pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

7. Surat Keterangan Terdaftar selanjutnya disingkat SKT adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan.

8. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II

LINGKUP PELAYANAN

KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Pasal 2

(1) Pemerintah Daerah memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.

(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. administrasi organisasi Penghayat Kepercayaan;

b. pemakaman; dan

c. sasana sarasehan atau sebutan lain.

Pasal 3

Dalam memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pemerintah provinsi berkewajiban:

a. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan masyarakat;

b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;

c. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat.

Pasal 4

Dalam memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pemerintah kabupaten/kota berkewajiban:

a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;

b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;

c. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah di kabupaten/kota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan; dan

d. fasilitasi pemakaman Penghayat Kepercayaan di tempat pemakaman umum.

BAB III

PELAYANAN ADMINISTRASI ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Pasal 5

(1) Gubernur menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan untuk provinsi.

(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut:

a. akte pendirian yang dibuat oleh Notaris;

b. program kerja ditandatangani ketua dan sekretaris;

c. Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah nasional atau sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;

d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;

e. Foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;

f. Riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus provinsi yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1 lembar:

g. formulir isian;

h. data lapangan;

i. foto tampak depan dengan papan nama alamat kantor/sekretariat;

j. Nomor Pokok Wajib Pajak;

k. Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan camat;

l. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;

m. surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris; dan

n. surat keterangan bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris.

Pasal 6

(1) Bupati/walikota menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan untuk kabupaten/kota.

(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut:

a. akte pendirian yang dibuat oleh Notaris;

b. program kerja ditandatangani ketua dan sekretaris;

c. Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah nasional atau sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;

d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;

e. foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;

f. riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus provinsi yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1 lembar:

g. formulir isian;

h. data lapangan;

i. foto tampak depan dengan papan nama alamat kantor/sekretariat;

j. Nomor Pokok Wajib Pajak;

k. Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan camat;

l. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;

m. surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris; dan

n. surat keterangan bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris.

Pasal 7

Surat Keterangan Terinventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dan Pasal 6 ayat (2) huruf d diajukan oleh pengurus organisasi kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melalui dinas/lembaga/unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi menangani kebudayaan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:

a. formulir isian A, A1, dan A2;

b. AD / ART;

c. ajaran tertulis;

d. susunan pengurus;

e. daftar nominatif anggota;

f. program kerja; dan

g. riwayat hidup sesepuh.

BAB IV

PEMAKAMAN

Pasal 8

(1) Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum.

(2) Dalam hal pemakaman Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum.

(3) Lahan pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disediakan oleh Penghayat Kepercayaan.

(4) Bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menjadi pemakaman umum.

BAB V

SASANA SARASEHAN ATAU SEBUTAN LAIN

Pasal 9

(1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain didasarkan atas keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi Penghayat Kepercayaan.

(2) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan.

Pasal 10

Sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

(1) Penghayat Kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan untuk penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain dengan bangunan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) kepada Bupati/Walikota.

(2) Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya permohonan pendirian sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 12

(1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lainnya yang telah mendapat ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mendapat penolakan dari masyarakat, Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan dimaksud.

(2) Dalam hal fasilitasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terlaksana, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sasana sarasehan atau sebutan lain.

Pasal 13

Bupati/Walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

BAB VI

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 14

(1) Perselisihan antara Penghayat Kepercayaan dengan bukan Penghayat Kepercayaan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat antar kedua belah pihak.

(2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, gubernur atau bupati/walikota memfasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal fasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui proses peradilan.

BAB VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 15

(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.

(2) Pembinaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengoordinasikan gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.

(3) Pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memantau gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.

Pasal 16

(1) Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melakukan pembinaan dan pengawasan teknis atas pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.

(2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemberian pedoman;

b. pemberian bimbingan teknis, konsultasi, supervisi; dan

c. dokumentasi dan publikasi.

(3) Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemantauan dan evaluasi terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan.

Pasal 17

Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota dalam pelayanan Penghayat Kepercayaan.

BAB VIII

PELAPORAN

Pasal 18

(1) Bupati/walikota melaporkan tugas pelayanan Penghayat Kepercayaan di kabupaten/kota kepada gubernur.

(2) Gubernur melaporkan tugas pelayanan Penghayat Kepercayaan di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

BAB IX

PENDANAAN

Pasal 19

(1) Pendanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan secara nasional didanai dari dan atas beban:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan

b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(2) Pendanaan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan di provinsi dapat didanai dari dan atas beban:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi; dan

b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(3) Pendanaan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan di kabupaten/kota dapat didanai dari dan atas beban:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; dan

b. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan terhadap Penghayat Kepercayaan di provinsi diatur dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Bersama ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.

Pasal 21

Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 16 September 2009

MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, MENTERI DALAM NEGERI,

ttd ttd

JERO WACIK H. MARDIYANTO

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA"

 
Template By AgamaKejawen
Back To Top